Saturday, September 12, 2015

Saya, Budaya dan Spiritualitas

SAYA, BUDAYA DAN SPIRITUALITAS
Armahedi Mahzar (c) 2015

Saya lahir di pulau Jawa dan dibesarkan hingga remaja muda di Jawa Timur. Masa remaja ada di Riau. dan dewasa muda di Jakarta dan sisa usia dihabiskan di Jawa Barat. Jadi sebagian besar hidup saya ada di pulau Jawa. Namun darah saya sebenarnya adalah darah Sumatra karena kedua orang tua saya keduanya orang Minangkabau. Jadi secara genetik saya itu orang Sumatra, tetapi secara budaya saya adalah orang Jawa.

Itulah sebabnya saya memahami spiritualitas secara budaya Jawa. Saya bertanya tentang "sangkan paraning dumadi" (asal dan tujuan hidup) dan mendapat jawaban pada "manunggaling kawula gusti" (menyatunya hamba dan Raja). Itulah pandangan spiritualitas saya: dua sebenarnya satu. Inilah spiritualitas budaya Jawa.

Dua itu genap lambang adat Minangkabau yang menekankan individu dengan dua alat raso (emosi) jo pareso (rasio) dalam masyarakat yang beradat yang empat. Dimana Adat (budaya) bersendi pada syarak (agama) yang bersendi pada kitabullah (Quran) yang satu. Maka alam yang fana tak mungkin bersatu dengan Tuhan yang baka. Dua bukanlah satu. Inilah spiritualitas budaya Minangkabau.

Masa SMA: diserbu Timur dan Barat


Di Jakarta di masa SMA saya membaca di perpustakaan om dan tante saya di rumah kakek saya. Di satu pihak saya membaca Tao Te Ching, Bagawat Gita dan Gitanyali, di lain fihak saya diperkenalkan dengan filsafat Barat melalui buku-buku tulisan Mohammad Hatta , Sutan Takdir Alisyahbana   dan Beerling dan juga ada buku-buku pengantar  psikologi Freud Image result for freud, Jung   dan Adler .
Namun di SMP Tanjung Pinang saya mengenal sisi jiwa cipta-rasa-karsa yang kemudian saya identifikasi dengan ego-id-superego menurut Freud. Sedangkan cipta ekivalen dengan pareso dalam budaya Minang dan rasa ekivalen dengan raso. Saya melihat bahwa intuisi sebagai cipta tingkat tinggi dan sensasi adalah rasa tingkat rendah.

Sebagai orang budaya Jawa saya melihat semua fungsi jiwa yang empat dari Jung, semuanya adalah empat sisi dari rasa. Lalu karsa itu adalah kebalikan dari rasa. Segala yang masuk ke diri disebut rasa dan segala yang keluar dari diri bermula dari karsa. Itulah sebabnya saya menganggap karsa bebas adalah anugrah dan amanat Allah pada manusia yang merupakan esensi ruh dan juga merupakan pusat dari keempat fungsi kesadaran itu.

Masa Mahasiswa: Semuanya Berpasangan

 

Begitulah semasa jadi mahasiswa mempunyai pandangan hidup yang holisme taoistik di mana seni dan sains itu berpasangan karena emosi/intuisi berpasangan dengan  sensasi/rasio sesuai dengan pasangan budaya Minangkabau yaitu raso jo pareso. Dalam kehidupan agama saya menganggap tashawwuf (mistisime Islam) dan kalam (teologi Islam) adalah pasangan tao yang sama.

Di samping itu pasangan sejajar itu ada pasangan menegak ruh di atas kesadaran dengan nurani atau qalb sebagai organnya dan tubuh di bawah kesadaran dengan naluri atau nafs sebagai sebagai organnya. Nah, bagi saya ada jenjang nafsu-akal-nurani di antara tubuh yang di bawah dan ruh yang di atas.


Jadi, itulah perjuangan saya sehari-hari menjalankan syari'ah untuk mengendalikan nafs saya, memahami aqidah untuk memperluas akal saya, menjalankan thariqah untuk membersihkan hati nurani saya agar mencapai ma'rifat dalam bentuk cahaya ruhani pada qalb saya sehingga mencapai haqiqat dimana kemauan saya lebur dengan kemauanNya karena ruh saya adalah percikan CahayaNya yang ditiupkan pada tubuh saya.

Masa Mengajar: Menemukan Kesepaduan


Itulah jalan saya syari'ah-‘aqidah-thariqah-ma’rifah menuju haqiqah. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit berkat perjuangan dari hari ke hari saya menemukan jenjang kategori realitas vertikal dari materi lewat energi-informasi-nilai menuju sumber yang nyatanya meliputi semua jenjang realitas horisontal dari diri lewat masyarakat-dunia-akhirat hingga Tuhan Yang Maha Pencipta.


Saya kira itulah hakekat realitas sebagai kesepaduan yang saya temukan yang mencerminkan kesatuan budaya Jawa dalam bentuk kesatuan integral dan keduaan budaya Minangkabau dalam bentuk eksistensi diarki atau dua jenjang. Itulah pandangan wahdatiyah yang tercermin pada paradigm sains modern dan pada filsafah dasar ilmu-ilmu agama (tasawwuf, fiqh dan kalam) serta hikmat (filsafat tradisional) Islam.


Itulah sebabnya, saya sangat heran jika sekarang diisukan adanya skhizoprenia kultural di kalangan umat Islam, seolah-olah kehidupan kaum muslimin menjadi terbelah di mana kehidupan religius kehidupan sehari-hari di luar tempat kerja dan belajar itu terpisah dari kehidupan ilmiah di tempat kerja dan mengajar. Persoalannya adalah kita tidak mau menjadikan spiritualitas sebagai tujuan kehidupan beragama sehari-sehari.

 

Masa Purnabakti: Sebuah Renungan


Setelah saya pensiun saya bertanya, mengapakah saya tak mengidap keterbelahan jiwa disebut di atas. Sebabnya adalah karena saya di masa SMA diberitahu paman saya bahwa dokter filsuf terkenal Islam Ibnu Sina sebenarnya adalah juga seorang shufi. Ketika saya tanyakan apakah itu tashawwuf, beliau justru menyuruh saya membaca Ihya Ulumuddin karya besar Imam Alghazali
  yang terkenal sebagai shufi besar yang menjadikan tashawwuf selaras dengan fiqh dan kalam.


Setelah membaca buku tersebut, saya pun mengetahui bahwa jalan shufi adalah proyek seumur hidup mendekatkan diri dengan Tuhan melalui perjuangan membersihkan diri dari perbuatan tercela (takhalli), menghiasi diri kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji (tahalli) dan mendapatkan pencerahan-pencerahan (tajalli) sebagai akibatnya. Berbagai shufi bisa berbeda dengan kedekatan ini: ada yang mengatakan dekat hingga bisa melihat Tuhan bahkan ada yang dekat hingga bisa menyatu dengan Tuhan.


Bagaimana pun, Allah sendiri yang mengatakan bahwa Dia itu lebih dekat dari urat leher kita. Itulah yang menyebabkan saya melihat jalan shufi adalah jalan pencarian Tuhan di dalam diri kita sendiri sementara kita mencari ilmuNya yang berada di alam semesta di luar diri kita. Begitulah, ketika saya mengembara di Internet mencari fondasi  logika berujung pada penemuan bahwa logika itu bisa dijalankan dengan benda-benda kongkret yang kita bisa pegang dengan tangan, bahkan bisa dijalankan dengan jari-jemari kita sendiri.


Ini mengejutkan, namun yang lebih mengejutkan ketika saya melalui internet menemukan  kenyataan bahwa Alghazali, yang selama ini saya kira hanyalah seorang shufi yang mengunakan intuisi, justru menunjukkan bahwa silogisme yang biasanya dianggap sebagai produk pemikiran orang Yunani, ternyata adalah salah satu makna Mizan atau timbangan yang disebutkan dalam Qur'an Suci. Bahkan, Alghazali menyebutkan kelima jenis mizan, yang ditemukan orang Yunani itu, semuanya ada di dalam ayat-ayat Qur'an.


Kesimpulan saya, logika yang biasanya dipandang sebagai produk budaya bangsa Yunani sebenarnya tertanam dalam dalam jiwa manusia terpadu dengan erat dengan estetika dalam kedalaman emosi kita dan etika dalam ketinggian intuisi kita sebagai organ-organ ruh untuk kembali kepada Sumbernya. Jadi Islam sebagai ad-Din merupakan kesatupaduan budaya dan agama melalui jalan spiritualitas: thariqah atau metoda. Kebudayaan yang bernafaskan Islam itulah thariqah.