Thursday, May 08, 2014

Angka Arab Masuk Eropa

Angka Arab
Memasuki Eropa



Penggunaan sistem desimal di anak benua India telah ada selama setidaknya 2.500 tahun, meskipun demikian itu  di Barat disebut sebagai angka Hindu-Arab atau sistem angka Arab, karena datang ke Eropa melalui peradaban Islam di Arab yang memakainya setelah penaklukan Persia yang pada gilirannya telah mengadopsi sistem India terlebih dahulu.


Segmen penuh ( 4x5 inci ) dari ukiran dari Abraham Rees (1743-1825) ensiklopedia besar Universal Dictionary of Arts, Sciences, and Literature dan dicetak di London pada tahun 1820 , walaupun merupakan "adaptasi " dari tabel yang dibuat oleh JE Montucla dalam bukunya Histoire de la mathématique , yang diterbitkan pada tahun 1757 :Number history315 

Penggunaan notasi aritmetika yang tersebar di Eropa relatif lambat di masa Abad Pertengahan, mengambil mungkin dua ratus tahun untuk akhirnya mencapai ke Inggris di abad ke-11.
Number history316
Gambar di atas adalah detail indah koleksi " kuno karakter aritmatika " , termasuk notasi untuk angka 1 sampai 9 dengan " Boethius , Plenudes , al Sephadi , Sacro Bosco , India , Roger Bacon , dan AL Sephadi " .

Anicius Manlius Severinus Boethius yang biasa disebut Boethius ( 480-524 M ) , menulis kitab Arithmetic (berdasarkan karya Nicomachus yang hidup pada tahun 60-120 M) yang merupakan salah satu karya klasik besar matematika di abad pertengahan . Dia mengatakan kaum  " Pythagorians " telah memperkenalkan notasi numerik, meskipun tidak jelas apa sebenarnya yang dia maksud. Mungkin maksudnya adalah notasi yang digunakan oleh bangsa-bangsa di Timur . Notasinya untuk 1, 8 dan 9 adalah apa yang kita kenal sekarang , dan untuk  2 dan 5 adalah sama tetapi terbalik ; sedangkan notasi untuk 3,4,6 dan 7  tidak sangat dikenali . Terjemahan buku Anicius Manlius Severinus Boethius ada di Proyek Gutenberg dan entri untuk Boethius ada di ensiklopedia filsafat Universitas Standford.

Pada tahun 776 M daulah Umayyah telah mulai mengambil bentuknya. Pada masa itu ada referensi  menegenai transmisi angka India dalam sebuah karya al- Qifti Kronologi Para Ulama yang ditulis sekitar akhir abad ke-12 , tetapi mengutip sumber-sumber jauh lebih awal :
    ... Seseorang dari India memperkenalkan dirinya di hadapan Khalifah al- Mansur pada tahun [776 M] yang berpengalaman baik dalam metode  perhitungan Siddhanta terkait dengan gerakan benda-benda langit , dan memiliki cara menghitung sebuah persamaan berdasarkan setengah - busur [ dasarnya sinus ] dihitung setengah-derajat ... ini semua yang terkandung dalam sebuah karya ... dari mana ia mengaku telah mengambil setengah - busur dihitung dalam satu menit .
Khalifah Al - Mansur memerintahkan buku ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan pekerjaan yang harus ditulis, berdasarkan terjemahan itu, agar supaya orang-orang Arab memiliki dasar yang kokoh untuk menghitung pergerakan planet-planet. pekerjaan itu kemungkinan besar telah Brahmasphutasiddhanta ( Pembukaan Semesta ) yang ditulis Brahmagupta pada  tahun 628 . 
 
Teks Arab pertama yang ditulis untuk menjelaskan sistem bilangan India ditulis oleh al - Khawarizmi. Teks Arab itu hilang tapi terjemahan Latin abad kedua belas, Algoritmi de numero Indorum (dalam bahasa Inggris Al - Khwarizmi on Hindu Art of Reckoning ) memunculkan kata algoritma berasal dari namanya dalam judul . Teks latin itu menggunakan angka-angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 0 .
 
Sekitar pertengahan abad kesepuluh al-Uqlidisi menulis Kitab al-fusul fi al-hisab al-Hindi which is the earliest surviving book that presents the Indian system. Dalam kitab tersebut al-Uqlidisi memaparkan manfaat praktis sistem tersebut.

Angka Arab muncul untuk pertama kalinya dalam Codex Vigilanus yang disalin oleh seorang biarawan di Spanyol pada tahun 976. Fibonacci menulis Liber abaci yang diterbitkan di Pisa pada tahun 1202 menggunakan angka-angka arab dalam perhitungannya.

Maximus Penudes,  lahir pada tahun 1260 di kota Nikomedia , Byzantium , [ sekarang İzmit , Turki ] dan  meninggal 1310, di Konstantinopel. Dia adalah seorang teolog , sarjana , dan penerjemah buku-buku matematika dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Yunani . Dia menggunakan notasi untuk bilangan 1 sampai dengan 9 mirip dengan angka-angka yang kita gunakan sekarang. Notasi itu sama miripdengan notasi angka yang digunakan oleh matematikawan dan filsuf dari Arab bernama al Sephadi yang hidup di abad ke-13. Penudes mengatakan bahwa notasinya berasal dari India.


Sacro Busto , atau Sacrobosco (juga disebut John atau Johannes Halifax , Holyfax , Holywalde , Sacroboscus , Sacrobuschus , de Sacro Bosco , atau de Sacro Busto), adalah seorang anggota Ordo St Agustinus dan seorang profesor matematika dan astronomi / astrologi di Paris sekitar tahun 1230. ( Ada banyak tempat dikaitkan untuk menjadi tempat kelahirannya , tetapi tampaknya cukup yakin bahwa ia setidaknya dididik di Oxford . ) Ia menjadi anggota terhormat di kalangan intelligensia , dengan ketenarannya di abad kemudian datang melalui tiga karyanya yang masih digunakan sebagai rujukan ilmu matematika dan astronomi. Ketiga buku itu adalah De algorismo , De computo , dan De sphaera .   

Roger Bacon adalah seorang Doctor Mirabilis dari Inggris yang mengajar di Oxford dan kemudian di University of Paris. Bacon membuat langkah besar menuju pembentukan metode ilmiah , dan pada abad ke-13 menggunakan notasi numerik cukup modern kecuali untuk 2,  4, dan 5.

Keadilan Hukum Sultan Iskandar Muda

Keadilan Hukum Sultan Iskandar Muda


http://inbandaaceh.com/wp-content/uploads/2013/04/Sultan-Iskandar-Muda-Aceh.jpg

Kesultanan Aceh tahun 1636, Seorang Sultan Perkasa – Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam – yang menguasai Sumatera dan Semenanjung Malaka sedang berdiam diri dalam istana. Sultan merenung di Balairung yang juga tidak jauh dari Balai Cermin yang agung. Sumatera dan Malaka sudah dalam genggamannya. Namun, ia pun melihat Portugis, Inggris, dan beberapa Negara Eropa lain sedang mengincar penguasaan Selat Malaka.

Beliau telah memerintah Aceh dan daerah taklukannya hampir 30 tahun. Ia seorang pribadi yang kuat dalam arti yang sebenarnya secara fisik dan mental. Seorang bangsawan yang cerdas serta tegas. Negarawan yang adil sekaligus politisi dan diplomat yang ulung. Ia adalah Sultan terbesar Aceh yang mampu membawa Aceh Darussalam mencapai kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani.
Dalam kurun hampir 30 tahun masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal Jamaah yang terdiri dari 500 ayat Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah, Ijma’ Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian dilengkapi pula dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada Kaum Wanita.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah dikenal sebuah Kata Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana. Kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup bagi kerajaan dan masyarakatnya untuk mengatur tata kehidupan dalam menegakan kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan masyarakat.

Ditengah perenungannya didalam Istana, Sultan mulai memikirkan kederisasi kepemimpinannya. Ia membutuhkan seorang penerus kerajaan yang kuat yang mampu merpertahankan kekuasaannya dan menjaga Kerajaaan Aceh dan daerah taklukannya agar tidak tunduk pada kekuasaan asing, terutama Portugis dan Inggris yang saat itu terus melakukan provokasi di Selat Malaka.

Terlintaslah pandangannya pada wajah Sang Putra Mahkota – Meurah Pupok – yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut. Anak kesayangannya ini berwajah gagah mewarisi ketampanan wajah sang ayah. Putra Mahkota atau Poteu Cut ini memang masih belia, minim pengalaman. Saat ini sedang menanjak dewasa. Sultan merencanakan untuk memberikan beberapa tanggung jawab kepada Putra Mahkota agar ia belajar dan berpengalaman. Termasuk diantaranya tugas tempur untuk memimpin Armada Laut terbesar Kerajaan yaitu Armada Cakra Donya. Diharapkan dengan berbagai pengalaman penugasan termasuk dengan menjadi Panglima Perang pada saatnya nanti ia mampu menggantikan dirinya untuk menjadi Sultan.

Menurut sebuah riwayat Sultan Iskandar Muda memiliki dua anak, yang pertama adalah Meurah Pupok yang berasal dari istrinya seorang Putri Gayo. Yang kedua adalah wanita yang bernama Safiatuddin yang berasal dari istrinya Putri Pedir/Pidie. Meurah Pupok dikenal sebagai seorang Pangeran yang terampil menunggang kuda. Meurah Pupok menjadi harapan Sultan Iskandar Muda untuk menggantikannya.

Di tengah lamunannya Sultan terpengarah karena tiba-tiba seorang Perwira Muda Kerajaan yang sangat dikenalnya dan merupakan kepercayaannya tiba-tiba menorobos masuk dan langsung berlutut menyembah dirinya. Dengan terbata-terbata Sang Perwira menangis tersedu-sedu sambil menyebutkan bahwa Putra Mahkota Poteu Cut Meurah Pupok telah melakukan tindakan asusila dengan menodai istrinya.

Perwira tersebut langsung membunuh istrinya setelah mengetahui peristiwa tersebut. Namun, untuk Putra Mahkota ia serahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan Sultan. Ia menuntut keadilan kepada Sultan. Selepas ia mengadukan hal tersebut kepada Sultan, Perwira tersebut langsung mencabut rencongnya dan menikam ke hulu hatinya sendiri tanpa sempat dicegah oleh Sultan dan pengawalnya. Robohlah perwira tersebut dan langsung tewas saat itu juga.

Syahdan Perwira Muda ini adalah Pelatih Angkatan Perang Aceh. Ia mengetahui peristiwa tersebut setelah melakukan pelatihan terhadap para prajurit di kawasan Blang Peurade Aceh. Ia sangat kecewa dengan peristiwa yang melibatkan istrinya tersebut. Kekecewaan tersebut ia tumpahkan dengan membunuh istrinya sendiri kemudian ia sendiri bunuh diri di hadapan Sultan.

Tercenunglah Sultan dengan wajah bergetar menahan amarah. Ia baru saja menaruh harapan terhadap Putra Mahkota, namun peristiwa yang baru terjadi bagaikan petir yang menyambar dirinya. Seorang Perwira kerajaan kepercayaan dirinya menyampaikan pengaduan yang membuat dunia ini seolah-olah runtuh. Putra Mahkota kesayangannya telah melakukan tindakan yang tidak patut.

Segera Sultan berteriak garang disaksikan orang-orang penting Kerajaan dan para pengawalnya, “Aku adalah Sultan Penguasa Aceh, Sumatera dan Malaka. Aku telah memerintah Aceh dan taklukannya dengan menegakan hukum yang seadil-adilnya. Aku pun akan menegakan hukum terhadap keluargaku sendiri. Aku pun akan menerapkan hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.”

Semua pembesar kerajaan tercenung. Sultan segera memerintahkan penangkapan Putra Mahkota Meurah Pupok yang bergelar Poteu Cut atau Sultan Muda. Pengadilan segera dilakukan dan Sultan Iskandar Muda telah memutuskan bahwa ia sendirilah yang akan memancung putra kesayangannya itu. Mendung menggelayut di atas Kerajaan Aceh, prahara telah menghantam negeri perkasa ini.

Beberapa pembesar kerajaan yang peduli terhadap kelangsungan kerajaan bersepakat untuk menghadap Sultan Iskandar Muda agar membatalkan hukuman pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti pengampunan atau cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain. Termasuk mencari kambing hitam, mencari seorang pemuda lain untuk menjadi pesakitan menggantikan Putra Mahkota. Semua usul tersebut ditolak oleh Sultan dan dengan berang Sultan berkata, “Akulah yang menegakan hukum di negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak terkecuali terhadap keluargaku sendiri harus dihukum. Kerajaan ini kuat karena hukum yang ditegakan dan adanya keadilan.”

Sultan kemudian menyebut dalam bahasa Aceh, “Gadoh aneuk meupat jrat, gadoh hukom ngon adat pat tamita? Hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang hendak kemana kita mencarinya?”

Semua pembesar kerajaan terdiam tak kuasa membantah titah Raja Perkasa yang adil ini. Mereka mulai membayangkan bagaimana masa depan negeri ini. Bahkan Menteri Kehakiman pun yang bergelar Sri Raja Panglima Wazir berusaha membujuk tetapi Sultan tetap tidak bergeming. Sultan berketetapan hati tetap melaksanakan putusannya. Sultan sendiri dengan tegas mengatakan apabila tidak ada seorang pun yang mau melakukan hukuman ini maka ia sendiri yang akan melakukannya. Pada hari yang ditentukan dilaksanakanlah hukuman pancung tersebut yang langsung dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap Putra Mahkota kesayangannya.

Di bawah linangan air mata masyarakat yang mencintai Sultan dan Putra Mahkotanya disaksikan pembesar kerajaan yang berwajah sendu dan tertunduk tidak mampu menatap kejadian tersebut, Sultan Iskandar Muda dengan tegar melaksanakan hukuman pancung terhadap Putra Mahkota kesayangannya itu. Langit kerajaan Aceh menjadi mendung kelabu.

Rakyat kebanyakan maupun pembesar kerajaan banyak yang tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Putra Mahkota. Mereka semua menaruh harapan besar terhadap Putra Mahkota sebagai pewaris kerajaan dan turunan langsung Sultan Iskandar Muda. Tetapi hukum telah ditegakan dan Sultan langsung yang melaksanakan keputusan tersebut.

Atas keputusan Sultan Iskandar Muda pula jenazah Meurah Pupok tidak dibolehkan untuk dimakamkan dikompleks pemakaman kerajaan. Pemakaman kerajaan disebut dengan Kandang Mas yang berada dilingkungan Keraton Darul Donya. Jenajah hanya dimakamkan disuatu kompleks di luar area Keraton yaitu didekat lapangan pacuan kuda Medan Khayali.

Waktu terus berjalan, Sultan mulai memikirkan siapa penggantinya. Kemudian berkembanglah sebuah informasi bahwa Putra Mahkota Meurah Pupok yang bergelar Sultan Muda Poteu Cut, memang sengaja disingkirkan oleh sebuah konspirasi. Oleh sekelompok orang tertentu yang tidak menginginkannya menjadi Raja atau Sultan, mencoba mencari berbagai cara untuk mencegahnya menjadi Sultan. Kelompok ini tidak berani berhadapan secara langsung dengan Sultan atau melakukan tindakan gegabah. Mereka berusaha menjebak Putra Mahkota dengan berbagai cara. Dicarilah akal bulus untuk menggoda Sultan Muda yang sedang menanjak dewasa ini. Sebagai pria muda ia dianggap akan mudah tergoda dengan wanita.

Akhirnya ditemukan seorang wanita jelita yang kebetulan pula istri seorang Perwira Kerajaan dan kepercayaan Sultan Iskandar Muda. Karena istri seorang perwira kepercayaan Sultan, wanita ini dengan mudah masuk kedalam lingkungan Istana. Sehingga ia dengan mudah bergaul di istana dan mendekati Pangeran Muda yang tampan yang juga adalah seorang Putera Mahkota. Akhirnya akibat godaan sedemikian rupa Sultan Muda terjebak kedalam skenario yang dibuat oleh konspirasi jahat yang bertujuan ingin menjebak dan menyingkirkannya. Akhirnya sebagaimana diketahui bersama konspirasi jahat itu berhasil menyingkirkan Putra Mahkota Sultan Muda yang bernama asli Meurah Pupok.

Informasi ini sampai ketelinga Sultan Iskandar Muda, namun semuanya telah terjadi. Ia mulai membayangkan Putra kesayangannya tersebut yang juga Putra Mahkota yang kelak diharapkan melanjutkan kepemimpinannya. Terbayang olehnya akan wajah seorang pemuda tampan namun minim pengalaman.

Di tengah usianya yang menanjak dewasa sangat mungkin ia mudah tergoda. Sultan mulai menyesali kealpaannya dalam mengawasi Putra Mahkota kesayangannya itu. Ia dirundung kesedihan mendalam. Kesedihan yang terus menerus ini membuat Sultan jatuh sakit. Sakitnya berlangsung terus dan semakin parah. Dalam beberapa waktu kemudian Sultan Iskandar Muda yang perkasa ini akhirnya mangkat tepatnya pada tanggal 27 Desember 1636.

Sulthan Iskandar Muda: the Greatest King of Aceh

Sulthan Iskandar Muda the Greatest King of Aceh



Kisah Sultan Iskandar Muda Tegakkan Had pada Putra Mahkota

A. Pendahuluan

Dengan Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), dan juga Pase (1522), banyaklah pedagang yang mencari pangkalan baru di Aceh. Kemudian timbullah suatu kerajaan di Aceh. Aceh mewakili pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke Seluruh wilayah Asia Tenggara.

Karena itulah Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah. Pada pertengahan abad ke XII.M Kerajaan Indra Purba (Lamuri) mendapat serangan dari dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh “Puteri Nian Nio Liang Khi” (Putroe Neng), yang memerintah masa itu adalah Maharaja Indra Sakti.

Dalam suasana peperangan inilah datang rombongan Syah Hudan (Syekh Abdullah Kan’an) yang terdiri dari 300 umat Islam yang datang bersama keluarganya, Termasuk Meurah Johan. Mereka datang dari Perlak. Pasukan Putroe Neng berhasil dikalahkan oleh mereka. Dan kemudian Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyat Indra Purba masuk Islam.

Maharaja Indra Sakti menikahkan putrinya dengan Meurah Johan. Sehingga setelah raja wafat kedudukannya diambil alih oleh Meurah Jauhan, dan mendirikan negara dengan nama “Kerajaan Darussalam” pada hari Jum’at bulan Ramadhan, tahun 601.H/1205.M.

Ali Mughayat Syah mempunyai pikiran untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dibawah satu kekuasaan, menjadi besar dan disegani lawan.  Oleh karenanya Dia meminta ayahnya menyerahkan jabatan pimpinan negara kepadanya. Setelah ia menjadi raja, ia berhasil mewujudkan keinginannya, dan juga berhasil mengusir Portugis dari Samudra Pasai.

Pada hari Kamis, 20 Februari 1511 diproklamirkanlah berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayat Syah meninggal pada 12 Zulhijjah 936 (17 Agustus 1530) dan di makamkan di Kandang XII, Banda Aceh.

 Kerajaan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasannya (The Golden Year) pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah pemerintahannya Aceh menjadi sangat besar, kuat, aman, dan makmur, maju dan kaya.

Mengenai Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda sudah ditulis oleh beberapa ahli, diantaranya: Denys Lombard, dengan bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, buku ini menceritakan secara mendetail mengenai tokoh Iskandar Muda dan keadaan Sosial, ekonomi dan politik pada masa itu.

Ali Hasjmy, dengan bukunya yang berjudul “Iskandar Muda Meukuta Alam”, yang merupakan sebuah biografi Iskandar Muda. dan Rusdi Sufi dengan bukunya yang berjudul “Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda”, yang menuliskan mengenai tokoh Iskandar Muda, mencakup segala hal mengnainya, dan hal-hal yang dicapainya selama memerintah, dan lain sebagainya.

1. Rumusan Masalah 

Siapakah Iskandar Muda? 
Bagaimana cara Iskandar Muda mendapatkan tahta kerajaan? 
Bagaimanakah sistem peradilan pada masa Iskandar Muda?

2. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui siapa itu tokoh Iskandar Muda, benarkah cerita-cerita rakyat mengenai tokoh ini, dan untuk mengungkapkan bagaimana kehidupan Iskandar Muda semasa sebelum menjadi Sultan, latar belakang dirinya, dan juga untuk mengungkapkan bagaimana peradilan pada masa itu.

3. Argumen

Selama ini banyak cerita-cerita yang beredar luas dalam masyarakat Aceh mengenai tokoh Iskandar Muda dan kebesarannya. Banyak cerita-cerita ini mulai tidak logis dan terlalu dibesar-besarkan oleh masyarkat. Bahkan mengenai asal-usul Iskandar Muda sering dilebih-lebihkan, seperti dalam Hikayat Aceh yang menguraikan sejarah bermitos sebelum Iskandar Muda.

Pada awalnya dikatakan ada seorang pangeran dari Lamri yang bernama Munawar Syah, keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Dari seorang putri “berdarah putih”, perikahyangan. Sultan Munawar Syah menurut Hikayat Aceh ini adalah moyangnya Sultan Iskandar Muda.

Bahkan nama Iskandar Muda sendiri bukanlah Iskandar Muda, tidak ada teks baik dari Aceh maupun dari Eropa yang menyatakan nama ini. Menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya.

Tampaknya mengenai gelar Iskandar Muda ini merupakan pengaruh dari mitos Iskandar Zulkarnain. Seperti yang diungkapkan oleh Lombard dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ia mengatakan bahwa suatu hal yang pasti¬ ¬— dan yang sudah tentu lebih penting dari hanya sekedar gelar saja — ialah pengaruh mitos Iskandar Zulkarnain.

B. Aceh Sebelum Sultan Iskandar Muda

Kerajaan Aceh Darussalam berawal dari kerajaan Lamuri, dengan raja pertamanya adalah Sultan Alaiddin Jauhan Syah. Namun nama kerajaan saat itu adalah Kerajaan Darussalam. Aceh baru menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, dialah yang mempersatukan kerajaan Aceh di bawah satu negara. Ia mempersatukan negeri Pidir, daya, dan Samudra Pasai dibawah kekuasaannya.

Kerajaan Aceh Darussalam mengukuhkan kekuatannya pada masa Sultan Alaidin Ri’ayah Syah Al-Qahar, pada masanya ia berhasil mengusir Portugis yang mendarat di Ujung Sudeuen. Dia juga Melakukan ekspansi-ekspansi ke banyak Kerajaan, seperti Barus, Batak dan Aru.

 Untuk mejaga keutuhan kerajaan ini Dia menempatkan orang-orang kepercayaannya di daerah-daerah pengaruh kesultanan Aceh. Selain itu usaha yang berhasil dilakukannya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, yaitu dengan meminta bantuan dari Turki Usmani Dalam menghadapi Portugis , mengembangkan perdagangan, yaitu dengan membuka 4 pelabuhan, yakni Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai.

Dalam Bandar-bandar dan pekan-pekan didapati pedagang-pedagang asing dari pelbagai kebangsaan, seperti Arab Cina, dan Persi. Perdagangan Lada sangat maju, sehingga Sultan memperhebat penanaman Lada dengan membuka kebun-kebun Lada Selain itu, Sultan juga mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam yang ada di Timur Tengah, seperti Turki, dan Mesir.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat kerajaan yang masih tersimpan di dokumen Turki, yang dapat ditemukan di rekaman Mühimme yang dikeluarkan oleh Divan-i Humayun . Sultan Aceh yang cukup terkenal selanjutnya adalah Ali Ri’ayat Syah dengan gelar Saidil Mukammil, beliau adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda.

Pada masanya Belanda pertama kali datang ke Aceh yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara. Pada kedatangan yang pertama ini mereka disambut dengan baik dengan Sultan, namun, Karena adanya kesalah pahaman terjadilah pertempuran yang menewaskan Cornelis de Houtman sedangkan saudaranya ditahan bersama dengan sisa-sisa awak kapalnya.

 Namun, Pada tahun 1602 Belanda kembali datang ke Aceh untuk berdamai, dengan membawa sepucuk Surat dari Prints Maurits. Hal ini disambut baik oleh pihak Aceh. Sultan mengirimkan 3 orang utusan ke Belanda Selanjutnya kekuasaan jatuh ke tangan Sultan Ali Ri’ayat Syah yang merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri, akibatnya terjadilah peperangan antara ia dan Raja Hussain Syah.

Pertempuran ini menewaskan Raja Hussain Syah, dan Sultan Iskandar Muda yang membantu Raja Hussain ditawan. Keadaan Aceh sebelum naiknya Iskandar tidak terlalu baik, kerajaan Aceh pada masa sebelumnya merupakan kancah perampokan dan pembunuhan dan ketidak aturan yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya pemerintahan berjalan dengan tidak memuaskan rakyat.

C. Tokoh Iskandar Muda

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar keturunan Raja Darul Kamal, dan dari pihak leluhur ayah keturunan keluarga Raja Makota Alam. Aceh Darussalam sendiri adalah gabungan dari kedua kerajaan ini, sehingga Iskandar Muda berhak sepenuhnya menuntut tahta. Ayah Iskandar Muda bernama Mansyur Syah bin Abdul Djalil bin Al-Kahar. Dengan demikian, beliau termasuk dalam pertalian keluarga dengan sultan Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa binti Sultan ‘Alaiddin Ri’ayat Syah Saidi al-Mukammil.

Menurut Denys Lombard, Iskandar Muda lahir sekitar tahun 1583. Pernyataan ini berdasarkan pada keterangan dari Hikayat Aceh mengenai Perkawinan antara Mansyur Syah dan istrinya. Dan juga berdasarkan keterangan dari Best yang menyatakan pada tahun 1613 menyatakan bahwa umurnya 32 tahun. Sedangkan menurut A. Hasjmy, Iskandar Muda Lahir pada malam menjelang subuh tanggal 22 Rajab 1001 H/1593 M.

Ketika lahir awalnya Iskandar Muda dinamakan Raja Sulaiman. Menurut Hikayat Aceh setelah usia tiga tahun, kakeknya memberi nama kepada cucunya dengan nama Abangta Raja Munawar Syah, kemudian Tun Pangkat Darma Wangsa, kemudian dalam usia yang masih muda bermacam nama sesuai dengan kehebatannya, seperti Pancagah dan lain-lain.

Sedangkan mengenai nama Iskandar Muda menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya. Iskandar Muda telah menjadi piatu semenjak usianya dua tahun. Ayahnya wafat dalam pertempuran di Laut Aru antara Armada Portugis dengan Armada Aceh. Didalam pergaulan taman kanak-kanak, ia selalu bbermain bersama sesarnanya yang diperhatlikan diatas balairong dan ditempat-tempat perjamuan. Selelah selesai mengaji mereka suka mengadakan satu permainan yang dinamakan "MEURADJA RADJA" (beraja-raja).

Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhannya Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun, kakeknya yang menyayanginya secara khusus, memberinya "gajah emas dan kuda untuk permainannya". Selain itu juga sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Pada umur 6 tahun, anak itu sudah berburu gajah Har, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang. Peperangan dengan meriam-meriaman kecil.

Pada umur 9 tahun ia membagi perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertanahan kecil, pada umur 12 tahun ia berburu kerbau Har waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulai bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al-Qur'an. Lalu seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang.

Mengenai sifat Sultan Iskandar Muda banyak berita yang bertentangan satu sama lain. Misalnya sumber-sumber Aceh seperti Bustanul Salatin, memberikan pujian-pujian sifat Sultan ini. Antara lain menyebutkan: "Ialah yang Johan pahlawan lagi perkasa, dan kebijaksanan pada segala barang perkataannya, dan pada segala kelakuannya, dan telah elok sikapnya". Sebaliknya sumber-sumber Barat seperti laporan perjalanan Augustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada tahun 1621 menyebutkan sifat-sifat kekejaman Sultan Iskandar Muda.

D. Penobatan

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sultan Muda merebut kekuasaan dari ayahnya, yang mengakibatkan ia berperang dengan Raja Hussain. Raja Hussain wafat dalam peperangan ini dan Iskandar ditawan. Dalam masa-masa ini lagi-lagi Portugis datang menyerang Aceh pada tahun 1606. Pasukan mereka dipimpin oleh Alfonso de Castro Ketika Iskandar mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada Sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan Portugis. Dan permohonan ini dikabulkan oleh Sultan Aceh.

Kemudian dia dan tentara Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis. Tentara Aceh menang dan berhasil mengusir Portugis dari Aceh. Malam itu juga si Paman dinyatakan meninggal, dan pahlawan hari itu dinyatakan sebagai Sultan menurut Bustan us-Salatin Iskandar dinyatakan sebagai Sultan pada 6 Zulhijah 1015 H (awal April 1607).

Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 Desember 1636. Mungkin kematiannya ini disebabkan karena kena racun yang diberikan oleh para wanita Makasar kepadanya atas perintah orang-orang Portugis. Hal ini dapat diketahui dari laporan Gubernur Jendral Kompeni Belanda di Batavia, yakni Antonio van Diemen. Pada tanggal 9 Desember 1636.

E. Peradilan 

Mengikuti Bustan us-Salatin Iskandar Muda telah melaksanakan undang-undang Islam di Aceh, seperti melaksanakan hukuman hudud bagi pencuri dan penzina. Juga dikatakan dia telah memerintahkan rakyat untuk mengerjakan dengan taan rukun Islam, terutama dalam bidang sembahyang dan puasa.

Dia juga mengharamkan meminum arak dan bermain judi. Undang-undang yang digunakan pada masa ini dikenal dengan nama Qanun Meukuta Alam al-Asyi yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas. Qanun ini menetapkan empat jenis hukum, yaitu:

a. Kekuasaan Hukum, yang dipegang oleh Kadil Malikul Adil.
b. kekuasaan Adat, yang dipehgang oleh Sultan Malikul Adil.
c. kekuasaan Qanun, yang dipegang oleh Majlis Mahkamah Rakyat.
d. kekuasaan Reusam, yang dipegang oleh penguasa tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.

Dalam Qanun Meukuta Alam ini juga disebutkan bahwa dalam memerintah kerajaan, Sultan tunduk kepada Qanun. Sedangkan kadli Malikul Adil, Mufti Empat Besar, Keurukon Katibul Muluk dan Perdana Menteri serta sekalian Menteri Kerajaan Aceh, tunduk kepada Sultan dan juga Qanun. Menurut Augustin de Bealieu pada masa ini ada empat macam lembaga pengadilan di Aceh, yitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang begitu konkret ini menunjukkan betapa pada masa itu Aceh sudah sangat maju dalam hal peradaban.

Pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali pada hari Jum'at di sebuah balai (Bali) besar dekat mesjid utama. Yang mengetuainya salah seorang dari orang kaya yang paling berada. Kegiatan pengadilan perdata ini misalnya dalam hal perkawinan bagaimana pengadilan telah bertindak dengan memberikan surat pengakuan. Pengadilan pidana terdapat dibalai lainnya ke arah gerbang istana. Yang menjadi ketuanya adalah sejumlah orang kaya paling penting. Mereka bergantian dalam memimpin jalannya peradilan.

Pengadilan ini menangani persengketaan yang muncul di kota seperti pembunuhan atau pencurian. Beaulieu mengungkapkan kekagumannya mengenai ketika seorang penjahat ditangkap karena berkelakuan buruk, bahkan oleh gadis muda atau anak kecil sekalipun, ia tidak berani melarikan diri melainkan tetap diam seperti patung.

Mengenai undang-undang yang diterapkan tidak diketahui apa-apa, tetapi cara-cara pemeriksaan dan hukuman yang dijatuhkan cukup keras. "Ujian Tuhan". Hukuman yang paling lazim ialah pukulan rotan yang "bisa dihindari dengan uang mas", artinya dengan membayar denda dan dengan menyogok algojo.

Jika kesalahannya lebih besar, maka orang yang dihukum akan kehilangan sebagian dari tubuhnya: mata dicungkil, hidung, telinga bahkan anggota badan dipancung atau dipenggal. Dalam hal yang belakangan ini, yang dipenggal kaki atau tangan, lalu buntungnya segera dicelupkan ke dalam air dingin dan dibalut dengan "kantung kulit" yang menghentikan perdarahan.

Ketika Bealieu sedang menunggu chappe (cap) dib alai ia melihat seorang laki-laki yang terperkara akibat mengintip istri tetangganya mandi, ia dikenakan hukuman 30 kali cambukan. Tetapi si penjahat bernegoisasi dengan si algojo, ia menawarkan 20 mas dan langsung dibayar ditempat sehingga ia hanya menerima 29 kali cambukan rotan dalam keadaan tetap berpakaian.

 Jika kejahatan dihukum mati, maka si terhukum disulakan, ini berlaku untuk orang kecil, karena orang terkemuka menjalani hukuman mati dengan cara yang lebih "sopan".

Mereka ditempatkan di ladang luas yang tertutup, diberi semacam sabit besar sebagai senjata dan dengan demikian harus membela diri seorang diri melawan segerombolan penyerang — yang pada umumnya terdiri atas sanak saudara keluarga yang dirugikan (terutama dalam hal zina). Maka mereka masih mempunyai harapan.

Dicatat bahwa keempat "merinyu atau sersan mayor" yang tugasnya menjaga ketertiban di keempat daerah kota masing-masing tidak selalu membawa si tertuduh ke pengadilan, tetapi dapat menghukum penjahat, pelaku pencurian kecil-kecilan yang tertangkap basah hingga diikat pada tiang hukuman dan dikenakan denda.

Pengadilan agama dipimpin oleh Kadi. Ia memiliki kekuasaan atas mereka yang dianggap melanggar hukum agama. Mungkin kekuasaan pengadilan itu diperkuat oleh Sultan yang ingin agar dipatuhi aturan-aturan akhlak dan perilaku keagamaan yang baik, yang menurut Bustan us-Salatin ditegakkan olehnya.

Pengadilan niaga berada di dekat pelabuhan, di “Alfandegue” ada "balai tempat diselesaikan segala perselisihan antara pedagang, baik yang asing maupun yang pribumi". Pengadilan ini diketuai "orang kaya Laksamana yang boleh dianggap sama dengan wali kota". Sejumlah besar sida-sida sibuk melaksanakan perintahnya.

Kesimpulan 


 Iskandar Muda adalah anak dari Mansyur Syah Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa. Ia adalah cucu dari Sultan Alaiddin Riayat Syah. Walaupun ia telah menjadi Yatim sejak usia dua tahun ia hidup bahagia dan mendapatkan keahlian yang cukup memadai bagi seorang Sultan dikarenakan ia merupakan cucu kesayangan Sultan Saydil al-Mukamil.

 Ketika berumur sekitar 24 tahun ia menjadi Sultan Aceh, dan mengantarkan Aceh ke puncak kejayaannya. Ia membuat Aceh menjadi sangat aman dan damai dengan diterapkannya Qanun meukuta Alam. Dari undang-undang yang dibuatnya dan lembaga peradilan yang ada pada masa itu telah menunjukkan kepada kita secara garis besar bagaimana majunya Aceh. Dan betapa hak setiap orang harus dihargai semasa itu.

Bahkan orang-orang barat terheran-heran bagaimana setiap orang mematuhi hukum dan tidak mencoba melarikan diri sewaktu ditangkap. Yang perlu kita ingat adalah bahwa memang benar Aceh pernah mencapai zaman keemasan, bukan hanya sekedar cerita rakyat saja. Dan tokoh Iskandar Muda merupakan raja yang sanggat cerdas sehingga mampu mengantarkan Aceh ke zaman keemasannya.

DAFTAR REFERENSI

Amin, Samsul Munir . 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah. Chaidar, Al. 1999.
Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jawa Barat: Madani Press. Djamil, M. Junus. 1968.
Tawarich Radja-Radja Keradjaan Atjeh. Banda Aceh: Adjdam-I/Iskandarmuda. Halimi, Ahmad Jelani. 2008.
Sejarah dan Tamaddun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Unipress Printer SDN BHD. Hasjmy, Ali . 1975.
Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang. Kurdi, Muliadi. 2009.
Aceh di Mata Sejarawan. Banda Aceh: LKAS. Lombard, Denys. 2008.
Kerajaan Aceh Zaman Sulthan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Muljana,Slamet. 2005.
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS. Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. Reid, Anthony dkk. 2011.
Memetakan Masa Lalu Aceh. Bali: Pustaka Larasan. Reid, Anthony. 2010.
Sumatra Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu. Said, Mohammad. 2009.
Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada Medan. Soekomo, R. 1981.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kansius. Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. NAD: Badan Perpustakaan Nangroe Aceh Darussalam. Sufi, Rusdi dkk. 2008.
Aceh Tanah Rencong. NAD: Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam. Sufi, Rusdi. 1995.
Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda. Jakarta: CV Dwi Jaya Karya. Zainuddin, H.M. 1957.
Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda. Zainuddin, H.M. 1961.
Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.