Sunday, January 19, 2014

Puji Allah, Terima-kasih Presiden

Puji Allah,
Terima-kasih Presiden


Tadi pagi saya mengalami kejadian yang betul-betul menjungkir-balikkan pemikiran saya selama
ini. Ketika saya SMA, saya membaca cerpen oleh Kafka yang mendongeng tentang bagaimana seorang individu tak berdaya dihadapan sebuah birokrasi. Bahkan, kemudian saya meyakini kebenaran istilah PKI yaitu kapitalisme birokrat yang saya pahami sebagai kolusi elite penguasa dan
pengusaha dalam menindas rakyat dan buruh.

Bahkan, belakangan, ketika kapitalisme telah membuana, maka saya pun menganggap bahwa penguasa dunia sebenarnya adalah para pengusaha besar multinasional dan pemerintah negara-negara
kebangsaan hanya berfungsi sebagai centeng atau satpam mereka. Memang pandangan itu ekstrim,
tapi bisa menerangkan banyak keganjilan ketidak adilan di dunia politik ekonomi pada tingkat
nasional maupun internasional.

Walaupun pandangan saya tentang dunia ini sangat pesimistik, namun pandangan saya tentang Yang
Maha Pencipta sangatlah optimistik. Saya percaya bahwa ditengah dunia yang serba pincang itu
Tuhan selalu melindungi dan menganugerahi hambaNya yang berjalan di JALAN nya menuju Dia dengan cara beramal baik sesuai dengan kehendakNya. Alhamdulillah kepercayaan saya ini mendapat pembuktian nyata dalam kehidupan saya sehari-hari sampai sekarang.

Saya, ketika menjadi pegawai negeri atau jadi bagian dari birokrasi pendidikan negeri, menyekolahkan anak-anak saya di sekolah dan universitas negeri mendapatkan kenyataan bahwa kedua anak saya berhasil lulus sebagai sarjana dengan pujian, walaupun bukan yang terbaik, dari
kampusnya. Kedua anak saya pun kemudian bekerja di swasta dengan gaji berlipat dari gaji saya
sebagai pegawai negeri.

Saya sendiri, walaupun ketika pensiun gaji terakhir saya menembus satu juta per bulan yang
ternyata sama dengan honor anak saya sebulan ketika bekerja membantu proyek dosennya, masih
bisa kemudian hidup sebulan bersama istri saya dari uang pensiun saya tanpa harus disubsidi
olehnya yang juga telah berhenti bekerja dari pegawai swasta karena usia telah senja. Dan saya
pun beruntung dapat menikmati layanan kesehatan dari puskesmas secara cuma-cuma sebagai bagian
dari elit pensiunan pegawai negeri.

Walaupun begitu, ketika puskesmas menyarankan saya untuk diperiksa ke rumah sakit askes, saya
agak terkejut karena masih harus membayar uang pendaftaran yang saya rasa agak terlalu mahal,
karena rumah sakit itu adalah rumah sakit Islam swasta. Namun saya harus bersyukur pada Allah,
meskipun ternyata saya sakit jantung yang diharuskan memakan lima macam obat sampai akhir
hayat, saya masih mendapatkan obat-obatan itu secara cuma-cuma diberi oleh pemerintah.

Hari ini, saya mengalami sesuatu yang luar biasa. Mulai tadi pagi, saya tidak perlu membayar
sepeserpun kepada rumah sakit swasta tempat saya kontrol setiap bulannya akan kondisi kesehatan
jantung saya. Hal yang luar biasa sekali, karena ternyata kemudahan itu bukan hanya terjadi
pada diri saya sebagai bagian elite mantan pegawai negeri yang disayangi pemerintah, tetapi
juga pada banyak sekali rakyat miskin Indonesia yang kini dijamin biaya kesehatannya oleh
pemerintah melalui BPJS kesehatan RI.

Kenyataan itulah yang telah meluruskan pandangan saya tentang birokrasi pemerintahan negara-
negara kebangsaan. Soalnya, apa yang saya alami sekarang ini sebenarnya sama dengan apa yang
dialami oleh anak dan cucu-cucu saya ketika tinggal di negara kapitalis kesejahteraan Inggris.

Jadi, kini saya percaya pada eksistensi birokrasi negara sebagai sarana bangsa untuk menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu saya sekarang percaya bahwa birokrasi negara adalah jemariNya untuk menyejahterakan hambaNya. Makanya, saya ucapkan puji pada Allah swt dan terima kasih pada presiden sebagai puncak dari birokrasi pemerintahan RI, salah satu jariNya.



Tuesday, January 07, 2014

Roestam Effendi

Roestam Effendi:
Menyuarakan Indonesia Merdeka
di Parlemen Belanda

Rustam Effendi Kesusastraan Modern Indonesia p60.jpg
Roestam Effendi, orang Indonesia yang pernah menjadi anggota parlemen di negeri Belanda.
Pahlawan, kata Howard Zinn, tak mesti harus tercatat dalam sejarah. Begitu pula dengan pahlawan yang satu ini: Roestam Effendi.
Bung Hatta menyebut Roestam sebagai pesuruh CPNCommunistische Partij van Nederland. Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) menganggap Roestam sebagai pengkhianat. Tetapi, bagi pengikut Murba, Roestam adalah seorang guru sekaligus pejuang.
Tapi, terlepas dari perbedaan politik di masa itu, kontribusi Roestam dalam perjuangan kemerdekaan tidak bisa diremehkan. Ketika menjadi anggota parlemen di Negeri Belanda, ia lantang menyuarakan “Indonesia Merdeka” dan mengutuk berbagai praktek busuk kolonialisme di Indonesia.

Menjadi Pemuda Radikal
Roestam Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, tahun 1903. Ia tumbuh besar dan menamatkan sekolah dasar di Kota Padang. Karena minatnya ingin menjadi guru, ia melanjutkan belajarnya di HIK (Holandsche Indische Kweekschool).
Dan, setamatnya dari HIK, Roestam merantau ke pulau Jawa. Tepatnya di Bandung, Jawa Barat. Di sana ia melanjutkan sekolah di HKS (Hoogere Kweek School). Di kota inilah Roestam bersentuhan dengan politik radikal.
Ayah Roestam adalah seorang propagandis untuk NIP (Nasional Indies Party), organisasi politik yang didirikan oleh tiga serangkai—Douwes Dekker (DD), Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangukusumo. Ayahnya, Sulaiman Effendi, sering membawanya bertamu di rumah DD atau Tjipto.
Di bandung, Roestam juga bertemu dengan Soekarno, yang saat itu bersekolah di Sekolah Teknik Bandung. Keduanya menjadi akrab. “Setiap kami bertengkar, Soekarno mengakhirinya dengan ajakan makan sate,” kenang Roestam.
Tamat dari HKS, Roestam kembali ke Padang. Di sana ia menjadi anggota JSB (Jong Sumatranen Bond). Namun, meski tergabung di organisasi kedaerahan, pendirian politik Roestam menjadi “non-koperasi”. Ia pun menolak jabatan sebagai guru kepala di sekolah HIS di Siak, Indrapura.
Tahun 1927, meletus pemberontakan PKI di Silungkang, Sumatera Barat. Sebetulnya Roestam tidak terlibat dalam pemberontakan it. Namun, PID (intelijen Belanda) berusaha memasukkan nama Roestam dalam pemberontakan itu. Ia pun menjadi target penangkapan.
Tak ada pilihan selain menyingkir. Akhirnya, atas keinginan ayahnya, Roestam berangkat ke Negeri Belanda. Namun, bukannya fokus untuk belajar, Roestam kembali ke gelanggang perjuangan. Ia bergabung dengan organisasi pemuda radikal kala itu: Perhimpunan Indonesia (PI).
Awalnya, Roestam sangat dekat dengan Bung Hatta. “Dari Bung Hatta saya banyak memperoleh bimbingan politik. Saya diperbantukan pada pengurusan Redaksi dan Administrasi majalah PI,” kenang Roestam.
Dalam kerangka memperluas front anti-kolonialisme, PI saat itu bergabung dalam Liga Anti Imperialisme. Roestam ditugaskan sebagai  tenaga penghubung antara PI dengan organisasi-organisasi yang tergabung dalam seksi Liga Anti Imperialisme di Belanda, seperti Sosialis kiri, Anti militaris, Anarcho Syndikalis, Partai Pasifis, Komunis dan lain-lain.
Roestam pun beranjak menjadi propagandis. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai koran kiri, seperti Socialist, De Opbouws, De Anti Militarist, De Branding, dan lain-lain. Di koran-koran itu ia berpropaganda tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1929, mulai terjadi keretakan di tubuh Liga Anti Imperialisme. Bung Hatta menuding Liga makin dikontrol oleh Komintern—organisasi komunis Internasional. “Kami tidak mau jadi kuda penarik kereta Moskow,” tulis Bung Hatta di koran PI.
Selain mendapat reaksi dari kelompok komunis, tulisan itu juga menjadi polemik di tubuh PI. Sejumlah anggota PI, termasuk Roestam, tidak setuju jika PI menjauh dari Liga.  “Kalau kita memusuhi Moskow di kala itu, kita di Medan Internasional tidak akan mendapat sokongan positif dari pihak mereka,” ujar Roestam memberi alasan.
Tahun 1930, Bung Hatta dipecat dari Liga karena tuduhan “reformis-nasional”. Namun, begitu ia keluar, PI pun didorong keluar dari Liga. Tindakan ini mendapat perlawanan dari faksi radikal di tubuh PI: Roestam Effendi-Setiadjid. Akhirya, setelah melalui perdebatan sengit, kelompok Roestam-Setiadjid berhasil menumbangkan kelompok Hatta-Sjahrir. Sejak itu PI kembali ke dalam Liga dan mengikuti garis Moskow.

Menjadi Anggota Parlemen Belanda
Seiring dengan aktivitas PI di Liga, Roestam dan kawan-kawan pun akrab dengan ide-ide marxisme. Ia sempat melakukan kunjungan ke Moskow dan menimbah ilmu. Bersamaan dengan itu, kedekatannya dengan Partai Komunis Belanda (CPN) makin rapat.
Pada tahun 1933, Roestam sudah menjadi anggota CPN. Tahun itu juga CPN mengajukan sejumlah orang Indonesia, yakni Darsono, Boedisoetjitro, Alimin, dan Roestam Effendi, sebagai kandidat parlemen. Boedisoetjitro menolak pengajuan dirinya. Sardjono menerima tawaran itu, namun dirinya sedang menjalani pembuangan di Boven Digul (Papua). Sementara Alimin kehilangan hak karena sudah meninggalkan Belanda dan tinggal di Moskow. Jadi, hanya Roestam Effendi yang maju dan terpilih.
Saat itu, Roestam baru berusia 30 tahun. Ia merupakan anggota parlemen termuda kala itu. Dia juga merupakan orang Indonesia pertama yang duduk di parlemen Belanda mewakili partai CPN. Sebetulnya, pada tahun 1922, Tan Malaka pernah diusung menjadi anggota parlemen. Sayang, usia Tan Malaka saat itu dianggap masih terlalu muda, yakni 24 tahun, sehingga proses pencalonannya gagal.
Roestam menyebut aksi parlementer-nya sebagai realisasi dari taktik front persatuan antara golongan ‘putih’ dan ‘sawo matang’. Dalam tulisan berjudul “Kenapa Orang Indonesia Duduk di Majelis Belanda?, Roestam menjelaskan, “masuknya orang Indonesia ke dalam Parlemen Belanda merupakan dasar bagi kerjasama antara kelas-kelas yang terhisap di Indonesia dengan saudaranya di negeri Belanda.”
Roestam menjadi parlemen Belanda sebagai pengeras suara untuk menyampaikan perjuangan rakyat Indonesia. Ia juga tak segan-segan meniup terompet “Indonesia Merdeka” di parlemen Belanda. Ketika terjadi pemberontakan Kapal Tujuh (Zeven Provincien) di negerinya, Indonesia, ia menggalang aksi besar-besaran di Negeri Belanda dan menyokong penuh pemberontakan itu. Ketika di Indonesia marak penangkapan terhadap kaum pergerakan, termasuk penangkapan kawan seperjuangannya, Bung Karno, Roestam melancarkan gugatan di parlemen Belanda.
Roestam terpilih kembali sebagai anggota parlemen di pemilu 1937. Di sini, Roestam makin radikal. Prosesi pembukaan parlemen Belanda selalu disertai dengan sambutan Ratu Wilhelmina. Dan sudah menjadi kebiasaan, begitu Ratu Wilhelmina  menyampaikan ucapan pembukaan, maka hadirin akan bersorak setia: “Leve Oranye”. Roestam mengetahui hal itu. Karenanya, ketika Ratu Wilhelmina baru berbicara, Roestam berteriak, “Indonesia Merdeka!“. Hadirin pun panik. Roestam pun babak belur karena dihajar ramai-ramai oleh polisi Belanda.
Tahun 1940, Fasisme Jerman menginvasi Belanda. Saat itu, seusai dengan garis Dimitrov, yaitu front persatuan yang luas dalam melawan kebangkitan fasisme, Roestam mengajak Belanda sama-sama melawan fasisme. Tetapi seruan itu kurang bergema. Sementara CPN bergerak di bawah tanah melawan fasisme Jepang.

Membela Kemerdekaan Indonesia
CPN mulai terorganisasi kembali sebagai partai tahun 1944. De Groot tampil kembali memimpin CPN. De Groot punya pandangan moderat, bahkan oportunis, terkait kemerdekaan Indonesia.
De Groot kekeuh mengusung solusi “Uni Indonesia Belanda”. Ia tidak setuju dengan kemerdekaan 100%. De Groot beralasan, kalau Indonesia merdeka 100%, maka dalam sekejap Indonesia akan dimangsa Inggris.
Lebih parah lagi, De Groot tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Bagi De Groot, Bung Karno adalah kolaborator fasisme Jepang.
Roestam tak setuju dengan garis De Groot itu. “saya tidak membenarkan serangan-serangan mereka menentang Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta,” kata Roestam Effendi dalam catatan singkat berjudul “Menyusuri Kenang-Kenangan Perjuangan Masa Mudaku.”
Menurut Roestam, kita menghormati kedaulatan sesuatu bangsa, maka kita harus pula mengakui tiap-tiap pimpinan negara itu, yang ditentukan oleh rakyatnya sendiri. Roestam juga membela politik Soekarno dalam bekerja secara legal dengan penguasa Jepang. “Kami bekerjasama dengan Jepang hanya karena mengkonsolidasikan kekuatan kami dan tidak karena kami pro-Jepang,” tegasnya.
Pemikiran Roestam Effendi ini tidak diterima De Groot. Akhirnya, pada Januari 1946, CPN resmi memecat Roestam Effendi. Ia dianggap tiduk tunduk pada kebijakan partainya atas persoalan Indonesia.

Kembali Ke Indonesia Sebagai “Trotskys”
Setelah dipecat dari CPN tahun 1946, Roestam dan keluarganya pulang ke Indonesia. Menariknya, di atas kapal, ia bertemu dengan tokoh Indische Partij, Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi.
Mereka langsung ke Jogjakarta, yang saat itu berfungsi sebagai Ibukota Republik. Kedatangan Roestam Effendi dan Douwes Dekker disambut oleh Bung Karno.
Pada Januari 1947, PKI melangsungkan kongres di Solo, Jawa Tengah. Roestam Effendi dan sejumlah tokoh PKI lama– Djamaludin Tamin, Nurut, Ongko D, Wiro S, dll—datang ke acara Kongres. Sayang, kehadiran mereka ditolak. Roestam dianggap sudah dipecat oleh CPN dan, dengan demikian, PKI harus mengikuti keputusan tersebut.
Sejak itulah Roestam dicap sebagai pengikut Tan Malaka atau Trotskis. Roestam menganggap tuduhan itu sangat sembrono dan tidak berdasar. Dalam tulisan berjudul “Sedikit Penjelasan tentang Soal-Soal Trotskisme”, Roestam membahas kesesuaian dan perbedaan antara leninisme dan trotskisme dalam teori dan praktek politiknya.
Roestam juga menyatakan ketidaksetujuannya atas politik kompromisme yang dijalankan oleh Sjahrir-Amir Sjarifuddin. “Reformisme Amir Sjarifuddin dan Sutan Sjahrir telah kandas. Percaya kepada itikad baik belanda merupakan struisvogel en zelfmoordpolitiek (politik burung unta dan politik bunuh diri), sekarang saatnya Amir dan Sjahrir harus menjawab,” ujar Roestam.
Roestam sendiri makin merapat ke barisan Tan Malaka. Ia menyokong penuh politik Persatuan Perjuangan—front persatuan yang digagas dan dibentuk oleh Tan Malaka untuk memperjuangkan kemerdekaan 100%. Roestam aktif memberi kursus politik di organisasi pro Tan Malaka, seperti Barisan Banteng, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Laskar Rakyat Djelata, Partai Wanita Rakyat, Laskar Rakyat Djawa Barat, AKOMA, dan lain-lain.
Pada tahun 1948, kelompok Tan Malaka membentuk Partai Murba. Roestam Effendi masuk jajaran pimpinan Partai Murba. Ia juga aktif dalam perang gerilya di daerah Jawa Timur.
Pada saat itu, ia tetap rajin menulis. Lahir karya-karyanya, seperti “Negara Demokrasi dan Diktator Proletariat”, “Revolusi Nasional (1947)”, “Soal-Soal Di Sekitar Krisis Kapitalisme (1947)”, “Soal-Soal Mengenai Sistim Kapitalisme (1947)”, “Demokrasi dan Demokrasi (1949)”, dan “Strategi Taktik (1950)”.
Hingga terjadi peristiwa “G.30.S” pada tahun 1965, Roestam masih bergiat di partai Murba. Ia juga kadang mengisi waktunya dengan mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Pajajaran bersama Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Semaun.
Tahun 1979, Roestam Effendi tutup usia.

Timur Subangun, kontributor tetap Berdikari Online

sumber http://m.berdikarionline.com/tokoh/20130224/roestam-effendi-menyuarakan-indonesia-merdeka-di-parlemen-belanda.html

Sulaiman Labai

Sulaiman Labai:
Pejuang Kemerdekaan Dari Silungkang

Pahlawan
Anda pernah mendengar kisah Robin Hood? Kisah yang mirip dengan cerita rakyat Inggris itu banyak bertebaran di nusantara. Namun, berbeda dengan Robin Hood, banyak kisah Robin Hood ala Indonesia itu justru adalah kisah nyata. Salah satunya adalah Sulaiman Labai, pejuang revolusioner dari Silungkang, Sumatera Barat.
Pada tahun 1912, di bawah kekuasan kolonial Belanda, Silungkang merupakan pusat perdagangan dan pertambangan. Seiring dengan interaksinya dengan dunia luar, gagasan-gagasan radikal masuk juga ke Silungkang.
Pada tahun 1915, Sulaiman Labai—konon, ia seorang saudagar—mendirikan cabang Sarekat Islam di Silungkang. Tiga tahun kemudian, ia mulai mempelopori perlawanan terhadap peraturan-peraturan kolonial yang melarang pengangkutan beras.
Saat itu, sebagian besar rakyat Silungkang sedang dilanda kelaparan. Namun, ironisnya, kereta-kereta pengangkut beras belanda tidak pernah berhenti hilir-mudik melewati Silungkang. Beras-beras itu dikirim untuk pejabat dan administrator Belanda yang berada di tambang Ombilin di Sawahlunto.
Di sinilah aksi “Robin Hood” itu terjadi. Pada tahun 1918, Sulaiman Labai dan puluhan anggotanya memaksa kepala stasiun untuk menyerahkan dua gerbong beras dari keretap api yang melintas di Silungkang. Beras hasil rampasan itu kemudian dibagi-bagikan kepada massa rakyat yang sedang kelaparan.
Sulaiman Labai ditangkap gara-gara aksi tersebut. Namun demikian, kisah kepahlawanannya membuat rakyat sangat bersimpati kepada Sarekat Islam dan ingin bergabung dengan organisasi bentuk HOS Tjokroaminoto tersebut.
Dengan demikian, SI cabang Silungkang pun berkembang pesat. Selain memimpin SI, Sulaiman Labai juga memimpin koran kiri: Panas. Tetapi, sangat sedikit sumber tentang koran ini dan sepak terjang Sulaiman Labai di dalamnya.
Pada tahun 1924, SI cabang Silungkang diubah menjadi Sarekat Rakyat (SR). Meningkatnya aktivitas kaum radikal dalam perjuangan anti-kolonial mendorong pemerintah Belanda melakukan penangkapan-penangkapan. Pada tahun 1926, Sulaiman Labai juga ditangkap oleh Belanda.
Sulaiman Labai ditangkap sebelum terjadinya pemberontakan anti-kolonial di Silungkang tanggal 1 Januari 1927. Pemberontakan rakyat itu dipimpin oleh PKI dan Sarekat Rakyat. Pemberontakan itu menemui kegagalan. Ribuan aktivis, kaum tani, kaum buruh, ulama, dan rakyat biasa ditangkap oleh Belanda.
Nasib sulaiman Labai sendiri sudah tidak jelas saat itu. Sebuah artikel yang ditulis oleh Anwar Sirin, Perang Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927, menceritakan bahwa pada Maret 1928 Sulaiman Labai dan sejumlah pejuang rakyat Silungkang di pindahkan ke penjara di Pulau Jawa.
Anwar Sirin mencatat sebuah dialog antara  Sulaiman Labai dengan Rusad, seorang pribumi yang menjadi Mantri Polisi Belanda. Di situ, Mantri Polisi Rusad mengejek para pejuang itu dengan mengatakan: “Kamu semua telah merasakan tanganku. Tentu kamu menaruh dendam kepadaku. Tapi jangan harap kamu semua dapat membalas dendam itu. Sekalipun kini ada Sukarno mengikuti jejak kalian yang hendak merdeka dan hendak menjadi raja. Besok pagi kalian semuanya berangkat untuk jadi raja dan rakyat di hotel prodeo di tanah Jawa.
Sulaiman Labai, yang berada di barisan pejuang itu, maju kedepan dan mengatakan: ““Tidak ada dendam kami terhadap pegawai dan amtenar bahkan terhadap Belanda pribadi, kami hanya dendam terhadap penjajah Belanda.”
Abdul Muluk Nasution, salah seorang tokoh pemberontakan rakyat Silungkang yang turut dibuang ke pulau Jawa, menulis satu lagi kisah keberanian Sulaiman Labai saat berada di penjara Belanda di Glodok, Jakarta.
Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, seorang tokoh PNI Jabar yang juga dipenjara di Glodok, Tussin, memberitahu Sulaiman Labai dan kawan-kawan perihal Sumpah Pemuda itu. Tidak hanya itu, Tussin juga mengajari Sulaiman Labai dan kawan-kawa menghafal dan menyanyikan “Indonesia Raya”.
Pada pukul 8 malam, 28 Oktober 1930, di bawah pimpinan Sulaiman Labai, tokoh pemberontak Silungkang, Sumpah Pemuda dibacakan. Lagu Indonesia Raya pun mereka gemakan serentak di setiap sel penjara Glodok, tanpa mempedulikan risiko dicambuk atau diasingkan di sel gelap dengan tangan dan kaki terantai. Ya, Sulaiman Labai, pahlawan yang tak kenal takut itu.
Pada tahun 1937, ketika Abdul Muluk dibebaskan dari penjara, Sulaiman Labai yang sudah berumur 60-an tahun masih harus menjalani penjara 15 tahun lagi.
Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sulaiman Labai tetap berada di dalam penjara. Ia menolak dibebaskan oleh Jepang. Sebab, baginya, Jepang dan Belanda sama saja: merampas kemerdekaan rakyat Indonesia.
Sulaiman Labai, pejuang rakyat Silungkan yang tak kenal surut, meninggal di dalam penjara pada tanggal 15 Agustus 1945—dua hari menjelang Bung Karno dan Bung Hatta membacakan kemerdekaan negeri yang diperjuangkannya. Semoga kita tetap mengenang kisah perjuangan seperti beliau ini. Merdeka!
TIMUR SUBANGUN, Kontributor Berdikari Online

sumber http://m.berdikarionline.com/tokoh/20120402/sulaiman-labai-pejuang-revolusioner-dari-silungkang.html

Rasuna Said

Rasuna Said:
Nasionalis Dari Tanah Minang


Rasuna Said-Bung Karno
Anda tahu siapa Rasuna Said? Di Jakarta, nama tokoh ini dijadikan nama sebuah jalan besar, yaitu jl. HR Rasuna Said, yang disamping kanan-kirinya berjejer plaza, bank, perkantoran, dan  lain-lain.
Lalu, saking tidak tahunya, seorang teman bertanya kepada saya: Rasuna Said itu nama laki-laki atau perempuan? Nama tokoh yang satu ini memang jarang di sebut dalam buka pelajaran sejarah. Padahal, sepak terjangnya dalam perjuangan nasional, juga goresan tangannya yang tajam mengeritik kolonialisme, pernah dipuji Bung Karno di tengah lautan massa di Bandung, pada 18 Maret 1958.
Rasuna Said dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat, pada 14 September 1910. Ia keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang pengusaha dan bekas aktivis pergerakan.
Selepas dari Sekolah Dasar, Rasuna dikirim ayahnya untuk belajar di pesantrean: Ar Rasyidiyah. Ia dikenal sebagai siswa cerdas, tangkas, dan pemberani. Kemudian, ia pindah ke sekolah di sekolah Diniyah, Padang. Di sinilah ia bertemu dengan seorang guru bernama Zainuddin Labai el-Junusiah, seorang tokoh gerakan Thawalib.
Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis islam di Sumatera Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-islam Turki, Mustafa Kamal (Kamal Attaturk).
Rasuna Said tumbuh dewasa di tengah bersemainya gerakan nasionalis, kiri, dan islam modernis di Sumatera Barat. Saat itu, batasan antara aktivis kiri, nasionalis, dan Islam tidaklah terlalu tebal. Jamaluddin Tamin, misalnya, dikenal sebagai tokoh gerakan Thawalib tetapi juga pendiri Sarekat Rakyat (SI-Merah).
Jamaluddin Tamin dikenal sangat dekat dengan tokoh komunis Sumatera Barat, Haji Datuk Batuah. Sedangkan Haji Datuk Batuah merupakan pengikut tokoh Komunis Islam Solo, Haji Misbach. Ia sangat tertarik untuk memadukan antara islam dan marxisme.
Menjelang tahun 1926, PKI di Sumatera Barat sedang dalam puncak-puncak kejayaannya. Akan tetapi, sehubungan dengan konflik internal terkait rencana pemberontakan, PKI di Sumbar juga terpecah: antara pengikut PKI pusat dan PKI-Tan Malaka.
Diujung pemberontakan itulah, Rasuna Said bergabung dengan salah satu organisasi PKI, yaitu Sarekat Rakyat. Akan tetapi, Rasuna Said tidak lama bergabung dengan Sarekat Rakyat. Pasca pemberontakan PKI di Silungkang, Sumatera Barat, polisi rahasia Belanda mengejar aktivis kiri.
Akibatnya, sejumlah aktivis Sarekat Rakyat yang tidak setuju dengan pemberontakan itu telah mengubah organisasi ini menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Itu terjadi pada tahun 1930-an.
Sementara itu, pada tahun 1932, sebagian tokoh-tokoh gerakan Thawalib mendirikan organisasi baru bernama Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Rasuna Said bergabung dengan PERMI. PERMI mengambil garis politik sangat anti-kolonialisme.
Di PERMI, Rasuna ditempatkan di seksi propaganda. Pekerjaan inilah yang mendekatkan dirinya dengan koran dan orasi politik. Rasuna dikenal sebagai seorang orator hebat. Seorang tokoh islam, H Hasymi, pernah menggambarkan kemampuan pidato Rasuna sebagai berikut: “pidato-pitato Rasuna laksana petir di siang hari. Kata-katanya tajam membahana.”
Selain itu, ia juga mendirikan sekolah rakyat bernama “Sekolah Menyesal”. Rasuna punya pandangan: untuk memajukan rakyat, maka ia harus bisa dibuat pandai membaca dan menulis. Ia juga mendirikan kursus-kursus putri untuk memajukan kesadaran kaum perempuan.
Pidatonya yang berani mengeritik tajam kolonialisme membuat Rasuna berurusan dengan PID (polisi rahasia Belanda). Ia ditangkap dan ditahan di Payakumbuh. Berita penangkapannya banyak dimuat di koran. Saat itu, Rasuna dikenai tuduhan delik mimbar (spreekdelict). Ia akhirnya di penjara di Semarang, Jawa Tengah.

Pemilik pena yang tajam
Semasa masih muda, Rasuna aktif berkorespondensi dengan pemimpin-pemimpin pergerakan di Jawa, yakni Soekarno dan Bung Hatta.
Selepas dari penjara, Rasuna memimpin sebuah koran bernama “Raya”. Koran ini sangat nasionalis dan radikal. Koran ini bahkan menjadi obor perlawanan bagi kebangkitan gerakan nasionalis di Sumatera Barat.
Sayang, PID terlalu mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama “Menara Poeteri”. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno: “Ini dadaku, mana dadamu”.
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu anti-kolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga.
Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang anti-kolonial. Sebuah koran di Surabaya, namanya Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini: “di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.
Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya: sebagian besar pelangganya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10% pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Sisanya ngemplang.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman: Sumatera Barat.

Nasionalis tulen
Pada jaman penjajahan Jepang, Rasuna Said sempat terlibat dalam pergerakan bawah tanah. Namun, pada saat Jepang membangun organisasi massa, Rasuna pun tergerak untuk menggunakan orgasisasi massa itu untuk kepentingan pergerakan.
Rasuna bergabung dengan Gyu Gun Ko En Kai. Organisasi ini banyak menghimpun aktivis pergerakan. Di organisasi ini, Rasuna lagi-lagi kebagian urusan “propaganda”.
Meski bekerja di organisasi massa yang dibuat Jepang, bukan berarti Rasuna melemah di hadapan fasis itu. Pada suatu hari, kepada seorang perwira Jepang yang menegur aktivitasnya, Rasuna berkata begini: “Boleh tuan menyebut Asia Raya, karena tuan menang perang. Tetapi di sini (sambil menunjuk dadanya), tertanam pula Indonesia Raya.”
Selepas proklamasi kemerdekaan, Rasuna bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI). Ia juga sempat menjadi anggota Front Pertahanan Nasional di Bukit Tinggi.
Pada saat sidang KNIP (parlemen Indonesia jaman itu) di Malang, Jawa Tengah, Rasuna terpilih sebagai wakil Sumatera. Ia juga sempat ditunjuk sebagai Badan Pekerja KNIP.
Pada saat itu, Rasuna sebetulnya sudah menikah. Akan tetapi, karena Ia terlanjur meleburkan diri dalam pergerakan, Rasuna jarang bertemu dengan suaminya. Ia pun bercerai.
Rasuna kemudian menikah lagi dengan seorang aktivis kiri, Bariun AS. Akan tetapi, pernikahan dengan orang Medan ini juga tidak berumur panjang. Ia kembali bercerai. Rupanya, Rasuna terlanjur hidup di alam pergerakan.
Rasuna sendiri adalah pendukung setia Bung Karno. Pada saat pemberontakan PRRI-Permesta meletus, Rasuna merupakan salah satu tokoh pejuang Sumatera Barat yang memihak NKRI dan Bung Karno. Banyak kawan akrabnya, bahkan bekas suaminya, menjadi pendukung PRRI-Permesta.
Kegigihan itulah yang membuat Bung Karno kagum pada pejuang dari Sumatera Barat ini. Dalam sebuah pidato di Bandung, 18 Maret 1958, di hadapan puluhan ribu massa, Bung Karno memuji kegigihan perjuangan Rasuna Said.
Karena itu, pada 11 Juli 1957, Bung Karno menunjuk Rasuna Said sebagai anggota Dewan Nasional mewakili golongan perempuan. Di situ, ia tetap menunjukkan sikap politik yang tegas: nasionalis anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Akhirnya, di tengah politik yang sedang memanas dan kepungan imperialis yang kian nyata, Rasuna Said berpulang. Tepatnya pada tanggal 2 November 1965. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
ULFA ILYAS
Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Kisah 'Haji Merah'

Kisah ‘Haji Merah’
dari Sumatera Barat


Haji Datuk Batuah (tiga dari kiri)
Haji Datuk Batuah (tiga dari kiri)
Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”.
Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.
Di Sumatera Barat, orang seperti Haji Misbach juga ada. Namanya: Haji Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang pemimpin Tarekat Syattariyah.
Datuk Batuah sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. Setelah tamat, ia menuntut ilmu di Tanah Mekah selama 6 tahun, yakni dari tahun 1909 hingga 1915. Di sana ia berguru pada Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Saat itu, di Sumatera Barat, sudah berdiri perguruan Islam bernama “Sumatra Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh kaum modernis Islam, yang berusaha melakukan pembaruan Islam melalui pendidikan. Salah satu gurunya bernama Haji Rasul—ayah dari Buya Hamka.
Audrey Kahin, dalam bukunya “Dari Pemberontakan ke Integrasi”, mencatat bahwa beberapa guru di Sumatera Thawalib tidak melarang murid-muridnya mempelajari teori-teori radikal, termasuk marxisme.
Begitu pulang dari Mekah, Datuk Batuah langsung bergabung dengan Sumatera Thawalib. Awalnya, ia menjadi murid Haji Rasul. Dia dianggap murid paling cerdas dan dinamis. Karena itu, ia pun diangkat menjadi Asisten pengajar oleh Haji Rasul.
Namun, karena pengaruh teori-teori radikal, Datuk Batuah sering berseberangan pendapat dengan Haji Rasul. Haji Rasul sendiri sangat otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal yang digandrungi oleh muridnya.
Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul untuk meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh. Namun, siapa sangka, di perjalanan inilah Ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis serikat buruh kereta api (VSTP).
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin langsung berkawan akrab. Pada tahun 1923, keduanya berangkat ke Jawa. Entah sengaja atau tidak, keberangkatan mereka bertepatan dengan Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI)/Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat.
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin jadi peserta di kongres itu. Saat itu, seorang Haji dari Surakarta, yaitu Haji Misbach, tampil berpidato di Kongres. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Medinah,” begitulah Misbach memperkenalkan dirinya.
Namun, begitu Misbach masuk ke inti pidatonya, Datuk Batuah langsung terperangah. Menurut Misbach, ada kesesuaian antara ajaran Al-Quran dan Komunisme. Antara lain, Al-Quran mengajarkan bahwa setiap muslim harus mengakui hak azasi manusia. Tetapi hal itu juga menjadi prinsip dalam program komunis.
Selain itu, kata Misbach, Tuhan memerintahkan untuk melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan. Hal itu juga menjadi jiwanya kaum komunis. Lebih penting lagi, komunisme tidak mentolerir diskriminasi pangkat dan ras. Ajaran Karl Marx ini juga mengutuk klas-klas di dalam masyarakat. Slogannya: Sama rasa, Sama rata!
“Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia belum benar-benar muslim,” kata Misbach di akhir pidatonya.
Pidato Misbach sangat membekas dalam pikiran Datuk Batuah. Begitu pulang ke Sumatera Barat, ia segera menyebarkan pandangan “Islam Komunis” ala Misbach itu kepada murid-muridnya di Perguruan Thawalib dan melalui koran “Pemandangan Islam”.
Sementara Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada Mei 1923, segera menyebarkan gagasannya melalui koran “Djago-Djago”. Dua koran ini pula yang menjadi terompet perjuangan menentang kolonialisme di Sumatera Barat.
Pada tanggal 20 November 1923, berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota).
Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi “propagandis komunis”. Rakyat banyak menyebutnya “ilmu kuminih”. Banyak pedagang terseret dalam propaganda “Islam Komunis”. Maklum, Islam mengharamkan praktek “Riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. Ini selaras dengan propaganda Marxisme menentang kapitalisme.
Haji Datuk Batuah menikah dengan Saadiah. Hasil perkawinannya dikaruniahi tiga anak. Salah seorang anaknya diberinama: LENIN. Lalu, Datuk Batuah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Zainab. Ia dikaruniai seorang putri bernama KARTINI.
Sebagai seorang komunis, Haji Datuk Batuah tetap taat pada agamanya. Audrey Kahim mengutip pernyataan Buya Hamka tentang Haji Datuk Batuah: “Rupanya dia menjadi pengikut setia komunisme hanya untuk hal-hal yang menyangkut (ajaran) ekonomi, tidak dalam hal-hal materialisme historisnya. Jadi, dia komunis tulen yang masih memeluk agama Islam. Konon kabarnya, orang-orang komunis yang anti-agama harus hormat kepadanya. Sebab dia tidak keberatan bersikap keras terhadap orang-orang yang mencela agamanya.”
Propaganda “Islam Komunis” sangat membumi. Rakyat pun berbondong-bondong menjadi anggoat PKI. PKI Padang Panjang punya pusat propaganda bernama: International Debating Club (IDC). Namun, rupanya, Belanda sangat khawatir dengan hal itu. Maklum, PKI adalah organisasi paling radikal dan paling keras menentang kolonialisme Belanda.
Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda menggeledah IDC. Itu terjadi tanggal  11 November 1923. Saat itu, aktivis IDC sedang melipat-lipat koran Djago-Djago! Tiba-tiba datang Polisi bersenjata lengkap menggeledah tempat itu.
Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga ditangkap.
Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk Batuah tetap aktif berjuang.
Bersama dengan  Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.
Pada tahun 1927, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke Boven Digul, Papua. Tidak banyak dokumentasi terkait kehidupan Datuk Batuah dan Natar selama di Digul. Begitu Jepang merengsek masuk Indonesia, Datuk Batuah dipindahkan New South Wales, Australia.
Konon kabarnya, Datuk Batuah dan istrinya, Saadiah, sempat kembali ke Indonesia dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, disebutkan bahwa Datuk Batuah masuk daftar anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia mewakili Solo bersama DN Aidit dan Alimin.
Tahun 1948, Ia kembali ke kampung halamannya: Koto Laweh, Padang Panjang. Di sana ia tetap berpropaganda komunisme. Datuk Batuah meninggal dunia tahun 1949.
Risal Kurnia, Kontributor Berdikari Online

hikayat 'Cafe Merah'

Hikayat ‘Cafe Merah’
Di Padang Panjang


Datuk Batuah.jpg
Nagari di selangkangan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang itu sejuk. Meski sekejap, saban hari selalu hujan. Urang saisuak menyebut Padang Panjang kota hujan. Dulu di kota ini ada cafe yang sangat terkenal; Cafe Merah. Sarangnya kaum merah, pimpinan Datuak Batuah.

“Pada awal abad 20, orang-orang di Cafe Merah mempelajari marxisme langsung dari buku berbahasa aslinya, bukan terjemahan,” ungkap Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, awal November 2013 lalu di kolong rumah gadang, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau, Padang Panjang.
Perundingan di kolong rumah gadang itu bagian dari rangkaian acara perhelatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Pers Mahasiswa Nasional yang digagas oleh anak-anak Ganto, surat kabar kampus Universitas Negeri Padang (UNP).
Cafe Merah didirikan pelajar Sumatera Thawalib sebelum Partai Komunis Indonesia dideklarasikan pada 1920 di Semarang. Hal ini diceritakan Djamaludin Tamim dalam buku stensilan “Sedjarah PKI”. Di halaman 14 buku  yang terbit 1957 tersebut, Djamaludin menyebut Padang Panjang sebagai kota merah, bahkan pusat kaum merah di Sumatera. Berikut cuplikannya:
Di Padang Pandjang, sebuah kota ketjil di Sumatera Tengah tempat berkumpul dan pusatnja pesantren Agama/Mahasiswa Ilmu Gaib dari seluruh Sumatera, sudah sedjak awal tahun 1920 di sanapun sudah mulai menjebut2 tentang Sosialisme-Komunisme Sarikat Merah, walaupun pada permulaannja makanja Padang Pandjang menjadi pusat kaum merah, menjadi kota merah di Sumatera, hanjalah mendirikan BOPET MERAH sebagai tjabangnja Koperasi kaum Merah di sana, jakni lima enam bulan sebelumnja lahir PKI di Semarang tahun 1920.
Cafe Merah tempat nongkrong santri –santri Sumatera Thawalib yang mendalami ilmu agama Islam. Terkait perjumpaan Islam dan Marxis, sayup-sayup dalam ingatan saya, Mestika Zed menyebut semacam jargon orang-orang di CafĂ© Merah; “Kami Islam seIslam-Islamnya. Dalam menghadapi kapitalis, kami Marxis seMarxis-Marxisnya.” Begitu kurang lebih.

Datuak Batuah
Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, ternyata Datuak Batuah, dedengkot Cafe Merah kawan seperguruan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Ashari (pendiri Nahdlatul Ulama). Mereka bertiga murid Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi, guru besar sekaligus imam Masjidil Haram, Mekkah.
Datuak Batuah lahir di Koto Laweh, Padang Panjang tahun 1895. Nama kecilnya Ahmad Chatib. Ketika berusia 8 tahun, buah cinta pasangan Syech Gunung Rajo (guru tarekat) dan Saidah itu sudah naik haji. Tahun 1909 dia kembali lagi ke Mekkah untuk berguru kepada Syech Ahmad Chatib Al-Minangkabawi.
Tahun 1915 dia pulang kampung dan berguru kepada Haji Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah kandung Buya Hamka. Karena kemampuannya yang menonjol dia diangkat menjadi guru Sumatera Thawalib.
Ilmu Kumunih
Suatu waktu, Datuak Batuah ditugaskan ke Sigli, Aceh untuk membenahi Thawalib Aceh yang dirintis A.R Sutan Mansur. Dalam perjalanan dia jumpa dengan Natar Zainudin, urang awak yang bekerja sebagai pegawai kereta api. Natar aktivis Vereeniging van Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP), serikat buruh kereta api yang berdiri sejak 1908.
Dari Natar-lah Datuak Batuah mengenal komunisme. Sepulang ke Padang Panjang, Datuak Batuah menjelma menjadi propagandis komunis. Di Sumatera Thawalib ajaran yang disebarkan Datuak Batuah ini disebut ILMU KUMINIH.
“Keberhasilan Dt. Batuah menyebarkan ‘Faham Kuminih’ di kalangan pelajar Sumatera Thawalib menyebabkan timbulnya perpecahan… dan mendorong Buya Hamka mundur sebagai pengajar di sekolah itu,” tulis koran Singgalang, edisi Minggu, 30 Desember 2012.
Ilmu kuminih tumbuh bak jamur di musim hujan di Padang Panjang. Kota hujan menjadi kota merah. Datuak Batuah dan para sekondannya mendirikan Cafe Merah, kedai yang kemudian menjadi pusat pergerakan kaum merah. Di cafe inilah PKI Padang Panjang berdiri pada 1923.  Posisi ketua dijabat Datuak Batuah, Sekretaris dan Bendahara dijabat Djamaludin Tamim.
Mereka juga menerbitkan koran Pemandangan Islam dan Djago! Djago!. Djago bahasa Minang yang berarti bangun atau bangkit. Karena aktivitas politiknya, Datuak Batuah ditangkap Belanda pada 11 November 1923. Dia ditahan tanpa diadili. Desember 1924, dia diasingkan ke Nusa Tenggara.
Foto halaman 10 kolom 4 koran De Sumatera Post, edisi Kamis, 15 November 1923. Koran ini memuat berita penangkapan Datuah Batuah dan para pimpinan Cafe Merah
Foto halaman 10 kolom 4 koran De Sumatera Post, edisi Kamis, 15 November 1923. Koran ini memuat berita penangkapan Datuah Batuah dan para pimpinan Cafe Merah
Kini, cafe di Simpang Padang Panjang itu hanya jadi warung biasa. Tak ada prasasti penanda bahwa dari tempat itulah titik api pemberontakan rakyat 1927 di Ranah Minang mulai menyala. Padahal, pemberontakan 1927 merupakan titik nol perjuangan urang awak menuntut kemerdekaan Indonesia.
Wenri Wanhar, penulis buku “