KONTEKS ETIKA LINGKUNGAN
Armahedi Mahzar (c) 2009
Kamis
siang lalu saya memberi kuliah Enviromental Ethics pada mahasiswa
International School of Pharmacy ITB. Pada kuliah itu saya meletakkan
konsep etika lingkungan dalam konteks pergeseran paradigma sains dari
yang Atomistik Newtonian ke yang Holistik pos-Newtonian. Pergeseran
paradigma ini terutama disebabkan adanya krisis internal, krisis
eksternal dan kritik eksternal sain di abad XX yag lalu.
Teknologi nuklir melahirkan bom atom yang menghentikan Perang Dunia II berujung pada perlombaan senjata pemusnah masal nuklir antara dua blok pada paruh kedua abad lalu antara Blok Barat dan Blok Timur. Teknologi zat padat melahirkan revolusi informasi yang ditandai dengan akselerasi kemampuan memproses dan menyimpan informasi yang semakin cepat dan semakin padat terutama pada Blok Barat.
Ketegangan nuklir dan kesenjangan elektronik Timur-Barat ini memang berakhir dengan runtuhnya Blok Timur dan terjalinnya komputer-komputer sedunia dalam jaringan komputer global bernama Internet. Namun pada paruh kedua abad lalu telah terjadi krisis eksternal berupa krisis lingkungan hidup. Krisis lingkungan itulah yang menyebabkan adanya kritik eksternal sains dari berbagai kalangan di luar dunia keilmuan: kaum neomarxis, kaum feminis, kaum ekosofis dan kaum etnoreligius.
Kaum feminis memperluas kritik kaum neomarxis dengan memandang sains modern sebagai cerminan pandangan patriarki maskulinistik. Proses penaklukan alam oleh manusia adalah cerminan dari wawasan
patriarki tentang dominasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Bias maskulinitas itu juga mengimbas pada penekanan pada rasionalitas dan obyektivitas pada filsafat dasar atau paradigma sains. Jadi menurut kaum feminis sains modern itu cenderung mengabdi pada kepentingan-laki-laki ketimbang pada manusia seluruhnya.
Kaum ekosofis melihat dasar kesenjangan yang dilihat kaum feminis itu hanyalah manifestasi kepongahan manusia pada spesies lain atau alam pada umumnya. Manusia merasa bahwa alam itu berada di bawahnya. Oleh karena itu penaklukan alam oleh manusia melalui sains menjadi suatu kewajaran, Pandangan bahwa alam itu feminin mengimbas pandangan dominatif itu pada maskulinisme yang menganggap perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Antroposentrisme maskulinistik ini harus diganti dengan pandangan biosentris yang lebih komprehensif.
Kaum etnoreligius melihat bahwa antroposentrisme maskulinistik ini adalah khas pandangan manusia Barat. Agama-agama tradisional Timur tidak melihat adanya kesenjangan antara manusia dan alam. Agama Timur justru melihat kesetaraan antara manusia dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Jadi untuk mencegah krisis lingkungan dan lain sebagainya sebagai dampak pengembangan dan penerapan sains maka perlu dilakukan proses dewesternisasi paradigma sains modern. Hanya dengan dewesternisasi sains itulah bumi dapat diselamatkan.
Karena tesisnya yang kontroversial itu dia pun diundang ke dalam berbagai forum diskusi di kampus-kampus universitas di seluruh dunia. Melalui forum-forum itu sadarlah dia bahwa perubahan paradigma yang disarankanya untuk fisika itu juga berlangsung pada disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Ilmu kedokteran misalnya telah bergeser dari pandangan somatosenris ke pandangan psikosomatis yang lebih integral. Ilmu ekonomi misalnya telah bergeser dari pandangan antroposentris ke pandangan yang melibatkan ekosistem biologis. Ilmu biologi sendiri bergeser dari pandangan reduksionis seluler yang mekanistik ke pandangan holistik biogeologis yang lebih organismik. Ilmu psikologi pun bergerak dari behaviorisme yang materialistik ke transpersonalisme yang melibatkan spiritualitas manusia.
Melihat adanya kesamaan antara pergeseran paradigmatik di berbagai bidang keilmuan itu, maka dia pun, dalam bukunya kedua "The Web of Life", mencanangkan lahirnya paradigma sains baru yang disebutnya sebagai paradigma holisme pasca-Newtonian yang ekologis menggantikan paradigma atomisme Newtonian yang mekanistik. Dalam pandangan paradigmatik baru ini alam semesta bukanlah sebuah kumpulan partikel-partikel materi melainkan sebuah jaringan proses-proses energi yang berjenjang dari yang kecil hingga yang besar. Menurut Capra proses-proses itu bersifat swa-organisasi dari sistem kimia yang bersifat disipatif, sistem biologi yang bersifat otopuitis hingga sistem sosial yang bersifat otoreflektif. Stiap tingkatnya proses-proses swa-organisasi itu memunculkan tingkat kompleksitas baru sehingga pada tingkat biogeologis dibutuhkan sebuah kompleksitas baru.
Sebagai implikasi transformasi paradigmatik itu metodologi sains yang rasinal analitis dab reduksionis linier itu harus dilengkapi dengan yang intuitif sintetis danholistik non linier. Begitu pula etika sains yang menekankan kompetisi ekspansif dan dominasi kuantitatif harus diganti dengan yang menekankan kooperasi konservatif dan kemitraan kualitatif.
Semua itu berarti bahwa etika lingkungan harus dibangun berdasarkan asas-asas keseimbangan, keselarasan dan kelestarian. Sengan tampak bahwa transformasi padigma sains in mengintegrasikan kembali etika keilmuan dengan etika lingkungan yang merupakan bagian dari wawasan holistik agama-agama Timur.
Dengan demikian etika kelimuan, etika kemasyarakatan dan etika lingkungan dapat menjadi landasan filosofis peradaban teknologis masa depan yang serasi dengan kehidupan planeter bumi yang seutuhnya dalam kedamaian, keamanan dan kenyamanan yang senantiasa.
Krisis sains
Krisis internal itu terjadi pada paruh pertama abad tersebut ketika ditemukannya teori relativitas Einstein dan teori kuantum Heisenberg dan kawan-kawan yang kemudian menjadi fondasi fisika modern yang merupakan dasar bagi teknologi nuklir dan teknologi perangkat keras informasi masa kini. Karena suksesnya aplikasi eksternal kemajuan sains itu, maka krisis internal filosofis itu diabaikan orang dengan mengambil filsafat dasar ilmu yang positivistik.
Teknologi nuklir melahirkan bom atom yang menghentikan Perang Dunia II berujung pada perlombaan senjata pemusnah masal nuklir antara dua blok pada paruh kedua abad lalu antara Blok Barat dan Blok Timur. Teknologi zat padat melahirkan revolusi informasi yang ditandai dengan akselerasi kemampuan memproses dan menyimpan informasi yang semakin cepat dan semakin padat terutama pada Blok Barat.
Ketegangan nuklir dan kesenjangan elektronik Timur-Barat ini memang berakhir dengan runtuhnya Blok Timur dan terjalinnya komputer-komputer sedunia dalam jaringan komputer global bernama Internet. Namun pada paruh kedua abad lalu telah terjadi krisis eksternal berupa krisis lingkungan hidup. Krisis lingkungan itulah yang menyebabkan adanya kritik eksternal sains dari berbagai kalangan di luar dunia keilmuan: kaum neomarxis, kaum feminis, kaum ekosofis dan kaum etnoreligius.
Kritik eksternal
Kaum neomarxis mengritik sains karena mengabdi pada sistem kapitalisme, kapitalisme liberal Blok Barat dan kapitalisme negara pada Blok Timur. Sains telah berubah dari suatu bentuk pencarian kebenaran menjadi sebuah pengabdian pada para pencari kekuasaan yang berorientasi pada kompetisi, ekspansi dan dominasi. Penindasan manusia oleh manusia kaum kapitalis tercermin pada pandangan dasar bahwa sains adalah bagian dari proses penaklukan alam oleh manusia melalui teknologi.
Kaum feminis memperluas kritik kaum neomarxis dengan memandang sains modern sebagai cerminan pandangan patriarki maskulinistik. Proses penaklukan alam oleh manusia adalah cerminan dari wawasan
patriarki tentang dominasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Bias maskulinitas itu juga mengimbas pada penekanan pada rasionalitas dan obyektivitas pada filsafat dasar atau paradigma sains. Jadi menurut kaum feminis sains modern itu cenderung mengabdi pada kepentingan-laki-laki ketimbang pada manusia seluruhnya.
Kaum ekosofis melihat dasar kesenjangan yang dilihat kaum feminis itu hanyalah manifestasi kepongahan manusia pada spesies lain atau alam pada umumnya. Manusia merasa bahwa alam itu berada di bawahnya. Oleh karena itu penaklukan alam oleh manusia melalui sains menjadi suatu kewajaran, Pandangan bahwa alam itu feminin mengimbas pandangan dominatif itu pada maskulinisme yang menganggap perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Antroposentrisme maskulinistik ini harus diganti dengan pandangan biosentris yang lebih komprehensif.
Kaum etnoreligius melihat bahwa antroposentrisme maskulinistik ini adalah khas pandangan manusia Barat. Agama-agama tradisional Timur tidak melihat adanya kesenjangan antara manusia dan alam. Agama Timur justru melihat kesetaraan antara manusia dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Jadi untuk mencegah krisis lingkungan dan lain sebagainya sebagai dampak pengembangan dan penerapan sains maka perlu dilakukan proses dewesternisasi paradigma sains modern. Hanya dengan dewesternisasi sains itulah bumi dapat diselamatkan.
Pergeseran Paradigma
Karena adanya berbagai kritik eksternal itu maka timbullah sebuah gerakan mencari paradigma baru yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Misalnya Fritjof Capra, yang memeriksa kembali fisika relativistik dan fisika kuantum, segera melihat adanya kesejajaran deskripsi fundamental alam para para pelopor fisika modern Barat itu dengan deskripsi pengalaman mistis para mistikus agama-agama tradisional Timur. Oleh karena itu dia pun menghancurkan kepongahan Barat terhadap Timur dengan bukunya yang terkenal di tahun 70-an berjudul The Tao of Physics. Dengan buku ini dia merombak filsafat dasar sains yang positivistik.
Karena tesisnya yang kontroversial itu dia pun diundang ke dalam berbagai forum diskusi di kampus-kampus universitas di seluruh dunia. Melalui forum-forum itu sadarlah dia bahwa perubahan paradigma yang disarankanya untuk fisika itu juga berlangsung pada disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Ilmu kedokteran misalnya telah bergeser dari pandangan somatosenris ke pandangan psikosomatis yang lebih integral. Ilmu ekonomi misalnya telah bergeser dari pandangan antroposentris ke pandangan yang melibatkan ekosistem biologis. Ilmu biologi sendiri bergeser dari pandangan reduksionis seluler yang mekanistik ke pandangan holistik biogeologis yang lebih organismik. Ilmu psikologi pun bergerak dari behaviorisme yang materialistik ke transpersonalisme yang melibatkan spiritualitas manusia.
Melihat adanya kesamaan antara pergeseran paradigmatik di berbagai bidang keilmuan itu, maka dia pun, dalam bukunya kedua "The Web of Life", mencanangkan lahirnya paradigma sains baru yang disebutnya sebagai paradigma holisme pasca-Newtonian yang ekologis menggantikan paradigma atomisme Newtonian yang mekanistik. Dalam pandangan paradigmatik baru ini alam semesta bukanlah sebuah kumpulan partikel-partikel materi melainkan sebuah jaringan proses-proses energi yang berjenjang dari yang kecil hingga yang besar. Menurut Capra proses-proses itu bersifat swa-organisasi dari sistem kimia yang bersifat disipatif, sistem biologi yang bersifat otopuitis hingga sistem sosial yang bersifat otoreflektif. Stiap tingkatnya proses-proses swa-organisasi itu memunculkan tingkat kompleksitas baru sehingga pada tingkat biogeologis dibutuhkan sebuah kompleksitas baru.
Sebagai implikasi transformasi paradigmatik itu metodologi sains yang rasinal analitis dab reduksionis linier itu harus dilengkapi dengan yang intuitif sintetis danholistik non linier. Begitu pula etika sains yang menekankan kompetisi ekspansif dan dominasi kuantitatif harus diganti dengan yang menekankan kooperasi konservatif dan kemitraan kualitatif.
Semua itu berarti bahwa etika lingkungan harus dibangun berdasarkan asas-asas keseimbangan, keselarasan dan kelestarian. Sengan tampak bahwa transformasi padigma sains in mengintegrasikan kembali etika keilmuan dengan etika lingkungan yang merupakan bagian dari wawasan holistik agama-agama Timur.
Dengan demikian etika kelimuan, etika kemasyarakatan dan etika lingkungan dapat menjadi landasan filosofis peradaban teknologis masa depan yang serasi dengan kehidupan planeter bumi yang seutuhnya dalam kedamaian, keamanan dan kenyamanan yang senantiasa.
No comments :
Post a Comment