Friday, October 14, 2005

Integralist Diary

Halo lagi. Ini saya posting buat percobaan ngeblog (dasar saya gaptek internet). Saya pensiunan dosen Fisika ITB yang pernah nyasar ngajar Studi Futuristik di Planologi ITB, Sejarah Peradaban Islam di Senirupa ITB dan Filsafat Ilmu di Sosioteknologi ITB.
Jadi isi Blog ini pasti macam-macam alias gado-gado seperti makanan favorit saya. Tapi akan saya usahakan jadi seperti sate yang juga makanan favorit saya. Nah untuk gado-gado pertama adalah posting saya di milis kawan saya mas Andya evolusi@yahoogroups.com seperti berikut ini:

Mas Roby menulis dalam milis ini:
"Perdebatan Medy dan Tika sepertinya mirip perdebatan saya dengan Bang Armahedi. Medy dan Bang Armahedi berbicara mengenai ontologi dan saya (juga mungkin Tika) berbicara di level epistemologi."

Saya tidak bicara ontologi saja. Soalnya dalam pandangan ilmuwan Islam tradisional dulu, tak ada pemisahan antara filsafat dan ilmu. Yang kita kenal dengan nama sains sekarang dulu namanya filsafat alam. Ketika Newton menulis bukunya yang revolusioner itu dia memberi nama Principia Mathematica Philosophiae Naturalis dan menuliskan diakhir buku tersebut mengenai ruang sebgai sensorium Tuhan. Sayangnya pada edisi kedua, kata sensorium Tuhan itu justru dibuang atas permintaan penerbit. Tampak dari situ bahwa pada masa itu agama, filsafat dan sains tidak dipisahkan. Namun sayang, mungkin karena gereja Katolik telah menahan Galileo dirumahnya sendiri, gara-gara menulis buku yang menerima teori Kopernikus yang mengatakan bahwa matahari diam dan bumi bergerak berbeda dengan teori Ptolomeus yang mengatakan bahwa bumi diam dan matahari bergerak, maka penerbit itu mengusulkan begitu.

Aksioma pertama Newton pertama yang kemudian kita kenal sebagai hukum Newton pertama itu tak lain dari aksioma Galileo. Mekanika Newton adalah sintesa dari teori Galileo tentang gerak benda di muka bumi dan teori Kepler tentang gerak benda di langit diturunkan dari serangkaian aksioma tentang gerak dan rumus gravitasi universal. Bahkan Newton masih menggunakan hipotesa Tuhan untuk menerangkan perbedaan ramalan teoretisnya dengan pengamatan empiris. Baru tahun .... Pierre Laplace melakukan perhitungan lebih teliti dan menemukan bahwa penyuimpangan itu bisa diterangkan melalui teori pertubasi. Maka, ketika Laplace ditanya oleh Emperor Napoleon mengapa tidak ada kata Tuhan dalam bukunya Mekanika Benda-benda Langit, maka dia menjawab bahwa "saya tak memerlukan hipotesa seperti itu." Saya kira itulah pematangan sains Barat modern yang sekuler itu. Bersamaan waktunya dengan sekularisasi kehidupan bernegara ketika Napoleon memakaikan mahkotanya sendiri, bukan Paus seperti pada raja-raja Perancis sebelumnya.

Sekularisasi itulah diajarkan secara implisit dalam pendidikan umum di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Dan itu yang diterima oleh kita semua dan kita menganggap hal itu adalah kewajaran. Misalnya mbak Tika dan suaminya mas Roby lalu melihat sains hanya secara pragmatis (filsafat orang Amerika) belaka. Saya dulu juga berpikiran begitu. Untuk sains bahkan saya menganut Positivisme Logis seperti pak IS sampai sekarang. Lalu, untuk agama saya menganut fundamentalisme di mana sains dan agama dipisahkan seperti terpisahnya alam dan Tuhan. Sedangkan untuk seni saya menganut mistisisme yang memuja kesatuan alam.

Fragmentasi pandangan dunia dalam diri saya itu menjadi lumer ketika di Perpustakaan Oriental Studies University of Arizona Tucson saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang Jepang, mungkin Isutzu, yang menemukan paralelisme antara ajaran Ibnu Arabi (yang saya sebut Zindiq karena saya seorang fundamentalis) dan ajaran Lao Tze (yang Tao Te Ching nya bisa lebih menggetarkan hati saya dibandingkan membaca terjemahan Quran). Nah, fragmen estetis dan fragmen religius kini mulai menyatu pada diri saya di tahun 70-an itu. Nah, sepulang dari negeri Paman Sam tanpa mencapai gelar apa-apa itu, saya justru menemukan sebuah buku di toko buku Gramedia Bandung berjudul The Tao of Physics karangan Fritjof Capra. Maka meluruhlah batas antara dimensi estetik religius dengan dimensi ilmiah dalam diri saya.

Isutzu menulis tentang ontologi, Capra menulis tentang epistemologi dan agama bagi saya hanya masalah nilai-nilai (yang lucunya dalam pandangan positivisme logis dianggap sebagai non sense dan subyektif) alias aksiologi. Dengan melumernya batas antara estetika dan sains dan agama itu maka saya tidak lagi bisa memisahkan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Namun pandangan saya masih cair sampai saya membaca buku Islamic Science karangan Seyyed Hosein Nasr yang justru menunjukkan bahwa di zaman keemasan peradaban Islam (ketika Eropa dalama masa kegelapannya) memang aksiologi, epistemologi dan ontologi tak bisa dipisahkan. Seyyed Hosein Nasr juga menunjjukkan kepada saya bahwa tidak benar bahwa filsafat Islam dikatakan mati terbunuh ketika ulama Islam membakar buku-bukunya di Spanyol. Filsafat Islam justru terus berkembang di dunia Islam Syi'ah Persia dan konon berpuncak pada teosofi transendental Mulla Sadra.

Filsafat Mulla Sadra ini justru mempengaruhi Muhammad Iqbal, yang sunni di Pakistan, seorang reformis Islam terkenal. Sayangnya reformasi Islam di Indonesia justru melepaskan kontak dari tradisi termasuk pemikiran filsafat tradisional Islam. Itulah sebabnya saya berusaha menyatukan fundamentalisme, tradisionalisme dan reformisme Islam kedalam satu pandangan yang belakangan disebut sebagai integralisme Islam. Integralisme Islam mengikuti jejak Hosein Nasr yang mengakui adanya kesamaan esensial semua agama seperti yang diajarkan oleh filsafat perenialisme. Hanya saja saya tidak bisa menerima perenialisme karena mereka tidak menerima teori evolusi Darwin. Soalnya, bagi saya evolusi biologis Darwin hanyalah mata rantai dari evolusi kosmologis ke evolusi sosiologis dan teknologis dalam suatu kesatuan evolusi universal. Hanya saja dalam pandangan saya evolusi universal itu adalah tegak urus dengan involusi universal. Keduanya adalah dimensi horisontal dan dimensi vertikal kreativitas Tuan dalam penciptaan alam yang senantiasa.

Itulah sebabnya saya mengajak mas Andya berdebat tentang evolusi di milis peradaban@yahoogroup.com pada waktu itu. Karena perebatannya menjadi teknis biologis pada waktu itu, maka saya anjurkan beliau untuk membuat milis evolusi ini. Saya kagum akan beliau karena pada waktu masih mahasiswa saja pada waktu itu telah berani melawan Harun Yahya dengan website yang saya tidak tahu masih ada atau tidak. (masih adakah website itu nggak mas Andya? ) Saya pikir alamat websitwe itu sebaiknya dicantumkan pada pada setiap posting Anda sebagai bukti virtual eksistensi Anda di samping alamat blog Anda yang juga terlupa oleh saya). Saya pikir semua peserta milis ini jika mempunyai blog atau website sebaiknya mencantumkan alamatnya sehingga nanti kita bisa saling memasukkan alamt-alamat teman-teman itu kedalam website kita masing-masing.

Ini alamat website saya
http://integralism.faithweb.com

dan ini adalah alamat blog saya
http://integralist.blogspot.com

Tapi saya malu, karena tak pernah mengupdate situs-situs web itu. Jadi link-linknya mungkin banyak yang tidak berlaku lagi. Nanti kalau sempat saya akan update lagi.