Thursday, July 15, 2010

Cerita dari Ilford


Buku The Science of Discworld II: the Globe ini saya dapat beli 2 pennies di halaman Masuk perpustakaan Ilford (sekarang Redbridge Central Library) Redbridge Central Library karena dijual sebagai buku bekas.

Ceritanya ada dihttp://en.wikipedia.org/wiki/The_Science_of_Discworld_II
Saya memang penggemar buku karangan Matematikawan Ian Stewart dan biolog Jack Cohen dengan konsepnya tentang ko-evolusi personal intelligence yang disebut Stewart-ohen sebagaiIntelligence saja dan collective intelligence yang disebut mereka sebagai Extelligence. Konsep ini bagi saya adalah alternatif dari dialektika ide-ide seperti yang dipikirkan Hegel atau dialektika ide-materi seperti yang diajukan oleh pemikir Pakistan M.Sharif. Extelligence dalam bahasa kuno namanya symbolic culture alias budaya simbolik.
Jadi kecerdasan dan budaya simbolik berkelindan dalam sebuah proses koevolusioner yang disebut komplisitas (gabungan dari kompleksitas dan simplisitas). Berdasarkan konsep ini saya bisa mengerti bagaimana budaya London sangat diametral berbeda dengan budaya Jakarta. London serba teratur dan Jakarta serba kacau.
Buku ini berdasarkan seri Discworld yang dikarang oleh Terry Pratchett . Discworld sendiri adalah dunia fantasi yang dilukiskan sebagai sebuah piring yang dipikul oleh 4 ekor gajah yang berdiri di atas seekor penyu raksasa bernama Great A'Tuin. Peristiwa di dunia piring fantasi itu mengikuti kehendak para wizard yang menghuni dunia tersebut. Dalam bahasa ilmiahnya: mengikuti kausalitas naratif.
Konon ceritanya, di Unseen University sekolah tinggi pendidikan ilmu sihir di kota Ankh-Morpork di Discworld, komputer magis yang membangun dirinya sendiri yang bernama Hex berhasil membuat sebuah bola kaca berisi sebuah planet kecil dan seluruh alam yang mengelilinginya. Dunia dalam bola itu disebut disebut Roundworld alias Dunia Bulat. Planet itu tak lain daripada bumi yang kita tempati ini. Di Roundworld semua peristiwa bebas dari magik dan hanya mengikuti aturan sebab akibat yang kaku dan abadi. Tentu saja hal ini menjadi sangat menarik bagi para Wizard.

Buku ini adalah buku kedua dari trilogi The Science of Discworld. Buku pertama berjudul The Science of Diskworld , buku ketiga berjudul The Sciene of Diskworld III: Darwin's Watch . Ketiga buku ini disusun secara menarik: bab-bab ganjil berisi kisah di Diskworld, sedangkan bab-bab genap berisi penjelasan ilmiah populer tentang sains di Roundworld yang terkait dengan bab-bab ganjil sebelumnya.
Dalam buku pertama,yang versi e-booknya saya dapat dari gigapedia.om diterangkan sejarah Roundworld dari Bigbang hingga datangnya kehidupan di bumi. Dalam buku kedua yang paperbacknya saya beli di Ilford Library menerangkan tentang asal usul dan evolusi budaya manusia. Sedangkan buku ketiga, yang buku versi Hardbound nya ada di rak buku pinjaman di Ilford Library, sesuai dengan judulnya menjelaskan tentang evolusi biologis di Roundworld.
Menurut saya seharusnya urutan seri buku itu yang logis adalah sebagai berikut: buku ketiga jadi buku kedua dan buku kedua jadi buku ketiga. Soalnya buku kedua adalah teori spekulatif Stewart-Cohen tentang evolusi budaya manusia adalah koevolusi inteligensi-eksteligensi seperti yang diajukannya dalam buku mereka. Dalam teori ini bercerita adalah ciri khas manusia sebagai sejenis simpanse. Karena itu mereka mengajukan konsep manusia sebagai pan narans (kera pencerita) ketimbang homo sapiens. Bahkan dalam Darwin Watch, diajukan bahwa dengan perkembangan teknologi dan sains mutakhir, manusia diharapkan menjadi polypans multinarans yang banyak cerita yang saling dihargai.
Bagi saya teori tetraevolusi Ken Wilber lebih masuk akal dengan melengkapi koevolusi subyektiv-intersubyektiv Stewart-Cohen dengan koevolusi obyektif-interobyektif. Menurut Wilber subyektif-intersubyektif-obyektif-interobyektif adalah empat kwadran bagi setiap holon dalam holarki kosmos yang dalam bahasa integralisme Islam disebut sebagai integralitas alias realitas integral. Ken Wilber sendiri menyebut filsafat neo-perenialisnya sebagai integralisme universal yang mulai dikembangkannya pada tahun 2000-an, belasan tahun setelah terbitnya buku saya tentang integralism Islam. Mungkin teori banyak cerita manusiawi harus integrasikan dengan teori satu cerita alam menjadi banyak-tapi-satu Maha-Cerita Ilahi.

Thursday, June 03, 2010

My Story

My Story

Armahedi Mahzar (c)2010

Inilah riwayat pemikiran saya. Di masa SMA saya menemukan buku terjemahan Indonesia Tao Te Ching karangan Lao Tse di rumah kakek saya dan hati saya tergetar ketika membacanya. Padahal hati saya tak pernah tergetar ketika membaca terjemah ayat-ayat Quran. Saya pun gelisah, lalu saya tanyakan pada paman saya yang seorang sufi pelukis. Jawaban beliau cukup menenangkan saya. Kata beliau mungkin saja Lao Tse adalah salah seorang nabi untuk bangsanya. Belakangan ketika saya selesai kuliah di Bandung baru saya merasakan getaran hati yang sama pada terjemahan Quran dalam bahasa Inggris oleh Yusuf Ali yang kebetulan saya temukan di rumah paman saya tempat saya tinggal menjaganya selama beliau sekeluarga tugas belajar ke luar negeri.

Sementara itu selama kuliah sebelas tahun itu di jurusan Fisika ITB , saya menganut pandangan positivisme di bidang sains, pandangan romantisisme di bidang seni dan fundamentalisme di bidang agama. Maka saya memandang kitab-kitab agama lain sebagai puisi-puisi yang indah dan memandang Islam sebagai dasar kehidupan manusia berlandaskan Quran dan Hadits lepas dari segala tradisi para ulama dan hukama Islam. Sedangkan sains adalah pencari kebenaran obyektif yang kemudian bisa dimaanfaatkan oleh teknologi. Bagi saya, pada waktu itu, seni sains dan agama adalah tiga urusan yang terpisah satu sama lain yang hanya bersatu secara kebetulan dalam satu pribadi manusia.

Belajar di AS: Ketemu Batunya

Nah, di tahun 1974, saya dapat kesempatan untuk belajar di University of Arizona di Tucson Amerika Serikat. Sayangnya saya dimasukkan di jurusan Geologi di sana dan saya pun ketemu "batu"nya. Di tiga mata kuliah tentang batu: mineralogi (ilmu bagian batu), lithologi (ilmu batu) dan geologi struktural (ilmu formasi batu) saya hancur berantakan karena tidak mempunyai kemampuan diskrimasi visual yang cukup tajam untuk membedakan batu-batu tersebut. Maka saya pun pulang tanpa ijazah Master. Tapi bukan batu-batu di luar yang bikin saya gagal itu. Ada juga batu di dalam diri saya. Beginilah ceritanya.

Ketika saya ke Amerika itu, saya ingin belajar geofisika supaya saya bisa kerja dapat proyek di Pertamina dan bisa terus kaya. Sebenarnya jadi kaya itu bukan keinginan nurani saya. Keinginan terdalam saya adalah mencari kebenaran fundamental. Itulah sebabnya saya ambil jurusan fisika dan mengambil spesialisasi fisika teoritik. Namun, karena saya terbentur pada kenyataan bahwa jadi pegawai negeri itu sama saja jadi orang miskin, maka saya kepingin jadi kaya. Namun ketika saya berada di Amerika saya mendapat berita sedih dari Indonesia: Pertamina bangkrut sementara negara-negara penghasil lain diuntungkan karena Oil Boom di tahun 70-an. Maka semangat saya pun hancur berkeping-keping. Inilah yang jadi batu dalam diri saya.

Sementara gundah-gulana, saya masuk ke dalam perpusatakaan Oriental Studies, untuk mencari buku Iqbal "Reconstruction of Religious Thought in Islam" yang asli, saya justru menemukan sebuah buku yang mencengangkan saya. Sebuah buku karangan Isutzu yang menerangkan kesejajaran filsafat mistik Islam Ibnu Arabi dan ajaran Tao Te Ching (Dao De King kalau pakai transliterasi kontemporer) saya jumpai di sana. Ini menjadi lebih mengejutkan karena, ketika sampai di Indonesia, saya melihat sebuah buku baru di toko Gramedia berjudul The Tao of Physics karangan Fritjof Capra. Semua itu mengejutkan karena secara religius saya fundamentalis yang melarang mistisisme, sedangkan secara ilmiah saya seorang positivisme yang menganggap mistisisme sebagai nonsense. Ternyata Taoisme yang nonsense itulah yang menyatukan seni, agama dan sains, sekurang-kurangnya itulah yang terjadi di bawah kesadaran saya.

Kembali ke Indonesia: Mengajar dan Menulis

Dorongan bawah sadar itulah yang mendorong saya, sepulang di Indonesia, untuk mulai menulis bagi majalah Pustaka terbitan perpustakaan Masjid Salman ITB. Beberapa di antaranya adalah serangkaian tulisan yang saya sebut perjalanan strukturalis di mana saya menggunakan metoda analisis struktural, yang sebenarnya digunakan oleh antropolog Perancis Claude Levi-Strauss untuk membedah mitologi suku-suku Indian Amerika Selatan primitif, untuk membedah pemikiran Barat modern. Saya tertarik pada metoda itu karena sang antropolog menemukan banyak segitiga yang tersusun sebagai prisma dalam mitos-mitos Indian tersebut. Padahal dalam fisika partikel ditemukan bahwa partikel terkecil bagian dari inti atom juga membentuk sebuah segitiga.

Satu hal yang membingungkan saya pada mulanya adalah mengapa ada Fakultas Seni Rupa di Instituk Teknologi Bandung yang mengajarkan sains dan teknologi. Dengan analisis struktural itu saya menyadari bahwa ketiga cabang ilmu itu dapat dipandang sebagai sebuah segitiga sains-teknologi-seni yang sejajar dengan segitiga filsafat logika-etika-estetika. Yang mengherankan saya adalah kenyataan bahwa ketiga segitiga itu sejajar pula dengan segitiga keilmuan Islam ilmu-ilmu kalam-fiqih-tasauf yang sejajar dengan segitiga fundamental Islam aqidah-syari'ah-thariqah. Dari sana saya berkesimpulan bahwa ilmu, filsafat dan agama merupakan sebuah kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Kemudian saya menemukan prisma-prisma lain dimana selalu dapat disempurnakan menjadi sebuah keutuhan yang sempurna.

Ketika penerbit Pustaka menyarankan pada saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan itu menjadi sebuah buku, saya pun melakukan eksplorasi intelektual lebih lanjut. Sebagau akibatnya, saya pun menemukan bahwa prisma-prisma itu tersusun menjadi sebuah superprisma yang mempunyai substruktur matriks eksistensialisme 2X5 yang kemudian melalui logika penyempurnaan mendapatkan sebuah matriks integralitas 5x5 yang meliputi semua yang ada di alam semesta dan di luarnya. Struktur integralitas itulah yang kemudian menjadi penutup buku pertama saya dengan judul Integralisme: sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam yang terbit pada tahun 1983. Judul itu, sebenarnya, dihadiahkan oleh kawan saya, almarhum Aldy Anwar, karena ketika memaparkan penemuan intelektual itu di hadapannya dia sering mendengarkan kata-kata "terpadu", "integrasi" dan "integral."

Satu hal yang belum saya tuliskan di buku itu adalah penemuan saya yang lain, melalui buku psikologi transpersonal karangan Ken Wilber , yaitu The Atman Project, bahwa secara esensial semua agama mempunyai struktur yang sama jika kita memasukkan dimensi esoterik kedalam agama-agama tersebut. Yang mengherankan, Ken Wilber tidak memasukkan sufisme Islam dalam matriks kejajarannya. Padahal saya melihat adanya kejajaran pandangan sufisme Islam dengan esoterisme agama-agama Timur itu. Pandangan ini, sebenarnya, adalah pandangan filsafat perenialisme yang dianut Ken Wilber. Pandangan ini juga lah yang saya sampaikan pada sejumlah kecil mahasiswa di masjid Salman.

Di luar Fisika: Mengajar Filsafat Ilmu

Buku saya itu merupakan kartu nama saya yang menyebabkan saya diundang ke berbagai seminar atau diskusi di berbagai pelosok di Jawa dan Sumatra. Hasil pertemuan-pertemuan itu akhirnya saya kumpulkan dalam dua buah buku yang jarak penerbitannya sangat lama. Sepuluh tahun setelah buku pertama saya, baru diterbitkan buku kedua saya: Islam Masa Depan. Buku yang ketiga terbit sebelas tahun setelah buku kedua, judulnya Revolusi Integralisme Islam . Dalam buku-buku itu saya mengajukan sebuah pandangan bahwa peradaban manusia sekarang bisa diselamatkan jika secara kolektif manusia mengikuti jalur perjalanan kaum mistikus dari berbagai penjuru dunia yang mencari kesatuan dengan realitas seutuhnya: realitas integral atau integralitas.

Setelah buku pertama saya terbit, saya mendapat tugas untuk mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu di ITB yang merupakan mata kuliah pilihan untuk mahasiswa tugas akhir. Karena mereka adalah calon-calon ilmuwan dan insinyur. Maka, saya ajukan fakta bahwa sains itu sekarang mengalami krisis internal/eksternal dan menghadapi kritik-kritik intelektual dari kalangan non-ilmuwan. Saya ajukan juga bahwa sekarang ada minoritas ilmuwan, misalnya Fritjof Capra, yang mengajukan paradigma holisme ekologistik menggantikan paradigma materialisme mekanistik. Dalam padangan ini sains/teknologi dan agama/budaya adalah sesuatu yang komplementer karena realitas adalah satu kesatuan material/immaterial yang tercermin dalam struktur ilmu eksperimen/teori. Ini mirip dengan kesatuan Yin dan Yang dalam Taoisme.

Namun saya kritik epistemologi holistik itu, karena meninggalkan transendensi dan hirarki. Kritik itu pulalah yang disampaikan oleh Ken Wilber yang kemudian pada tahun 2000, ketika mengajukan neo-perenialisme yang disebutnya sebagai integralisme universal. Pada akhir kuliah saya sampaikan pandangan integralisme yang menyempurnakan pandangan holistik tersebut. Menurut kenyataannya sebuah teori meliputi pencarian hukum-hukum alam dan prinsip-prinsip alam yang mendasari hukum-hukum tersebut. Sementara itu eksperimen itu adalah kegiatan pencarian fakta ilmiah yang menggunakan instrumen-instrumen material. Maka struktur ilmu yang lebih halus adalah instrumen-eksperimentasi-hukum-prinsip yang bersesuaian dengan hirarki materi-energi-informasi-nilai. Dalam integralisme ada sumber dari nilai-nilai sebagai puncak hirarki. Maka di atas prinsip-prinsip alam ada sumber dari prinsip-prinsip itu yaitu Yang Maha Pencipta alam semesta.

Pasca pensiun: Mengajar Lagi

Nasib saya memang aneh. Pada suatu waktu, setelah pensiun, saya diundang oleh seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung untuk memberi mata kuliah psikologi transpersonal. Saya bilang aneh, karena ketika psikolog transpersonal Ken wilber justru meninggalkan komitmen sempit psikologi transpersonal menuju filsafat yang disebutnya Integralisme Universal, saya justru harus menajamkan filsafat integralisme ke disiplin sempit psikologi transpersonal. Namun ternyata tugas baru itu mengukuhkan integralisme bukan hanya sekedar paradigma sains yang islami, tapi juga merupakan paradigma peradaban yang universal.

Soalnya, dalam penyiapan kuliah psikologi transpersonal itu saya menemukan bahwa perkembangan psikologi modern di abad ke-20 mengikuti tangga kategori integralitas. Pada mulanya ada behaviorisme yang bersesuaian dengan materi, lalu ada psikodinamisme yang bersesuan dengan energi. Kemudian ada psikologi kognitif yang berkaitan dengan informasi. Selanjutnya ada psikologi humanistik yang berkaitan dengan nilai-nilai. Akhirnya muncul psikologi transpersonal yang berkaitan dengan kategori sumber yang dalam hal manusia, itu tak lain tak bukan dari pada ruh atau spirit atau sukma. Tampaknya kesejararan integralis antara psikologi sebagai raja ilmu-ilmu sosial dan fisika sebagai raja ilmu-ilmu kealaman.

Yang lebih mengherankan, saya menemukan bahwa kesejajaran alam psikhis dan alam fisik itu ternyata merupakan keyakinan semua agama-agama tradisional dalam dimensi esoterisnya. Esoterisme Islam dalah sufisme, dalam Kristen ada mistisisme dan dalam Yudaisme ada Kabalisme . Di India ada Yoga yang merupakan dimensi esoteris Hinduisme dan Budhisme dimana yang esoterik melebur dengan yang eksoterik. Di Cina esoterisme Taoisme melengkapi eksoterisme Konfusianisme. Di Jepang esoterisme Zen melengkapi eksoterisme agama Shinto. Tampaknya integralisme menemukan esensi struktural agama-agama besar dunia seperti yang ditemukan oleh filsuf-filsuf perenialisme.

Kesimpulan: Reintegralisasi Peradaban

Jadi, kalau saya simpulkan sekarang, tampaknya dalam rangka penanggulangan krisis global dewasa ini, baik yang ekologis maupun yang ekonomis, yang dihadapi dunia, tampaknya berbagai bangsa Asia, yang sedang bangkit melalui impor sains dan budaya Barat modern yang sekularistik itu, harus mengintegrasikan sains dan budaya itu kedalam tradisi peradaban mereka sendiri dengan cara meletakkannya kembali di atas fondasi spiritual peradaban tradisional mereka: agama. Hanya dengan demikian mereka dapat menghindari atau mengurangi dampak negatif global dari kemajuan dimensi material peradaban mereka, bukan memperparahnya. Benarkah demikian? Marilah kita lakukan hal itu dan biarlah sejarah yang membuktikan benar salahnya keputusan itu.

Itulah kisah hidup pemikiran saya yang intisarinya saya sampaikan dalam bahasa Inggris pada kuliah terakhir saya Philosophy of Science di Islamic College for Advanced Studies di Jakarta sabtu lalu. Yang mengherankan saya kenapa setelah saya menyampaikan hal itu, para mahasiswa sama-sama bertepuk tangan. Mungkin mereka bergembira karena telah berakhirnya kuliah yang penuh dengan abstraksi ideal yang menyengsarakan mereka. Namun karena mereka adalah dari jurusan-jurusan Mysticism dan Philosophy, mudah-mudahan tepuk-tangan itu karena apa yang saya sampaikan ada mengena di hati mereka. Mudah-mudahan memang begitu dan mereka bisa mengembangkan integralisme ke dimensi-dimensi yang belum pernah saya sentuh. Insya Allah.

Sunday, May 23, 2010

Teknologi dan Islam

TEKNOLOGI DAN ISLAM

Armahedi Mahzar © 2010

Teknologi dalam perkembangannya yang mutakhir merupakan penerapan sains untuk kepentingan manusia. Pada umumnya penerapan itu adalah untuk menyejahterakan manusia seluruhnya, namun tak dapat dibantah bahwa pengembangan teknologi juga diarahkan pada pembuatan senjata pemusnah masal seperti misalnya senjata nuklir, kimia dan biologis. Di samping tujuan negatif dari pengembangan teknologi, teknologi yang dikembangkan untuk tujuan positif sekali pun bisa mempunyai dampak-dampak negatif pada lingkungan hidup, kehidupan sosial dan perilaku personal.

Bagi banyak kritisi, dampak-dampak negatif ini timbul karena adanya dikhotomi antara sains dan etika dalam paradigma sains modern. Dikhotomi sains etika ini yang banyak dianut di kalangan saintis yang menganggap bahwa penggunaan sains untuk pengembangan senjata pemusnah massal sebagai sesuatu yang berada di luar tanggung jawab sains yang netral secara etis. Begitu juga ketika terjadi dampak-dampak negatif sebagai akibat pengembangan teknologi sebagai sesuatu yang di luar tanggung jawab sains.

Namun belakangan muncullah kesadaran bahwa baik sains dan teknologi tak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan dari peradaban manusia yang juga mencakup cabang-cabang lain seperti misalnya budaya, ekonomi dan politik Itulah sebabnya teknologi harus dikembangkan di atas sebuah landasan filosofis atau paradigma suatu peradaban dan semua peradaban yang besar berkembang di atas landasan agama. Itulah sebabnya berikut ini akan diajukan sebuah filsafat dasar teknologi yang islami.

Hakekat Teknologi menurut Al-Qur’an

Mengenai hakekat teknologi dapat dibaca pada anak kalimat pertama ayat di atas di mana disebutkan bahwa

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
....

Tiadakah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan untukmu
apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi
dan me­nyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya yang dzahir dan yang batin

.....
(QS Surat Luqman, 31:20)

Jadi sakh-khara pada kalimat ini menunjukan bahwa alam ditundukkan Allah pada manusia, bukan manusia yang menundukkannya melalui teknologi seperti dalam kepercayaan Barat sekuler mengenai teknologi. Teknologi, pada hakekatnya, adalah bagian dari peyempurnaan nikmat-nikmat Allah pada manusia baik yaitu yang eksternal. Sedangkan nikmat yang internal berupa kepuasan batiniah karena manusia telah menyempurnakan tugasnya sebagai khalifah yang memakmurkan bumi dan beribadah kepada Allah sebagai abdiNya.. ’Abid dan khalif adalah dua peran mendasar manusia sebagai makhluk pilihanNya.

Tujuan Teknologi dalam Al-Qur’an

Dalam pandangan Islam, ilmu yang diterapkan atau teknologi adalah untuk mensyukuri nikmatNya yang berupa ilmu yang diajarkan pada orang yang mau membaca tanda-tandaNya. Tasykir adalah konsekuensi dari ta’lim. Sedangkan tujuan akhir dari tasykir, yang juga merupakan fondasi dari ta’lim itu, adalah tawhid atau mengesakan Allah.

Teknologi adalah bagian dari amal manusia. Secara ringkas hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut Hal ini sesuai dengan konsep amal sebagai syukur akan nikmat ilmu seperti yang difirmankanNya sebagai berikut :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan ingatkah juga tatkala Tuhanmu memaklumkan :
“ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu,
dan jika kamu mengingkari nikmatku ,
maka sesungguhnya azabku sangat pedih “ .

(QS, Surat Ibrahim,14: 7)

Ketika ta’lim dikaitkan dengan tawhid. maka hal ini tak lain dari manifestasi manusia sebagai abdi Allah subhana wata’ala seperti yang ditegaskanNya dalam firmanNya

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah kujadikan jin dan manusia kecuali mengabdi Aku
(QS, Surat al-Dzariyat, 51:56)

Sedangkan kaitan ta’lim dan tasykir merupakan konsekuensi posisi manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardh seperti Firman Allah subhana wa ta’ala

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ
فِي مَا آتَاكُمْ
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan Dia yang membuatmu menjadi khalifah di muka bumi
dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas yang lain dengan mengujimu dengan sesuatu yang telah diberikan kepadamu sekalian.
Sesungguhnya Tuhanmu apat cepat siksaanNya
dan sesungguhnya Dia Maha Maha Pengampun dan Maha Penyayang

(QS, Surat al-An’am 6:165)

Kekhalifahan manusia di muka bumi itu adalah konsekuensi eksistensi ruh yang ditiupkan Allah subhana wa ta’ala sebagai bagian dari kesempurnaannya sesuai dengan firman Allah

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Kemudian Dia sempurnakan dan Dia tiupkan ruh ke dalamnya,
dan Dia adakan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati
dan hanya sedikit orang yang bersyukur.

(QS Surat al-Sajdah, 32:9)

sebagai kelanjutan penciptaannya dari tanah dan air yang mengindikasikan sifatnya sebagai ’abid Allah dalam ayat-ayat sebelumnya yaitu ayat

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
.
(QS Surat al-Sajdah, 32:7)

dan ayat berikutnya

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
(QS Surat al-Sajdah, 32:8)

Konteks Teknologi menurut Al-Qur’an

Oleh sebab itu, teknologi harus dijalankan sesuai dengn etika atau petunjuk Allah yang belandaskan pada kitabNya seperti yang dapat kita pahami dari potongan ayat berikut ini

......
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ

.........
Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang terang

(Quran Suci, Surat Luqman, 31:20)

Urutan penyebutan al-’Ilm, al-Huda dan al-Kitab menyarankan adanya hirarki ilmu - etika - religi. Dalam konteks ini ilmu yang dimaksudkan adalah teknologi, sehingga pada hakekatnya terdapat perjenjangan teknologi – etika – agama.

Etika teknologi dalam Al-Qur’an

Teknologi memang sarana manusia untuk menyampaikan rasa syukurnya pada Sang Pencipta. Dasar terdasar dari wawasan Islam tentang teknologi adalah pengakuan bahwa semua makhluk diciptakan Ilahi untuk mengagungkannya seperti Firman Ilahi

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ
مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ
كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi
dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya
dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

(QS Surat An-Nur, 24:41)

Di atas dasar terdasa ini, etika teknologi dalam Islam bukanlah etika humanistik yang menganggap manusia sebagai penakluk alam, tetapi sebagai imam dari salat dan tasbih semesta dari semua ciptaanNya yang menurut Sang Maha Pencipta telah diberi hak

َمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا
إِلا بِالْحَقِّ
.......

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya,
melainkan dengan Haqq

........
(QS Surat Al-Hijr, 15:85) .

Jadi di dalam Islam bukan hanya manusia yang memiliki hak di antara makhluk Allah, tetapi semua isi semesta termasuk lingkungan hidupnya.

Disamping itu teknologi dalam pandangan Islam bukanlah merupakan sarana penakluk alam, akan tetapi merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan. Prinsip keseimbangan yang disimbolkan melalui mizan atau neraca ini adalah juga merupakan prinsip dasar etika dan hukum Islam, seperti yang difirmankanNya

(7) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

(8) أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ

(9) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

(7) Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(8) Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
(9) Dan jagalah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

(QS Surat Ar-Rahman 55:7-9)

Kesimpulan

Demikianlah filsafat dasar reknologi dalam Islam jika dilandaskan pada ayat-ayatNya. Tentu saja dia akan dapat menjadi lebih kokoh dan komprehensif jika diintegrasikan dengan filsafat dasar sains yang juga dilandaskan pada ayat-ayat relevan yang tercantum dalam Al-Quran al-Karim seperti yang ditampilkan pada artikel sebelum ini.

Satu hal yang patut dipikirkan, jika sains dan teknologi harus dilandaskan pada Bacaan Mulia, maka berarti sebuah peradaban akan menjagi utuh menyeluruh, kalau saja semua cabang peradaban dilandasakan pada Bacaan yang sama.

Itulah sebabnya, saya berharap ada di antara para pembaca artikel ini yang bisa menyempurnakannya, sehingga wawasan Islam rahmatan li al-’alamin juga mempunyai makna aktual pada segala dimensi peradaban termasuk sains dan teknologi dalam memecahkan problematika global di abad ke-21 ini. Insya Allah. Amin ya Rabb al-’ alamin

Friday, May 21, 2010

Sains dan Islam

SAINS DAN ISLAM

Armahedi Mahzar © 2010

Di abad ke-21 ini, kita dimanjakan oleh teknologi. Oleh karena itu sering kita tidak dapat melihat apa hakekat teknologi dan kaitannya yang timbal balik dengan sains. Sains dan teknologi merupakan motor penggerak peradaban manusia modern. Antara keduanya terdapat sebuah hubungan saling mendorong yang berujung pada percepatan perkembangan keduanya. Kini kecepatan perkembangan menjadi sangat tinggi sedemikian rupa sehingga menorehkan sejumlah bayang-bayang yang menakutkan di masa depan. Walaupun begitu yang digembar-gemborkan media massa justru bahwa sains dan teknologi itu akan membuat semacam surga di muka bumi. Pandangan yang serba positif tentang sains dan teknologi ini dikenal juga sebagai pandangan positivisme.

Pandangan lain positivisme adalah bahwa sains adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui realitas sebenarnya. Semua pengetahuan di luar sains adalah takhayul. Pandangan ini disebut para saintis sebagai obyektivisme. Namun para kritisi sains menyebutnya sebagai saintitis atau saintisme. Sudut lain dari pandangan positivisme adalah bahwa sains itu netral alias bebas nilai. Netralisme sains dianggap para saintis sebagai suatu yang positif. Namun para kritisi sains melihat itu sebagai dikhotomi antara fakta dan nilai atau antara sains dan etika.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk memperluas cakrawala sudut pandang kita dengan melihat sains dalam perpektif peradaban yang lebih luas di mana persoalan-persolan yang dibawanya diselesaikan dengan mengubah filsafat dasar dari kedua cabang peradaban itu. Sains diletakkan dalam landasan filsafat yang lebih menyeluruh daripada sekedar positivisme materialistik dan teknologi diletakkan dalam landasan etis yang religius yang meletakkan keduanya dalam perspektif yang lebih menyeluruh daripada humanisme sekularistik. Berikut ini akan diajukan sebuah pemikiran tentang sains dan teknologi dalam perspektif Islam berdasarkan pesan-pesan Ilahiyah yang tercantum dalam kitab suci al-Quran al-Karim.

Tujuan Ilmu Menurut al-Quran

Dikhotomi etika - ilmu menyebabkan krisis i1mu di bidang praktek, yang sering dijumpai di Barat. Kita dapat menghindari itu dengan menempatkan kembali i1mu ke dalarn konteks sosial dengan posisinya sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia. Selanjutnya konteks sosial itu harus diletakkan pula dalam konteks transendentalnya yaitu Islam.

Dalam konteks Islam, ilmu manusia harus ditujukan untuk bertakwa pada Allah SWT. Soalnya, semua ilmu adalah milik Allah, karena hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Dia mengajarkan ilmu itu pada kita sebagai manusia. Inilah yang disampaikan Allah dalam penutup surat Al-Baqarah ayat 282 berikut ini

وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan bertakwalah kepada Allah ;
Allah mengajarmu ;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Al-Baqarah,2: 282)

Memang demikianlah, Allah telah mengajarkan ilmu itu pada kita seperti pada surat Ar-Rahman, ayat-ayat 1 sampai 4,

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(Ar-Rahman 1 s.d 4)

Disebutkan dalam ini ada dua jenis ilmu yaitu al-Qur’an yang bisa dibaca dan al-bayan yang bisa diucapkan. Yang dimaksud Allah di sini dengan al-Qur’an tentunya bukanlah Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat qawliyah saja, tetapi tentu saja juga al-Qur’an, atau bacaan yang benar terhadap ayat-ayat kawniyah yang berada di alam semesta sebagai cakrawala-cakrawala dan di alam cita yang ada di dalam diri-diri manusia karena Allah telah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Fushilat :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Qur’an) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(Fushilat:53)

Apa yang ada di alam semesta adalah gejala-gejala alam yang mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum alam dan apa yang ada di dalam diri kita mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum logika. Keduanya diperlukan untuk menmverifikasi (tabayun) Kebenaran Mutlak atau al-Haqq. Jadi ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan berada dalam sebuah kesatupaduan ilmu.

Obyek Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menyebut ilmu dalam konteks berbeda-beda ber­ulang kali, namun mengenai obyek ilmu manusiawi secara gamblang Allah menegaskan adanya dua obyek ilmu yang diajarkan pada manusia adalah al~Qur’an dan al-Bayan. Ini tertera dalam ayat berikut:

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(QS Surat Ar-Rahman 55:1-4)

Al-Qur’an dalarn ayat ini jelas bukan dalarn arti yang sempit yaitu al-Qur’an al-Karim, karena ini diajarkan Tuhan pada manusia pada umumnya, bukan pada kaum muslimin saja.

Karena itu, kembali ke arti luasnya yaitu bacaan. jadi obyek ilmu adalah bacaan, dan alat untuk memahami bacaan itu yaitu kemampuan berbahasa - juga dalam pengertian yang luas - atau al-Bayan. Bacaan dalam arti luas adalah kumpulan tanda-tanda yang punya arti, yaitu apa yang disebut sebagai al-ayat dalam Qur’an Suci di berbagai surat­nya. Secara eksplisit menyebutkan hal ini adalah firman Ilahi berikut:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (al-Quran) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(QS Surat Fushilat:53)

Dalam ayat Qur’an Suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahwa ayat-ayat itu ada di cakrawala-cakrawala (’afaq) dan di dalarn diri-diri (anfus) manusia. jelas terdapat dua kategori ayat yaitu yang berada di luar, disimbolkan dengan cakrawala, dan yang berada di dalam, disimbolkan oleh diri. Yang di luar adalah gejala-gejala alam, obyek ilmu-ilmu kealaman. Yang di dalam adalah gejala-gejala budaya, obyek ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dari ayat yang sama kita dapatkan bahwa kedua jenis ayat tersebut diciptakan agar kita mengenal dan memahami kebenaran (al­-Haqq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya al-Qur’an. Ilmu ini merupakan obyek ilmu tersendiri, yaitu ilmu-ilmu keagamaan.

Jadi kita mengenal tiga kategori ilmu-ilmu yaitu: ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan atau ketuhanan - bersesuaian peristilahan Qur’ani: ’Afaq, Anfus dan al-Haqq. Sebenarnya banyak lagi yang dapat kita simak dari ayat ini, tapi marilah sekarang kita cari bagaimana atau dengan alat apa kita pelajari ketiga kategori ilmu-ilmu tersebut.

Organ dan Metoda Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menegaskan ada tiga macam alat pengtahuan manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan – disimbolkan dengan al-Sam’a, al-Abshara dan al-Af’idah. Ini dapat diketahui dari ayat berikut­

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Kemudian Dia sempurnakan dan Dia tiupkan ruh ke dalamnya,
dan Dia adakan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati
dan hanya sedikit orang yang bersyukur.

(QS, Surat As-Sajdah, 32:9)

Kalau ditelaah artinya, maka kita dapat mengasosiasikan as­-Sam’a, al-Bashar dan al-Af’idah masing-masing dengan pengetahuan yang dirumuskan dalam kata-kata, pengetahuan visual dan pengetahuan aktual. Pengetahuan verbal yaitu. pengetahuan yang didapat melalui kata-kata dan dipahami secara rasional tanpa melihat sendiri. Pengetahuan visual adalah pengetahuan yang diperoleh me­lalui penglihatan setelah melakukan eksperimen terhadap obyek ilmu. Sedangkan pengetahuan aktual adalah pengetahuan yang diperoleh secara intuitif melalui aktivitas penerapan ilmu itu. sendiri.

Mata, telinga dan hati adalah simbol­simbol Qur’ani tentang alat-alat ilmu tersebut. Perolehan pengetahuan verbal dalam puncaknya menjadi me­toda spekulasi teoritis. Praksis untuk pengetahuan visual dimatang­kan dengan metoda observasi eksperimental. Sedangkan praksis pengetahuan aktual, dalam ilmu-ilmu modern, mengejawantah dalam metoda aplikasi teknik. Barangkah bisa diduga bahwa telinga, mata, dan hati tersebut juga merupakan simbol-simbol Qur’an untuk ketiga praksis ilmu modern tersebut.

Struktur Ilmu menurut Al-Qur’an

Akhir-akhir ini para ilmuwan Barat menyadari bahwa di balik ilmu pengetahuan modern terdapat filsafat dasar, apa yang mereka sebut sebagai paradigma, yang sering lebih tersirat daripada tersurat. Benarkah hal itu? Bagaimanakah menurut Qur’an Suci mengenai hal ini? Mungkin jawabannya terdapat dalarn ayat berikut:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

....Allah mewahyukan padamu al-Kitab dan al-Hikmat
dan mengajarkan padamu apa-apa yang tidak engkau ketahui.
Adalah karunia Allah Maha Besar kepada engkau.

(QS, Surat An-Nisa’, 4:113)

Berdasarkan.ayat ini jelas.terdapat perjenjangan al-Kitab, al-Hikmat, al-’Ilm yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi, dalam Islam, ilmu punya landasan, al-Hikmat, sedangkan al-Hikmat harus, berlandaskan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi puda rasul-rasulNya. Kalau dibandingkan dengan susunan ilmu pengetahuan modern, tampaknya al-Hikmat itu setara dengan apa yang disebut sebagai paradigma ilmu masa kini. Hanya saja, ia mempunyai arti yang lebih luas dan punya landasan yang lebih mendalam, yaitu al-Kitab.

Kesimpulan

Demikianlah filsafat dasar sains dalam Islam yang jika dilandaskan pada ayat-ayatNya yang tentu saja dapat menjadi lebih kokoh dan komprehensif jika dilengkapi dengan sunnah rasul, ’ilm para ’ulama dan hikmat para hukama. Pada kenyataannya Integrasi antara ilmu, hikmat dan sunnah rasul berlandaskan firman-firmanNya dalam al-Quran al-Karim itu telah membuat peradaban Islam berjaya dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan integratif yang tangguh dan kreatif seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ar-Razi, Ibn Haitam dan lain-lainnya.

Satu hal yang bisa diperhatikan dalam filsafat ilmu di atas adalah kenyataan mengenai adanya hirarki baik di dalam obyek maupun di dalam metoda sains dan juga di dalam struktur dan tujuan sains. Itulah sebabnya peradaban Islam mempunyai struktur hirarki dalam ilmu tasawuf , ilmu fiqh dan ilmu kalam maupun dalam hikmat. Mungkin saja bagi banyak orang struktur hirarkis ini merupakan sesuatu yang telah ditinggalkan bersamaan ditinggalkannya struktur monarki hirarkis di dunia politik. Namun pandangan hirarkis itu kini perlu dipulihkan sebagai reintegrasi sains, peradaban dan agama.

Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, para pembaca bisa menyempurnakannya sehingga Islam menjadi rahmatan li al-’alamin juga dalam dimensi-dimensi peradaban sains dan teknologi sehingga dapat memecahkan problematika global di abad ke-21 ini. Insya Allah. Amin ya Rabb al-’ alamin

Tuesday, April 20, 2010

Morfogenesis Tematik

MORFOGENESIS TEMATIK

Armahedi Mahzar (c) 2010

Tadi pagi saya memberi kuliah ke-11 Morfologi Seni dengan topik Morfogenesis Tematis. Thomas Munro memang mengklasifikasi komposisi menjadi empat: representasional, utilitarian, eksposisonal dan tematis. Setiap zaman mengunggulkan satu jenis komposisi. Masing-masing jenis komposisi mendominasi pada zaman-zaman tertentu.

Misalnya, pada zaman pra-tulis komposisi utilitarian magis yang dominan. Sedangkan pada zaman tulis, komposisi eksposisonal mitologis dan teologis yang dominan. Pada zaman cetak yang melahirkan sains modern, seni didominasi oleh komposisi representasional . Akhirnya, pada zaman media elektronik, komposisi tematik mendominasi karya-karya seni.

Morfogenesis tematik adalah pengembangan komposisi yang menekankan harmonisasi elemen-elemen dalam karya seni yang diciptakan oleh seniman. Harmonisasi itu diciptakan seniman secara bertahap: dari keseluruhan menuju bagian-bagian elementer.

Proses itu adalah divisi, adisi dan variasi keseluruhan yang diikuti pembentukan komponen melalui pengelompokan, penderetan dan penyusunan elemen-elemen dan diakhiri oleh repetisi dan diferensiasi elemen-elemen.

Estetika Alam Semesta

Pada akhir kuliah, saya menjelaskan bahwa bukan hanya karya-karya seniman yang mempunyai nilai estetik. Benda-benda di alam ternyata mempunyai nilai estetik seperti misalnya kristal-kristal zat padat memiliki simetri yang identik dengan simetri rotasional dan translasional yang periodik, seperti yang dijumpai pada dinding-dinding istana Alhambra di Spanyol. Hal itu yang memotivasi saya untuk meneliti simetri partikel elementer.

Ternyata partikel fundamental adalah 3 sekawan atau triplet quark yang simetrinya adalah SU(3) sehingga dapat direpresentasikan sebagai sebuah segitiga. Yang mengherankan, ketika saya membaca hasil penelitian antropolog strukturalis Claude Levi-Strauss , saya menemukan bahwa struktur pemikiran primitif dalam mitologi suku-suku Indian dalam bentuk segitiga-segitiga yang terhubung satu sama lainnya. Lebih mengherankan lagi, ketika saya memeriksa struktur pemikiran Barat, segitiga-segitiga juga yang bermunculan.

Misalnya, Plato melihat ideal Kebenaran, Keindahan dan Kebaikan di atas puncak idealitas yang menggerakkan seluruh alam semesta. Segitiga idealitas ini sejajar dengan segitiga ilmu, seni dan teknik yang merupakan tiga cabang utama peradaban manusia. Kedua segitiga ini sejajar pula dengan segitiga filosofis logika, estetika dan etika yang merupakan ilmu terdasar bagi sains, seni dan teknologi yang diajarkan di ITB .

Lahirnya Wawasan Integralisme

Banyak lagi segitiga lain yang saya temukan yang kemudian ternyata membentuk sebuah superprisma yang jika diteliti ternyata mempunyai substruktur matriks 2 x 4, di mana 2 mencerminkan polaritas "individu-masyarakat" dan 4 mencerminkan hirarki kategori "materi-energi-informasi-nilai".

Sebagai seorang muslim, tak sulit bagi saya untuk menemukan bahwa di atas nilai ada kategori "sumber" dan di luar masyarakat ada jenjang alam dunia, alam akhirat dan Tuhan luar-alam.

Dengan demikian, ditemukanlah struktur dua hirarki, eksternalitas dan internalitas, yang saling tegak lurus satu sama lainnya dalam bentuk matriks 5x5. Juga tidak susah untuk mengambil kesimpulan bahwa, yang saya temukan adalah struktur kesatupaduan realitas yang saya sebut integralitas. Akhirnya, saya tulislah penemuan saya itu dalam sebuah buku: Integralisme, sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam.

Nah, ketika saya diminta mengajar Filsafat Ilmu di ITB, saya mengajukan sebuah struktur prinsip-teori-eksperimen-instrumentasi bagi sains yang merupakan kebalikan dari benda-gejala-hukum-prinsip alam sebagai obyek sains. Hal ini adalah konsekuensi dari sains sebagai aktivitas pembacaan alam semesta sebagai produk proses MahaCipta Sang Maha Pencipta.

Integralisme di Balik Morfologi Seni

Yang mengherankan saya, kenyataan bahwa ketika saya membaca buku Thomas Munro, sebagai rujukan utama kuliah Morfologi Seni, ternyata juga ada hirarki motivasi-tema-disain-proses pada proses kreasi seniman sang kreator yang terbalik dengan hirarki sensasi-persepsi-apersepsi-proyeksi dari apresiasi sang apresiator. Semua itu, bagi saya, adalah bayangan dan kebalikan dari hirarki nilai-informasi-energi-materi yang berasal dari dan kembali ke sumber.

Jadi, ujung-ujungnya, di akhir kuliah saya mengajukan visi integralisme: peradaban adalah bagian daripada kesepaduan realitas atau integralitas wujud. Mudah-mudahan ada di antara mereka yang bisa tercerahkan membaca kesepaduan wujud dibalik wawasan integralisme itu. Insya Allah.

Wednesday, April 14, 2010

Morfogenesis Eksposisional

MORFOGENESIS EKSPOSISIONAL

Armahedi Mahzar (c) 2010

Senin pagi kemarin, saya mengajar Morfologi Seni, pertemuan ke 10, dengan topik morfogenesis eksposisional. Komposisi eksposisional adalah karya seni yang fungsinya adalah menjelaskan sesuatu menurut suatu kerangka pemikiran tertentu.

Kerangka pemikiran yang dijelaskan berupa mitos ketika manusia masih menggunakan lisan sebagai media komunikasi dan otak sendiri sebagai media penyimpanan informasi. Karena itu pengetahuan mitologis pun dikemas dalam lagu yang berirama dan bersajak sehingga mudah diingat.

Berikutnya, kerangka pemikiran itu menjadi teologis ketika alfabet fonetik ditemukan. Maka seni eksposisional pun berubah dari yang verbal ke yang visual. Namun, kali ini, eksposisinya bukan lagi cerita tentang dewa-dewa mitologis, melainkan cerita tentang nabi-nabi dan tokoh-tokoh suci mereka seperti yang terpampang pada dinding-dinding gereja.

Memang, belakangan, teologi digantikan oleh sains ketika terjadinya revolusi Gutenberg . Oleh karena itu para pelukis pun menjadi naturalistik meninggalkan komposisi eksposisional dan menganut komposisi representasional seperti yang dibahas minggu lalu. Namun, bagaimana pun juga, seni representasional di bidang visual telah bertahan ribuan tahun.

Empat Cara Membaca seni Eksposisional.

Oleh karena itu kita harus bisa memaknai seni eksposisional secara benar. Thomas Munro mengatakan bahwa untuk menafsirkan sebuah karya seni eksposisional, kita harus menggunakan empat lapis pembacaan makna atau interpretasi: literal, alegoris, tropologis dan anagogis. Keempat lapis interpretasi itu sebenarnya ditemukan oleh Thomas Aquinas di abad pertengahan untuk menafsirkan kitab suci kaum nasrani yaitu Injil.

Pembacaan literal melihat teks itu sebagai pendeskripsi kejadian-kejadian historis yang nyata. Pembacaan alegoris melihat kejadian-kejadian historis itu terkait secara maknawi dengan kejadian-kejadian historis lainnya.

Pembacaan tropologis melihat kejadian-kejadian historis itu sebagai refleksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pembacaan anagogis melihat kejadian-kejadian historis itu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada sesuatu yang adikodrati.

Belakangan, setelah revolusi Gutenberg melalui media cetaknya yang melahirkan Renaissance itu, keempat lapis metoda tafsir itu pun juga digunakan untuk membaca semua teks: tak terbatas pada kitab suci.

Akhirnya, setelah revolusi Marconi yang melalui media elektronika analog melahirkan modernisme seni, maka semua karya seni, bukan karya sastra saja, diibaratkan sebagai "teks" yang harus dibaca dengan keempat lapis penafsiran itu.

Membaca Alam sebagai Teks Eksposisional

Di akhir kuliah, seorang mahasiswa menginginkan penjelasan yang lebih rinci tentang empat penafsiran itu. Maka karena saya seorang fisikawan, maka saya mencoba menerangkannya melalui pengalaman pribadi saya tentang keindahan terdalam alam semesta.

Seorang ahli fisika tentunya terkejut ketika ke 17 jenis simetri formasi 2-dimensi yang ditemui di kristal-kristal zat padat, ditemukan juga pada dinding-dinding istana Alhambra di Spanyol yang dibangun oleh arsitek dan seniman Muslim di pertengahan abad XIV masehi.

Tentu saja, hal ini mengejutkan mereka. Soalnya, pada zaman itu para seniman muslim belum memiliki mikroskop elektron, yang baru diciptakan pada abad ke-20, untuk melihat ke 17 buah jenis simetri dalam kristal. Pengetahuan ini, buat saya pribadi, merupakan suatu pencerahan.

Saya tercerahkan karena serta merta saya melihat Sang Maha Pencipta menciptakan alam pada tataran mikroskopik -molekuler dan atomik- secara estetik. Maka, saya pun tergoda untuk mempelajari partikel elementer sebagai bagian terkecil semua atom.

Inti atom adalah nukleus yang terdiri dari dua jenis partikel elementer, proton dan netron, yang dikira merupakan bagian terkecil dari atom, setingkat dengan elektron yang menegelilingi inti.

Namun, perkiraan itu menjadi buyar setelah diketahui, secara empirik, bahwa di samping proton dan netron terdapat lebih dari dua ratus partikel elementer yang lebih berat dari nukleon dan umurnya lebih pendek dari netron. Inilah deskripsi empiris sebagai interpretasi literal pembacaan alam semesta.

Pembacaan Spiritual Alam semesta

Deskripsi empiris ini membuat fisikawan ingin mencari keteraturan di balik keanekaragaman itu. Soalnya, Jika keseratus lebih jenis atom unsur yang ada dapat dikelompokkan menjadi tujuh kolom, dalam tabel periodik Mendeleyev, maka orang pun berharap akan adanya pengelompokan yang serupa pada partikel-partikel elementer.

Tampaknya, memang ada. Murray Gell-mann menemukan bahwa kedua nukleon yang ada merupakan bagian dari oktet baryon . Begitu juga meson-pi yang mengikat kedua jenis nukleon dalam inti juga membentuk pengelompokan oktet yang serupa.

Indahnya, kedelapan anggota oktet itu mempunyai simetri 6-putaran seperti halnya segi-enam yang beraturan. Penemuan analogi antara partikel elementer dan atom unsuriah ini dapat dipandang sebagai sebagai interpretasi alegoris pembacaan alam semesta

Begitu pula, partikel-partikel elementer lainnya juga tersusun, kalau tidak dalam formasi simetri 6-putaran , dalam formasi simetri 3-putaran seperti segitiga sama sisi. Keteraturan pengelompokan ini mencurigakan bahwa partikel-partikel elementer itu sebenarnya bukanlah atomos, atau bagian terkecil yang diramalkan Demokritos .

Soalnya, keteraturan atom akhirnya menunjukkan bahwa atom itu bukan atomos yang diperkirakan orang semula. Begitulah akhirnya ditemukan atomos yang sebenarnya yaitu 3-sekawan quark yang tersusun menjadi segi-tiga sama-sisi yang simetris 3-putaran. Pengembangan teori quark ini dapat dipandang sebagai interpretasi tropologis pembacaan alam semesta.

Sebenarnya, teori quark itu dibentuk berdasarkan pandangan bahwa semua teori fundamental fisika harus memenuhi prinsip konsistensi, prinsip simetri dan prinsip optimasi. Bagi saya hal itu menunjukkan bahwa Sang Maha Pencipta alam semesta memenuhi prinsip logik atau kebenaran, prinsip estetik atau keindahan, dan prinsip etik atau Kebaikan. Hal ini tidak mengherankan, karena Dia itu memang Maha Benar, Maha Indah dan Maha Baik.

Yang mengherankan adalah kenyataan bahwa penciptaan alam itu mengikuti sebuah prinsip yang aneh yaitu Prinsip Antropik. Prinsip Antropik itu menunjukkan bahwa semua nilai kekuatan empat gaya alam fundamental (gravitasi, elektromagnet, interaksi nuklir lemah dan interaksi nuklir kuat) adalah sedemikian rupa sehingga jika mereka lebih besar atau lebih kecil dari nilai yang sekarang, maka kehidupan manusia di muka bumi tak kan terjadi.

Hal ini, bagi saya, menunjukkan bahwa Dia merancang dan menciptakan secara teliti, bagaikan seorang arsitek, alam semesta ini sebagai tahap awal yang merupakan keniscayaan logis bagi proses penciptaan manusia pada akhirnya akan menyaksikan, melalui mata pikirannya, KeMahaBenaranNya, KeMahaIndahanNya dan KeMahaBaikanNya.

Semoga pengetahuan mata pikir ini menuntun kita ke pengetahuan mata hati akan KeMahaEsaanNya. Tampaknya renungan terdasar teori bagi interaksi partikel fundamental ini akhirnya dapat dipandang sebagai sebagai interpretasi anagogis pembacaan alam semesta.

Kesimpulan

Jika kita melihat alam secara estetik, maka tak bisa dihindarkan pandangan bahwa alam itu tidak ada dengan sendirinya, melainkan ada Maha Penciptanya. Dalam sudut pandang ini, para ilmuwan tak lain dari apresiator alam semesta sebagai Mahakarya Ilahi dan menafsirkannya seperti seorang apresiator membaca karya-karya seni.

Apresiator, menurut Thomas Munro menangkap esensi karya seni secara bertahap: sensasi, persepsi, apersepsi dan proyeksi. Sensasi menjadi persepsi karena adanya proses interpretasi literal. Bagi saya, persepsi menjadi apersepsi melalui proses penafsiran alegoris, dan apersepsi menjadi proyeksi melalui proses penafsiran tropologis. Akhirnya, dalam pandangan saya, proyeksi menjadi iluminasi melalui proses penafsiran anagogis.

Friday, April 09, 2010

Morfogenesis Representasional

Morfogenesis Representasional

Armahedi Mahzar (c) 2010

Senin lalu saya memberi kuliah dengan topik morfogenesis representasional di S2 senirupa ITB. Yang saya sebut morfogenesis adalah proses pengembangan komposisi oleh seniman akan karya seninya. Minggu lalu saya menjelaskan bahwa, menurut Thomas Munro , ada empat jenis pengembangan komposisi: utilitarian, representasional, eksposisional dan tematik. Saya katakan bahwa masing-masingnya mempunyai ciri penghiasan, peniruan, penjelasan dan penataan.

Pengembangan komposisi representasional menjadi menonjol setelah renaissance yang didorong oleh penemuan cetak tekan Gutenberg . Revolusi Gutenberg melahirkan obyektivisme sains yang berakhir dengan revolusi sains Isaac Newton . Pelukis-pelukis renaissance tidak lagi bekerja untuk menceritakan atau menjelaskan sesuatu (morfogenesis eksposisional) seperti pada zaman pertengahan Eropa dan zaman kuno di peradaban Romawi , Yunani dan Mesir kuno. Perspektivisme , realisme dan naturalisme pun menjadi gaya yang dominan dalam seni pasca-renaissance.

Analisis morfogenesis representasional menyangkut (1) obyek apa yang ditiru, (2) mengapa terjadi peniruan, (3) bagaimana perspektif peniruannya, dan (4) apa tahap-tahap peniruan itu dan (5) bagaimana kualitas tiruannya. Kelima aspek itu jalin menjalin di dalam diri seniman, proses kreasi dan produk kreatif seniman, baik dalam bidang seni rupa, maupun seni sastra dan seni musik serta seni pertunjukan.

Setelah memperinci kelima faktor morfogenesis representasional itu, maka pada akhir kuliah, saya mengajukan pandangan pribadi bahwa semua seniman adalah peniru. Sebenarnya, bukan hanya semua seniman peniru, bahkan semua manusia adalah peniru. Kebudayaan adalah sarana peniruan dari gagasan yang ingin ditiru. Ini adalah teori biolog Richard Dawkins dalam bukunya Selfish Gene.

Karya-karya manusia, menurut Dawkins, baik teknis maupun estetis, tak lain dari pada materialisasi gagasan-gagasan yang akan ditiru. Dalam perspektif ini produksi adalah reproduksi. Maka, mungkin tidak ada salahnya jika dikatakan bahwa kebudayaan manusia itu sebenarnya adalah perpanjangan saja dari kehidupan biologis. Maka sejarah peradaban manusia adalah bentuk pengayaan evolusi kehidupan biologis.

Evolusi kehidupan itu berlangsung melalui reproduksi dan dalam setiap proses reproduksi maka gen itu melakukan mutasi dan rekombinasi. Lingkungan alam akan menyeleksi gen mana yang bisa bertahan. Nah, Richard Dawkins berpendapat bahwa mem budaya, analog dari gen biologis, dalam otak manusia juga mmereproduksi dirinya melalui modifikasi, ibarat mutasi, dan sintesa, ibarat rekombinasi. Lingkungan sosial manusia lah yang menyeleksi mem mana yang bisa bertahan sebagai bagian dari kebudayaannya.

Dalam sudut pandang Dawkins yang ultra-darwinis ini, unit elementer evolusi biologis adalah gen sedangkan organisme hanyalah senjata gen untuk memperbanyak dirinya. Analog dengan ini, unit elementer perkembangan peradaban adalah mem dan otak manusia dalam budaya adalah ibarat DNA dalam biologi. Selanjutnya institusi-institusi sosial adalah senjata mem untuk memperbanyak dirinya. Evolusi budaya itu paralel dengan dengan evolusi biologis. Hanya saja, evolusi budaya berjalan dengan kecepatan yang jauh lebih tingi dibanding kecepatan evolusioner.

Pandangan Richard Dawkins ini didukung oleh teori Stuart Kauffman , tentang jaringan acak boolean swa-organisasi, yang menganggap sel-sel biologis sebagai pabrik otomatis yang dilengkapi oleh jaringan komputer yang terdiri dari DNA-DNA. Dilihat dari sudut pandang ini, maka institusi sosial budaya adalah jaringan komputer yang terdiri dari otak-otak manusia yang menata dirinya sendiri pula. Peradaban manusia adalah jaringan dari institusi sosial budaya yang membentuk apa yang disebut oleh Pierre de Chardin sebagai noosfer yang merupakan lapisan baru di atas lapisan biosfer yang menyelimuti bumi.

Pandangan Dawkins dan Kauffman tentang karakteristik komputer sistem-sistem biologis sosial ini tentunya agak aneh bagi kaum modernis yang melihat materi sebagai mesin-mesin energi. Namun setelah ditemukannya komputer sebagai mesin informasi maka wawasan bahwa pola-pola aliran energi biologis dan aktivitas sosiologis sebagai komputer merupakan suatu kewajaran saja. Soalnya, di zaman alfabetis pra-cetak, alam dipandang sebagai suatu organisme adalah suatu kewajaran karena kompleksitas otonomi organisme biologis. Di era pasca cetak-tekan Gutenberg, alam pun menjadi wajar saja jika dipandang sebagai mesin.

Sekarang, dalam era informasi yang dibawa oleh penemuan komputer , memang ada kecenderungan untuk memandang alam secara keseluruhan sebagai sebuah komputer raksasa. Misalnya hal itu dipostulatkan oleh Stephen Wolfram , fisikawan yang sukses menciptakan dan memasarkan perangkat lunak Mathematica yang berhasil melakukan operasi-operasi matematika tinggi seperti diferensiasi dan integrasi dalam kalkulus. Fisikawan lainnya seperti Seth Lloyd bahkan menganggap bahwa alam semesta sebagai sebuah komputer kuantum raksasa. Paola Zizzi adalah astronom Itali yang menganggap bahwa sejak dari awal peciptaan alam semesta adalah sebuah jaringan komputer superkecil.

Dengan transformasi paradigmatik dari pan-mesinisme materialistik ke pan-komputerisme informatik ini maka peranan seniman sebagai pembangun-pembangun bentuk menjadi lebih sentral. Para disainer industrial membuat bentuk-bentuk mesin-mesin informasi semakin cantik. Para seniman pertunjukan menghiasi media komunikasi informasi dengan komposisi-komposisi musikal dan sinematografis yang menghibur. Para seniman perupa, pelukis dan pematung membangun produk-produk yang menghiasi bangunan-bangunan arsitektur yang semakin meraksasa. Para senimanlah yang kini menghiasi lingkungan teknis dengan bentuk-bentuk estetis yang memanusiakan kembali lingkungan serba mesin itu. Itulah tugas mulia para seniman.