Tuesday, April 22, 2014

Wali Songo Para Utusan Khilafah Utsmaniyyah

Wali Songo Para Utusan
Khilafah Utsmaniyyah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIoEH4EVoOdsurQ8tSDzE6NxaISxSu83Hnx8_Wt5AUpctsYuvVhtT-ly_vOpz2Z2XKP6_3JudZrZNxDP4QPcpoaUi5g7u33bKcbBNeEWZfOq3PWysE2T1-1GRJtNiHucEjXFVE/s1600/Ilustrasi_Walisongo.jpg

Dakwah Walisongo ke timur jauh diambil dari sebuah sumber yang tersimpan di Museum Istana Turki Istanbul, dimana dicatat dalam sejarah bahwa gerakan Walisongo  dibentuk oleh Sultan Muhammad I, pada tahun 1404 M (808 H).

Berdasarkan laporan dari saudagar Gujarat, India, Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta untuk dikirim beberapa Ulama. Maka setelah dikumpulkan, Sultan Muhammad I mengirim 9 orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang dan juga memahami ilmu agama, untuk diberangkatkan kepulau Jawa pada tahun 1404 M, mereka ini dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli tata negara, berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karangan Ibn Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Sheikh Maulana Al Maghribi (1)

Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.

Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).

Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.

Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan.

Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.

Periodisasi Dakwah Wali Songo


Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.

Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).

Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.

Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.

Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.

Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.

Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.

Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.

Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).

Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.

Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.

Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.

Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.

Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.

Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.

Kesimpulan


Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya)

Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.

- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa.

- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina.

- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.

- Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya.

(Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X).

Ringkasan



Wali Songo periode pertama, tahun 1404 – 1435 M, terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli rukhyah.

Wali Songo periode kedua, tahun 1435 – 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim)
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan (W. 1463)
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il)
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar)
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina (W. 1462 M)
8. Maulana ‘Aliyuddin, asal Palestina (W. 1462 M)
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran. (W. 1463 M, makamnya di Iran)

Wali Songo periode ketiga, 1463 – 1466 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan, Banyuwangi, Jatim (tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq)
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir (W. 1465 M)
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko (W.1465 M)
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin)
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin)
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir)

Wali Songo periode keempat, 1466 – 1513 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (w.1481)
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim (w.1505)
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon (pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi)
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (W.1513)

Wali Songo periode kelima, 1513 – 1533 M, terdiri dari:
1. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran, wafat tahun 1517 (tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel)
2. Raden Faqih Sunan Ampel II ( Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri)
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (W.1518)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina (W.1550)
6. Sunan Gunung Jati, asal Cirebon
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim (W.1525 M)
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (W. 1533 M)
9. Sunan Muria, Asal Gunung Muria, [tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga]

Wali Songo periode keenam, 1479 M, terdiri dari :
1. Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), asal Sedayu (Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar)
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak (Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
3. Sultan Trenggana (tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon, (W.tahun 1573)
5. Sayyid Amir Hasan, asal Kudus (tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus)
6. Sunan Gunung Jati, asal Cirebon (w.1569)
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan, asal Lamongan (Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang)
8. Sunan Pakuan, asal Surabaya, (Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat)
9. Sunan Muria, asal Gunung Muria, (w. 1551)

Sebelumnya sudah juga terjadi hubungan dari Raja Sriwijaya Jambi pada tahun 100 H (718 M) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang beragama Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.

Sumber

Thursday, April 03, 2014

Integralisasi Peradaban Teknologi



INTEGRALISASI PERADABAN TEKNOLOGI
sebuah refleksi integralisme Islam


Armahedi Mahzar (c) 2013

Alhamdulillah Tribute Lecture for Armahedi Mahzar telah berlangsung secara lancar dengan menghadirkan pembicara-pembicara muda yang telah membahas integralisme dari berbagai sisi. Tentunya saya sangat berterima kasih atas apresiasi dan kritik terhadap wawasan integralisme yang selama ini telah saya kembangkan. Setelah mendengarkan berbagai sudut pandang  terhadap wawasan integralisme tersebut, saya mencoba menekankan kembali beberapa aspek integralisme yang pada ujungnya adalah upaya integralisasi peradaban dunia yang sekarang cenderung didominasi oleh teknologi.
Integralisasi peradaban teknologi itu pada dasarnya sebuah tahap akhir dari proses tazkiyah atau pensucian. Tazkiyah adalah esensi dari rukun Islam jika ditinjau dari kehidupan di dunia. Tahap-tahap tazkiyah bermula dengan tataran diri pribadi (tazkiyah al-nafsi)  lalu tataran kelompok (tazkiyah al jama’ati), tataran masyarakat (tazkiyah al-ijtima’i), tataran bangsa (tazkiyah al-ummati) dan berakhir pada tataran ummat sedunia (tazkiyah al-madaniyati). 

Oleh karena terdapat kesejajaran antara seorang pribadi sebagai sebuah organisme dan sebuah peradaban sebagai mega-organisme, maka kita akan mengambil tahap-tahap tazkiyah al-nafsi sebagai pola untuk reintegralisasi peradaban teknologi. Namun untuk bisa lebih mudah memahaminya ada baiknya jika kita memperhatikan dinamika perkembangan peradaban teknologi dalam pandangan integralisme.

Multilektika Integralitas:
Dinamika Sistem Integral

Jadi sebenarnya sistem integral atau integralitas mempunyai prinsip dinamikanya sendiri yang saya sebut multilektika. Sayangnya saya tak pernah menuliskannya dalam buku, namun secara lisan selalu saya sampaikan dalam diskusi antarpribadi ataupu diskusi-diskusi kelompok. Neo-adaptasionisme biologis mewujud dalam pasar bebas dalam atau liberalisme ekonomi dan mewujud sebagai demokrasi dalam politik. Dalam sektor budaya ada pasar bebas gagasan yang kini disebut sebagai multi-kulturalisme. Neo-adapsionisme, liberalisme, demokrasi dan multikulturalisme adalah pewujudan dari multilektika integralitas.

Dengan multilektika sebuah sistem integral berinteraksi melalui kompetisi dan koperasi dengan sistem-sistem lainnya membangun sistem-sistem baru yang lebih tinggi. Dalam tataran gagasan dan wawasan, setiap tesis harus melawan atau bergabung banyak altitesis untuk membangun supratesis-supratesis baru. Sebagai contoh di Eropa strukturalisme dan pos-strukturalisme bergabung menjadi plastisisme dan bentuk-bentuk dialektisisme lain, seperti misalnya strukturasionisme Anthony Giddens , dan sintesa fenomenologi dan strukturalisme oleh Pierre Bourdieu dalam sebuah praksisisme.

Itu pula yang saya lakukan ketika mengadu strukturalisme dan isme-isme Barat lainnya dengan islamisme sehingga menghasilkan wawasan integralisme yang herannya merupakan reformulasi baru dari filsafat tradisional Islam yang ternyata merupakan esensi struktural dari filsafat-filsafat tradisional lainnya baik dari Barat maupun dari timur. Perjenjangan materi-energi-informasi-nilai-sumber bukan hanya ada dalam tasauf, fiqh dan kalam Islam tetapi juga dalam konsep manusia dan alam filsafat agama-agama tradisional lainnya.

Multilektika inilah yang menjadi esensi dari proses evolusi/involusi yang berjalan dari Yang Tunggal Mutlak ke yang aneka nisbi dan dari proses devolusi/envolusi dam proses yang berjalan sebaliknya. Proses pertama itu adalah proses konstruksi dan proses kedua adalah proses dekonstruksi. Proses konstruksi/dekonstruksi itu berjalan terus menerus tanpa hentinya sehingga akhir zaman. Pada tataran terkecil materi itu adalah proses kreasi/anihilasi partikel elementer. Pada tataran pribadi proses itu adalah proses kelahiran/kematian dan pada tataran peradaban, proses itu berjalan sebagai kebangkitan/kejatuhan.

Koevolusi Sosio-Teknologi:
Perkembangan Peradaban Teknologi

Sebagai dampak dinamika mutilektik itu dalam perjalanan sejarah, teknologi dan peradaban berkembang beriringan. Misalnya, Lewis Mumford pada tahun 1930 melihat sejarah pada Technic and Civilization bahwa masayarakat berkembang dari masa Eoteknik  (kira-kira 1000 sampai dengan 1800) tang diawali oleh penemuan jam dan berujung pada penemuan mesin uap.

Kemudian berkembang memasuki masa paleoteknik (1700-1900) di mana kehidupan dibentuk oleh pabrik-pabrik berisikan mesin-mesin uap berbasis batubara yang dijalankan oleh buruh-buruh tak berketrampilan. Masa ini lalu diikuti oleh masa neoteknik (1900-1930 dan seterusnya)  ketika listrik ditemukan sehingga pabrik-pabrik terbebaskan dari dari batu-bara sehingga bisa didirikan jauh dari pegunungan lokasi tambang batu bara.

Belakangan pada tahun 1970 dalam bukunya The Myth of the Machine Vol II: The Pentagon of Power, Mumford mengamati bahwa teknologi mencapai tahap megateknik di mana produksi barang-barang dikendalikan oleh pasar konsumen yang seleranya dibentuk oleh iklan-iklan di media massa koran, majalah terutama radio dan televisi.

Saya memperlengkap pentahapan sejarah teknologi oleh Lewis Mumford itu menjadi 8 tahap memundurkan fase eoteknik menjadi masa ketika ditemukannya pesawat pada setelah revolusi perkotaan dan menambahkan satu masa arkeoteknik (ditemukannya  mesin cetak Gutenberg yang mendorong Renaissance dan revolusi sains) yang mendahului masa paleoteknik (ditemukannya mesin Watt yang melahirkan revolusi industri) dan mencirikan neotelnik dengan ditemukannya generator listrik oleh Faraday).

Saya  menganggap masa megateknik lahir dengan ditemukannya telegraf oleh Marconi dan dan diperkokoh  ditemukannya telefon, radio, film dan televisi. Penemuan Marconi inilah yang saya sebut sebagai revolusi komunikasi yang mendahului revolusi informasi yang berawal dengan ditemukannya komputer elektronik yang kemudian saling terjaring secara global melalui satelit satu sama lainnya dan dengan telepon genggam pintar. Masa akhir inilah yang saya sebut sebagai masa metateknik.

Masyarakat dan teknologi, keduanya mengalami evolusi bersamaan atau koevolusi. Koevolusi itu berkembang dengan cara bertahap yang menunjukkan perubahan karakteristik teknologi yang berkaitan secara umpan balik positip dengan tujuh perubahan revolusiner peradaban menuju suatu keseimbangan baru. Dari peradaban prateknik terdapat tujuh revolusi sosial yang didorong oleh diciptakannya jenis-jenis teknologi dengan karakteristik yang baru. Kedelapan fase perkembangan peradaban teknologi itu ditampilkan pada tabel berikut ini.

Koevolusi Peradaban Teknologi

KARAKTER
TEKNOLOGI
PERADABAN


            
Material
ORGANIK
(tangan)
PRATEKNIK
(perburuan paleolitik)
SUBORGANIK
(perkakas)
PROTOTEKNIK
(revolusi pertanian)
PARAORGANIK
(pesawat)
EOTEKNIK
(revolusi perkotaan)



Energetik
EKSTRAORGANIK
(kincir)
PALEOTEKNIK
(revolusi Gutenberg)
SEMIORGANIK
(mesin  uap)
ARKEOTEKNIK
(revolusi Watt)
SUPERORGANIK
(motor listrik)
NEOTEKNIK
(revolusi Faraday)


Informatik


MEGAORGANIK
(media elektronik)
MEGATEKNIK
(revolusi Marconi)
METAORGANIK
(jaringan telematik)
METATEKNIK
(revolusi Von Neuman)

Kalau kita mengikuti Francois Lyotard, maka era metateknik sekarang adalah era pos-modern yang dicirikan oleh budaya serba pecah (fragmentarisme), serba nisbi (relativisme), serba campur (sinkretisme) dan serba sementara (temporerisme). Di era posmodern ini perubahan-perubahan teknologi berlangsung serba cepat yang dipercepat (akseleratif) sesuai dengan hukum Moore yang berujung pada singularitas teknologi di mana kecerdasan mesin mengatasi kecerdasan manusia.

Singularitas teknologi untuk sementara orang dianggap sebagai krisis lahirnya peradaban baru teknologi di mana manusia akan menjadi abdi-abdi teknologi. Untuk yang lain peristiwa ini adalah kejang-kejang lahirnya makhluk baru di mana semua manusia melebur dengan mesin-mesin dalam satu mega-pribadi transhumanis. 

Tampaknya, tumbuh-kembang peradaban manusia menuju kelahiran mega-pribadi ini mengikuti pola tumbuh-kembang organisme manusia sebagai individu yang mengulangi pola evolusioner biosfera secara keseluruhan. Pada mulanya manusia hidup sebagai makhluk satu sel yang terus memperbanyak diri menjadi janin multiseluler dengan teknologi penyerapan pangan didalam rahim sebagai lingkungannya. Ini adalah tahap pertama tumbuh kembang yang bersifat materi.

Kemudian dia lahir sebagai bayi, mulailah tahap kedua tumbuh kembang seorang anak yang bersifat energetik. Dalam tahap ini si anak yang mengembangkan kemampuan organ luarnya, yaitu kaki dan tangan, sebagai teknologi penyaluran energi internalnya menjadi gerak terkoordinasi. Lalu pada tahap ketiga, yaitu tahap informatik, dia tumbuh sebagai anak-anak yang belajar berbicara dan kemudian bersekolah. Berbicara adalah teknologi komunikasi natural, yaitu bahasa lisan, dan menulis adalah teknologi informasi kultural.

Akhirnya, pada tahap keempat dan terakhir yaitu tahap normatif, manusia menjadi individu dewasa belajar mengembangkan pola-pola koordinasi kerja-sama dalam bentuk asimilasi nilai-nilai kelompok-kelompok sosial multi-organismik secara berjenjang dari keluarga, sekolah, kantor, pasar, negara dan dunia manusia beradab menyeluruh yang meliputi seluruh muka bumi. 

Dengan demikian tampak jelas bahwa manusia secara individu berkembang dari fase material janin, melalui fase energetik anak-anak dan fase informatik remaja sesudahnya menuju fase normatif di masa dewasa. Keempat fase itu menunjukan perkembangan integral di mana hasil dari fase yang terdahulu menjadi bagian penting bagi perkembangan fase yang terkemudian.

Dilihat dari sisi ini etika keluarga, peraturan sekolah, kode etik profesional, hukum dan undang-undang negara serta hukum internasional dan agama dapat dilihat sebagai bagian dari teknologi normatif kolektif yang dimiliki manusia melengkapi teknologi informatik kultural yang dikembangkan manusia sebagai sel-sel peradaban.

Transformasi Religio-Kultural:
 Integralisasi Peradaban Teknologi

Kalau kita perhatikan perkembangan peradaban manusia juga mengikuti fase-fase yang sama. Tiga fase pertama, yaitu fase-fase prateknik, prototeknik dan eoteknik mengembangkan teknologi material. Tiga fase berikutnya, yaitu fase-fase eoteknik, arkeoteknik, paleoteknik dan neoteknik mengembangkan teknologi-teknologi energi. Sedangkan dua fase terakhir megateknik dan meta teknik adalah pengembangan teknologi informasi.  Tampaknya fase informatik ini harus dilengkapi dengan fase normatif yang menyangkut nilai-nilai. Fase inilah yang saya sebut sebagai fase integralisasi.
Mengingat teknologi itu ibarat nafs dari peradaban sebagai mega-organisme, maka proses integralisasi peradaban itu bisa diibaratkan sebagai proses reunifikasi individu manusia terhadap Tuhan penciptanya, maka tahap-tahap proses itu akan mengulangi tahap-tahap reunifikasi individu berupa transformasi psiko-spiritual yang biasanya disebut sebagai pencerahan mistis. Mistisisme dalam Islam disebut tasawuf yang esensinya adalah tazkiyatul nafs. Oleh karena itu proses integralisasi peradaban itu saya sebut sebagai tazkiyatul madaniyah.

Karena perkembangan peradaban teknologi itu mengulangi tumbuh-kembang peribadi manusia, maka sudah selayaknya tahap-tahap tazkiyatul madaniyati meniru tahap-tahap tazkiyatul nafs dalam thariqah. Salah satu model untuk tazkiyatul nafs adalah tahap-tahap spiritual yang diajukan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya: Ihya Ulumuddin alias Revitalisasi Ilmu-ilmu Agama.

Tahap awal dari thariqah adalah taubat (reorientasi) dan tahap akhirnya adalah ridha (akseptasi). Tahap pertama adalah reorientasi tujuan peradaban dari eksploitasi alam menjadi harmonisasi antara alam dan manusia dalam perdamaian yang tunduk pada Yang Maha Pencipta.

Tahap-tahap lainnya adalah shabr/syukr (tabah/terima-kasih) yang menyangkut kondisi dan situasi diri, faqr/zuhd (miskin/prihatin) yang menyikapi lingkungan material,  tauhid/tawakkal (pengesaan/pasrah) yang menyikapi kondisi dan situasi eksternal masa kini, khauf/raja' (takut/harap) yang menyikapi masa depan dan berujung pada ridha/ikhlas dalam menyikapi keseluruhan hidup sebagai anugrah Ilahi.

Shabr dalam hal peradaban adalah reorientasi peradaban dengan menerima keterbatasan sumber daya alam dan syukr dalam peradaban berarti mempertahankan semangat inovasi dalam rangka memakmurkan bumi dengan cara mengangkat alam menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan. Faqr peradaban berarti tidak melakukan konsumsi sumber daya alam secara berlebihan dan zuhd peradaban adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas teknologi.

Tauhid peradaban berarti memandang semua sumber-daya alam, manusia dan teknologi sebagai amanat yang diberikan Yang Maha Pencipta sebagai karunia yang harus dimanfaatkan demi pelaksanaan perintah-perintahNya dan menghindari larangan-laranganNya. Tawakkal peradaban adalah semua keadaan mulai dari sukses tenologi hingga bencana alam adalah ujian dan cobaan dari Yang Maha Pencipta agar kita selalu serasi dengan KehendakNya. Khauf peradaban berarti bahwa kita harus selalu waspada akan dampak-dampak samping negatif dari teknologi di masa depan dan Raja' peradaban berarti bahwa kita harus selalu optimis akan kemampuan manusia untuk mengendalikan dampak-dampak negatif teknologi.

Tahap terakhir ridha peradaban berarti kita harus selalu memandang peradaban teknologi sebagai anugerahNya yang senantiasa dan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan menghindari larangan-laranganNya mencari keridhaanNya. Dengan demikian kita meletakkan peradaban teknologi sebagai perantara antara Yang Maha Pencipta dan alam CiptaanNya sebagai sarana kita untuk memuji dan mengabdi Dia sebagai satu-satunya Pencipta dan Penguasa sekalian alam. Landasan bagi seluruh tahap reintegralisasi peradaban itu adalah Tauhid Wahdatiyah.

Tauhid Wahdatiyah:
Landasan Integralisasi Peradaban

Tauhid Wahdatiyah mempunyai  susunan seperti yang terlukis dalam gambar berikut ini: landasan Din al-Islam adalah Tauhid Diniyah. Tauhid ini adalah landasan bagi peradaban Tauhid adalah Tauhid Madaniyah. Kedua Tauhid itu terintegrasi dengan Tauhid Uluhiah sebagai landasan terdasar dari keseluruhan Tauhid yang juga meliputi Tauhid Rububiyah sebagai dasar semua ilmu dan Tauhid Mu’amalah sebagai pengamalan ilmu.



Tauhid Wahdatiyah


Sebenarnya, kelima aspek Tauhid itu berkaitan dengan kelima nama dan sifat Tuhan yang tercantum dalam tiga ayat pertama dari surat pertama Al-Quran Al-Karim: Allah, Al Rabb, Al-Rahman, Al-Rahim dan Al-Malik.

Keterkaitannya adalah sebagai berikut

1.      Asma ALLAH berkaitan dengan  Tauhid Uluhiyah sebagai kesaksian atau tasyahhud akan keesaan Allah subhana wa ta’ala yang diwujudkan dalam pengabdian atau ta’abbud yang kita laksanakan seumur hidup kita secara sepenuhnya dalam perjalanan kembali menuju haribaanNya

2.       Asma Al-RABB berkaitan dengan  Tauhid Rububiyah sebagi kesaksian bahwa Dzat Allah yang transenden sebagai pencipta seluruh alam-alam nyata dan gaib dalam bentuk pelimpahan Sifat-sifatNya melalui Perintah-perintahNya berupa hukum-hukum alam yang ditaati oleh semua perbuatanNya berupa gejala-gejala alam yang menghasilkan semua ciptaanNya berupa benda-benda alami dari yang terkecil hingga yang terbesar

3.       Asma AL-RAHMAN  berkaitan dengan  Tauhid Mu’amalah sebagai kesaksian bahwa Cinta Allah mewujud dalam kehidupan seluruh makhluk hidup yang bersifat individual dan sosial yang harus direalisasi manusia melalui tazkiyah al-nafsi atau pembersihan diri mencapai nafs al-muthma’innah atau jiwa yang tenang dan melalui tazkiyah al-ijtima’i atau pembersihan masyarakat mencapai qawm al-marhamah yaitu masyarakat yang dikasihi Allah

4.       Asma AL-RAHIM berkaitan dengan  Tauhid Madaniyah sebagai kesaksian bahwa Allah menyayangi manusia yang merealisasikan tugasnya sebagai khalifah Allah atau wakilNya di muka bumi melalui ta’allum atau pencarian ilmu dalam bentuk sains dan budaya yang diikuti dengan tasyakkur atau berterima kasih dalam bentuk pengembangan teknologi dan seni sebagai komponen-komponen peradaban yang Islami dalam rangka memakmurkan bumi melalui peradaban. 

5.       Asma AL-MALIK berkaitan dengan  Tauhid Diniyah sebagai kesaksian bahwa Allah adalah pemilik al-dunya dan al-akhirat yang harus kita jalani sebagai ‘Abd Allah atau abdiNya melalui Din al-Islam yang terdiri dari ‘Aqidah fondasional, Syari’ah kolektif dan Thariqah individual

Akhirul Kalam

Integralisasi peradaban adalah sebuah keharusan di masa kini, karena dia telah sampai pada tahap informatik global. Oleh karena itu hal itu bisa dilaksanakan jika dilaksanakan secara global pula. Untuk itu kita harus dapat menguasai kemudian memproduksi teknologi informasi alternatif  mulai dari piranti lunak protokol internet hingga piranti keras prosesor yang menjadi jantung komputer-komputer yang menjadi simpul-simpul internet alternatif. 

Untuk penguasaan teknologi itu, untuk pertama kalinya adalah memanfaatkan perkuliahan massal online yang sedang mulai menjamur dewasa ini, serta memanfaatkan internet untuk pembentukan jaringan belajar untuk berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi simpul-simpul peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kesadaran ummat Islam sehingga sanggup membangkitkan kembali peradaban Islam yang integral untuk yang ketiga kalinya. Semoga Allah meridhai usaha kita bersama ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.