Tuesday, July 23, 2013

EDWARD SNOWDEN: Pembocor Terbesar NSA


EDWARD SNOWDEN:
Pembocor Terbesar NSA

http://a.abcnews.com/images/US/ap_nsa_snowden_tk_130610_wg.jpg 
Edward Joseph Snowden lahir 21 Juni 1983 di Elizabeth City, North Carolina,[2] dan dibesarkan di Wilmington, North Carolina.[13]  Pada tahun 1999, Snowden pindah ikut keluarganya ke Ellicott City, Maryland,[13] Dia belajar di Anne Arundel Community College[13] untuk melengkapi persyaratan ijazah SMA nya tapi gagal menyelesaikannya.[16][17] Snowden mengambil dan berhasil lulus ujian  GED di community college lokal.[11][18][19]

Pada tanggal 7 Mei 2004, Snowden terdaftar sebagai calon Special Forces di  United States Army akan tetapi tidak bisa menyelesaikan pelatihannya.[1][25]  Empat bulan kemudian dia dibebas tugaskan pada tanggal 28  September setelah kedua kainya patah dalam suatu kecelakaan dalam pelatihan.[26]
Pekerjaan berikutnya adalah sebagai satpam National Security Agency (NSA) pada Center for Advanced Study of Language di University of Maryland,[27] . Setelah itu dia bekerja di Central Intelligence Agency (CIA) di bidang IT security.[28]  Pada tahun 2007 CIA menempatkannya sebagai diplomatic cover di Geneva, Switzerland, di mana dia bertanggung jawab mengenai keamanan jaringan komputer.[29]

The Guardian mengatakan bahwa Snowden meninggalkan CIA pada tahun 2009 bekerja pada sebuah kontraktor swasta bagi NSA di pangkalan militer AS di Japan[11] yang kemudian diidentifikasi sebagai Dell,[33] yang memiliki bnayak kontrak besar yang rahasia.[33] Menurut The New York Times, Snowden mengambil Certified Ethical Hacker pada tahun 2010.[36] 


Snowden tetap bekerja pada Dell hingga awal 2013.[33] NSA Direktur Keith Alexander berkata bahwa Snowden menjabat posisi di NSA selama 12 bulan sebelum bekerja sebagai konsultan ,[34] di Top Secret Sensitive Compartmented Information clearances.[35] 



Selama tiga bulan pada tahun 2013, dia bekerja pada perusahaan konsultasi Booz Allen Hamilton kontraktor NSA di Kunia Regional SIGINT Operations Center Hawaii,[39][40][41]bekerja dengan gaji $122,000 setahun.[42] 


Di sana dia menjadi "analis infrastruktur", yang tugasnya mencari cara-cara menembus aliran telpon dan internet di seluruh dunia.[43] Dari sana jugalah Snowden kemudian membocorkan informasi rahasia NSA terutama pada Glenn Greenwald, wartawan koran London The Guardian, pada musim semi 2013.

The Guardian kemudian menyiarkan berita rahasia itu secara bersambung pada bulan Juni–Juli 2013 dan mengungkapkan adanya program penyadapan telpon dan metadata internet di AS dan Eropa bernama  PRISM dan Tempora. Penyingkapan rahasia oleh Snowden adalah yang terbesar tentang NSA dalam sejarah Amerika Serikat.[8][9]


Pembocoran Snowden telah menimbulkan perdebatan besar. Sebagian orang menganggap Snowden sebagai seorang pahlawan dan whistleblower, sementara orang lain menyebut dirinya sebagai seorang pengkhianat. Snowden membela pembocorannya sebagai usaha untuk "menginformasikan kepada publik tentang apa yang diperbuat atas nama mereka untuk melawan mereka sendiri".[7][10][11]
Snowden meninggalkan Hawaii menuju Hong Kong pada tanggal 20 Mei 2013 dengan membawa data-data rahasia dalam NSANET, salah satu jaringan komputer terahasia di AS. 

Pada tanggal 14 Juni 2013, Jaksa Agung AS menuntut Snowden sebagai mata-mata dan pencuri harta negara.[12]  . Karena itu dia lari ke  Moskow pada hari Minggu tanggal 23 Juni  2013, karena pemerintah Hong Kong menerima permintaan dari pemerintah AS untuk mengekstradisinya.[49]


Sudah sebulan, nasibnya terkatung-katung di Sheremetyevo Airport Moscow, dan dia baru muncul di depan publik pada tanggal 23 Juli bertemu muka dengan para aktivis hak-hak asasi manusia dan memohon suaka sementara di Rusia.

Ada tiga negara di Amerika Selatan, Nicaragua, Venezuela dan Bolivia, mengatakan akan memberi suaka pada Snowden asylum, akan tetapi kesulitan logistik untuk membawa buronan internasional ke Amerika Latin masih belum bisa di tembus.

Sementara itu Transparency Germany akan memberikan hadiah sebesar $4000 sebagai penghargaan terhadap perjuangan Snowden membela hak-hak asai manusia.



PRISM: Program Rahasia Pengintai Anda




PRISM:
Program Rahasia Pengintai Andahttp://www.freedomworks.org/files/imagecache/full/PRISM.jpg

PRISM
adalah sebuah program penambangan data  melalui clandestine mass electronic surveillance operated by the United States National Security Agency (NSA) sejak tahun 2007. PRISM adalah nama sandi pemerintah untuk usaha pengumpulan data oleh SIGAD US-984XN.
PRISM dimulai sejak berlakunya Protect America Act dibawah Pemerintahan Bush. Program berjalan dibawah pengawasan U.S. Foreign Intelligence Surveillance Court (FISA Court, or FISC) sesuai dengan Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA).

Eksistensi PRISM dibocorkan enam bulan kemudian oleh seorang kontraktor NSA Edward Snowden  https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTLG1hUaqoTN0-uBJAZUgfAn4l7ey26r3hteKS36FRHK5L23pku, yang menyatakan bahwa pengumpulan data rahasia itu juga meliputi orang-orang yang dianggap berbahaya dan kriminal.[12]  Rahasia ini dibocorkan pada  The Guardian and The Washington Post pada tanggal 6 Juni 2013.

http://www.slate.com/content/dam/slate/articles/life/low_concept/2013/06/130607_PRISM_ppt_1.jpg.CROP.original-original.jpg

The Guardian telah memverifikasi keaslian dokumen tersebut. Ke 41 buah slide presentasi PowerPoint - diklasifikasikan sebagai rahasia tanpa distribusi sekutu asing - yang tampaknya digunakan untuk melatih kemampuan program para agen intelijen.
Dokumen rahasia itu menunjukan bahwa PRISM was "the number one source of raw intelligence used for NSA analytic reports."[13]

Informasi itu dibocorkan sehari sesudah pengadilan FISA Court memerintahkan
Verizon Communications untuk menyerahkan data telefon para pelanggannya setiap hari secara langsung.[14][15]

Guardian mengungkapkan bahwa NSA mengaku memiliki "akses langsung" program PRISM bekerja sama dengan banyak perusahaan utama
internet , termasuk Microsoft, Skype, Apple, Google, Facebook dan Yahoo. Program akses NSA ini merupakan bagian dari program sebelumnya dirahasiakan.

Aliran data PRISM meliputi seluruh dunia


http://www.washingtonpost.com/wp-srv/special/politics/prism-collection-documents/images/prism-slide-2.jpg

Program Prism ini awalnya hanya diikuti oleh Yahoo pada tahun 2008, namun Google, Facebook dan PalTalk mengikutinya pada tahun 2009, YouTube pada tahun 2010, Skype dan AOL pada 2011, dan akhirnya, Apple bergabung dengan program ini pada tahun 2012. 


http://static.guim.co.uk/sys-images/Guardian/Pix/pictures/2013/6/7/1370595340751/A-slide-from-the-Prism-pr-001.jpg

PRISM, memungkinkan NSA untuk mengumpulkan data komunikasi personal , termasuk riwayat pencarian di Google, isi email, beserta file tang ditransfer bahkan isi chatting secara langsung.


http://i.i.cbsi.com/cnwk.1d/i/tim2/2013/06/06/PRISM-slide-crop-001.jpg
Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa "Koleksi langsung dari server" penyedia layanan utama AS yang NSA, juga dibagikan juga pada FBI dan CIA. 

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d1/Prism-slide-7.jpg

Menurut NSA, "lebih dari 2000 laporan berbasis PRISM" dilaporkan setiap bulannya. Ada 24005 laporan pada tahun 2012, naik 27% dari tahun sebelumnya. Keseluruhannya, ada lebih dari 77000 laporan intelligence dibuat berdasarkan PRISM program.

Monday, July 22, 2013

Islam Nuswantara Pra-Majapahit

ISLAM NUSWANTARA PRA-MAJAPAHIT:
rekonstruksi sejarah Nuswantara



Tahun 675M, abad 7M, atau sejak 650, telah terbentuk sebuah segitiga silaturrahmi di Nuswantara, yakni antara daulat Ta Jik (Ta Ce di Swarnabhumi/ Sumatera Utara), Ho Ling (Kalingga di pesisir utara Jawadwipa)- Kanton (Kwang Tung di China Selatan). Pada era Ratu Sima bertahta di daulat Kalingga (Jepara sekarang), telah terjadi relasi silaturrahmi antara daulat-daulat muslim di Nuswantara dengan daulat muslim di China.

Jaringan ini meliputi berbagai aspek kehidupan dari mulai perdagangan, pemerintahan, hingga pendidikan agama Islam . Inilah salah satu jaringan (network) yang terjalin semenjak Imam Agung Ali bin Abithalib berkelana selama sekitar 23 tahun (632-655) keluar dan di luar pusat kepemimpinan Islam dunia, kota suci Madinah, dan Timur Tengah pada umumnya.

Bencana politik di pusat kepemimpinan dunia Islam di Timur Tengah, mengakibatkan terjadinya eksodus para duriyah Nabi berikut tradisi ilmiyah Kuffah. Melalui Jalur Sutra Laut, para duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ini melarikan diri ke perairan Nuswantara, lalu ke Kanton (China Selatan). Sedangkan lewat Jalur Sutra Darat mereka melarikan diri ke Xin Jiang (China Barat Laut).

Arus eksodus para duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ke Xin Jiang (China Barat Daya, efek Jalur Sutra Darat) dan sekitarnya ini menjadi cikal bakal bagi Islam di Mongol. Sedangkan arus eksodus duriyah dan tradisi ilmiyah Kuffah ke Nuswantara lalu ke Kanton (China Selatan, efek Jalur Sutra Laut) menjadi cikal bakal Islam di perairan Nuswantara dan China.

Perairan Nuswantara ketika itu meliputi Swarnabhumi utara (Pali), Swarnabhumi Selatan (Sriwijaya Malayu), Jawadwipa Kulwan (Sunda), Jawadwipa tengah dan timur (Holing/ Kalingga), dan Bakulapura atau kawasan Indonesia Tengah dan Timur sekarang.

Islam di Sumatra


Sejarawan Gerini mencatat bahwa sekitar tahun 606 telah banyak pengikut GK Nabi Muhammad SAW yang mukim di Nuswantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nuswantara hingga ke China selatan. Sekitar tahun 615 sahabat GK Nabi Muhammad SAW, Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim di Aceh.

Mereka mendirikan kabilah Thoiyk. Catatan China menyebutnya Ta Chi atau Ta Jik. Catatan Nuswantara menyebut mereka sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). Sekitar tahun 670 kepemimpinan durriyah di Jawadwipa berdiri dengan munculnya Sri Ratu Sima dari Kalinggawangsa (Jepara, Jawa Tengah). Mereka bisa jadi adalah para duriyah pelarian Timur Tengah yang mukim di Jawadwipa. Mereka juga disebut dari “keling”.

Tahun 800, datang rombongan pelarian Timur Tengah ke Taceh. Mereka berjumlah sekitar 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Semua muslim di Swarnabumi utara ini kemudian membentuk kerajaan Perlak. Yakni dari nama kayu peureula (sejenis kayu jati) yang sangat baik untuk bahan pembuatan kapal waktu itu.

Dan mereka menamakan pelabuhan internasional di Perlak waktu itu sebagai Bandar Khalifah. Jadi jika di Timur Tengah berdiri kepemimpinan rejim Arab berupa Dinasti Umayyah dan Abassiyah, maka “Nakoda Khalifah” atau kepemimpinan khalifatullah fil ard, sayyidin panatagama, berdiri kokoh di Nuswantara .

Percampuran para durriyah dengan orang-orang Nuswantara melestarikan genetika GK Nabi Muhammad SAW dan keluarga suci beliau. Hampir semua orang Nuswantara sekarang ini keturunan GK Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian mereka juga keturunan keluarga Imam Agung Baginda Ngali dan Sayyidah Fathimah Az Zahra. Di samping itu, dari uraian di atas tradisi Islam di Nuswantara merupakan kelanjutan dari tradisi para sahabat, ahli ibadah, para sufi, dan juga budaya ilmiyah dari kota suci Kuffah. Hanya saja bahasa yang digunakan adalah bahasa dan tradisi sansekerta, kemudian Melayu kuno, dan Jawa kuno.

Tradisi ilmiyah Kuffah di Timur Tengah melanjutkan diri dengan menerjemahkan buku-buku dari hampir seluruh budaya dunia ke dalam bahasa Arab. Misalnya menerjemahkan buku-buku karya Plato dari Yunani. Orang-orang Eropa kelak kemudian, memahami bahasa Yunani dari buku-buku terjemahan bahasa Arab ini. Jadi mereka tidak langsung mengenal bahasa Yunani seperti citra yang terjadi sekarang.

Di Nuswantara, tradisi Kuffah ini melanjutkan diri juga dengan menerjemahkan buku-buku dari berbagai budaya dunia ke dalam bahasa Jawa Kuno atau Melayu Kuno. Misalnya penerjemahan Kakawin Ramayana karya Walmiki dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa kuno oleh seorang ulama Mdang Poh Pitu bernama Mpu Yogiswara (Sanjayawangsa, 900).

Fenomena unik yang khas Islam Nuswantara (kelanjutan dari tradisi ilmiyah di Kuffah) berikutnya adalah berdirinya universitas-universitas agama Islam. Khalifah dan para ulama durriyah di Swarnabhumi utara (Perlak) mendirikan universitas Islam Dyah Bukit de Cerek (840) dan Dyah Cotkala (850). Mereka didirikan untuk mengembangkan ajaran dan tradisi ilmiyah Islam di Nuswantara. Fenomena unik ini terjadi bahkan sebelum muncul tradisi sekolah di Andalusia dan Baghdad.

Tahun 840, abad 9M, berdiri Kesultanan muslim duriyah-Kuffah di Perlak, Aceh sekarang, di sisi barat Selat Malaka. Kerajaan ini merupakan kebangkitan kepemimpinan para duriyah-Kuffah di dunia Islam. Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak adalah keturunan duriyah-Kuffah sejak jaman Tajik tahun 650.

Gelar “Saiyidin Maulana” secara jelas menunjukkan identitas duriyahnya.
Kemudian tahun itu juga Bandar Perlak berganti nama menjadi Bandar Khalifah. Pergantian nama ini seakan mengumumkan kepada dunia Islam bahwa Pelabuhan dan negeri Perlak di Nuswantara adalah kekhalifahan yang sesungguhnya. Kepemimpinan Islam dunia dari para durriyah Nabi SAW yang meneruskan Imamah dan Nubuwah. Di sisi lain, bandar ini sangat strategis karena merupakan gerbang (Selat Malaka) memasuki perairan Nuswantara-China.

Kepemimpinan duryah-Kuffah di Nuswantara ini juga membangun Universitas Islam non-Timur Tengah pertama di dunia. Yaitu Universitas Islam Dyah Bukit de Cerek di Perlak Tunong dan Universitas Islam Cotkala di Perlak Baroh. Kepemimpinan muslim di Swarnabhumi utara ini dipegang oleh dua keluarga duriyah-Kuffah, yaitu keluarga Azizah dan Makhdum. Universitas ini –dan juga universitas Islam lainnya di Nuswantara- kelak menjadi tempat menimba ilmu para ulama dan pelajar dari mancanegara.

Islam di Jawa


Di Jawadwipa pengajaran dilakukan para ulama dengan membangun monumen-monumen berupa candi yang merupakan teks simbolik ajaran Islam sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam raya. Hal ini kemudian juga diajarkan kepada durriyah di Champa sekitar abad 10. Sri Sultan Jayawarman (990) dari Champa ketika muda sempat belajar membuat candi ke kesultanan Sriwijaya, di Malayu, Swarnabumi Selatan.

Tahun 730, seluruh Swarnabhumi/ Sumatera telah menjadi daulat-daulat Islam. Sri Sultan Jayawarman juga belajar Islam dan teknologi candi di Jawadwipa selama kurang lebih 2 tahun. Di samping itu di Jawa (Timur) di sekitar Warugasik-Watugaluh kelak kemudian berdiri Madrasah Giri .

Tahun 947, abad 10M, Sri Baginda Sultan Sendok (Mpu Sendok, duriyah turunan dari Ratu Sima, Kalingga) membentuk kota Watugaluh bersama turunan keluarga duriyah Makhdum dari Perlak. Kolaborasi duriyah Isyana -Makhdum ini mengembangkan pelabuhan Warugasik/ Gresik dan Watugaluh menjadi pelabuhan internasional di Jalur Sutra Laut.

Kolaborasi dua keluarga duriyah ini (Isyana-Makhdum) yang juga symbol kekerabatan Jawadwipa-Swarnabhumi kelak menurunkan sultan-sultan yang ulama (satriya pinandhita). Mereka adalah sultan-sultan di Jawadwipa seperti kesultanan Kahuripan, Kadhiri, Singhasari, Majapahit, Demak, Cirebon (dari turunan Sunda), Pajang, Mataram, hingga Yogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sekarang.

Di samping itu mereka juga menurunkan trah ulama “pangemban praja” (pandhita sinatriya). Keturunan Isyana menjadi para Sunan atau Wali tanah Jawi seperti Sunan Giri. Dan trah Makhdum seperti Kyahi Ageng (Syekh Al akbar) Hibatullah Makhdum, Kyahi Ageng Maimun Makhdum, Kyahi Ageng Abu Kasan (suami Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, wafat 1082), Syekh Ngali Syamsu Zein , bahkan kelak menurunkan para Sunan/ Wali tanah Jawi seperti Sunan Ngampel, Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim), Sunan Drajat, dll.

Singkatnya, duriyah Nabi SAW di Nuswantara membentuk pasangan “priyagung/ priyayi agung” tanah Jawa/ Nuswantara, yakni jalur Janandaru atau satriya pinandhita, atau raja-pemerintah ulama. Dan jalur Dewandaru atau ulama pangemban praja . Pasangan priyayi agung demikian inilah yang disebut oleh peneliti anthropolog politik asal USA, Prof. Dr. Mark Read Woodward , sebagai imperial cult. Kelak kepemimpinan sultan dan ulama di nagari Kedhiri (1117-1222) menjadi ahli waris dari imperium Islam besar Isyana-Makhdum dengan aset pelabuhan internasional (Jalur Sutra Laut selatan) Warugasik (Gresik sekarang) dan Watugaluh (Ngampel, Surabaya sekarang).

Tahun 996-1006, abad 11M, Sri Sultan Dharmawangsa Teguh penerus duriyah dari Isyanawangsa melakukan ekspedisi ke selat Malaka. Beliau memerintah di Watugaluh, Jawadwipa Timur. Ekspedisi ini bisa jadi untuk pengamanan perairan duriyah-Kuffah Nuswantara.

Di samping itu beliau juga memblokade pelabuhan Palembang (Sriwijaya) untuk menyelenggarakan musyawarah perdamaian “sesama duriyah-Kuffah” baik dari Kesultanan Perlak, Kesultanan Sriwijaya, maupun Kesultanan Jawadwipa. Kesultanan di Perlak waktu itu sedang terjadi pertikaian sengit antara Perlak Baroh (keluarga Azizah) dengan Perlak Tunong (keluarga Makhdum).

Kedaulatan Sri Sultan Dharmawangsa Teguh di Watugaluh saat itu didukung oleh keluarga besar duriyah dari Gusti Ayu Fatimah binti Maimun dan suami beliau Kyahi Ageng Sayyid Abu Kasan. Paman Fatimah (adik Kyahi Ageng Maimun Makhdum) yang bernama Kyahi Ageng Sayyid Muhammad Saleh adalah menantu Sultan Perlak saat itu, yakni SMAM Ibrahim SJB (976-1012). Sri Sultan Dharmawangsa Teguh sendiri memiliki permaisuri putri Perlak .

Bahkan hampir semua sultan di Jawadwipa hampir bisa dipastikan memiliki permaisuri putri keturunan durriyat Malayu dan atau Perlak. Hal itu terdapat dalam catatan-catatan mengenai sultan-sultan Sunda, Medang Poh Pitu (Gresik), Kahuripan, Kediri, Singhasari, Majapahit, bahkan sampai Mataram, Ngayogyakarta, dan Surakarta Hadiningrat sekarang ini.

Tahun 1042, Watugaluh pusat pemerintahan Isyanawangsa (Mdang ) berganti nama menjadi kesultanan Kahuripan dengan pusat kepemimpinan di kota Wutan Mas. Yang bertahta saat itu adalah Sri Sultan Airlangga. Beliau membangun Kota Wutan Mas, membangun Pelabuhan Watugaluh, memperbaiki pelabuhan Kambang Putih di Tuban. Singkatnya, Jawadwipa mencapai salah satu masa keemasannya di kala itu. Hal ini kelak juga diwariskan kepada Kadhiri/ Panjalu di Daha/ Dahanapura.

Tahun 1117, abad 12M, Sri Sultan Kamesywara (Bamesywara, 1117-1130) cucu Sri Sultan Airlangga di Jenggala/ Wutan Mas, Kahuripan, menikah dengan Putri Candrakirana. Putri Galuh Candrakirana. Gusti Ayu Galuh Candrkirtana ini juga cucu Sri Sultan Airlangga dari Daha/ Dahanapura, Kedhiri Panjalu. Pernikahan ini menyatukan kembali negeri Kedhiri (semula Kahuripan) dari era palihan nagari tahun 1049 (menjadi Jenggala/ Kahuripan dan Daha/ Kedhiri).

Kesultanan Islam warisan Sultan Airlangga ini kembali mencapai era kejayaan dan kemakmuran bagi kawula muslim Jawa. Kesultanan ini berpusat di Kedhiri Panjalu dengan pusat kepemimpinan di Daha atau Dahanapura. Kemakmuran Kedhiri Panjalu demikian ini kemudian dilanjutkan oleh Sang Prabu Sri Sultan Jayabaya. Beliau adalah adik dari Sri Sultan Kamesywara atau Bamesywara.

Sri Sultan Kamesywara dan Permaisurinya, terkenal sebagai pasangan legendaris dalam cerita Raden Inu Kertapati dan Dewi Galuh Candrakirana. Mereka juga djsebut sebagai Pangeran Panji Semirang Asmarataka dan Putri Galuh Candrakirana dalam Serat Smaradhana. Serat ini dituliskan oleh seorang ulama Kedhiri bernama Mpu Dharmajaya. Adik beliau, Sang Napanji Sri Sultan Jayabhaya ketika jumeneng nata (bertahta) terkenal dengan karya Serat Jangka Jayabaya atau Nubuwwah Al Islamiyyah (dalam bahasa arab). Kemakmuran dan tradisi intelektual Islam seperti ini menjadi latar kejayaan kesultanan Majapahit.

Tahun 1270, abad 13M, Sri Sultan Kertanagara dari kesultanan Singasari (semula Kedhiri Jenggala) melakukan pengamanan dan silaturrahmi ke seluruh Nuswantara, terutama sekitar selat Malaka. Ekspedisi itu disebut sebagai Pamalayu. Beliau bersilaturrahmi ke Malayu atau Sriwijaya di Swarnabhumi Selatan (Jambi dan Palembang sekarang) dan Champa (Thailand, Vietnam, dll). Permaisuri Kertanegara adalah duriyat dari Malayu/ Swarnabhumi. Adik perempuan Sri Sultan Kertanegara bahkan diboyong hijrah ke Mekah untuk naik haji dan diperistri Syarif Mekah saat itu.

diracik dari http://hangnohartono.blogspot.com/2010/02/kesultanan-majapahit.html

Misteri Kitap Tua Idharul Haq

Misteri Kitap Tua Idharul Haq
Oleh Nab Bahany As



PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama (tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980, di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang dirham pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para Sultan kerajaan Islam Samudra Pasai.
Keraguan para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kita Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan kegiatan sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi, Kecamatan Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang warga bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit. Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk tanah gayo.
Selama berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia lanjut. Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik rumah memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur Mitra saat itu.
Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut ruangan, hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada saya. Kami mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga masalah sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam Perlak di Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian Kerajaan Islam Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah. Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Saya kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab berukuran 30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya periksa. Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu adalah hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis sama dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun mengaku kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya karena ia sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah dibawa kemana pun.
Lepas asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke dalam huruf latin.
Menginat kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah Islam di Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu Drs Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada di tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus menjadi koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.
Menggali ulang

Kita patut bangga atas upaya Yayasan Monisa yang dipimpin Drs. Badlisyah yang didukung Pemkab Aceh Timur yang akan menggali kembali keabsahan sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an. Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu
nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana didugna, bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab. Menurut Deddy Satria bentuk batu nisan pada makam Sultan Maulana Abdul Aziz Syah yang kami gali itu ada kemiripannya dengan nisan-nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi. Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu nisan tertua di Aceh, karena menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera Pasai Aceh Utara.
Temuan Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah menjadi kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam tertua di Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan Maulana Abdul Aziz Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam tertua diragukan.
Nah, sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28 kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad (Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20 tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30 menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.
Kami langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami untuk menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami yang memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah. Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Membongkar dokumen keluarga

Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak. Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah. Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Alhamdulillah, alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan cucu Kek Adu. Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab Idharul Haq, ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil sahabatnya di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan pada keluarga. “Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra. Dimana kitab Idharul Haq berada?
* Penulis adalah alumnus Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, anggota masyarakat sejarawan Indonesia (MSI) Aceh, dan ketua (LSKPM) Banda Aceh.
sumber : http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/03/11/menguak-sejarah-kerajaan-islam-perlak/

Kesultanan Peurlak

Kesultanan Peurlak,
Kerajaan Islam yang Pertama di Asia Tenggara

 oleh : Amin Farazala  Al Malaya


Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran, setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua bidang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai kepada derajat tersebut.
Secara khusus, kecintaan bangsa Iran kepada Ahlulbait tidak ada bandingannya. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal. Mengenai Ahlubait, orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain as pada bulan Muharram. Peristiwa ini, atau yang dikenal sebagai tragedi Karbala, adalah sebuah pentas kepahlawanan dunia, yang telah mempengaruhi kebudayaan bangsa-bangsa non-Muslim.
Kisah kepahlawanan ini sudah berabad-abad selalu menjadi inspirasi dan tema penting bagi para penyair dan pemikir Iran. Ia juga merupakan episode sejarah yang penting dalam khzanah ajaran Syi’ah dan Sunah, dan bahkan kesusastraan dunia.
Dalam syi’ah, kecintaan kepada Ahlulbait merupakan kecenderungan yang abadi. Tanpa kecintaan ini, agama akan kosong dari ruh cinta. Bahkan, sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila tidak memiliki rasa cinta kepada Ahlulbait, maka seseorang telah keluar dari Islam. Budaya cinta kepada Ahlulbait, yang merupakan bagian dari pemikiran dan tradisi bangsa Iran, telah membekas diseluruh negeri Islam. Hal ini terkadang juga disebut sebagai pengaruh mazhab Syi’ah yang tampak pada kebudayaan Indonesia dan kaum Muslim dunia.
Kebudayaan Iran memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap kebudayaan Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa sejak dahulu telah terjalin hubungan antara Iran dan Indonesia sehingga berpengaruh sangat kuat terhadap kebudayaan, tasawuf, dan kesusastraan. Meskipun mayoritas Muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, penelitian menunjukan bahwa kecintaan Muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh orang-orang Iran.
Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakannya tampak dalam bentuk kebudayaan dan kesusastraan. Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari India, orng-orang Iran memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya. Ada dugaan bahwa sebagian besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah. Dimungkinkan pada masa awal perkembangan Islam disini, fikih Syi’ah-lah yang berlaku.
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.
Untuk menggenapi informasi maklah ini , saya membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri. Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sangat menentang aliran Syi’ah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abu Thalib yang juga menantu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak mengherankan aliran Syi’ah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syi’ah terpaksa harus menyingkir dan wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Asia  Tenggara yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Asia  Tenggara   yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh TimurAceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.
Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhanniaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari ArabdanPersia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Ada banyak kerajaan Islam di Indonesia. Tentu ini adalah salah satu faktor yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dari sekian banyak kerajaan, kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Timur, daerah Perlak di Aceh sekarang. Ada sedikit yang ganjal di sini. Dalam buku-buku teks pelajaran di sekolah, disebutkan kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai.
Kesultanan Perlak adalah kerajaan islam pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292 Masehi di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut masuk dalam wilayah Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga, perlak sering disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat, malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena singgahannya kapal-kapal asing itulah masyarakat islam berkembang, melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara.
.
Fakta menyebutkan Perlak lebih dulu ada daripada Samudera Pasai. Kerajaan Perlak muncul mulai tahu 840 M sampai tahun 1292 M. Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama mengambil lokasi di Aceh. Berdiri tahun 1267, Kerajaan ini akhirnya lenyap tahun 1521. Entah mengapa dalam buku-buku pelajaran, tertulis secara jelas kerajaan Samudera Pasai-lah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Sebuah kesengajaan….
Telah menjadi catatan para ahli sejarah dan ilmuan terutama Abu Ishak Al-Makarany Pasy bahwa kerajaan Islam-I-Asia Tenggara adalah telah didirikan di Peureulak dengan Ibukotanya, Bandar Khalifah.
Menurut penelitian para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan, Persia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Letak geografis daerah Aceh sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan persinggahan yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik pelayaran berikutnya dari Cina menuju Persia ataupun Arab dengan menempuh samudra luas. Salah satu kota perdagangan pada jalur tersebut adalah Jeumpa dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan
.
Jeumpa Aceh adalah sebuah wilayah  yang keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana penguasa  Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke “Pintou Rayeuk” (pintu besar)
.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
SEBELUM  ISLAM, ACEH  BERADA  DALAM KEKUASAAN  ORANG ORANG HiNDU DARi GUJARAT, BEGiTU  JUGA MEURAH  PERLAK (YANG TiDAK PUNYA KETURUNAN) JUGA BERAGAMA  HINDU
Adapun catatan-catatan berkaitan menyebut Maharaja Salman datang ke Aceh atau lebih tepat ke wilayah Jeumpa dianggarkan pada tahun 777 Masihi. Kedatangan rombongan 100 orang pendakwah ke Perlak yang diketuai Nakhoda Khalifah pula dikatakan berlaku sekitar 804 Masihi. Catatan turut menyebut Maharaja Salman telah berkahwin dengan Puteri Mayang Seludang daripada Jeumpa.
datanglah rombongan dakwah dari Persia yang  salah satu anggotanya adalah pemuda tampan yang dikenal dengan Maharaj Syahriar Salman  al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao.
Seorang Putra dari Dinasti Sasanit Pangeran Salman meninggalkan Tanah Airnya menuju timur jauh dengan dan Asia Tenggara untuk berniaga dan berdakwah dengan kapal dagangnya. Maharaja Salman dikatakan mendapat 4 orang putera – Syahir Nuwi, Syahir Tanwi, Syahir Pauli, Syahir Dauli – dan seorang puteri, Tansyir Dewi juga dikenali sebagai Makhdum Tansyuri. Puteri inilah yang kemudian berkahwin dengan Ali bin Muhammad daripada rombongan Nakhhoda Khalifah. Anak dari hasil perkahwinan ini diangkat menjadi Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz yang diisytiharkan sebagai Sultan pertama kerajaan Islam Perlak pada tahun sekitar 840 Masihi.
Ada pihak membuat telahan bahawa Maharaja Salman adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan Saidina Hussein AS, cucu lelaki kedua Nabi Muhammad SAW. Alasan yang digunakan adalah kerana anak-anak Salman memakai gelaran Syahir atau Syahri di pangkal nama dan ini bersamaan dengan gelaran Syahri yang ada pada Puteri Syahribanun, isteri Saidina Hussein, puteri raja terakhir empayar Parsi (dimasukkan ke dalam wilayah jajahan Islam selepas dikalahkan oleh angkatan tentera yang dikirim oleh Saidina Umar). Ini tidak mustahil memandangkan pada tahun 777 Masihi, sudah ada 4 generasi keturunan Saidina Hussein. Ketika itu sudah hidup seorang Ahlul Bait terkenal, Imam Muza al-Khazim bin Ja’afar as Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Saidina Hussein sebagai bandingan. Namun menyatakan seseorang itu sebagai Ahlul Bait hanya berdasarkan pangkal nama Syahir atau Syahri terasa begitu dangkal. Lagipun ia memang satu gelaran kebesaran yang digunakan bangsawan berketurunan Parsi sejak turun-temurun.
Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.
Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman … Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 – 651 Masehi.
Saat pertama adalah tiba dan berlabuh di Bandar Jeumpa (Aceh Jeumpa) sekarang. Setelah kapal kembali pulang, Pangeran tidak ikut pulang dan terakhir terpikat dan kawin dengan Putri Jeumpa bernama Putri Mayang Seuleudang, Puteri dari penguasa  jeumpa.
Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang.. Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala adalah istri dari pangeran Salman, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya
.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri penguasa jeumpa.
Salman beserta rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menuju ke Selat Malaka, namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman singgah di negeri Jeumpa dan akhirnya menikah dengan puteri Istana Jeumpa yang bernama Mayang Seludang. Pangeran Salman pun tidak meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat Malaka, malah sebaliknya ia hijrah ke Perlak setelah mendapat izin dari mertuanya Meurah Jeumpa.
Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat  Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.
Tiada berapa lama, atas restu Meurah Jeumpa, Pangeran Salman dan Puteri Mayang Seuleudang berangkat ke Negeri Peureulak, kedatangannya adalah diterima oleh Meurah Peureulak. Setelah baginda Meurah Peureulak berpulang ke rahmatullah, Baginda tidak mempunyai anak laki-laki.
Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, wilayah  Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai penguasa Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Seludang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.
Atas mufakat Pembesar-pembesar Negeri Peureulak serta rakyat, diangkatlah Pangeran Salman menjadi penguasa  Peureulak yang baru. Dalam masa Baginda menjadi penguasa Peureulak, negeri menjadi makmur-rakyat sejahtera, ekonomi maju pesat karena hubungan perdagangan dan kapal-kapal asing ramai berdagang ke negeri Peureulak, terutama membeli hasil bumi dan rempah-rempah.
Rombongan dakwah yang terdiri dari pedagang dan keturunan  raja raja Sasanid   yang berdakwah datang dari Persia meneruskan perjalanan mereka ke Selat  Malaka, akan tetapi seorang anggota rombongan bernama  MAHARAJ  SYAHRiAR  SALMAN  yang menikahi  puteri  PENGUASA  JEUMPA yaitu  Mayang  Seludang memilih menetap di Perlak  …
Pangeran Salman dan Puteri Mayang Seuleudang mempunyai 4 orang putra dan 1 putri, masing-masing adalah :
  1. Syahir Nuwi, kemudian menggantikan ayahnya jadi penguasa  Peureulak.
  2. Syahir Tanwi (Puri), kemudian pulang ke negeri Ibunya Jeumpa dan diangkat menjadi penguasa Jeumpa, menggantikan kakeknya yang telah meninggal dunia.
  3. Syahir Puli, merantau ke Barat (Pidie, sekarang) kemudian di negeri itu diangkat menjadi penguasa Negeri Sama Indra (Pidie)
  4. Sayhir Duli, setelah dewasa merantau ke daerah negeri barat paling ujung (Banda Aceh, sekarang), karena kecakapannya diangkat menjadi penguasa Negeri Indra Pura (Aceh Besar, sekarang).
  5. Putri Maghdum Tansyuri
Mayang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik yang baik bagi anak-anaknya yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah ajaran Islam. Ratu dikaruniai beberapa putra putri yang dikemudian hari menjadi tokoh  yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam di Asia Tenggara.
Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain adalah Putro Mayang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, anakpenguasa Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga keturunan nya berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya telah melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Tidak semua Puteri Raja menjadi pendukung keberhasilan suaminya, bahkan ada yang menjadi penyebab kehancurannya. Ingatlah sosok Cleopatra, Sang Maha Ratu Mesir yang penuh intrik dan telah menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius Caesar. Karena Yulius menikahi Cleopatra, maka karirnya sebagai Penguasa Agung atau Kaisar Agung Romawi hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan pemujanya, bahkan rakyatnya sendiri melecehkannya karena membawa Cleopatra ke Romawi. Akhirnya Yulius yang diagungkan dipecat senat Romawi bahkan dibantai oleh anggota Senat dihadapan dewan terhormat tersebut tanpa pembelaaan. Demikian pula yang telah menimpa Anthony, pengganti Yulius karena nekad menikahi Cleopatra, karirnya hancur dan bunuh diri di Mesir akibat intrik Cleopatra yang penuh tipu daya.
Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya. Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari wilayah  Poli yang selanjutnya berkembang menjadi wilayah  Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan mengembangkan  Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi penguasa  dan pendiri dari wilayah Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang diangkat pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa yang diwariskan kepada keturunannya menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para gadis  dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para wanita  Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun.
———————————————————
Pangeran Salman dan puteri Mayang Selundang dianugerahi empat orang putera dan  seorang puteri. Mereka adalah Syahir Nuwi (Meurah Fu) yang menggantikan ayahnya menjadi penguasa Perlak dengan gelar Meurah Syahir Nuwi, kemudian Syahir Dauli pergi merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), sedangkan Syahir Pauli menrantau ke negeri Samaindera (Pidie) dan Syahir Tanwi kembali  ke negeri ibunya di Jeumpa dan kemudian di angkat menjadi Meurah Negeri  Jeumpa menggantikan kakeknya. Keempat putera Maharaj Syahrian Salman  sering dikenal dengan kaum imam empat (kawom imum peuet) atau penguasa  empat.
Sementara puteri mereka Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali al-Muktabar.. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana  Abdul Aziz Syah. Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa,  akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak  dengan gelarnya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang silsilahnya sebagai berikut seperti  yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi: Sultan Alaiddin Sayid  Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali al-Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Sayidina  Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Sayidina Ali bin Abu Thalib.
Sayid Ali Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan salah satu keturunan dari Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar al-Shadiq  adalah imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW melalui  anaknya Nabi bernama Siti Fatimah yang memegang pemerintahan pusat di  Baghdad. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah yaitu: Muhammad bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Muhammad Zain al-Abidin  bin Sayidina Husain al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW.
——————————————————–
Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri Arab sekalipun.
Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putro Jeumpa Mayang Seuludong telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya, dan telah melahirkan wanita-wanita agung yang sangat berpengaruh dan memiliki kharisma serta kecantikan. Di antaranya adalah “ratu” Perlak bernama Makhdum Tansyuri (ibunda Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak pertama), Maha Ratu Kerajaan Pasai bernamaNahrishah, Maha Ratu Darwati (Dhawarawati) yang menjadi Maha Ratu Majapahit (ibunda Raden Fatah, Sultan Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa bernama Demak), Maha Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menjadi Maha Ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping itu ada yang menjadi panglima agung yang ditakuti musuh, seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut Meutia dan lain-lainnya.
Sepatutnya wanita-wanita agung inilah yang menjadi teladan bagi mereka yang memperjuangkan emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa kenyataannya, sebelum Barat melaungkan emansipasi, wanita-wanita Aceh telah menikmati kesetaraannya secara maksimal
saudaraku….
Sebelumnya, dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah yang dipimpin oleh Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti tersebut tidak mendapatkan tempat yang aman dan selalu di ditindas karena jumlah minoritas, sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219H/813-833 M)
Dicatat dalam sejarah, pada awal abad ke 9 Masihi telah datang rombongan 100 orang pendakwah dari Timur Tengah berlabuh di Perlak, diketuai seseorang yang dikenali sebagai Nakhoda Khalifah. Mereka ini dikatakan telah melarikan diri daripada buruan kerajaan selepas gagal dalam percubaan menggulingkan pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ahli rombongan ini dikatakan terdiri daripada keturunan Rasulullah SAW melalui puteri baginda Fatimah az-Zahrah dan suaminya, Saidina Ali bin Abi Talib Karamallahuwajha, juga para penyokong yang mahukan kepimpinan anak cucu Nabi. Termasuk di kalangan mereka adalah seseorang bernama Ali bin Muhammad bin Jaafar Al-Sadiq.
Ada catatan lama menyebut Merah Syahir Nuwi berasal dari keturunan seorang bangsawan Parsi bernama Salman yang telah berhijrah ke bumi Serambi Mekah beberapa kurun terdahulu. Pelabuhan Perlak pula dikenali sebagai Bandar Khalifah sejak kedatangan rombongan 100 orang pendakwah itu, sempena nama ketua mereka Nakhoda Khalifah.
Ketika itu, Perlak sedang diperintah raja berketurunan Parsi, Merah Syahir Nuwi. Raja dan rakyat Perlak tertarik dengan akhlak ahli rombongan lalu menganut Islam, Rombongan itu dimuliakan dan Ali dikahwinkan dengan adik perempuan penguasa  Perlak yang bernama Makhdum Tansyuri.
Atas dasar itulah, sebuah Armada Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang dibawah pimpinan Nahkoda Khalifah (turunan Qatar) memasuki Bandar Peureulak.
maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang di kemudian hari dikenal di Aceh dengan Nahkoda Khalifah dengan misi menyebarkan Islam. Salah satu anggota dan Nahkoda Khalifah itu adalah Sayid Ali al- Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq.
Dari hijrah tersebut, berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar.  Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang. Rombongan Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi.
Mereka merapat di pelabuhan Perlak sebagai akibat dan kekalahan golongan Syi’ah oleh dinasti Abbasiyah. Dinasi Abbasiyah yang pada saat itu dipimpin Khalifah Al-Makmun (813-833) sehingga rombongan kaum Syi’ah yang berhijrah itu   itu adalah rombongan Nahkoda Khalifah.
Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi .
Syahir Nuwi penguasa Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh darah keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan bercampur dengan darah pribumi Jeumpa (sekarang Bireuen).
kemudian  datanglah rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Tujuan mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam di Perlak. Pemimpin dan para penduduk Negeri Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama mereka untuk berpindah ke agama Islam
Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dan orang-orang Arab dan suku Quraish. Palestina. Persia, dan India di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah sambil berdagang sekaligus berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan khusus terutama di bidang pertanian, kesehatan. pemerintahan, strategi, dan taktik perang serta keahlian-keahlian lainnya.

Ketika sampai di Perlak, rombongan Nahkoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk dan penguasa Perlak yang berkuasa saat itu yakni Meurah Syahir Nuwi.. .Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi
Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah yang menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya setelah Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam ”pemberantakan” kaun Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja’far Ashhadiq.
Berikut Silsilah Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang dikutip dan Silsilah Raja-raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-raja Islam di Nusantara yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi.
“Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali Al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i  bin Imam Ja ‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Saiyidina Ali Muhammad Zainal Abidin bin Saidina Hussin Assysyahid bin Saidina Ali bin Abi Thalib
Sebagian dan anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal termasuk Sayid Ali al-Muktabar kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Puteri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini setelah dewasa dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak
Adik  bungsu  Syahir  Nuwi   yaitu  Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India.. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak
Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba’i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).
Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.
Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak
Kerajaan Perlak  berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M).
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiahdan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Kini jelaslah kepada kita bahwa – Kerajaan Islam –I – Asia Tenggara (Peureulak) dimulai pada 840 M sampai dengan Sulthan Maghdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan berdaulat adalah terakhir tahun 1292 M. Artinya, Dinasti Islamiyah di Peureulak telah Berjaya selama 452 tahun lamanya.
Disini dapat kita simpulkan bahwa ada dua tokoh penyebar  Islam ke Aceh yang berasal dari tanah Persia :
1. Maharaj Syahriar  Salman : seorang pangeran keturunan Dinasti Sasanid Persia
2. Sayid Maulana Ali al-Muktabar  keturunan  Rasulullah SAW
————————————————————————————————–
Daftar Sultan Perlak
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada penguasanya, yaitu Maharaj Syahriar Salman  dan  Syahir Nuwi.
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840 – 864)
2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864 – 888)
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 – 913) …Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin
4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915 – 918) …
Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928 – 932)
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932 – 956)
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956 – 983)
8. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat  (986 – 1023) …
Perlak sempat memiliki dua sultan pada masa ini dengan Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah berkuasa di Perlak Pesisir hingga 988….
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun.
Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)……
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
  • Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986– 988)
  • Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijayamenyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Namun Islam Syi’ah tidak berkembang karena Perlak Syi’ah  dihancurkan Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986, bahkan  Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah  juga mangkat dalam usaha mempertahankan kerajaannya.
Kerajaan Perlak  Sunni selamat karena Sriwijaya terpaksa harus menarik mundur pasukkannya dan Perlak sebab mendapat ancaman dan Dharma Bangsa dan Jawa.
Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 berpaham aliran Sunni
Islam Sunni terus berkembang bahkan menyatukan kedua wilayah Perlak tersebut dalam satu bendera Perlak
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023 – 1059)
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059 – 1078)
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078 – 1109)
12.Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109 – 1135)
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135 – 1160)
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160 – 1173)
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173 – 1200)
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200 – 1230)
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230– 1267)
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).

Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.

Struktur Pemerintahan
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh
Berita dari marcopolo menyebutkan, pada saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H atau 1292 M, telah banyak ulama arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batuttah, Pengembara Muslim dari Maghribi (sekarang maroko). Ketika Singgah di aceh pada tahun 746 H atau 1345 M, ibnu Batuttah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar Mazhab Syafi’i.
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas. Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan politik persahabatan. Jalan yang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh
.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultan yang terakhir. Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Saleh.
Namun, dengan berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah mulai terkikis dan sekarang ini pengaruh fikih Syi’ah di Indonesia tidak terlihat lagi. Azan di Indonesia sedikit berbeda dengan azan di Iran (yang terdengar melalui media elektronik). Shalat Jumat di Indonesia dilakukan disetiap mesjid tetapi di Iran shalat Jumat hanya dilakukan di satu tempat di setiap kota.
Model bangunan makam-makam para wali di Indonesia berbeda dengan makam-makam para imam dan keturunan imam di Indonesia, bahkan bisa dikatakan sangat sederhana. Adapun pengaruh Iran yang penting setelah revolusi Islam terlihat pada kelompok Syi’ah di Indonesia. Di kepulauan Indonesia, sebagian besar sayid Alawi berasal dari wilayah Hadramaut, Yaman, yang sangat berperan besar dalam dakwah Islam.
Sayid bermakna ’pemimpin atau petunjuk’. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, Dan mereka berkata, wahai Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan orang-orang terhormat di antara kami, dan mereka telah menyesatkan kami dari jalan yang benar.[1]
Rasulullah, Muhammad saw, tentang Fatimah as bersabda, “Fatimah adalah penghulu wanita seluruh alam.”[2]

Kemudian, tentang cucunya, Imam Husain as, Nabi saw bersabda, “Al-Husain adalah penghulu para pemuda surga.”[3]

Berdasarkan pandangan ini,, dikatakan bahwa para sayid adalah anak keturunan Rasulullah saw serta pemimpin kabilah dan kaum, misalnya al-Ishfahani mengatakan, “Makna sayid adalah penguasa atau pemimpin keluarga, sebagaimana Ustman bin Affan sebagai sayid keluarganya.”[4]
Sayid pun digunakan untuk julukan bagi ahli tasawuf dan para wali[5]. Pada abad ke-8 H, kelompok Syi’ah Dua Belas Imam, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, juga disebut dengan sayid[6]. Pada abad ke-8 H, terdapat seseorang bernama Naqib Ahlulbait, Abu Barakat bin Ali al-Husaini dikenal dengan julukan as-Sayid asy-Syarif.[7]
Umumnya, julukan “syarif” adalah gelar bagi anak keturunan Hasan bin Ali as, yang kebanyakan hidup di Madinah. Sementara itu, gelar “sayid” digunakan bagi anak keturunan Husain bin Ali as, yang kebanyakan tinggal di Hadramaut, Yaman.[8]
Komunitas para sayid Hadramaut juga dijuluki dengan habib (haba’ib), yang artinya adalah anggota Ahlulbait. Sejumlah besar sayid dari Hadramaut telah berhijrah ke kepulauan Indonesia.
Dikatakan bahwa wilayah Hadramaut di Yaman memiliki pohon-pohon kurma yang kuat, pepohonan yang indah, dan padang-padang berpasir dengan Laut Merah, dan juga memiliki sejarah dan peradaban kuno. Pada abad ke-5 dan 6 M, negeri indah Yaman adalah sumber sengketa antara kekasaisaran Romawi dan Persia. Pada awal abad ke-7 M, negeri ini menjadi bagian dari pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah.[9]
Pada masa kejatuhan Irak ke tangan Islam, Muslim Hadramaut memiliki peran besar dalam peperangan antara pasukan Islam dan pasukan kerajaan Sasani. Setelah itu, sejumlah besar masyarakat Hadramaut hijrah ke Irak, secara khusus pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Kemudian, pada zaman ‘Ali bin Abi Thaib as, pasukan Hadramaut yang berada di Irak menjadi pendukung Khalifah Ali as dalam peperangan Jamal dan Shiffin dan sejumlah besar dari mereka menerima mazhab Syi’ah.[10]
Gerakan politik mazhab Syi’ah bertambah besar pada zaman kekuasaan Bani Umayah. Seorang Khalifah Bani Umayah, Hisyam, pada 122 H/740 M, berhasil memenangkan peperangan dan membunuh pemimpin terakhir kaum Syi’ah, Zaid bin Ali, cucu Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib as.
Pada zaman ini pula, 129 H/747 M, di Hadramaut muncul gerakan kelompok Ibadiah dari kalangan Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin Yahya, yang berjulukanThalibulhaq. Ia terbunuh pada zaman kekuasaan Khalifah Umayah, Marwan bin Muhammad. Pada zaman ini, pengaruh khawarij di Hadramaut menjadi kuat dan Ahmad bin Isa adalah pemimpin terpenting bagi kaum Sayid Hadramaut.
Pada zaman Khalifah al-Mu’tamad (156-276 H/870-892 M), kakek dari Ahmad bin Isa, yaitu Muhammad an-Naqib bin Ali bin Jafar ash-Shadiq bersama putranya bernama Isa, hijrah dari Madinah ke Basrah, Irak. Disanalah, Isa menikah den lahirlah putranya yang bernama Ahmad.
Ahmad dan putranya Abdullah, pada 317 H/929 M hijrah dari Irak ke Hadramaut, Yaman. Ia hijrah karena, di Basrah, kelompok-kelompok Qaramitah dan Zanj (dari Sudan) melakukan kerusakan-kerusakan dan pemerintahan Abasiyah, di masa Khalifah al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), selalu melakukan kezaliman dan penganiayaan terhadap anak keturunan Ali as.[11]

Berkenaan dengan hijrah tersebut, Ahmad bin Isa disebut dengan Muhajir ilallah (yang berhijrah kepda Allah). Ahmad bin Isa dan para pengikutnya secara bertahap berhasil menghentikan pengaruh Khawarij di Hadramaut. Mazhab suni Syafi’i pun berkembang di sana.[12] Dua abad kemudian, pada 521 H/1127 M, sejumlah orang dari Alawi al-Qasim, hijrah ke daerah Tharum, di Selatan Hadramaut. Tharum pernah terkenal sebagai pusat agama dan ilmu, dan di sana para sayid Alawi Hadramaut sangat dimuliakan.
Di sana para sayid mendirikan suatu pergerakan yang diberi nama Ba’alawi, sebagai sarana mengenal para sayid Alawi.[13] Para sayid menyakini bahwa diri mereka berasal dari keluarga Rasulullah saw, dari anak keturunan imam Husain as. Sejumlah besar sayid Hadramaut (para sayid Alawi) telah berhijrah ke Jawa, Indonesia, dan ke Asia Tenggara.[14]
Imam husain as pada tahun 61H/681M, dalam usia 56 tahun, syahid di Karbala. Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as, berasal dari istri imam Husain yang merupakan putri Yazgard, raja Iran yang terkenal. [15]
Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa para Sayid Alawi hadramaut berasal dari keturunan Ali al-Qasim bil Bashrah, yakni cucu ketiga dari imam Husain as. Dapat dikatakan bahwa para sayid Hadramaut, dari anak keturunan Ahmad bin Isa, sangat terkenal serta memiliki hubungan yang kuat dengan para sayid di Maroko, Hijaz, dan India, dan selalu mendapatkan bantuan keuangan dari mereka.
Secara umum para sayid menguasai bidang ilmu agama dan tasawuf.[16] Ibnu Khaldun menulis bahwa pada zaman Abasiyah, setelah terjadinya berbagai perubahan, ajaran kelompok Rafidhiah (julukan tendensius para penentang Syi’ah. Rafidhiah berasal dari kata rafadha yang berarti “menolak”, yakni menolak tiga khalifah pertama- peny.) sangat berpengaruh besar terhadap tasawuf dan bermunculanlah para tokoh sufi terkenal, misalnya Qushairi dan Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali.
Setelah abad ke-4 H atau abad ke-11 M, tasawuf tampil secara sempurna sebagai sebuah cabang ilmu. Di dunia Islam, lahir berbagai kelompok tarekat, yang semuanya bersumber pada ajaran al-Quran. Setiap tarekat memiliki cara khusus dalam berzikir kepada alllah Swt.[17] Tarekat Alawi (tarekat yang didirikan oleh sebagian besar sayid di yaman Selatan) terbagi menjadi dua cabang, batiniah dan zahiriah. Zahiriah mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali sedangkan batiniah adalah pengikut tarekat Syadziliyah.[18]
Kebanyakan sufi terekat Alawi memiliki karamah dan menyandang sejumlah julukan, misalnya syekh, naqib danquthb, serta mereka mewariskan sejumlah kitab tentang zikir. Dalam kitab-kitab zikir disebutkan sejumlah tokoh terkenal dari kalangan para sayid, seperti Muhammad bin Ali Ba’lawi, Syekh Alin bin Abdullah Baras, Abdurrahman Assegaf dan al-Qutub Umar bin Abdurrahman al-Attas.

Dikatakan bahwa para waliyullah memiliki kemampuan untuk memecahkan batu-batu besar dan menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Masyarakat setempat sangat menghormati mereka dan mendapatkan kesembuhan dengan keberkahan doa mereka.[19] 

Para sayid Alawi sangat menguasai pelayaran dan perdagangan. Mereka sangat aktif mulai dari Semenanjung Arab hingga ke Teluk Persia, tepatnya di sejumlah pelabuhan misalnya Siraf, Kish dan Ubullah (Bushers).

Sejak Irak jatuh ketangan orang-orang Mongolia, pada 1258 M, pusat perdagangan Arab berpindah ke Eden, di Yaman. Serombongan pedagang, tokoh-tokoh agama, dan ulama dari berbagai penjuru Semenanjung Arab pernah pergi ke sejumlah negeri di Timur Jauh, seperti Cina dan Semenanjung Melayu, yang sebagian dari mereka adalah ahli tasawuf dan agama.[20]

Islam yang diterima di Indonesia merupakan hasil usaha mubalig dari  Iran . Pengaruh tasawuf di sana pun sangat mencolok. Buku Hikayat Raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu juga mencatat fenomena tersebut.

Setelah berhasil memperkenalkan tasawuf dan tarekat di Malaka, Maulana Abu Bakar pergi ke berbagai wilayah di Indonesia. Di Brunei dan Ceh (Filipina), Ia pun sempat memperkenalkan ajaran Islam. Kebanyakan para mubalig yang datang ke Tanah Melayu menyandang sejumlah julukan, misalnya Syekh, sayid dan syarif. [25]

Sejumlah besar sayid datang dan pergi ke Asia Tenggara, yaitu Jawa, Sumatra dan Semenanjung Melayu hingga masa penjajahan Belanda.[26]

Pada abad ke-16 M, seorang Mubalig Arab bernama Syarif Muhammad bersama beberapa pengikutnya, tiba di Mindanao, di selatan Filipina dari Malaysia untuk menyebarkan Islam. Disebutkan bahwa ia adalah putra dari seorang Arab bernama Syarif Ali Zainal Abidin, dari kalangan para sayid Alawi Hadramaut. [27]

Para sayid Alawi, dalam jumlah besar, datang ke kepulauan Nusantara melalaui jalur India, misalnya Sayid Usman bin Shahab yang memerintah kerajaan Siak dan Sayid Husain al-Qadri yang menjadi sultan di kerajaan Pontianak, di Kalimantan.[28]

Hijrahnya para sayid dari Hadramaut ke Asia Tenggara antara abad ke-17 hingga 20 H, berlangsung dalam beberapa tahapan. Mereka datang ke kepulauan nusantara dari India dan Indo-Cina. Para sayid Alawi berada di India sejak abad ke-7 H atau abad ke-13 H. Kemudian, sejak abad ke-10 H M, mereka sering datang-pergi ke daerah Pahang, di Malaysia.

Di kampung Pematang Pasir, di jazirah Tambun Pekan, di kota Pahang, Malaysia, terdapat sebuah makam orang Arab yang meninggal pada tanggal 14 Rabiul Awwal 419 H atau tahun 999 M.
Menurut sejumlah penulis seperti Nuwairi dan al-Maqrizi, sejak zaman kekuasan Bani Ummayah, beberpa keluarga kelompok Alawi atau Syi’ah telah berada di Jazirah Sila (Korea) dan Cina. Sangat mungkin, kepergian mereka ke sana karena lari dari kezaliman dan kejahatan Bani Umayah.

Demikian pula, terdapat kampung Leran, di Jawa Timur, yang nama kampung tersebut diambil dari kaum Lor, yakni orang-orang Iran yang pernah hijrah ke Jawa. Di kampung itu, terdapat makam seorang wanita Muslimah bernama Fatimah binti Maimun. Ia wafat pada 475 H/1082-1083 M.
Semua keterangan di atas menjelaskan bahwa hubungan negeri Arab dan Teluk Persia dengan Cina dan kepulauan Nusantara sudah ada sejak dahulu kala. Para sayid Alawi Hadramaut yang pernah berhijrah ke Asia Tenggara umumnya berasal dari beberapa marga, misalnya; al-Habsyi, al-Yahya (bin Aqil), Khirid, Hiduwan, as-Segaf, al-Attas, al-Jufri, al-Idrus, al-Haddad, asy-Syihab, dan yang lainnya.[29]

Menurut seorang peneliti dan ahli sejarah, Aboebakar Atjeh, di antara para mubalig yang pernah memperkenalkan ajaran Islam di Indonesia adalah keturuanan Ahlulbait. Aceh adalah wilayah pertama yang didatangi para mubalig dari Arab, Iran, dan India. Sementara itu, mazhab yang pertama kali berkembang di Aceh adalah Syi’ah dan Syafi’i.

Ia juga adalah wilayah yang menjadi tempat pemberhentian dan wilayah transit para pedagang sebelum pergi ke sejumlah pelabuhan, seperti Malaka, kepulauan Nusantara, dan Cina.

Orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji kerap melintasi Aceh, dengan menggunakan kapal-kapal Aceh atau internasional. Aceh adalah wilayah yang dikenal sebagaiSerambi Mekkah. Aboebakar Atjeh juga menulis bahwa dua orang ahli sejarah Iran, Sayid Mustafa Thabathaba’i dan Sayid Dhiya’ Shahab, dalam buku Hawla al-Alaqah ats Tsaqafiyah bayna Iran wa Indunizi (Tentang Hubungan Kebudayaan antara Iran dan Indonesia) menunjukan bahwa makam Maulana Malik Ibrahim Kasyani (wafat 822 H/1419 M) berada di Gresik, Jawa Timur, dan makamnya Sayid Syarif Qahhar bin Amir Ali Astarabadi (wafat 833 H) dan Hisamuddin Naini berada di Aceh.[30]
Sayid Mustafa juga melihat makam lainnya, yang pada papan makamnya tertulis beberapa baris ayat al-Qur’an dan syair tentang keagungan Imam Ali as, yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut;
Pemuka Para Pemberani, Singa Tuhan,
Kekuatan Tuhan
Tidak ada pemuda kecuali Ali,
Tidak ada pedang kecuali Zulfikar.[31]
Masuknya ajaran Islam ke Sumatra umunya melalui usaha para sayid Alawi. Dalam kitab-kitab Arab kuno, kepulauan Nusantara tertulis denga nama Syarq al-Hind (Hindia Timur), Srilanka dengan nama Sarandip, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama Sribaza, Kedah di Malaysia dengan nama Kalah, Jawa dengan nama Zabij, dan Kalimantan dengan nama Ranj.
Para mubalig yang pertama kali datang ke Brunai adalah para sayid dan syarif, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga sultan-sultan di Brunai dan Fhilipina.
Sejarah Serawak, Malaysia, menunjukan bahwa raja Brunei, Sultan Barakat adalah anak keturunan Imam Husain bin Ali as. Demikian pula, para sultan di Mindanao, dan Sulu, di Fhilipina, adalah anak keturunan para sayid. Di Pontianak, Kalimanan, Indonesia, para sultan berasal dari kabilah Qadri. Dikatakan bahwa para sultan Brunei dan sultan Mindanao sama-sama berasal dari anak keturunan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain as.
Para leluhur mereka berasal dari Hadramaut yang kemudian hijrah ke Johor, Malaysia. Para sultan Aceh pun berasal dari kalangan para sayid. Di Daerah Talang Sura, Palembang, Sumatra, terdapat makam Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad, dari keturunan Imam Husain as. Begitu pula dengan Walisongo atau ’Sembilan Wali Jawa’ dan sultan-sultan di Jawa, semuanya berasal dari kalangan para sayid.[32]
————————————————————————

Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.

Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali
Imam Syi’ah Dua Belas Imam

  1. Ali bin Abi Thalib : Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarijdi KufahIrak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun.. Dimakamkan di Masjid Imam AliNajafIrak
  2. Hasan al-Mujtaba : Diracuni oleh istrinya di MadinahArab Saudi atas perintah dari Muawiyah I.Dimakamkan di Pemakaman Baqi.
  3. Husain asy-Syahid : Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala..Dimakamkan di Makam Imam Husain di KarbalaIrak
  4. Ali Zainal Abidin : Menurut kebanyakan ilmuwan Syi’ah, Ali bin Husain diyakini wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah, Arab Saudi.. Dimakamkan di Pemakaman Baqi
  5. Muhammad al-Baqir : Menurut sejumlah ilmuwan Syi’ah, diyakini bahwa Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid diMadinahArab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Dimakamkan di Pemakaman Baqi.
  6. Ja’far ash-Shadiq : Menurut sumber-sumber Syi’ah, beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di MadinahArab Saudi.Dimakamkan di Pemakaman Baqi
  7. Musa al-Kadzim : Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashiddi BaghdadIrak. Dimakamkan di BaghdadIrak
  8. Ali ar-Ridha : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mundi MashhadIran. Dimakamkan di Makam Imam Reza,MashhadIran
  9. Muhammad al-Jawad : Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di BaghdadIrak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim. Dimakamkan di Makam Kazmain di Baghdad
  10. Ali al-Hadi : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz.[36] Dimakamkan di Masjid Al-Askari di SamarraIr
  11. Hasan al-Askari : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di SamarraIrakatas perintah Khalifah al-Mu’tamid. Ia dimakamkan di Masjid Al-Askari, Samarra
  12. Muhammad al-Mahdi : Menurut keyakinan Syi’ah, beliau sekarang berada di dalam persembunyian dan akan muncul selama Allah mengizinkannya
wassalam
Catatan Kaki
1. Q.S. al-Ahzab :67
2. Ibnu Saad, Tabaqat, Leiden, 1940, Vol. VII, p.17.
3. C.V.Avendonk. Art, Sharif, Encyclopedia of Islam, M. TH. Houtsma, A.J Wensink. (eds), Vol. IV S-Z, J. Britll Ltd, Leiden, 1934, p.326.
4. Isfahani, Kitab al-Aghani, Math’ah Bulak, Cairo, 1285 A.H Vol. XVII, p.105-6.
5. Sharji, Thabaqat al-Khawawas, Cairo, 1321 AH, p. 2,3, 195.
6. Dhahabi, Tharikh al-islam, Manuscript, Leiden, 1721, Vol. 65A.
7. Nurwairi, Nihayat al-Arab, Wizarah al-Thaqafah wa al-Isryad al-Gawmi (ed). Dar al Kutub, Cairo, 1955, Vol. II, p.277. Hanya pada zaman kerajaan Fatimiah Mesir, keturunan Imam Hasan dan Imam Husain di juluki “syarif”, silahkan merujuk Mawardi,al-Ahkam as-Sulthaniyah, Enger, (ed), Bonn, 1853 AD, p. 277.
8. Ibnu al-Faqih, Mukhtasar Kitab al Buldan, MJ, de Goeje (ed) Leiden, Brill, 1885, p.33.
9. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1984, p.3.
10. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid. p.4.
11. Shalli, Kitab al-Mashra ar-Rawwi fi Manaqib as-Sadah al-Kiram al-Abi Alawi, al-Matba’ah al-Amiriah al-Sharafiyyah, Cairo, 1319 H/1901 M, Vol. I, p. 121.
12. Shalli, Kitab al-Mashra, loc. Cit.
13. Shalli, Kitab al-Mashra, ibid, p.129.
14. R.B.Serjeant, “Historians and Historiography of Hadramaut”, Buletin of SOAS, XXV, No.2, Londom 1962, p.245.
15. Ya’kubi, Tarikh, Mathba’ah al-Ghurri, Najaf, 1358 H, Vol. II, p.219.
16. R.B. Serjenant, The Sayids of Hadramaut, School of Oriental and African Studies, University of London, Luzan and Co, London, 1957, p.3. Lihat Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas (Arabic). Mathba’ah al-Madani, Cairo, 1968, Second Edition, Vol.2.pp. 45-46. Lihat juga al-Idrus bin Umar al-Habsyi, Iqd al-Yawaqit al-Jawahiriah, Cairo, 1317 H, Vol. I, p. 127.
17. Ibnu kHldun, Muqaddimah, Wazarat al-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1960, pp. 261-262. Lihat H.A. R.Gibb and Kramers (eds), Shorter Encycopeadia of Islam, E.J.Brill, Leiden, 1953, p.573. Lihat juga H.A. R Gibb, Mohammedanism, Oxford University Press, London, 1969, p.104.
18. Sayid Alawi b. Tahir al-Haddad, Uqud al- Almas, op.cit, pp.82-87.
19. Sayid Muhammad b. Salim al-Attas, Aziz al-Manal wa Fath al- Wisal, Malaysia Press, Berhad, Singapura, 1974. Lihat juga Mahyudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op.cit, p.16.
20. S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Reseach Institute, Ltd, Singapore, 1960, p.94.
21. A.H. Hill (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No 33, Part 2, 1960, p.32-33.
22. Buzani, “Pengaruh Kebudayaan dan Bahasa Persia Terhdap Kesusastraan Indonesia”, Majalah Fakultas Sastra, Universitas Tehran no I, Tahun ke-14, 1345 Sh, p.6.
23. A.H. Hill, (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No.3, Part 2 1960, pp.32-33, 117-120.
24. S.R. Winstedt (ed), The Sejarah Melayu (Malay Annals), JMPRAS, XXVI, Pt I, 1938, pp. 170-172.
25. A. Hasjmi (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, P.T. Al-Maarif, Jakarta, 1981, p.375. Lihat juga Mhayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, op, cit, p.23.
26. R.B. Serjeant, The Sayids of Haramaut, op, cit, pp.24-25.
27. Alawi b. Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas, op, cit, p.131.
28. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op, cit., p.25.
29. Shahabudin Ahmad bin Abdul Wahab an-Numairi, Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab, Wizarat ath-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi, Cairo, 1932, Vol. I, p. 230. Lihat juga Ahmad b. Ali al- Maqrizi, Khitat, Mathbaah Bulak, Cairo, 1279 H, Vol I. lihat juga Haji Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar, Medan, 1963, pp. 109-110, 123. Lihat juga Mahayudi Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid, pp. 33,37.
30. Aboebakar Atjeh, Aliran Syiah di Nusantara, Islamic Reseach Institute, Jakarta, 1977, p.31-32. Lihat juga Sayid Musthafa A-Thabataba’i and Dhiya Shahab, Hawla al-Alaqah ats-Tsaqafiyah bayna Iran wa Indonesia, Embassy of Iran, Jakarta, 1960.
31. Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Solo, Jawa Tengah, 1985, p.29.
32. Aboebakar Atjeh, Masuknya Islam, ibid, p.35-37. Lihat juga S. Baring Gould, A History of Sarawak Under Two White Rajahs, Singapore. Lihat juga Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, 1995, pp.69-115.