Thursday, March 10, 2011

Scripto, Ergo Sum

Scripto Ergo Sum

Armahedi Mahzar (c) 2011



Suatu kali saya ditanya sahabat saya, mengapa saya menulis. Saya jawab saya menulis karena saya bicara. Maksud saya, saya menulis karena disuruh bicara di depan publik. Tapi itu tidak selalu benar. Saya menulis karena saya bicara pada diri sendiri. Kakang saya almarhum Endang Saifudin Anshari, dulu pernah mengatakan bahwa berpikir adalah berbicara pada diri sendiri.

Jadi, secara logika, saya menulis karena saya berpikir. Saya menulis sebagai bagian pelurusan pemikiran saya. Padahal, Rene Descartes pernah berkata "Cogito, Ergo Sum" yang berarti "Saya Berpikir Maka Saya Ada", Karena jawab saya pada sang sahabat adalah "saya berpikir, maka saya menulis," maka bisa juga dikatakan bahwa "Saya menulis, maka saya ada" alias "Scripto, Ergo Sum."

Kesimpulan Descartes "Saya Berpikir, Maka Saya Ada" adalah singkatan dari "Karena Saya Berpikir, Maka Saya Ada" yang artinya tak mungkin saya tak ada, karena kalau saya tak ada maka pikiran-pikiran saya tak ada padahal nyatanya pikiran-pikiran itu ada. Padahal, saya, Descartes, bertanya alias berpikir, jadi tak mungkin saya tiada. Karena itu pastilah saya, Descartes, ada.

Nah, kata orang bijak, manusia itu adalah Homo Sapiens alias makhluk berkaki dua yang berpikir. Jadi manusia itu "ada" yang merupakan "eksistensi" nya sebelum "berpikir" yang merupakan "esensi"nya. Jadi manusia itu ada dulu, baru berpikir, merasa dan menulis dan lain-lainnya. Jadi Descartes yang rasionalis itu sebenarnya adalah seorang eksistensialis sejati seperti Jean Paul Sartre di abad lalu.

Tapi Sartre bikin satu kejutan dengan menggunakan kata kerjawi "mengada" alih-alih kata "ada" yang bendawi. Karena itu dia bisa mengatakan bahwa benda-benda nirmanusia itu "mengada dalam dirinya sendiri", sedang manusia itu "mengada untuk dirinya sendiri." Jadi, kalau dikembalikan pada jawaban saya pada sahabat saya itu, saya itu "menulis untuk diri saya sendiri"

Dalam bahasa anak muda sekarang, saya menulis karena saya narsis. Kata narsis berasal dari tokoh cerita pusaka Yunani: Narcissus.

Narcissus adalah seorang remaja yang senang melihat dirinya sendiri dalam bayangannya di sebuah kolam. Nah, Marshall McLuhan pernah mengatakan bahwa media itu bagaikan kolam tempat Narcissus bercermin.

Pada mulanya, media yang ada adalah udara tempat kita mengukir pikiran-pikiran kita dalam bentuk ujar dan tutur. Kemudian manusia menatah huruf-huruf di batu kemudian menoreh tulisan di papirus lalu mencetak huruf-huruf di kertas dan akhirnya kini kita sama-sama merekam ketikan-ketikan kita di memori komputer dalam jejaring global bernama Internet.

Nah, Internet inilah media terakhir tempat saya menulis. Sebelum ada Internet, saya menulis di majalah dan makalah, lalu dikumpulkan dalam sebuah nirbuku tapi disebut buku. Gara-gara buku itu saya diundang berbicara depan umum, karena itulah saya menulis dan terus menulis. Kini, setelah tak laku lagi jadi pembicara di depan umum, menulis menjadi penyakit saya yang kronis dan internet adalah kolam saya tempat saya menuliskan dan melihat pikiran-piran sendiri sebagai seorang Narsisus.

Mula-mula menulis di newsgroups, lalu di mailing lists dan situs web, kemudian saya menemukan kolam baru bernama blog yang memungkinkan saya menulis sambil menempel gambar dengan mudah dan akhirnya saya menemukan media sosial bernama Facebook yang memiliki sebuah aplikasi bernama Notes. Sayangnya Notes di Facebook itu kini editornya berubah menjadi kurang bersahabat dengan penulis yang senang menempel gambar seperti saya. Jadi saya kurang bergairah untuk menulis di Facebook.

Apalagi, khalayak FB itu kurang senang untuk membaca orang yang menulis untuk dirinya sendiri seperti saya. Facebook lebih cocok untuk orang yang menulis untuk saling menyapa haha-hihi, bercanda wakakak-wakikik dan berbagi foto-foto diri sendiri untuk dapat dikomentari orang. FB adalah media komunikasi sosial, bukan media informasi intelektual.

FB cocok untuk Narcissus jenis lain, bukan cocok untuk Narcissus pikiran sejenis saya. Apa boleh buat. Karena sekarang terminal internet bukan lagi komputer-komputer yang menetap, tetapi telepon-telepon genggam yang bergerak yang sudah dibuat pintar buat orang yang sedang berada di perjalanan. Memang tak mungkin orang berpikir panjang sambil jalan-jalan. Kalau sekedar berpikir pendek dan praktis, tentu saja bisa.

Oleh karena itu, FB tak bisa lagi jadi kolam tempat Narcissus pikiran untuk bercermin muka seperti saya. Dengan demikian, Selamat tinggal FB. Saya kembali ke blog dan menulis di sana yang kemudian akan saya pasarkan lewat Twitter. Akan tetapi, sebagian dari saya akan tetap di Faceboook untuk suatu waktu bisa memasarkan penemuan saya di mayantara. Jadi, selamat ketemu kembali FB. Tapi ruh saya berada di tempat yang lain. Di tempat yang ketinggalan zaman: blog.