Saturday, February 07, 2015

Aliran dan Teologi Islam

Aliran dan Teologi Islam Masa Depan

oleh
Abdul Majid


Pendahuluan


Semula, istilah teologi yang kemudian dihubungkan dengan Islam tidak dikenal dalam literatur Islam. Istilah yang populer di kalangan Islam hanyalah: Ushul al-Din, `Ilm al-`Aqaid, `Ilm Al-Kalam, `Ilm Tawhid.[1] Tetapi dalam perkembangan­nya, terutama ketika para ilmuwan Islam mulai bersentuhan dengan kaum intelektual dari Barat (Kristen), istilah teologi[2] lebih cenderung banyak atau populer dipakai ilmuwan bila dibandingkan dengan yang khas atau asli dari dunia pemikiran muslim itu sendiri. Tampaknya, dari segi sosiolinguistik, memang keduanya mengandung nuansa yang sama, yaitu pengetahuan yang membicarakan mengenai siapa Tuhan, dari mana Tuhan, dimana Tuhan, dan ruang lingkup kekuasaan-Nya.

Islam yang kita yakini, ketahui, dan tafsirkan selama ini adalah berasal dari Tuhan, Allah pencipta alam semesta, sejak kenabian Adam as sampai Muhammad saw. Apa saja yang dikehendaki oleh Tuhan selanjutnya disampaikan kepada makhluk-Nya yang berjenis manusia. Manusia diberi akal; melalui akalnya Allah berharap agar setiap manusia mampu menangkap, memahami, menghayati, serta mengamalkan kehendak tersebut. Kehendak dari Tuhan itu diberitahukan kepada manusia melalui para nabi/rasul-Nya agar mereka tidak keluar dari kehendak-Nya. Di sinilah terjadi pertemuan antara wahyu dengan akal. Hasil akal yang bila dioptimalkan  penggunaannya tidak bertentangan dengan wahyu dari Allah, sebab akal adalah alat berpikir, sedangkan wahyu adalah tuntunan atau bimbingan dari Tuhan.

Akal yang diberikan Tuhan kepada manusia sangat strategis dan mempunyai kedudukan tinggi dalam ajaran Islam.[3] Dengan demikian, dalam perjalanan hidup ini, setiap manusia pada dasarnya memperoleh dua “pintu” pengetahuan, yaitu (1) wahyu, dan (2) akal. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah “pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, apakah melalui akal ataukah yang melalui wahyu?” Pertanyaan klasik ini sudah berumur dua ribu tahun lebih, tetapi terus menarik perhatian siapa pun dalam sejarah kehidupan umat manusia sebagai yang disebut oleh A.J. Arberry dalam bukunya, Revelation and Reason in Islam.[4]

Tuhan yang memberitahukan tentang kehendak itu bernama kalam atau wahyu. Kandungan kalam atau wahyu itulah yang kemudian kita kenal dengan ajaran Tuhan. Berdasarkan informasi kalam tersebut – sebagaimana yang termaktub di dalam Alquran – bernama Islam. Ini berarti bahwa Islam adalah nama bagi ajaran Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia agar selama menjalani kehidupannya di dunia tidak salah dalam arti lain, selamat. Seluruh kehendak atau kalam itu bersifat petunjuk atau pedoman kehidupan manusia yang kemudian kita sebut sebagai ajaran Islam.

Apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad pada awalnya tunggal, yakni diterima dan disampaikan oleh satu orang, yaitu Nabi Muhammad saw dan disampaikan serta dipraktikkan langsung oleh beliau semasa hidupnya. Maka, Nabi Muhammad saw saat itu adalah satu-satunya sumber yang menyampaikan Islam, menginterpretasikan wahyu yang diterima dari Allah, serta mempraktikkan bagaimana seharusnya ajaran Islam itu diamalkan. Beliau adalah tempat bertanya dan mengembalikan bagaimana solusi menurut ajaran Islam bila ada masalah yang timbul atau dihadapi oleh umat, baik dalam hubungannya dengan masalah keduniawian maupun masalah keakhiratan.

Sesuai dengan sunnatullah, Nabi Muhammad saw wafat, akal semakin banyak memikirkan berbagai sisi kehidupan, masalah hidup dan kehidupan semakin kompleks, teks wahyu yang termaktub di dalam kitab Alquran membuka peluang kepada siapa pun untuk menafsirkan sesuai dengan masalah kehidupan dan tanggung jawab moralnya, maka wahyu Tuhan tersebut melahirkan berbagai pandangan. Pandangan tersebut berasal dari para ahli agama Islam yang disebut ulama (bukan ahli fiqh saja) dalam upayanya membimbing umat manusia kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Karena berbagai perbedaan yang melatarbelakangi seorang ulama, maka lahirlah kemudian istilah “aliran” atau biasa juga disebut “mazhab”.

Aliran atau mazhab pemikiran Islam itu tidak muncul dari ulama yang bersangkutan, melainkan muncul dari kalangan umat Islam yang menganggap pemikiran ulama tersebut sejalan atau minimal dapat dipahami jalan pikirannya oleh seseorang atau komunitas umat tertentu. Jadi, keterkaitan antara pemikiran seorang ulama dengan umat itu biasanya mengkristal menjadi suatu aliran, yang oleh umat nantinya aliran tersebut dinisbatkan atau dikaitkan dengan pribadi ulama tersebut.

Melalui bab ini, para pembaca akan diajak untuk menelusuri bagaimana latar belakang dan mengapa ada aliran-aliran itu, tak terkecuali dalam bidang teologi Islam; sejarah lahirnya; masalah-masalah apa saja yang menjadi obyek kajiannya; berbagai macam aliran teologi yang berkembang di kalangan umat Islam; implikasi-implikasi apa saja yang muncul di kalangan umat dengan adanya aliran-aliran teologi Islam itu; aliran teologi Islam apa yang relevan dengan dinamika umat.

Latar Belakang Lahirnya Aliran Teologi Islam


Dengan membaca berbagai literatur teologi Islam, maka kita akan memperoleh gambaran bahwa teologi Islam ini telah muncul embrionya ketika Nabi Muhammad sudah wafat. Itu artinya, rentang waktunya dengan kita sekarang sudah sekitar 1500 tahun. Jadi, teologi Islam ini adalah ilmu yang tertua sejalan dengan perkembangan umat Islam itu sendiri.

Wajar jika ada pertanyaan, kapan sebenarnya teologi Islam itu muncul di kalangan umat? Jawaban atas pertanyaan ini tidak gampang menjawabnya karena beberapa alasan: (a) tidak adanya kajian ilmiah yang mempelajari atau menerangkan masalah itu, (b) tidak diketahuinya secara persis mengenai bagaimana pemahaman Islam yang konkret dari seseorang atau suatu komunitas umat Islam, (c) tidak adanya kesepakatan dari para ahli yang menekuni kajian teologi Islam tentang awal dan penyebab munculnya teologi Islam, (d) kajian bidang teologi Islam yang dapat kita ketahui hingga sekarang ini telah masuk ke dalam wacana masing-masing tokoh, pemikir, atau pengikut aliran-aliran teologi Islam, dan (e) perlunya dilakukan upaya bagaimana agar kajian ini terhindar dari aliran-aliran teologi Islam yang ada.

Sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa terminologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli terdahulu di antaranya: (1) Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, mendefisikan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela akidah-akidah imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid`ah yang dalam bidang akidah menyimpang dari mazhab salaf dan mazhab ahl al-sunnah, (2) Muhammad Abduh dalam bukunya Risalah al­-Tawhid, mendefisikan ilmu tauhid sebagai ilmu yang membahas tentang Allah, sifat-sifat yang wajib, dan yang boleh ditetapkan bagi-Nya, serta apa yang wajib dinafikan (dinegasikan) dari-Nya, tentang para rasul untuk menetapkan missi mereka dan apa yang wajib dan apa yang boleh padanya dan apa yang boleh dinasabkan kepadanya, (3) Fuad al-Ahwani menyatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang memperkuat akidah-akidah agama dengan argumen-argumen rasional.

Berdasarkan definisi di atas, tampak bahwa ilmu kalam atau tauhid atau teologi Islam adalah ilmu yang penting dan kedudukannya memegang peranan utama dalam upaya memperkuat keyakinan seseorang akan kebenaran ajaran Islam, mempertebal semangat keagamaan untuk terus mengkaji dan menelaah berbagai aspek ajaran Islam sehingga seseorang yang melakukan dan membaca kajian tersebut semakin yakin bahwa apa yang diyakininya sudah benar. Sebaliknya, tidak benar jika ada orang yang berkata bahwa kalau mempelajari ilmu kalam atau tauhid, maka iman atau keyakinan bagi yang mempelajarinya kepada Tuhan semakin tipis, berkurang, bahkan jauh dari itu ada yang sampai tidak melakukan shalat lagi.

Dalam beberapa literatur teologi Islam[5] antara lain disebutkan bahwa ada beberapa sebab mengapa lahir aliran-aliran teologi di kalangan umat Islam. Pertama, karena situasi sosial pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Seperti yang masyhur kita ketahui bahwa pada saat Nabi Muhammad berada di Makkah, Allah mengarahkan rasul-Nya untuk membina dan membimbing mental atau akidah masyarakat di Makkah.

Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan mengapa aspek mental atau akidah yang didahulukan adalah: (a) karena masyarakat Makkah pada saat itu sudah menyimpang dari ajaran Allah, yang terbukti dengan menyembah patung berhala yang dipertuhankan,                 (b) pembinaan mental dan akidah adalah aspek yang paling utama dalam pembinaan dan pengarahan kehidupan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Selanjutnya, ketika Nabi Muhammad berada di Yastrib (sekarang, Madinah al­Munawwarah) Allah mengarahkan Rasul-Nya kepada pembinaan kehidupan duniawi. Perhatian pembinaan ke arah ini karena:                (a) masyarakat di Madinah lebih pluralis, baik dari segi budaya, agama, maupun sosial, (b) kehidupan masyarakat sudah mulai lebih dinamis karena umat Islam pada saat itu telah berhadapan langsung dengan ragam kultur yang berbeda dengan situasi di Makkah.

Kedua, situasi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Adapun masalah utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah: (a) siapakah yang berhak untuk menggantikan posisi nabi, (b) apa kriteria yang dapat dipergunakan untuk menetapkan seseorang yang akan menggantikan posisi nabi, dan posisi apanya nabi yang dapat digantikan dan dilanjutkan, (c) bagaimana proses atau mekanisme untuk memilih atau menentukan pengganti nabi, dan (d) siapa yang memiliki otoritas untuk mencari dan menetapkan pengganti nabi.

Ketiga, implikasi dari penafsiran teks kitab suci dan hadist. Seperti yang kita ketahui bahwa sifat teks kedua sumber itu bersifat umum dan mendasar. Pada sisi lain para pemuka Islam mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan Islam kepada masyarakat. Dalam proses seperti itulah penafsiran dari para ulama terhadap teks tersebut sangat terbuka. Dengan keterbukaan seperti itu, maka akan berimplikasi terhadap adanya pelbagai pendapat serta mendatangkan sejumlah pengikut terhadap Sang Ulama yang bersangkutan.

Keempat, situasi politik di kalangan umat pasca pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ketika Usman bin Affan memegang tampuk pemerintahan sebagai khalifah ketiga. Usman bin Affan pada waktu itu dikuasai oleh keluarga besarnya termasuk sampai pada penggantian semua pejabat negara mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah. Dari tindakan penggantian para pejabat seperti itu menimbulkan mosi tidak percaya yang berakibat munculnya fitnah al-kubra yang berujung pada terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Peristiwa seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.

Sejarah Lahirnya Aliran-aliran Teologi Islam


Setiap peristiwa atau kejadian yang muncul dalam kehidupan manusia, maka pasti akan mempunyai sejarah tertentu. Perbedaannya hanyalah terletak pada seberapa jauh urgensi, kualitas dan pengaruh sejarah itu terhadap kehidupan, baik perseorangan maupun secara perkelompok. Demikian halnya dengan aliran-aliran teologi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.

Catatan beberapa tulisan para ahli teologi atau sejarah Islam lahirnya aliran teologi di kalangan umat Islam sangat bervariasi. Misalnya, kita menemukan penyebabnya karena hal tersebut tidak sependapat dengan gurunya; perbedaan aliran politik.

Bab ini akan mengemukakan aliran-aliran teologi Islam yang dimaksud, yaitu: (1) Qadariyah, (2) Jabariyah, (3) Khawarij, (4) Asy`ariyah, (5) Mu`tazilah, (6) Syi`ah, (7) Salafiah, (8) Ahlussunnah, (9) Sunni, (10) Murji`ah, dan (11) Maturidiyah.

    1.      Qadariyah


Dengan memperhatikan secara cermat latar belakang sosial kehidupan masyarakat Arab yang serba mau dan hanya pasrah pada keadaan yang dialaminya tanpa adanya usaha untuk keluar dari masalah itulah yang menyebabkan para tokoh Qadariyah melahirkan paham ini. Masyarakat pada waktu itu kelihatannya malas, tidak ada keinginan untuk merubah kehidupannya. Termasuk dalam berpikir secara kritis dan rasional.

Menurut dugaan kuat para peneliti teologi Islam, orang yang mempelopori aliran Qadariyah adalah Ma`bad al-Juhani (Nasution, 1972: 32) dan Ghailan al-Dimasyqi. Paham ini dianut oleh keduanya karena dipengaruhi oleh seorang muslim di Irak, yang baru masuk Islam dan sebelumnya beragama Kristen.

Paham atau ajaran utama aliran teologi ini adalah manusia mempunyai kemerdekaan penuh dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

    2.      Jabariyah


Para tokoh aliran teologi ini mempunyai pandangan bahwa manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Tuhan dan diperoleh oleh manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia semua itu karena kehendak semata dari Allah.

Manusia dalam pandangan aliran teologi Jabariyah adalah ibarat wayang yang menunjukkan perbuatannya dan segala perilakunya ditentukan oleh dalang yang memainkannya. Jadi, manusia tidak akan bisa melakukan sesuatu tanpa digerakkan oleh Tuhan. Tanpa adanya gerak dari Tuhan, seorang manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Aliran teologi Jabariyah ini dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar. Al-Najjar antara lain berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, apakah baik atau buruk?.

Paham atau ajaran utama aliran teologi ini adalah manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

    3.      Khawarij


Yang masuk dalam kelompok aliran teologi ini adalah orang-orang yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka keluar karena mereka ingin lebih banyak mendekatkan dan mengorbankan diri karena Allah. Dalam perjalanan aliran teologi ini terbagi menjadi (1) al-Muhakkimah, (2),al-Azariqah, (3) al-Najdat, (4) al-`Ajaridah, (5) al-Sufriah, dan (6) al-Ibadah. Masing-masing sekte aliran teologi ini mempunyai tokoh tersendiri dan pandangan yang dianggap benar sendiri.

Golongan masyarakat yang masuk Khawarij adalah Arab Badwi yang hidup di gurun pasir luas dan tandus membentuk hidup dan kehidupan masyarakat di situ sederhana, praktis, merdeka, dan fanatik pada suatu paham.

Faktor ini rupanya yang membuat kaum Khawarij terpecah belah menjadi beberapa sekte.

Tokoh utama aliran teologi ini adalah: (1) Abdullah ibn Wahb al-Rasidi, (2) `Abd al-Rahman ibn Muljam, (3) Nafi` ibn al-Azraq, (4) Najdah ibn `Amir al-Hanafi, (5) Abu Fudaik, (6) Rasyid al-Tawil, (7) Atiah al-Hanafi, dan (8) Aba al-Karim ibn `Ajrad.

Adapun ajaran atau paham utama aliran teologi ini adalah: (1) orang yang tidak sepaham dengannya dianggap kafir, bahkan musyrik, (2) orang yang tidak sepaham dengan mereka kekal di dalam neraka, (3) orang yang berzina adalah kafir, (4) taqiah atau berpura-pura boleh dalam bentuk perkataan tapi tidak untuk perbuatan, (5) taqiah boleh untuk mempertahankan keselamatan diri dan keyakinan, (6) sanksi perbuatan dosa ada yang diberikan di dunia dan ada yang di akhirat, (7) Tuhan menimbulkan perbuatan manusia, (8) manusia tidak dapat menentang Tuhan, (9) anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh, (10) untuk keamanan diri, seorang wanita muslim boleh kawin dengan lelaki di luar Islam asal tidak berada di wilayah Islam, (11) kufr terbagi dua: bi al-nikmat dan rububiyah, (12) wilayah yang tidak sepaham dengan mereka tidak dikategorikan dar al-harb kecuali camp dan anak perempuan tidak boleh dibunuh, (13) harta rampasan perang hanya terbatas pada keperluan perang, selain itu, dikembalikan kepada pemiliknya, dan (13) surah Yusuf bukan merupakan bagian dari surah Alquran.

    4.      Asy`ariyah


Berdasarkan penelitian para ahli, ternyata nama aliran teologi ini dinisbahkan kepada tokoh utamanya yakni Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy`ari (260-324 H./873-935 M). Sebelum lahirnya aliran teologi ini, Asy`ari adalah pengikut Mu`tazilah. Asy`ari keluar dari Mu`tazilah karena konon ia pernah mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan memperoleh pesan dari nabi bahwa aliran Mu`tazilah adalah salah, tidak benar. Mimpinya itu diumumkan kepada publik dan dari sinilah kemudian ia mendeklarasikan aliran teologinya sendiri. Aliran teologi yang didirikan Asy`ari ini selain karena karena ketidaksepahaman dengan Mu`tazilah, juga karena faktor politis, di mana Mu`tazilah waktu itu sudah tidak memperoleh dukungan politik penguasa.

Adapun pendapat utama dari aliran teologi ini ialah manusia mempunyai daya yang kecil dan karenanya manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Karena itu, aliran teologi ini berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak itu semuanya ada dan bersumber dari Tuhan.

    5.      Mu`tazilah


Aliran teologi ini lahir dari sikap Wasil bin `Ata dalam suatu pertemuan pengajian antara pemuka agama dengan umat, di mana dalam pertemuan itu `Ata tiba-tiba menjawab pertanyaan yang muncul sebelum Hasan al-Basri menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu adalah “Apakah orang yang berbuat dosa besar masih beriman ataukah ia sudah menjadi kafir?” Jawaban yang diberikan `Ata waktu itu adalah “Orang tersebut bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir”.

Selain itu, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa Wasil bin `Ata sebenarnya adalah orang yang menghidupkan kembali paham mu`tazilah yang sudah ada sebelumnya, yakni dari Abu Hasyim Abdullah saudara cucu Rasulullah, Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[6]

Aliran ini sering dianggap sebagai biang keladi masuknya pemikiran rasional, teologi rasional dalam Islam dengan mendewa-dewakan akal serta menomorduakan fungsi, kedudukan dan peran wahyu dari Allah. Pada hal yang sebenarnya adalah tetap menjunjung tinggi dan menempatkan wahyu di atas segala-galanya. Adapun inti ajaran aliran teologi Mu`tazilah ada lima sehingga sering diistilahkan ajaran “Pancasila”-nya Mu`tazilah. Dari kelima ajarannya itu yang paling populer mengenai pelaku orang yang berbuat dosa besar berada pada posisi al-manzilu bain al-manzilatain (berada di dua posisi, surga dan neraka). Dengan pendapatnya yang seperti ini, mereka cenderung mendasarkan argumennya secara rasional bahwa pada hakekatnya semua itu haruslah logis atau dapat diterima oleh akal manusia.

    6.      Syi`ah


Setiap orang yang mendengarkan kata ini (Syi`ah), maka pikirannya segera tertuju kepada keluarga besar Nabi Muhammad, dengan tokoh utamanya adalah saudara sepupu nabi Muhammad yaitu `Ali bin Abi Thalib.

Yang menjadi tokoh sentral aliran teologi ini adalah khalifah `Ali bin Abi Thalib. `Ali adalah satu-satunya pewaris tunggal kepemimpinan dan risalah yang mulanya disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Kelompok aliran teologi ini menganggap bahwa khalifah Abu Bakr al-Shiddiq, `Umar bin Khattab, dan `Usman bin `Affan adalah orang yang tidak memiliki kualifikasi dan tidak kredibel menjadi pemimpin umat Islam. Yang paling layak untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad adalah `Ali bin Abi Thalib.

Salah satu sekte aliran teologi Syi`ah berpendapat bahwa sebenarnya malaikat Jibril salah memberikan wahyu-wahyu dari Allah (Alquran) kepada Muhammad bin `Abdullah bin `Abd al-Muthalib, melainkan kepada `Ali bin Abi Thalib bin `Abd al-Muthalib. Oleh sebab itu, yang berhak menjadi pemimpin di kalangan umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan khalifah `Ali bin Abi Thalib adalah keturunan beliau. Itulah yang disebut dengan ahl al-bayt. Yang banyak meyakini dan melanjutkan paham teologi ini adalah orang-orang Syi`i yang ada di Iran. Sistem kepemimpinan menurut teologi ini adalah imamah.

Aliran Teologi Masa Depan


Untuk menjawab pertanyaan, misalnya, aliran teologi apa yang cocok untuk umat di masa mendatang? Maka untuk menjawab, mengetahui, atau memprediksikan hal tersebut kira-kira corak atau aliran teologi Islam yang sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat Indonesia khususnya adalah susah. Tetapi, untuk memenuhi jawaban itu, ada beberapa segi yang perlu dijadikan standar umum untuk mencari kategori itu.

Pertama, ajaran Islam yang demikian luas dan cenderung untuk bisa “ditafsirkan” oleh siapa pun, maka bisa diduga bahwa paham dan pemikiran seseorang akan semakin dinamis, terbuka, dan moderat (dalam pengertian bisa memahami dan menerima pendapat orang lain). Suasana seperti itu memungkinkan antara lain karena implikasi langsung dari kemajuan sains dan teknologi yang terus berkembang secara dinamis dan inovatif.

Kedua, dampak dari pengetahuan dan pemahaman atau mungkin juga hasil bacaan pribadi seseorang sangat berpotensi menimbulkan intervensi dalam memahami teks-teks kitab suci (Alquran dan Al-Hadist) yang implikasinya mulai terasa di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Implikasi itu ada yang cenderung keras, lunak, dan netral atau moderat. Ketiga sikap umum yang disebutkan terakhir adalah juga tergambar dari paham atau isme yang pernah berkembang dan dikembangkan oleh para tokoh aliran teologi Islam sebagai yang disebutkan sebelumnya.

Ketiga, ada kecenderungan masyarakat kita sekarang ini untuk bersikap terbuka, tertutup, atau mengambil keduanya dalam menghadapi keadaan apa saja. Ketiga bentuk sikap tersebut kalau kita polakan ke dalam aliran­ aliran teologi sebelumnya, seperti kata Nasution,[7] adalah masuk kategori aliran: (1) tradisional, (2) liberal, dan (3)  tradisional-liberal. Yang terakhir disebutkan adalah bahasa lain untuk tidak mengatakan secara langsung rasional. Mungkin yang dimaksud dengan tradisional adalah Jabariyah; liberal adalah Qadariyah; Tradisional-Liberal adalah Mu`tazilah.

Keempat, dalam beberapa kenyataan praktik keberagamaan dan paham keislaman yang berkembang dari para tokoh-tokoh Islam yang dianggap mempunyai pengaruh di kalangan umat Islam Indonesia, ternyata setelah diteliti oleh para akademisi di Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa umumnya mereka berpaham rasional. Artinya, masyarakat muslim Indonesia itu dapat dikategorikan ke dalam corak teologi rasional.[8] Tetapi yang anehnya dalam sikap kesehariannya memperlihatkan sikap yang pasrah. Ini berarti dari segi paham keagamaan rasional, tetapi dalam menghadapi kehidupan sehari-hari bersikap irrasional (pasrah). Jadi, belum ada korelasi antara paham keagamaan dengan masalah hidup keseharian. Selain itu, ada juga kecenderungan masyarakat muslim Indonesia yang ingin menjustifikasi kehidupannya dengan paham atau corak teologi tertentu berdasarkan kasus per kasus. Sikap dan paham seperti ini disebut talfiq.[9]

Catatan Kaki


[1] Dalam tradisi lisan dan tulisan, masyarakat Islam Indonesia pada umumnya menulis kata atau kalimat yang berasal dari bahasa Arab memakai konsep pengucapan dan penulisan dari lafaz ke huruf. Maka, penulisan di atas belum populer, meski secara ilmiah hal seperti di atas itulah yang benar. Yang umum kita ketahui. penulisannya adalah Ushuluddin, Ilmu Aqaid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Tauhid. Yang lebih tidak tepat lagi adalah penulisan yang bersumber dari lafaz masyarakat umum. Sebagai contoh antara lain dikemukakan bahwa penulisan yang benar adalah Dar al-Tawhid, tetapi ditulis Daarut Tauhiid, dan sejenisnya.

Adapun penggunaan istilah yang berbeda-beda disebabkan oleh karena penekanan kajiannya. Dinamai Ushul al-Din karena kajiannya menekankan pada dasar-dasar agama; `Ilm al-`Aqaid karena kajiannya menekankan pada masalah keyakinan; `Ilm al-Kalam karena kajiannya menekankan pada masalah-masalah wahyu Allah sebagai yang termaktub di dalam Alquran; `Ilm Tawhid karena menekankan kajiannya pada masalah-masalah ke-Esa-an Allah swt.

Menurut Harun Nasution di dalam bukunya, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, h.ix-xiii, bahwa yang banyak dipakai oleh umat Islam di Indonesia adalah Ilmu Tauhid karena ilmu tersebut membahas tentang keesaan Tuhan. Meski di dalam ilmu ini hanya berdasarkan pada aliran teologi Asy’ ariyah. Itu sebabnya ilmu ini sempit dan bisa menyempitkan pemikiran umat.

[2] Seluruh kepercayaan yang dianut masyarakat selama ini hanya berhubungan dengan masalah ke-Tuhan-an, maka istilah teologi terus dipakai. Tidak heran bila kita jumpai pula kata: Teologi Kristen, Teologi Katholik, Teologi Hindu, dan sejenisnya. Bahkan gerakan-gerakan masyarakat yang agak bergerak bebas di luar bidang keagamaan yang kemudian dijastifikasi dan melahirkan istilah, misalnya, Teologi Pembebasan. Lihat misalnya, Michael Lewy, Teologi Pembebasan, (diterjemahankan oleh Roem Topatimasang), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.

[3] Lihat selanjutnya buku Harun Nasution, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jakarta, Idayu, 1982. Prof. Dr. Harun Nasution (1919-­2000) adalah orang pertama Indonesia yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang Islamic Studies di McGill University Montreal, Canada pada tahun 1968, mantan Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (LAIN) Syarif Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri, disingkat UIN) Jakarta, dianggap oleh sebahagian pihak orang pertama yang giat mempelopori adanya pemikiran teologi rasional di Indonesia. Lihat misalnya buku, Richard C. Martin, et. al. Post Mu`tazilah, Yogyakarta, IRCiSoD, 2002. Dalam buku ini, Martin sudah membakukan usaha Nasution itu melalui paham tersendiri lewat istilah Harunisme. Mungkin ini terlihat dari buku-bukunya yang menjadi bacaan wajib mahasiswa IAIN seluruh Indonesia dan para mahasiswanya yang kuliah di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini banyak menjadi Magister dan Doktor.

[4] Lihat selanjutnya buku ini pada hal. 7 dan 14.

[5] Untuk kepentingan masyarakat Islam di Indonesia saat ini, dapat membaca buku-buku yang membahas teologi Islam, di antaranya: (1) Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI Press, 1986, (2) Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta, Paramadina, 1999, (3) Harun Nasution, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jakarta, Idayu, 1982, (4) Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995, (5) Richard C. Martin, et. al., Post Mu`tazilah, Yogyakarta, IRCiSoD, 2002, (6) Hamdani, Pendidikan Ketuhanan Dalam Islam, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001, (7) Amin Abdullah, Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, (8) Abdul Azis Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam: Pemikiran Teologis, Jakarta, Beunebi Cipta, 1987, (8) Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Jakarta, Bulan Bintang, 1969, (9) Muhammad Taib Tahir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1966, (10) Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1976.

[6] Untuk mengetahui lebih lengkap riwayat ini, lihat bukunya Nasysyar sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1966.

[7] Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga: tradisional, liberal, tradisional-liberal. Lihat selanjutnya Pendahuluan bukunya, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, Jakarta, UI Press, h. x.

[8] Dalam hubungan ini misalnya, bisa dikemukakan satu di antara sekian banyak bukti ilmiah bahwa HAMKA sebagai ulama, sastrawan yang terkenal, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pertama, yang terkenal lewat salah satu karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar, ternyata corak pemikiran kalamnya rasional. Lihat selanjutnya disertasi (yang telah diterbitkan menjadi buku) M. Yunan Nasution, Corak Pemikiran Teologi Tafsir Al Azhar, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.

[9] Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Majid terhadap sejumlah mahasiswa aktivis masjid kampus di Kota Bandung ternyata ada yang seperti itu. Lihat selanjutnya, Abdul Majid, Corak Pemikiran Teologi Mahasiswa Aktivis Masjid Kampus (disertasi, tidak diterbitkan), PPS IAIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta, 1997.

sumber

Tawhid bang Imad


TAWHID dan KEMERDEKAAN
oleh
IMADUDDIN ABDURRAHIM



 

Mentawhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah kemanusiaan penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran tawhid ini, sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact ini perlu diperbaharui atau dikoreksi oleh Rasul-rasil berikutnya sesudah mengalami beberapa distorsi yang membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu.

Secara individu setiap manusia dilahirkan merdeka. Namun dalam mempertahankan hidupnya manusia pada tingkat awal dari kehidupannya itu terpaksa tergantung kepada manusia lain, yaitu ibunya. Akan tetapi, setiap ibu telah dianugerahi Allah SWT suatu rasa kasih sayang kepada anak yang dilahirkannya sedemikian sempurnanya, sehingga setingkat hanya di bawah sifat Rahman (kasih sayang) daripada Allah sendiri.

Oleh karena kasih sayang ibu yang ditujukan kepada anak-anaknya ini demikian murninya (ikhlash) dan tanpa pamrih sama sekali, maka nilai kemerdekaan si anak tidak akan tercemar oleh sifat ketergantungannya kepada kasih sayang ibu pada awal hidupnya itu. Kasih sayang ibu ini ditopang pula oleh kasih sayang ayah yang tingkat kesempurnaannya setingkat di bawah kasih sayang ibu.

Dengan landasan kasih sayang yang tulus antara sesama anggota keluarga ini, seorang anak akan mulai menjalani hidupnya di tengah-tengah pergaulan sesama manusia. Oleh karena itu pula maka durhaka kepada ibu adalah merupakan dosa yang terberat sesudah syirik, dan tak akan diampunkan Allah selama ibu sendiri tidak mengampunkannya.

Oleh karena kehidupan antar sesama manusia ini senantiasa merupakan proses memberi-dan-menerima (give-and-take) secara terus menerus (langgeng), kehidupan di tengah-tengah keluarga haruslah bisa merupakan persiapan yang cukup untuk menghantarkan seseorang agar dapat hidup ke tengah pergaulan masyarakat dalam proses memberi-dan-menerima secara seimbang.

Apabila ketidak-seimbangan terjadi --ia lebih banyak menerima atau lebih banyak memberi-- maka dengan sendirinya ia dihadapkan dengan suatu tantangan yang menentukan nilai kemerdekaannya, yang akan sebanding dengan nilai dirinya. Kalau ia memberikan response terhadap ketidak-seimbangan ini sedemikian, sehingga ia mengorbankan nilai kemerdekaannya, misalnya menjadi tergantung kepada pihak yang telah terlalu banyak memberi kepadanya, maka harga dirinya sebagai manusia dengan sendirinya jatuh atau sedikitnya menurun. Seberapa jauh jatuhnya ini sebanding dengan seberapa jauh nilai kemerdekaan yang telah dikorbankannya.
Sebaliknya jika dalam memberikan response tadi ia sampai merugikan orang lain berarti ia telah merampas nilai kemanusiaan (kemerdekaan) orang itu, sehingga ia dengan sendirinya telah menobatkan dirinya menjadi penindas hak orang lain itu. Kedua hal yang tak seimbang ini dikutuk oleh Allah, karena berarti manusia yang bersangkutan telah tidak mensyukuri nikmat Allah yang paling utama, yaitu kemerdekaan yang wajib dipertahankan dengan segala pengorbanan yang perlu untuk itu. Oleh karena itu, pergaulan hidup yang seimbang (harmoni) senantiasa menjadi dambaan setiap manusia yang Islam.

Namun dalam kenyataannya, lebih sering terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini, proses pergaulan yang tidak seimbang, sehingga sejak dahulu telah tercipta dalam sejarah kemanusiaan kehidupan masyarakat yang tindas menindas, hisap menghisap, peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu. Semua ini merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak seimbang.

Dapat dipastikan pula, bahwa terjadinya kelas-kelas dan tingkat-tingkat kebangsawanan di dalam masyarakat manusia senantiasa disebabkan oleh mengalahnya kemanusiaan terhadap rencana iblis yang suka menganggap dirinya lebih baik dan lebih mulia dari yang lain, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mungkin mengalahnya kebanyakan manusia, anggota sesuatu masyarakat, terhadap tuntutan sebahagian kecil dari anggotanya akan hak-hak istimewa ini pada mulanya disebabkan oleh rasa takut kepada kelompok yang menuntut, karena kegagahan atau kekuasaan para penuntut ini.
Mungkin pula oleh karena kekaguman masyarakat yang agak berlebih-lebihan kepada kelompok penuntut ini disebabkan jasa-jasa mereka dalam menyelamatkan bangsa atau tanah air ketika berada dalam keadaan bahaya, dan sebagainya. Bukankah yang menjadi idola setiap bangsa di dunia ini biasanya para pahlawan bagi bangsa yang bersangkutan, baik pahlawan di medan perang atau pahlawan di bidang-bidang lain, yang disangka sangat menentukan nasib dan "nama baik" bangsa tersebut?

Iblis, dalam hal ini, hanya tinggal memperbesar saja rasa kekaguman dan penghormatan ini sedemikian, sehingga menjadi "penyembahan". Penulis sengaja memberi tanda kutip pada kata penyembahan di sini, karena ma'na "penyembahan" di sini tidaklah mesti harfiah: rasa hormat dan kagum, yang diiringi sikap patuh-tanpa-tanya, misalnya, termasuk juga dalam arti "penyembahan" ini. Sikap patuh karena kelebihan rasa takut, bahkan rasa ketergantungan kepada sesuatu atau seseorang pun tercakup dalam pengertian "penyembahan" ini.

Oleh karena mudahnya manusia terseleweng ke arah pemujaan akan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dan dikagumi serta dihormati inilah maka sejak dahulu Rasul Allah sangat berhati-hati di dalam mendidikkan sikap tawhid ini kepada para shahabat beliau.

Beliau sampai menolak dan melarang para shahabat memanggil beliau dengan "Saidina" yang artinya "Tuan Kami" (Our Master) demi untuk mencegah pengkultusan pribadi beliau. Walaupun demikian, kita bisa membaca di dalam sejarah, bahwa di antara shahabat ada juga yang hampir tergelincir, maka segera dikoreksi yang lain dengan tegas dan tepat. Salah satu kejadian kiranya perlu dikemukakan sebagai contoh akan betapa halus dan dalamnya sikap tawhid ini tertanam di hati sanubari para shahabat terdekat beliau.

Di akhir hayat Rasulullah, sesudah turunnya ayat terakhir dari al-Qur'an, beliau menyusun suatu barisan yang akan dikirim ke Utara demi mengamankan daerah itu dari incaran dan gangguan tentara Romawi Timur. Namun sebelum barisan ini terkirim beliau jatuh sakit, sehingga pengiriman ini terpaksa ditunda sampai beliau sembuh. Tapi taqdir Allah SWT telah menentukan bahwa beliau tidak sembuh lagi. Setelah beberapa hari sakit, beliau wafat.

Kebetulan ketika itu shahabat terdekat Abubakar Shiddiq sedang keluar kota Madinah mencari nafkah, sehingga Siti 'Aisyah menyampaikan berita wafatnya Rasul itu hanya kepada orang yang kebetulan ada di dekat masjid Rasul itu. Ketika usaha orang ini menyiarkan berita duka ini kepada yang lain terdengar oleh 'Umar, maka 'Umar sebagai orang yang berdarah militer, yang senantiasa berfikir dalam rangka keamanan dan ketertiban segera memberikan reaksi yang agak berlebihan.
"Barangsiapa yang mengatakan Muhammad wafat akan kupenggal lehernya", katanya sambil menghunus dan mengacungkan pedang dengan mata yang galak, karena 'Umar menyangka, bahwa berita buruk seperti itu di saat Rasul sedang berusaha menyusun barisan untuk menyerang Romawi Timur, mesti datang dari agen-agen subversive. Karena semua orang mengenal 'Umar sebagai pahlawan, yang tak kenal mundur berhadapan dengan siapapun, maka tidak ada yang berani meneruskan penyebaran berita wafatnya RasuluLlah itu.

Seorang yang hadir di tempat itu akhirnya mendapat akal dan segera menyelinap meninggalkan suasana tegang yang dibuat oleh 'Umar itu untuk menemui Abubakar. Ketika Abubakar datang beliau segera bisa melihat suasana tegang di sekitar masjid Rasul, dan setelah melihat 'Umar dengan mata yang galak mengacungkan pedang itu, maka beliau segera faham kira-kira apa yang telah terjadi. Beliau segera masuk ke kamar Siti 'Aisyah untuk melayat Rasulullah, yang sudah ditutupi oleh 'Aisyah.

Beliau membuka penutup wajah Rasul, menciumnya dan berdo'a. Setelah menutup kembali wajah Rasul, maka beliau ke luar dan masih mendapati suasana tegang oleh sikap 'Umar yang masih berdiri dengan pedang terhunus dan diacungkan tinggi. Maka Abubakar berbicara dimulai dengan membaca ayat Ali 'Imran 144: "Muhammad itu hanya seorang Rasul; Sebelumnya telah berlalu Rasul-rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tapi barangsiapa berbalik menjadi murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah. Allah memberi pahala kepada orang yang bersyukur."

Setelah membacakan ayat ini beliau lantas mengatakan dengan suara lantang: "Barangsiapa menyembah Muhammad, ketahuilah, bahwa Muhammad telah wafat, tetapi barangsiapa menyembah Allah, ketahuilah Allah hidup selama-lamanya."

Mendengar ayat dan pidato yang tepat dan tajam ini tangan 'Umar menjadi lemas, pedang dan tangannya jatuh ke bawah dan sambil mengucap istighfar pedang itu segera disarungkannya kembali. Walaupun ayat yang dibaca Abubakar itu telah lama dihafalnya di dalam kepalanya, ketika itu seolah-olah ia baru mendengarnya kali itu.

Kalau pribadi seperti 'Umar bisa tersilap dalam keadaan genting, konon pula kita yang beriman tipis ini. Ini membuktikan bahwa bertawhid secara konsisten itu memang tidak mudah. Ia memerlukan latihan berat dengan disiplin pribadi yang ketat.

1. Peranan Akal dan Rasa 

Rasa takut maupun rasa hormat dan kagum serta rasa ketergantungan yang berlebih-lebihan ini akan mudah dikontrol, bahkan bisa dicegah, jika manusia mau dan mampu memanfa'atkan dua fasilitas lain yang hanya dikaruniakan oleh Allah sebagai ni'mat-Nya yang tertinggi kepada manusia. Oleh karena itu kedua fasilitas ini sangatlah penting artinya bagi manusia. Keduanya dikaruniakan Allah kepada manusia dengan percuma, justru sebagai penunjang karunia-Nya yang berupa kemerdekaan tadi.

Kedua fasililas ini ialah 'akal dan rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan ni'mat rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan ke'adilan.

Ni'mat rasa, jika berkembang subur, juga akan menjadikan manusia mampu menghargai (appreciate) keseimbangan dan keharmonian, bahkan akan meningkatkan watak manusia yang sungguh-sungguh mengembangkannya (baca: mensyukurinya) menjadi manusia pengasih, penyayang, pencinta yang senantiasa rindu dan terikat (committed) kepada kebenaran, keseimbangan, keserasian dan ke'adilan. Kerinduan dan keterikatan (commitment) kepada kebenaran dan ke'adilan ini bisa sedemikian rupa kuatnya, sehingga ia siap berkorban, kalau perlu, untuk memperjuangkan dan mempertahankannya. Inilah pula landasan daripada iman, serta penyebab utama tumbuhnya watak khusyu' atau 'asyik (rindu) akan "Kebenaran Mutlak" (Al-Haq).

Oleh karena itu, kedua ni'mat Allah yang paling penting ini wajib disyukuri manusia. Cara mensyukuri keduanya ialah dengan mempergunakan dan mengembangkan kemampuan (potensi) keduanya secara maksimal dan seimbang, dengan mengasah keduanya sampai menjadi alat yang paling ampuh di dalam mempertahankan kemerdekaan tadi. Manusia yang ber'akal cerdas dan sarat 'ilmu serta berwatak cinta akan ke'adilan dan kebenaran (Ulul 'ilmi Qaaiman bil-Qisthi, Q.3:18), pasti akan menolak mentah-mentah setiap macam bentuk perbudakan dan penindasan, walaupun bagaimana halusnya bentuk perbudakan itu, karena ia hanya kenal tunduk kepada Yang Mutlak.
Mensyukuri ni'mat 'akal berarti mengasahnya atau melatihnya untuk memecahkan masalah-masalah 'ilmu pengetahuan semahir-mahirnya. Mengasah rasa ialah dengan melatihnya menghadapi tantangan-tantangan hidup, mendidiknya menjadi cinta, bahkan rindu akan kebenaran dan ke'adilan, sehingga ia berani dan siap berkorban, jika perlu, apabila ia dihadapkan kepada kenyataan, bahwa kebenaran dan ke'adilan itu sedang terancam atau diperkosa oleh siapapun. Masyarakat yang anggota-anggotanya cerdas, ber'ilmu dan terdidik cinta akan kebenaran dan ke'adilan tidak akan pernah bersikap "nrimo ". Di kalangan masyarakat yang ber'ilmu dan berpendidikan tinggi, manusia-manusia yang kejangkitan penyakit iblis --yang berwatak "kibir" atau sombong-tadi biasanya tidak mendapat pasaran."

Kepada manusia yang berkwalitas cerdas, ber'ilmu dan terdidik cinta dan merasa terikat (committed) akan kebenaran dan ke'adilan inilah, ni'mat Allah yang tertinggi, yakni hidayah iman akan dianugerahkan. Memang, ni'mat hidayah iman, dalam arti kata yang sesungguhnya akan diberikan hanya kepada manusia yang berkwalitas tersebut. Tanpa kwalitas seperti itu Allah tidak pernah menjamin akan mengkaruniakannya. Sedangkan seorang jauhari tidak akan memasangkan intan di atas cincin tembaga, konon pula Allah Yang Maha 'Arif. Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya: "Barang siapa ditunjuki Allah, ia mendapat petunjuk (hidayah); barangsiapa yang sesat mereka menderita kerugian." (Q. 7:178).

Ayat ini membuktikan, bahwa nikmat hidayah (iman dan 'ilmu) tidak pernah diberikan Allah secara percuma (gratis). Perbedaan nikmat iman dan 'ilmu dengan nikmat kehidupan dan kemerdekaan, justru dalam hal ini. Nikmat kehidupan dan kemerdekaan diberikan percuma oleh Allah kepada setiap orang, bahkan prasarana dan alat bantu untuk mempertahankan dan memperkembangkannya diberikan Allah dengan percuma pula. Prasarana untuk menunjang kehidupan ini ialah instinct dan nafsu. Tanpa kedua penunjang ini manusia tidak akan dapat mempertahankan hidupnya, oleh karena itu nikmat instinct dan nafsu diberikan Allah gratis dan keduanya berkembang bersama dan sebanding dengan tingkat kehidupan itu.

Nikmat kemerdekaan, sebagaimana yang telah ditrangkan di atas, ditunjang oleh nikmat akal dan rasa, yang juga dikaruniakan Allah gratis. Namun, jika nikmat akal dan rasa ini dikembangkan (disyukuri) secara sungguh-sungguh dan maksimal, maka keduanya akan bisa menjadi sebab datangnya anugerah Allah yang paling tinggi itu, yang hanya dikaruniakan Allah kepada manusia-manusia terpilih, yaitu orang-orang yang berjuang (berjihad) memanfaatkan keduanya secara optimal, itulah yang dimaksud dengan firman Allah: "Mereka yang berjihad (bersungguh-sungguh) di jalan Kami pasti akan Kami tunjuki (beri hidayah) jalan-jalan Kami; Sungguh, Allah bersama orang yang berbuat baik." (Q. 29:69)

Jadi untuk mendapatkan petunjuk Allah yang berupa iman dan 'ilmu secara pasti, manusia perlu berjuang (berjihad), dan karena itu pula perjuangan untuk mencari hidayah ('iman dan 'ilmu), yang jika telah diperoleh akan mampu mempertahankan dan meningkatkan nilai kehidupan dan kemerdekaan, adalah bentuk perjuangan yang dinilai paling tinggi oleh Allah, sehingga orang yang sampai gugur dalam perjuangan ini akan diangkat langsung ke dalam surga Jannatunna'im. Perjuangan seperti ini dinamakan perjuangan menempuh jalan Allah (sabili-Llah) dan mereka yang gugur tidak boleh disebutkan mati, karena pada hakikatnya mereka itu tetap hidup sebagai saksi-saksi kemanusiaan (syuhada). Bukanlah nilai kemanusiaan itu tidak akan pernah mati.
Bagi mereka yang enggan berjuang, Allah tidak pernah menjamin akan menganugerahi mereka hidayah iman dan 'ilmu. Yang dimaksud dengan: "barangsiapa yang sesat" di dalam ayat (Q.7:178) di atas, tiada lain ialah mereka yang tidak dengan sungguh-sungguh mensyukuri (baca: mengembangkan secara maksimal) potensi akal dan rasa mereka. Padahal anugerah yang lain, yang lebih rendah nilainya, misalnya rezeki, tetap dijamin Allah bagi setiap makhluk-Nya yang sudah diberinya kehidupan, bahkan binatang sekalipun. Inilah yang dimaksudkan-Nya dengan ayat-Nya:
"Betapa banyaknya binatang yang tiada membawa bekal, namun Allah menjamin rezeki mereka serta rezeki kamu. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (Q.29:60) 
Ayat yang hampir sama maksudnya ialah (Q. 11:6), juga menjamin disediakannya rezeki bagi setiap yang diberi-Nya kehidupan.
"Tiada yang melata di muka bumi, melainkan tanggungan Allah rezekinya." 
Oleh karena itu, orang yang beriman akan ayat-ayat ini pasti akan menjadi manusia yang berwatak optimis di dalam menghadapi kebutuhan materielnya; ia tidak akan pernah terlalu risau akan rezeki, yang diyakininya pasti akan diperolehnya selama hayat dikandung badan. Yang menjadi fokus perhatiannya di dalam menjalani hidup di dunia ini, ialah bagaimana mempertahankan kemerdekaannya sebagai manusia yang punya harga diri serta bagaimana mempertebal imannya, sehingga betul-betul menjadi manusia bertaqwa yang diredhai Allah Maha Pencipta yang dikasihinya.
Ia merasa tidak perlu menuntut hak-hak istimewa terhadap masyarakat sekitarnya, karena ia yakin bahwa manusia ini sama dan semuanya hamba Allah, dan ia merasa tidak perlu berendah diri terhadap orang lain, karena perbedaan derajat antara manusia di sisi Allah hanyalah diukur oleh mutu ketaqwaan seseorang terhadap Allah SWT. Oleh karena itu pula manusia yang berwatak begini tidak akan pernah bersemangat "nrimo" seperti diterangkan di atas, konon pula berwatak budak terhadap orang lain.
Sebaliknya, manusia seperti ini dalam kesempatan yang bagaimanapun tidak akan menjadi seorang yang otoriter, konon pula seorang tiran, karena ia yakin, bahwa tirani berarti memperkosa hak asasi manusia lain sesama hamba Allah SWT. Dengan kata lain ia yakin, bahwa otoriterisme dan tirani bertentangan dengan kemanusiaan yang 'adil dan beradab.

2. Definisi Tuhan

Demi untuk memudahkan kaji, sebaiknya kita mulai dengan memberikan definisi tuhan, supaya pengertian kita sama. Tentu definisi yang paling tepat ialah yang diambil dari pemahaman akan pengertian tuhan menurut yang dijabarkan di dalam al-Qur'an. Untuk itu, perlu kita sadari dua kenyataan terpenting, yang pasti akan kita peroleh apabila kita kaji dengan sungguh-sungguh kandungan al-Qur'an.

Kenyataan pertama ialah, di dalam al-Qur'an kita tidak pernah menemukan suatu ayat pun yang membicarakan atheist atau atheisme. Suatu hal yang kiranya sangat penting kita fikirkan mengingat kenyataan di zaman modern ini jutaan manusia telah menyatakan diri mereka sebagai "atheist" atau "orang yang tidak bertuhan". Setiap orang yang berideologi komunis mengaku, bahwa mereka tidak bertuhan (atheist). Mendiang Chou Eng Lai, perdana menteri RRC, pernah berpidato di alun-alun Bandung, ketika ia berkunjung ke sana semasa konperensi Asia-Afrika dahulu (1955) dengan bangga mengatakan, bahwa mereka sebagai komunis dengan sendirinya tidak bertuhan. Kalau kita jumlahkan rakyat RRC dengan Rusia ditambah dengan semua negara satelit-satelitnya yang menganut faham komunis, maka kira-kira sepertiga penduduk dunia sekarang ini adalah atheist, jika yang dikatakan bekas perdana menteri Cina itu benar.

Sungguh suatu tanda tanya besar bagi setiap Muslim, yang yakin akan kesempurnaan kitab sucinya. Mungkinkah Allah telah "lupa" menyebutkan kenyataan ini, sehingga al-Qur'an tidak menyebut sama sekali akan atheist dan atheisme ini. Akibatnya, ialah kamus bahasa 'Arab sama sekali tidak mengenal istilah atheist itu. Memang, orang-orang 'Arab modern sekarang ini mempergunakan perkataan "mulhid" untuk "atheist", dan "ilhad" untuk atheisme, namun kalau kita selidiki di dalam al-Qur'an perkataan "mulhid dan ilhad" artinya sangat jauh dari "atheist dan atheisme". Perkataan "ilhad" berasal dari kata "lahada" yang artinya "menggali lobang atau terjerumus ke dalam lobang galian". Ingat, dalam bahasa Indonesia pun kita mengenal "liang lahad", yang berasal dari kata Arab "lahada" ini. "Mulhid" dalam al-Qur'an artinya kira-kira "orang yang terjerumus di dalam kesesatan", jadi tidak ada hubungannya dengan arti harfiah dari atheist.
Kenyataan kedua ialah, perkataan "ilah", yang selalu diterjemahkan "tuhan". Di dalam al-Qur'an dipakai untuk menyatakan berbagai objek, yang dibesarkan atau dipentingkan manusia. Misalnya, di dalam ayat Q. 45:23 dan Q.25:43.
"Tidakkah kamu perhatikan betapa manusia meng-ilahkan keinginan-keinginan pribadi mereka .?"
Dalam ayat Q. 28:38, perkataan "ilah" dipakai olch Fir'aun untuk dirinya sendiri:
"Dan Fir'aun berkata: 'Wahai para pembesar, aku tidak menyangka, bahwa kalian masih punya ilah selain diriku'."
Dari contoh ayat-ayat tersebut di atas, ternyata perkataan "ilah" bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir'aun atau raja, atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Dari dua kenyataan di atas dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut: Tidak adanya perkataan atheist dan atheisme di dalam al-Qur'an membuktikan, bahwa tidak mungkin manusia itu tidak bertuhan.

Faham atheisme adalah omong kosong, tidak logis, dan tidak masuk 'akal. Menurut logika al-Qur'an: setiap orang mesti bertuhan. Alternatip yang mungkin ialah bertuhan satu (monotheist) atau bertuhan banyak (polytheist = bcrluhan lebih dari satu). Oleh karena itu, perkataan "ilah" di dalam al-Qur'an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (muthanna: ilaahaini), dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan tuntas akan masalah ini dapatlah kita buat definisi "tuhan" atau "ilah" yang tepat, berdasarkan logika al-Qur'an sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu).

Perkataan "dipentingkan" hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan definisi al ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al-Tauhid) terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).

Berdasarkan definisi ini dapatlah difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheist, tidak mungkin tidak bertuhan. Berdasarkan logika al-Qur'an bagi setiap manusia mesti ada sesuatu yang dipcrtuhankannya. Dengan demikian, maka orang-orang komunis itu pun pada hakikatnya bertuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideology atau angan-angan (Utopia) mereka, yaitu terciptanya "masyarakat komunis, di mana setiap orang boleh bekerja menurut kemampuan masing-masing dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan masing-masing", sebagai yang dirumuskan dengan jelas oleh pemimpin mereka, Lenin, di dalam manifesto communisme-nya: "From everyone according to his ability, and for everyone according to his need." Ungkapan inilah yang diterjemahkan oleh para pemimpin mendiang PKI (Partai Komunis Indonesia) dahulu dengan slogan: "sama rata sama rasa". Orang komunis sebenarnya memimpikan terciptanya suatu masyarakat bertata ekononii yang "adil sempurna".

Impian seperti ini tiada bedanya dengan impian setiap orang Kristen yang taat akan apa yang mereka namakan "Kerajaan Allah" atau "Kingdom of God". Oleh karena itu, Toynbee pernah mengatakan, bahwa komunisme itu tiada lain melainkan kekristenan yang dipalsukan, suatu lembaran sobekan Bible, yang diperlakukan seolah-olah seluruh kitab suci itu, yang kemudian dijadikan senjata untuk menembaki kebudayaan Kristen (Barat). Dalam bahasa Toynbee sendiri:
"You may equally well call Marxism a Christian heresy, a leaf torn out of the book of Christianity and treated as if it were the whole Gospel. The Russians have taken up this western heretical religion, transformed it into something of their own, and are now shooting at us. This is the first shot in the anti-Western counter-offensive ". (Civilization on Trial, p. 221 )
Sebahagian orang ada yang menganggap dirinya sedemikiran pintarnya, sehingga ia merasa tak perlu bcrtuhan. Mereka mengatakan, bahwa mereka tidak perlu kepada sesuatu yang tak dapat dibuktikan. Merekapun menolak jika dikatakan atheist. Mereka menamakan diri mereka agnostic. Salah seorang tokoh orang-orang agnostic ini yang terkemuka ialah mendiang Bertrand Russel, ahli falsafah dari Inggris, yang pernah diundang dengan hormatnya untuk memberikan kuliah pada beberapa universitas di Amerika Serikat di awal tahun empat-puluhan. Kuliah-kuliah yang disampaikannya telah sempat menimbulkan kemarahan tokoh-tokoh Kristen Amerika, terutama Bishop Manning dari Gereja Episcopal, karena dianggap "sangat bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral". Memang Russel berpendirian, bahwa "semua agama yang ada didunia ini Budha, Hindu, Kristen, Islam, dan Komunisme " adalah palsu dan berbahaya" ("I think all the great religions of the world --Buddhism, Hinduism, Christianity, Islam, and Communism-- both untrue and harmfull"), karena itu ia menentang semua agama.

Sangat menarik perhatian kita ialah, sama dengan Toynbee, Russel pun menganggap komunisme sebagai agama. Kalau kita baca bukunya yang terkenal: "Why I Am Not a Christian" (Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen), maka dapat kita simpulkan, bahwa ia tokh bertuhan juga. Russel, pada hakikatnya, telah mempertuhankan 'aqalnya. Selama ia bisa konsisten, sebenarnya masih lumayan, terutama jika dibandingkan dengan orang yang bertuhankan hawa nafsunya. Tetapi, mungkinkah seseorang senantiasa consistent .?

Berdasarkan pengertian "ilah" atau tuhan yang telah diberikan definisinya di atas, maka dapat pula secara logika dibuktikan, bahwa tidak ada manusia yang mampu berfikir logis, yang tidak punya tuhan. Bahkan bisa dibuktikan, bahwa tidak mungkin bagi manusia tidak punya sesuatu kepercayaan. Apabila seseorang mengatakan: "saya tidak percaya kepada sesuatu apa pun," maka ia akan dihadapkan kepada suatu kontradiksi, karena pernyataan tersebut mengandung pembatalan diri. Jika benar ia tak pcrcaya kepada sesuatu apapun, maka kalimat itupun ia harus sangkal kebenarannya. Jika tidak, maka terbukti ia tokh masih punya satu kepercayaan, yaitu kebenaran pernyataan tersebut, maka sikap itu bertentangan pula dengan arti kalimat itu. Jadi kalimat itu tidak logis, dan tidak mungkin terucapkan oleh seseorang yang mampu dan mau berfikir logis.





sumber  http://media.isnet.org/islam/Tauhid1/Tauhid.html

pemikiran Kalam Cak Nur


PEMIKIRAN KALAM
NURCHOLISH MADJID

https://membumikantoleransi.files.wordpress.com/2012/03/caknur.jpg

Akar Pemikiran : Islam Peradaban


Dilihat dari tulisan-tulisannya, akar pembaharuan pemikiran Islam Nurcholish merupakan sebuah dialektika di seputar tema: Keislaman, Ke-Indonesiaan, dan Kemoderanan4. Dari pengamatan Nurcholish terhadap setting historis pemahaman umat Islam terhadap agamanya dan hubungan Islam dengan negara, ia mencanangkan program pembaruannya yang terkenal dengan jargon “modernisasi” dan “sekularisasi”.

 Istilah “modernisasi” yang dimaksudkan Nurcholish adalah “rasionalisasi”, bukan westernisasi. Karena itu, modernisasi berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja yang rasional.6 Dalam perspektif ini, pengertian Nurcholish tentang modernisasi sebagai rasionalisasi, tidak berbeda dengan Islam rasionalnya Harun Nasution. Karena itu, etos Islam Rasional juga melekat kuat pada Islam Peradaban. Hanya saja, dengan “rasional” di sini, tentu tidak harus dikaitkan dengan Mu’tazilah.

Pentingnya modernisasi, bagi Nurcholish, adalah agar pemikiran umat Islam sejalan dengan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Jadi sesuatu yang disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum alam. Menurutnya, modernitas Barat itu sebenarnya diletakkan oleh peradaban Islam –yang telah ditransfer ke daratan Eropa- baik dalam pengembangan ilmu, politik maupun sosialnya.

 Sementara dengan istilah “sekularisasi”, ditujukan kepada model keberagamaan yang primitif dan terkesan sangat mengagungkan mitos-mitos yang sebenarnya itu bukan ajaran Islam. Karena itu, sekularisasi berarti “desakralisasi”, yakni proses pembebasan dari obyek-obyek yang sebenarnya tidak sakral, tetapi dianggap sakral. Dalam kata lain, “sekularisasi” Nurcholish itu bertujuan,
(1) ia ingin”mempribumikan” etos dan moral dalam Islam,
(2) ia ingin “menduniawikan” nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat dari kecenderungan “mengukhrawikan”nya.

Dalam konteks politik, program sekularisasi Nurcholish ingin mendekatkan umat Islam pada Islam, bukan pada institusi politiknya. Hal ini tercermin dalam slogan pembaruan politiknya: “Islam …Yes, Partai Islam … No”. Dengan jargon ini, ia menyerukan “de-Islamisasi” partai politik, yang menurutnya, Islam tidak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik pada masa Orde Baru. Mulai saat itulah secara serius dipikirkan transformasi pemikiran Islam dari tahapan Islam Politik menuju tahapan Islam Kultural, yakni gerakan pemikiran yang bersifat kebudayaan.

Perkembangan pemikiran Nurcholish dewasa ini, kelihatan semakin komprehensif dan mendalam, bahkan dalam menjabarkan tema-tema pemikirannya, nampak lebih historis dan interpretatif. Ini terlihat dari komitmen untuk mempertemukan antara nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan, dan upayanya untuk mencari titik temu agama-agama dalam konteks hidup ber-Pancasila.

Untuk tujuan di atas, Nurcholish memulainya dengan mengelaborasi makna Islam. Dalam pandangannya, Islam itu bersifat universalis dan kosmopolitanis. Sumber universalitas Islam dapat dilihat dari perkataan Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan. Dengan pengertian ini, berarti semua agama yang benar bersifat al-islam (dengan i kecil), yakni mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sehingga, menurut Nurcholish, meskipun agama yang dibawa Musa itu dinamai Yahudi dan agama Isa disebut Nasrani, pada prinsipnya agama-agama itu bersifat al-Islam.

Namun, bagaimana dengan kenyataan bahwa agama yang dibawa Muhammad SAW. itu bernama Islam (dengan I huruf besar) ?. Terhadap pertanyaan ini, Nurcholish mengilustrasikan, berarti umat Islam harus menjadi penengah (al-wasîth) dan saksi (syuhadâ’) di antara sesama manusia. Umat Islam sebagai moderator atau mediator merupakan keadaan yang pernah dibuktikan dalam sejarah Islam, yang sangat menghargai minoritas non-muslim. Sikap inklusif dan toleran ini termuat dalam al-Qur’an yang mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).

Dasar inilah yang dijadikannya pijakan pemikirannya tentang titik temu agama-agama. Bagi Nurcholish, Pancasila dipandang sebagai kesamaan pandang bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa yang plural ini, yang ia istilahkan sendiri dengan “kalimatun sawâ’” atau “teologi universal”. Karenanya, menurut Nurcholish, dalam kehidupan pluralitas beragama yang diikat dalam satu bangsa ini, perlu dikembangkan sikap “al-hanifiyat al-samhat” الحنيفية السمحة) ) yakni sikap, toleran, terbuka, dan inklusif.

Reinterpretasi Kalam

Dari keseluruhan pembaruan pemikiran Islam Nurcholish di atas, apabila ditelusuri dari sumbernya yang dalam, ia selalu berangkat dari konsep tawhîd, yang menurutnya mempunyai efek pembebasan. Tawhîd dalam pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan dari konsep itu ia transformasikan dalam bentuk pemikiran yang lebih praktis dan aplikatif dalam kehidupan sosial umat Islam.

Kalimat tawhîd (لااله الاالله) mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu; negation) dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain tuhan”. Perkataan “tidak ada tuhan” (dengan “t” kecil) adalah peniadaan , dan perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T” besar) adalah pengukuhan. Pada yang pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-objek palsu dan mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah kebebasan itu diperoleh, harus diisi dengan kepercayaan yang benar, yakni ketundukan manusia kepada Tuhan atau Allah.

Dalam posisi pemikiran seperti ini, pembaruan Nurcholish dapat dipandang sebagai “purifikasi” (pemurnian kepercayaan kepada Tuhan). Purifikasi itu akan tampak dari dua hal: (1) melepaskan diri dari kepercayaan palsu; (2) pemusatan kepercayaan hanya kepada Yang Benar (Allah) yang memiliki dimensi absolutisme.

Efek pembebasan tawhîd di atas, dari pembebasan yang bersifat individual, kemudian akan mengalir kepada pembebasan sosial yang bersifat egalitarian. Dalam perpektif inilah, ia membangun pandangannya tentang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Leih lanjut, untuk menerapkan ajaran tawhîd, Nurcholish melakukan sosialisasi gagasannya dengan mengutip bukan saja tokoh Islam seperti Muhammad Iqbal, tetapi juga mengambil pikiran Karl Marx. Cara kerja semacam itu , bertujuan agar setiap orang tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang pantas disucikan selain Allah.

 Akibat dari tawhîd ini, papar Nurcholish, adalah “Bolshevisme plus Allah”, artinya bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalah-masalahnya adalah sama dengan kaum Komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh obyek itu), hanya saja Islam mengatakan adanya pandangan dunia (wtltanschaung) dalam hubungan antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme dialektika.

Pandangannya tentang tawhîd juga menjadi landasannya tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut Islam. Etos kerja dan disiplin tinggi harus berdasarkan pada “dasar nilai kerja”, yang oleh Nurcholish disebut dengan “niat” (komitmen), yang berkaitan erat dengan sistem nilai (value system).

Bagi seorang muslim, niat atau komitmen kerja itu harus selalu ditransendenkan pada Allah, sehingga mengerjakan sesuatu demi mencari ridla Allah, dengan sendirinya berimplikasi bahwa kita tidak boleh melakukannya dengan sembrono, seenaknya, dan tidak terprogram. Kerja harus diniati dengan ikhlas dan ikhsan (mengerjakan secara optimal).19 Inilah, kata Nurcholish, etos kerja yang perlu tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia menjadi bangsa yang maju dan memiliki kualitas SDM yang tinggi di masa depan. Baginya, apabila umat Islam Indonesia maju, berarti Indonesia juga akan maju, begitu pula sebaliknya. Maka, ia sangat yakin bahwa maju mundurnya Indonesia sangat tergantung pada umat Islam itu sendiri.

Konsep Eskatologis


Dalam bukunya Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Nurcholish kembali mengungkapkan konsep eskatologisnya dengan pendekatan rasional, historis dan sosiologis. Hal ini berbeda sekali dengan pendekatan yang lazim digunakan masyarakat Islam Indonesia yang lebih menitik beratkan pada pendekatan doktrinal, terutama dalam hal konsep dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan konsep “urusan dunia” (umûr al-dunyâ), Nurcholish membagi dua kategori: peranan taqdir dan peranan sunnatullah.

Ia menjelaskan, bahwa sesungguhnya yang diajarkan oleh Islam bukanlah kehidupan duniawi dan ukhrawi yang dikotomis, dalam arti terpisah dan bertentangan. Islam hanya mengajarkan bahwa antara keduanya itu berbeda namun merupakan kesambungan atau kontinuitas, karena keduanya dipertautkan dan dipersatukan dalam satu hukum ketentuan Tuhan yang mengatur lingkungan hidup duniawi ini serta pola kehidupan manusia itu sendiri secara tetap dan tidak berubah-ubah, yaitu hukum ketentuan Tuhan atau taqdîr.

Menurutnya, istilah taqdîr dalam al-Qur’an ialah hukum ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan untuk mengatur pola perjalanan dan “tingkah laku” alam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Misalnya taqdîr pola perjalanan atau peredaran matahari21, taqdîr untuk pola perjalanan rembulan dan matahari, yang memungkinkan manusia menjadikan keduanya itu sebagai dasar perhitungan waktu yang pasti. Dari pengertian taqdîr ini, menurutnya tidak lain padanan atau ekuivalensi istilah sehari-hari “hukum alam”.

Maka sudah tentu untuk mendapatkan sukses dalam kehidupan duniawi ini manusia dituntut untuk memahami hukum ketentuan Allah bagi lingkungan sekelilingnya, yaitu alam. Implikasi pemahaman semacam itu –khususnya pemahaman lingkungan material hidup di dunia ini- menghasilkan ilmu pengetahuan yang kemudian dapat diterapkan secara konkrit dalam bentuk teknologi, baik yang kuno maupun modern.24

Akan tetapi, menurut Nurcholish, hidup di dunia tidak cukup hanya bermodal ilmu pengetahuan semata, sebab ilmu pengetahuan bukanlah jaminan untuk kebahagiaan sejati dan langgeng. Manusia –dengan merujuk peristiwa pengusiran Adam dari surga- memerlukan sesuatu yang lebih daripada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral (Kalimât) dari Tuhan yang bila diikuti akan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjatuh pada kesesatan hidup. Dalam bahasa kontemporer, secara empirik terbukti bahwa keselamatan dan kebahagiaan hidup tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu pengetahuan saja. Itulah hidayah atau petunjuk hidup dari Allah yang akan membebaskan manusia dari rasa takut atau khawatir.

Dalam bukunya yang lain, Nurcholish menjelaskan, bahwa taqdir tidaklah dalam arti yang sebanding dengan fatalisme, yaitu paham nerimo dan tidak lagi berusaha karena segala sesuatu dipercaya sebagai nasib. Taqdir ialah suatu ajaran agar kita mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, supaya kita lebih tenang kembali.

Tentu saja semua ini berlaku kalau sesuatu itu telah terjadi. Jadi kalau segala sesuatu telah terjadi, maka ini adalah taqdir Allah, tapi kalau berlum terjadi, maka ibarat buku yang masih satu persoalan terbuka, maka sikap kita kepada hal yang belum terjadi ialah ikhtiar.

Selanjutnya, berkenaan dengan sunnatullah, Nurcholish menjelaskan, bahwa sunnatullah meliputi ajaran-ajaran moral atau agama yang disampaikan Allah kepada para Nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Karena itu manusia harus memahami dan bertindak sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu, demi keselamatan dan kebahagiaannya yang lebih utuh.

Tetapi, sesungguhnya, yang diterangkan secara eksplisit dalam agama hanyalah yang bersifat garis besar dan amat prinsipil saja. Atau, jika bersifat garis rinci (garis kecil), maka yang diterangkan hanyalah hal-hal yang langsung bersangkutan dengan dengan natur manusia dan fitrahnya, yang manusia cenderung untuk melupakan atau meremehkannya (misal: hukum tentang perzinaan, pencurian, pembagian harta pusaka, perkawinan, dst.). Sedangkan sunnatullah dalam wujudnya yang menyeluruh, yang menguasai semua aspek hidup sosial manusia sepanjang sejarah, tidaklah diterangkan oleh Allah, sebab otak manusia tidak akan muat untuk sekaligus menampung pemahamannya.

Oleh karena sunnatullah itu telah terwujud nyata dalam perjalanan sejarah manusia, maka terdapat kemungkinan bagi manusia untuk melengkapi pengetahuannya tentang hukum ketentuan Tuhan yang didapatnya secara deduktif dari ajaran agama itu dengan memperhatikan dan memahami serta membuat kesimpulan secara induktif gejala sejarah umat manusia. Ini berarti memacu manusia untuk menggunakan segenap potensi akal budinya dalam memahami hukum-hukum Tuhan yang ada di jagad raya (kawniyah).

Dalam hal kajian tentang Hari Kiamat, kembali Nurcholish memberikan intepretasi yang cukup arif, bukan kepada peristiwa kiamat itu sendiri atau deskripsi kehidupan di akhirat, melainkan lebih dititikberatkan kepada hikmah terhadap kepercayaan hari kiamat. Hari Kiamat (qiyâmat, yang berarti kebangkitan), merupakan peristiwa hancurnya alam semesta, kemudian manusia seluruhnya akan dibangkitkan dari alam kubur.

Keimanan kepada adanya Kiamat dan Hari Kemudian (al-yawm al-âkhir), menyangkut masalah kebenaran intrinsik, yaitu kebenaran bahwa Kiamat memang pasti akan tiba dan Hari Akhirat memang akan dialami umat manusia. Tapi di samping itu, sebagai hikmahnya yang utama, “ajaran tentang Kiamat dan Hari Kemudian itu juga mengandung pendidikan dan peringatan bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan dalam hidup ini, baik ataupun buruk, akan kita pertanggung jawabkan kepada Pencipta kita, dan akan kita rasakan akibatnya, baik berupa kebahagiaan maupun kesengsaraan”.

Selanjutnya, tentang pertanggungjawaban di Hari Kiamat itu salah satu hal yang sangat perlu diinsafi tiap orang ialah dimensinya yang mutlak dan individual. Kehidupan di akhirat tidak lagi mengikuti hukum-hukum alam dan sejarah kehidupan duniawi. Semua itu dimaksudkan agar manusia tidak menjalani hidup ini secara sembrono sehingga tidak lagi peduli kepada ukuran dan pertimbangan moral. Setiap orang diharapkan, bahkan diharuskan, mengembangkan dirinya sebagai perorangan yang penuh tanggung jawab, yang berani dengan jujur mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, yang dalam pertanggungjawaban itu tidak mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain. Dengan begitu ia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dengan karakter yang kuat, yang menjadi unsur bangunan masyarakat yang kuat

Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa Nurcholish hendak membangun masyarakat dengan sebuah bangunan moralitas atau akhlak mulia (al-akhlâq al-karîmat). Dikatakan, “keimanan kepada adanya Hari Kiamat dan Hari Akhirat dengan pengalaman hidup abadi dalam kebahagiaan atau kesengsaraan merupakan salah satu pondasi kehidupan yang benar, yaitu kehidupan penuh akhlaq, budi pekerti luhur dan moral. Jika Nabi s.a.w. dlaam sebuah hadits menegaskan bahwa beliau ‘diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi’, maka salah satu tafsiran sabda beliau itu ialah bahwa tujuan utama agama bagi kehidupan manusia di bumi ini ialah terciptanya kehidupan bermoral”.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat diringkaskan gagasan utama Nurcholish Madjid di bidang kalam ini adalah pemisahan yang tegas antara dunia dan akhirat, yakni :

Pertama,
urusan bumi diserahkan kepada umat manusia. Manusia diberi wewenang penuh untuk memahami dunia ini.

Kedua, akal pikiran adalah alat manusia untuk memahami dan mencari pemecahan masalah duniawi.

Ketiga, oleh karena itu terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Keempat, terdapat pula konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi.

Kelima, membedakan antara Hari Dunia dan Hari Agama. Pada Hari Dunia yang berlaku adalah hukum kemasyarakatan manusia dan pada Hari Agama yang berlaku adalah hukum ukhrawi.

Keenam, Bismillah artinya Atas Nama Tuhan dan bukan Dengan Nama Allah.

Ketujuh, Al-Rahmân arti kasih Tuhan di dunia dan al-Rahîm kasih Tuhan di akhirat.

Kedelapan, dimensi kehidupan duniawi adalah ‘ilmi dan kehidupan spiritual adalah ukhrawi.

Kesembilan, Islam adalah dîn, dîn adalah agama dan agama tidak bersifat ideologis, politis, ekonomis, sosiologis, dsb. Kesepuluh, apa yang disebut negara Islam tidak ada31.

dikutip dari artikel  M.Afif Anshori di sumber