Thursday, October 30, 2014

Degenerasi RS BPJS

Degenerasi Birokrasi
Rumah Sakit BPJS


Armahedi Mahzar (c) 2014

Awal tahun ini, saya menulis sebuah blog berjudul "Puji Allah, Terimakasih Presiden" karena untuk pertama kalinya saya membayar 0 rupiah untuk perawatan dan obat penyakit kronis di sebuah RS swasta Islam http://static.inilah.com/data/berita/foto/1779856.jpg. Sebelumnya, saya sebagai pensiunan pegawai negeri yang ikut asuransi kesehatan hanya obatnya digratiskan, pendaftaran RS dan ongkos dokter spesialis tetap bayar. Maka tak mengherankanlah jika saya menulis blog syukur dan terima kasih pada waktu itu. Tulisan itu adalah reaksi spontan saya terhadap diberlakukannya BPJS Kesehatan http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/3/38/Logo_BPJS_Kesehatan.jpg .

Pada akhir tulisan tersebut, saya tuliskan bahwa saya baru menyadari bahwa negara adalah sebuah megaorganisme sebagai tangan Tuhan untuk menolong hambaNya dan birokrasi rumah sakit adalah jemariNya untuk menolong makhluk-makhlukNya. Namun, pada waktu itu saya sadar bahwa jemariNya adalah juga makhluk fisik yang pada waktunya akan mengalami proses degenerasi seperti halnya organ tubuh organisme biologis. Birokrasi hanyalah organ sebuah megaorganisme sosial bernama negara.

Sekarang, BPJS sudah hampir berumur satu tahun. Seharusnya birokrasi di RS pelaksananya menjadi lebih gesit dan lebih memudahkan. Memang demikianlah yang saya alami bulan-bulan pertama. Pada mulanya terjadi desentralisasi proses dokumen mengingat melonjaknya peserta BPJS. Kemudian dipermudah dengan bifurkasi pelayanan pendaftaran dengan diberlakukannya pelayanan online (antri lewat SMS) di samping pelayanan onsite (antri di loket fisik).

Nah, sudah tiga kali saya mengalami kemudahan pelayanan online itu. Soalnya, saya harus kembali sebulan sekali untuk pemeriksaan dokter dan penerimaan resep yang ditukarkan obat secara gratis. Saya pun, senang sekali melihat sebuah rumah sakit umat Islam tumbuh kembang sebagai organisasi belajar yang memperbaiki layanannya secara kontinu berdasarkan pengalamannya. Ini serasi dengan wawasan saya tentang peradaban Islam sebagai penebar rahmatNya ke seluruh penjuru alam.

Begitulah, saya bangga ketika tadi pagi halaman rumah sakit itu bertabur karangan bunga ucapan selamat akan berhasilnya dia menjadi the best hospital di kota Bandung. Namun kebanggaan itu segera luntur setelah mengalami kegagalan-kegagalan birokratis dalam satu hari ini. Awalnya, saya terpaksa datang pagi hari setelah subuh (seperti sebelum berlakunya BPJS), karena kemarin pendaftaran online saya tak berjawab, meskipun saya telah mengirim SMS pendaftaran di awal jam pendaftaran (jam 8.00) dan sejam sesudahnya saya mengirimkan SMS yang sama.

Tentu saja, saya berharap kedatangan saya akan berujung pada ambil nomor antri untuk mendapat nomor antri pelayanan dokter setelah kartu askes dan rujukan puskesmas sudah dikonfirmasi. Alangkah kagetnya saya ketika diberi tahu satpam bahwa nomor antri pendaftaran habis, lalu dia menunjukkan pengumuman yang mengatakan pelayanan BPJS dibatasi 500 pasien per hari (untuk semua jenis penyakit). Namun untunglah ada seseorang yang memberi tahu saya untuk pergi ke belakang masjid untuk bisa antri pendaftaran di siang hari.

Sayangnya, loket belakang masjid itu baru katanya baru buka jam 8:00 pagi. Meskipun begitu, saya sempat menulis nomor urut 150 di atas sehelai kertas, tanpa memperoleh karcis pendaftaran. Menunggu bukanya loket saya pergi ke loket pendaftaran SMS untuk memprotes pelayanan online yang mengecewakan itu. Nyatanya dokter X yang biasanya memeriksa kondisi saya tidak bertugas hari ini karena itu antrian online saya tak diproses. Tetapi dokter X digantikan oleh dokter Y. Karena saya kurang cocok dengan dokter Y sayapun batalkan pendaftaran untuk siang ini.

Lalu, saya mendaftar lagi lewat SMS jam 8:05 untuk pelayanan esok hari dan jam 9:00 saya datang lagi ke loket pelayanan online untuk mendapat kabar bahwa dokter X yang saya harapkan untuk memeriksa besok sedang cuti digantikan oleh dokter Y yang kurang saya sukai itu. Apa boleh buat, saya tunggu saja jawaban bagi SMS saya yang baru tadi. Namun, setelah sejam saya daftarkan lewat SMS, jawaban belum juga saya peroleh. Oleh sebab itu saya ke bagian informasi untuk melaporkan pengalaman saya.

Apa lacur, di loket informasi saya diberitahu bahwa besok dokter Y tidak praktek, melainkan dokter Z. Maka saya ingin mendaftarkan diri pada dokter Z, akan tetapi dikatakan bahwa nomor pendaftaran itu sudah habis. Saya pun dianjurkan mendaftar besok saja lewat SMS untuk bisa dilayani lusa. Tentu saja pengalaman negatif selama dua kali berturut-turut ketika mendaftar online membuat saya jadi ragu-ragu.

Di tengah keraguan itu, tiba-tiba saya ditawari karcis oleh satpam untuk antri onsite sore ini buat pelayanan besok lusa. Maka dengan senang hati saya terima karcis nomor 339 yang baru akan dilayani pendaftarannya jam 4 sore hari ini. Maka saya pun tersadar bahwa terjadi reformasi birokrasi pelayanan pendaftaran. Kini ada pelayanan pendaftaran onsite untuk pelayanan dokter dua hari kemudian. Sayangnya hal itu tak dijelaskan secara tertulis.

Dengan demikian, saya pun berkesimpulan bahwa jariNya berupa birokrasi RS telah mengalami degenerasi alias perentaan dengan kekakuan peraturan (penggantian dokter tidak otomatis), pengurangan responsifitas (tidak menjawab pendaftaran online) dan penundaan pelayanan (tanpa peraturan tertulis). Benar-benar ini mengejutkan saya perentaan organisme sosial BPJS super cepat ketimbang perentaan organisme biologis seperti misalnya tubuh kita.

Menghadapi kontradiksi itu (penghargaan rumah sakit terbaik versus penurunan layanan birokratis), saya pun berpikir panjang. Benarkah degenerasi megaorganisme sosial lebih cepat daripada degenerasi organisme biologis? Ataukah itu hanya tanda kurangnya kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap lonjakan pasien yang harus dilayani? Untunglah, saya belum mengalami pengurangan jatah obat seperti dialami pasien lain.

Saya hanya bisa berdoa agar rumah sakit itu sanggup memperbaiki pelayananannya sesuai dengan slogannya: sehat bermanfaat, difabel bersabar dan wafat husnul khatimah. Saya pikir, manajemen dan pegawai Rumah sakit itu adalah orang-orang sehat yang ingin bermanfaat pada orang lain. :)




Thursday, October 16, 2014

Tentara Elit Muslim Majapahit

Satuan Tentara Elit Muslim Majapahit





Mengagumkan, ternyata wilayah Majapahit lebih luas dari yang diperkirakan selama ini oleh sejarawan. Riset terbaru tentang penempatan prajurit Majapahit  di luar Jawa menemui fakta yang menakjubkan. Uniknya, pleton pleton kawal Majapahit beranggotakan prajurit beragama Islam. Peninggalannya pun masih bisa dibuktikan hingga sekarang.

Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang terdiri dari 40 prajurit  elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali, Wanin Papua, Kayu Jawa Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin) Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim.

Prajurit Islam ini berasal dari basis Gajah Mada dalam merekrut prajurit elite yang terdiri dari 3 (tiga) kriteria:
  • Mada, Gondang ( Tenggulun Lamongan ) dan Badander (Jombang) yang diketahui sebagai basis teman  teman lama beliau.  Dari desa desa ini pemudanya direkrut menjadi Bhayangkara angkatan II dan seterusnya.
  • Tuban, Leran, Ampel, Sedayu sebagai basis Garda Pantura. Pahang Malaya, Bugis Makasar, dan Pasai sebagai basis tentara Laut  Luar Jawa.
Pada masa itu di Jawa Islam telah berbaur sejak abad ke 10 yang dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah  binti Maimun (wafat 1082 M) di Leran, Gresik yang bertuliskan huruf Arab Kufi. Dan Prasasti Gondang - Lamongan yang  ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi).

Keduanya merupakan peninggalan zaman Airlangga. Sedangkan orang Islam sudah masuk ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7. Islam baru berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung dari politik Gajah Mada, putra desa Mada Lamongan, politikus abad ke 14.

Satuan tentara elite Majapahit sudah dibangun sejak masa Jayanegara (1319), yaitu pasukan kawal raja Bhayangkara, yang dipimpin oleh bekel Gajah Mada. Pada masa selanjutnya satuan elite terus berkembang, terutama pada masa Gajah Mada menjabat sebagai  mahapatih amangkubhumi dari tahun 1334 sampai 1359, sejak masa Tribhuwana Tunggadewi hingga masa Hayam Wuruk.

Menurut “Hikayat Raja-raja Pasai”, ketika Majapahit menyerang Pasai, dan dipukul mundur (1345), lalu menyerang kembali dan meluluh lantakan istana Sultan Ahmad Malik Az Zahir (1350), Gajah Mada yang juga seorang muslim, membawa tawanan orang Pasai  yang terdiri dari para ahli, insinyur lulusan Baghdad, Damaskus dan Andalusia. Sedangkan Sultan Pasai melarikan diri dari istana. Setibanya di Majapahit, Gajah Mada membebaskan tawanan tersebut setelah bernegosiasi dengan Prabu Hayam Wuruk.

Kemudian orang Pasai ini bekerjasama dengan Gajah Mada untuk membangun kejayaan Majapahit. Sebagai balas jasa, Majapahit memberi  otonomi kepada Kerajaan Pasai Darussalam, dan menempatkan orang Pasai di komplek elite di ibukota Majapahit Trowulan. Hal ini dibuktikan, pada 1377 Majapahit menghancurkan Kerajaan Budha Sriwijaya dan menguasai seluruh Pulau Sumatera, kecuali Pasai.

“Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu” (Kutipan dari “Hikayat Raja-raja Pasai”).

Dengan adanya orang Pasai yang ahli dalam bidang tempa logam, baik itu baja maupun emas, maka didirikanlah bengkel senjata dan  alat pertanian yang sempurna (standar baja Damaskus) , saluran irigasi model Andalusia di Trowulan dan pabrik koin dinar emas Majapahit. Seiring dengan perluasan wilayah Majapahit untuk mewujudkan “Sumpah Palapa”, Gajah Mada membentuk pleton-pleton khusus yang didominasi oleh prajurit Islam.


Prajurit Islam Majapahit di Bali

Penempatan 40 orang prajurit Islam Majapahit di Kerajaan Gelgel – Klungkung, Bali dimulai ketika Raja Gelgel I, Dalem Ketut Ngulesir (1320 – 1400) berkunjung sowan abdi ke Trowulan, tak lama setelah deklarasi pendirian Kerajaan Gelgel tahun 1383. Beliau didampingi oleh Patih Agung, Arya Patandakan dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh) yang menghadap Prabu Hayam Wuruk saat upacara Cradha dan rapat tahunan negeri-negeri vasal imperium Majapahit. Ketut Ngulesir memohon dukungan dari Maharaja Majapahit, yang dikabulkan dengan pemberian 1 (satu) unit pleton khusus binaan Almarhum Gajah Mada. (“Kitab Babad Dalem”, manuskrip tentang Raja-raja Bali).

Prajurit Islam ini menikah dengan wanita Bali, dan beranak-pinak disana. Mereka sangat setia membentengi Puri Gelgel – Klungkung. Bahkan meskipun pada akhirnya imperium Majapahit runtuh (1527), tapi Prajurit Islam tetap menjadi tentara elite Kerajaan Gelgel, dari generasi ke generasi. Begitu pula di Kerajaan Buleleng, prajurit Islam membentengi Puri Buleleng dari serangan Raja Mengwi dan Raja Badung dari Kerajaan di Bali Selatan.

Saat ini kita masih dapat saksikan di Bali, keturunan prajurit Islam Majapahit yang telah mencapai ribuan orang Islam asli Bali (mereka menggunakan nama Bali, untuk membedakan dengan muslim pendatang) tepatnya di desa Gelgel, Klungkung dan di desa Pegayaman, Buleleng – 70 km arah utara Denpasar. Mereka adalah penduduk mayoritas di desa-desa kuno tersebut.

Sebelum Gajah Mada (wafat 1364) telah membangun sistem perekrutan satuan tentara elite yang beranggotakan prajurit Islam, dibekali dengan senjata pamungkas, dan berperang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Kedua, Prabu Hayam Wuruk diduga telah mengetahui bahwa Gajah Mada bukan Sudra, melainkan seorang Muslim. Kemungkinan info yang rahasia ini diperoleh dari Ibunda Ratu Tribhuwana
Tunggadewi.

Untuk menghormati almarhum Gajah Mada, beliau tidak mencerai-beraikan pleton pleton Muslim yang berjumlah 40 orang, karena dalam Madzhab Imam Syafi’i, syarat minimal untuk mendirikan sholat Jumat adalah 40 orang. Ketiga, kemampuan tempur 40 orang prajurit Islam dapat menghancurkan 200 sd 400 orang tentara reguler musuh. Karena mereka dibekali kemampuan militer  yang menguasai berbagai jenis senjata. Hal ini dibuktikan dalam perang mempertahankan Puri Buleleng dari serbuan pasukan gabungan dua Kerajaan Mengwi dan Badung, yang terletak di Bali Selatan.

Hayam Wuruk kagum atas kesetiaan dan ketetapan janji orang Islam. Mereka tidak terpengaruh  godaan harta, wanita dan tahta yang bukan haknya. Mereka tidak pernah mabuk, berjudi, maling dan berzina ( kebiasaan buruk di Majapahit adalah mabuk dan berjudi, serta wanita ). Ketika pleton prajurit Islam Majapahit ini mengawal pulang rombongan Raja Gelgel, Ketut Ngulesir, mereka dibekali oleh Hayam Wuruk berupa puluhan ribu koin cash Cina dan koin Gobog Wayang (koin kepeng tembaga) serta ratusan koin dinar emas Majapahit.Ini sebagai balasan atas penyerahan upeti dari Kerajaan Gelgel Klungkung berupa hasil bumi, hewan ternak dan tangkapan, perhiasan dan kerajinan tangan rakyat Gelgel. Hayam Wuruk berharap, stok koin-koin tersebut mampu merangsang tumbuhnya ekonomi di Gelgel. Sejak saat itu Pura Klungkung dan Pura Buleleng telah akrab dengan koin dinar emas dalam ritual ibadah mereka.

Prajurit Islam Majapahit di Wanin Papua

Saat Prof. JH Kern dan NJ Krom meneliti kitab Nagarakertagama yang ditemukan (dijarah) oleh JLA Brandes dari istana Cakranagara,  Lombok (1894). Prof. Kern dan Krom, 1920, mendapati fakta bahwa kekuasaan Majapahit di Papua Barat dibuktikan dengan adanya penempatan prajurit Islam di Wanin – Papua. Berdirinya Kerajaan Wanin di Fak-fak hingga Biak merupakan vasal Majapahit. Sampai sekarang, Raja-raja dan rakyat di Wanin dan Fakfak sangat kental nuansa Islamnya dan sangat fasih menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Saat Majapahit runtuh, pada abad ke 16, Kerajaan Wanin bergabung dengan Kerajaan Ternate Darussalam di Maluku Utara, yang dulunya juga merupakan bawahan Majapahit. Diperkirakan situs Majapahit di Papua tersebar luas di Fak-fak, Biak dan Raja Ampat. Keturunan mereka berbeda dengan ras Papua.

Prajurit Islam Majapahit di Marege – Australia

Menurut Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia – belum lama ini meriset suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu Makasar. Marege adalah desa kuno di tanah Arnhem, di daerah Darwin, Australia Utara. Regina mendapatkan fakta yang menakjubkan , bahwa komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, sudah ada sejak abad ke 17 (1650 an), dan menyebarkan Islam di Australia Utara hingga ke desa Kayu Jawa di Australia Barat.

Orang Marege hingga hari ini menyebut rupiah untuk kata ganti uang, padahal mata uangnya adalah dollar.

Juga menyebut dinar untuk koin emas Australia. Dahulu sempat ditemukan koin Gobog Wayang di desa Marege Darwin. Padahal koin Gobog merupakan koin resmi Majapahit. Ini menunjukkan adanya jejak prajurit Majapahit abad ke 14 yang dikirim ke Marege, Dalam risetnya, Prof. Regina menuturkan bahwa sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal Pinisi dari Makasar menguasai perairan teluk Carpentaria – Darwin, mereka mencari tripang.

Di tanah Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan dengan suku Aborigin, menikah dan beranak pinak membentuk komunitas Aborigin Muslim. Dalam kebudayaan Marege, nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi Makasar dalam karya seni kuno mereka. Uniknya, kapal bercadik Majapahit pun terpahat dalam seni ukir dan lukis mereka yang berusia ratusan tahun.

Ketika orang Inggris menjajah rayah desa Marege dan desa Kayu Jawa, mereka nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege pada abad ke 20 seiring arus Westernisasi di negeri Kanguru. Karya seni Marage banyak yang diboyong ke Eropa. Orang Marege menyebut orang Inggris sebagai ‘Balanda’, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‘Walanda’, dan perang melawan orang Inggris disebut ‘Jihad Kaphe’.



sumber

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol
(1772-1864)

Tuanku Imam Bonjol 
Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) Struggle of Independence Hero By the order of the President of the Republic of Indonesia No. 087/TK/Year 1973, dated November 6, 1973. Demikian tulisan yang terdapat pada Makam Tuanku Imam Bonjol yang diangkat menjadi Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan beradasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 Nopember 1973.  

Tuanku Imam Bonjol, alias Muhammad Shahab atau Ahmad Shahab, alias Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, lahir 1772 meninggal di Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Dari mana asal keturunan Tuanku Imam Bonjol ?.

Dalam beberapa literature, terutama Tamar Djaja, diterangkan bahwa telah datang di Minangkabau dua orang bersaudara yang berasal dari Maroko (Afrika Utara), sebahagian lagi ada yang menyebutnya dari Arab, yaitu seorang laki-laki yang bernama Syekh Usman (ada pula yang menyebutnya dengan Sayyid Usman) dan saudara perempuannya yang bernama Hamatun.


Diterangkan selanjutnya, bahwa Syekh Usman kemudian menemui Datuk Sajatinyo di Alai Ganggo Mudiak, minta izin untuk melapor secara adat – dalam bahasa budaya Minangkabau : “mengisi adat” – sambil minta daerah untuk menetap. Oleh Datuk Sajatinyo, beliau diberi “kekuasaan” untuk mendirikan kampong atau berkampung Koto serta diangkat menjadi penghulu dalam kaumnya dengan gelar Datuk Sahid dan digelari juga dengan Syekh Bagindo Suman. Dengan label kultur ini – Bagindo – maka Syekh/Sayyid Usman diakui menjadi orang Minangkabau. 


Sementara itu, saudara perempuannya Hamatun kawin dengan Khatib Bayanuddin, seorang alim yang berasal dari Sungai Rimbang Suliki. Dari perkawinan mereka ini, Hamatun dan Bayanuddin memiliki empat orang anak masing-masing bernama Muhammad Shahab, Sinik, Santun dan Halimatun. Selanjutnya, Khatib Bajanuddin dan Halimatun membawa anak-anak mereka ini ke Tanjung Bungo di kampong Koto, perkampungan yang diberikan oleh Datuk Sajatinyo kepada orang tua mereka dahulunya.

Tuanku Imam Bonjol/Muhammad Shahab/Ahmad Shahab kemudian diberi gelar Peto Syarif setelah beliau selesai mengikuti pelajaran agama Islam dan dianggap sudah mencukupi. Peto artinya ulama. Setelah diberikan gelar Peto ini, selanjutnya Tuanku Imam Bonjol berpetualang belajar ke kampong Muaro Puak Gadih di Suliki setelah sebelumnya belajar di Pasir Lawas Palupuh.

Sebagaimana halnya yang dialami oleh ulama-ulama Minangkabau lainnya, Tuanku Imam Bonjol setelah merasa cukup belajar ilmu agama, beliau berkeinginan untuk merobah tingkah laku dan adapt istiadat masyarakat Minangkabau pada masa itu yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Usaha Tuanku Imam Bonjol ini, mendapat tantangan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan adapt yang merasa tradisi yang selama ini identik dengan kalangan mereka, ingin dirubah oleh Tuanku Imam Bonjol. Karena beliau merasa tidak nyaman, akhirnya Tuanku Imam Bonjol pindah ke Bonjol Pasaman. Sejak pindah inilah, gelar Tuanku Imam Bonjol tersebut melekat pada dirinya. Walaupun Tuanku Imam Bonjol sudah menetap di Bonjol, namun beliau sering diminta oleh Datuk Bandaharo, Rajo Empat Selo, mengajar di Padang Lawas.

Dikisahkan, bahwa pada suatu hari Datuk Bandaharo yang merupakan Raja Empat Selo, bersepakat untuk mengumpulkan perwakilan masyarakat di Minangkabau di dalam masjid Padang Lawas. Perwakilan tersebut merupakan wakil dari kalangan adat, alim ulama dan anak nagari lainnya dengan tujuan untuk menyerukan kebenaran ajaran Islam disamping mengadakan pembacaan Maulud Nabi SAW. Setelah berkumpul, lalu dalam pertemuan itu, oleh

Datuk Bandaharo dan kalangan alim ulama menyerukan kepada para pejabat nagari, penghulu dan kepala adat untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama Islam, fokusnya kepada tradisi-tradisi yang telah membudaya dan menjadi symbol elit adapt pada waktu itu seperti menyabung ayam, minum tuak, judi dan lain-lain.

Mereka yang mendapat ajakan dan seruan ini merasa terhina harga dirinya. Lantas mereka bermusyawarah dan kemudian menyerang orang-orang yang berkumpul di masjid Padang Lawas dengan senjata, khususnya yang ditujukan pada akum alim ulama.

Peristiwa ini pada akhirnya melahirkan dua “peta” masyarakat di Padang Lawas pada waktu itu, yaitu golongan pertama yang terdiri dari pengikut Tuanku Imam Bonjol dan Datuk Bandaharo yang ingin melaksanakan syariat Islam dengan benar dan tegas, dan golongan yang kedua, umumnya disupport dan dibackup oleh golongan adat, yang tidak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan lama yang bertentangan dengan syariat Islam.

Gabungan Tuanku Imam Bonjol dan Datuk Bandaharo yang solid dianggap golongan yang kedua sebagai sebuah ancaman potensial. Mereka berusaha memisahkan Tuanku Imam Bonjol dengan Datuk Bandaharo. Dalam sebuah peristiwa, akhirnya Datuk Bandaharo meninggal dunia karena diracun. Niatnya untuk memurnikan ajaran Islam menjadi tersendat.

Karena Tuanku Imam Bonjol dianggap oleh para elit sosial – terutama elit adat – di Padang Lawas menjadi penyebab tidak langsung meninggalnya Datuk Bandaharo, maka Tuanku Imam Bonjol diusir dari Padang Lawas. Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol kembali lagi ke Bonjol dan memperluas perkampungan tersebut. Di tempat inilah, Tuanku Imam Bonjol menjadi pemimpin bagi komunitasnya.

Disamping bergelar Imam – gelar yang merefleksikan elit agama – beliau juga diberi gelar adapt yaitu Angku Mudo. Dengan berdiri dan berkembangnya daerah Bonjol ini, ditambah lagi dengan adanya pengakuan yang tinggi dari komunitas sosialnya di Bonjol tersebut, maka Tuanku Imam Bonjol memiliki keleluasaan memurnikan ajaran Islam pada masyarakatnya. Tidaklah mengherankan kemudian apabila Bonjol dikenal sebagai pusat penyebaran Islam kala itu.

Namun ikhtiar Tuanku Imam Bonjol ini terus mendapat tantangan. Tidak semua masyarakat Bonjol yang menyenangi beliau. Pola yang terjadi di Padang Lawas sebelumnya juga terjadi di Bonjol dan daerah sekitarnya. Kelompok-kelompok yang tidak menyenangi beliau ini berusaha mencari celah untuk mengadu-domba dan memancing konflik horizontal. Pada awalnya, Tuanku Imam Bonjol tidak terpancing, namun karena gerakan-gerakan yang tidak menyenangi beliau ini terkesan sangat provokatif, maka Tuanku Imam Bonjol mengadakan musyawarah dengan para pengikutnya. Musyawarah ini kemudian melahirkan satu kesepakatan yaitu perang tidak bias dihindari.

Langkah selanjutnya untuk mensikapi kesepakatan yang telah diambil dalam musyawarah tersebut adalah menyusun pasukan untuk menghadapi gerakan-gerakan yang berusaha menghambat dominasi dan usaha Tuanku Imam Bonjol di Bonjol dan daerah-daerah sekitarnya. Setelah pasukan terbentuk, Tuanku Imam Bonjol kemudian pergi ke Bandar Kamang untuk menemui Tuanku Nan Renceh, minta pendapat dan keteguhan hati. Di daerah ini, setelah melalui diskusi dengan Tuanku Nan Renceh, maka pasukan tersebut diberi nama Paderi dengan karakteristik berpakaian putih. Tuanku Imam Bonjol diangkat menjadi pimpinan Paderi cabang Bonjol.

Tuanku Imam Bonjol kemudian kembali ke Bonjol dengan diiringi oleh Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Nan Tuo. Perang-pun mulai berkobar. Dimulai dengan menaklukkan Alahan Panjang dan daerah Bonjol secara total. Setelah dua daerah ini ditaklukkan, keluarlah Undang-Undang Paderi yang melarang menyabung ayam, berjudi, minum tuak dan menghisap madat, yang pada saat itu sangat digemari bahkan dianggap suatu tradisi dan untuk bahagian-bahagian tertentu menjadi “pelengkap ritual adat”.

Kaum Paderi di Bonjol bertekad untuk melaksanakan peraturan ini secara tegas dan konsekuen. Suatu peraturan yang sangat berat bagi mayoritas masyarakat Minangkabau kala itu. Setelah gerakan Paderi solid di Alahan Panjang dan Bonjol dan terus bergerak ke berbagai wilayah di Minangkabau, bahkan “menggerogoti” kedaulatan dan kewibawaan Raja-Raja Minangkabau. Selanjutnya, berdiri pula apa yang disebut dengan Persatuan Tuanku Nan Salapan. Oleh musuh-musuhnya (kaum adat), pergerakan ini mereka beri nama Persatuan Harimau Nan Salapan.

Sesudah negeri-negeri seperti Alahan Panjang dan Bonjol dikuasai oleh Kaum Paderi, barulah mereka menuju Lubuk Sikaping, Rao Mapattunggul, Air Bangis, Talu, Sasak, Tiku, Kuok-Bangkinang, Rambah dan akhirnya Tambusai. Setelah daerah-daerah “pinggiran Minangkabau” ini ditaklukkan, salah seorang ulama Harimau Nan Salapan yaitu Tuanku Khalwat meninggal dunia. Beliau kemudian digantikan oleh Pakiah Sultan dari Mudik Padang.

Belakangan, Tuanku Nan Gapuak bisa dipengaruhi oleh kaum adat dan berbalik melawan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Nan Gapuak akhirnya tewas oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dalam sebuah peperangan. Mayatnya dikuburkan di daerah Medan Rahib. Sedangkan Tuanku Nan Hitam wafat karena penyakit, lalu digantikan oleh Bagindo Marah dari Lariang yang bergelar Tuanku Mudo. Sedangkan Tuanku Nan Gapuak digantikan oleh Kadi Basa dengan gelar Tuanku Kadi Basa.

Tindak lanjut dari permintaan kaum bangsawan dan kaum adat untuk menghadapi kaum Paderi dimulai pada tahun 1819. Belanda mulai memerangi Paderi dengan menyerang pasukan Paderi di Tanah Datar dibawah pimpinan Oveerste Raaft. Perang terus berlangsung yang justru membuat pihak Belanda kewalahan. Banyak dana habis dan tentaranya yang meninggal.

Pada tanggal 25 Oktober 1833, Belanda membuat selebaran yang terkenal dengan sebutan “Plakat Panjang” yang meminta kepada rakyat Minangkabau untuk memahami bahwa antara ummat Islam dan Belanda tidak ada perbedaan, sama-sama memiliki Tuhan yang satu. Jadi tidak usah bermusuhan. Berbagai bujukan dan perkataan manis terdapat dalam selebaran ini, tetapi rakyat Minangkabau, khususnya para simpatisan Tuanku Imam Bonjol dan kawan-kawan dari kaum Paderi, telah tahu betul perilaku Belanda selama ini.

Setelah Belanda menyadari bahwa seruan dengan selebaran Plakat Panjang tersebut tidak membuah hasil yang maksimal, maka Belanda mempersiapkan diri untuk menyerang kaum Paderi secara besar-besaran dan intensif. Pada tahun ini juga, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, van den Bosch tiba di Padang dengan membawa bala bantuan tentara dan persenjataan dari Batavia dengan satu tekad : memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol dan gerakan Paderi-nya.

Dengan serangan mendadak pada tanggal 14 Juni 1834, tentara Belanda menyerang pasukan Tuanku Imam Bonjol lewat Matur sebanyak tiga kali. Dua kali gagal dan pada serangan kali ketiga-nya yaitu tanggal 21 April 1835 dan dilanjutkan pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol secara total dapat diduduki oleh Belanda dan Tuanku Imam Bonjol ditangkap.

Pada tahun 1837 ini, Tuanku Imam Bonjol diundang untuk berunding oleh Belanda, namun taktik licik Belanda ini akhirnya mampu menangkap Tuanku Imam Bonjol. Mula-mula Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon Maluku dan berakhir di Lotan dekat Manado Sulawesi Utara. Di tempat inilah akhirnya Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana.

Sejarawan Jeffrey Hadler menunjukkan, kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan, yaitu : Menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Dalam konteks "Nasional", Pemerintah harus mengakui Tuanku Imam Bonjol merupakan "Pahlawan Nasional", yang berjuang sebagai perintis untuk teritorial nusantara (1833-1837).

Dalam konteks "Minangkabau", masyarakat Minang harus mengakui Pasukan Paderi sebagai "Pahlawan Lokal", yang berjuang menghempang agresi Utara ke ranah Minang (1812-1820). Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Dari sejarah dapat dilihat radikalisme Islam hanya muncul dan bereaksi terhadap kolonialisme/imprealisme dan neo-kolonialisme/imprealisme. "Merangkul" kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Dalam berbagai media massa belakangan ini – setidaknya bulan Oktober dan Nopember 2007 ini – masyarakat Minangkabau dihentakkan oleh adanya gugatan dalam bentuk petisi terhadap “posisi histories” kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol. Gugatan ini harus disikapi secara jernih dan akademik. Secara emosional-kultural, perasaan marah pasti timbul pada setiap individu orang Indonesia, khususnya orang Minangkabau. Namun secara akademik, gugatan dalam bentuk petisi dari kelompok yang menggugat kepahlawanan justru akan berpotensi pada “penerokaan penulisan” sejarah hidup Tuanku Imam Bonjol menjadi intensif.

Sebagaimana yang dikatakan oleh sejarawan-filosof Karl Raymond Popper, pengembangan epistimologi keilmuan akan berkembang dengan baik apabila dilihat dari gaya “controversial”nya yang dibahasakan oleh Popper dengan istilah falsifikasi. Namun terlepas dari semua itu, gugatan yang berbentuk petisi tersebut (apapun latar ideologis dibelakangnya), bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan, bahkan ini merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi secara akademik-intelektual pula.

Para pahlawan adalah manusia, mereka memiliki nilai-nilai manusiawi. Humanisme include pada diri para pahlawan tersebut. Oleh karena itu, sisi gelap seorang pahlawan pasti ada – sebetapapun sisi gelap itu kecil. Dan akan menjadi salah apabila justru dikemudian hari timbul proses reduksionisme dan generalisasi pada diri seorang pahlawan. Apalagi adanya usaha-usaha reduksionisme maupun generalisasi yang berlatarbelakang politis.

Secara umum, Petisi ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan, dan meluruskan sejarah Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, sejarah tanah Sumatra, dan sejarah Republik Indonesia.

Alasan gugatan ini umumnya bertitiktolak dari argumentasi bahwa Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, membantai keluarga kerajaan, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. Pada kenyataannya ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :

  1. Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu panglima utama Gerakan Wahabbi Paderi (1801 – 1838) dibawah Tuanku Nan Renceh, dan kemudian menjadi pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al-Qaeda, yaitu Wahabbi ekstrim.
  2. Gerakan Wahabbi Paderi melakukan pemberontakan bersenjata (1803 – 1838) pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung, dan melakukan pembantaian kejam atas Sultan Arifin Muning Alam Syah beserta keluarga dan pembesar Kerajaan dalam perundingan damai pada 1908 di Tanah Datar.
  3. Gerakan Wahabbi Paderi memaksa Pemerintah Kerajaan Minangkabau di pembuangan, dibawah Sultan Alam Bagagarsyah (lolos dari pembantaian Paderi 1908) untuk melibatkan Kerajaan Belanda, yang berujung pada aneksasi Minangkabau kedalam Hindia Belanda (10 Februari 1821).
  4. Tuanku Imam Bonjol memperoleh kewenangan dari Tuanku Nan Renceh untuk memimpin Benteng Bonjol (1808) atas jasanya dalam serangan ke pusat Kerajaan Islam Minangkabau Pagarruyung di Tanah Datar. Tuanku Imam Bonjol mendapat mandat untuk menyerang dan menguasai wilayah Utara Minangkabau.
  5. Tuanku Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabbi Paderi yang melakukan invasi ke Tanah Batak (1815 - 1820).
  6. Invasi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang akibat perang, penjarahan, kelaparan, dan wabah kolera yang timbul sebagai dampak invasi. Invasi diwarnai penjarahan, penculikan, pemerkosaan, perbudakan, dan pembantaian. Invasi menewaskan Sisingamangaraja X, Raja Bakkara (1819), melemahkan kerajaan tersebut dalam perang di kemudian hari melawan invasi Kerajaan Belanda.

Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan Belanda. Namun, belakangan sebuah buku lama yang kontroversial dan mengungkap sisi gelap Padri, Tuanku Rao, diterbitkan kembali.

Lalu muncul buku baru dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi. Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri sesungguhnya adalah gerakan Wahabi —gerakan pemurnian Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Ikuti pembahasan Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 :

“…Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….”

Sekali lagi, terlepas dari dari semua perdebatan-perdebatan tersebut, hal ini pada akhirnya tidak perlu disikapi secara emosional. Alangkah lebih baiknya, berbagai pihak, khususnya sejarawan-sejarawan Indonesia, terkhusus lagi, sejarawan Sumatera Barat, lebih giat dan serius dalam ”menerokai” kembali sejarawh hidup Tuanku Imam Bonjol. Dalam konteks falsifikasi-nya Popper diatas, justru ini menguntungkan Tuanku Imam Bonjol dari segi ”ingatan memori” kembali. Sudah pasti, akan bergairah kembali penulisan riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol, dengan tentunya tanpa mereduksi atau menggeneralisasi ketokohannya.

Dalam beberapa bukunya, Hamka lebih sering menyebut nama asli Tuanku Imam Bonjol dengan Ahmad Shahab, bukan Muhammad Shahab. Tidak didapatkan data pasti tanggal lahir Tuanku Imam Bonjol. Tahun ini merupakan tahun kesepakatan para “sejarawan” karena pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol pernah berkirim surat pada Kolonel Elaout dan menerangkan bahwa beliau berumur 60 tahun. Lebih lanjut lihat, Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Ada analisa yang cukup menarik dari Karen W. Amstrong dan Sanderson yang mengatakan bahwa umumnya kehadiran agama ataupun suatu ajaran/perspektif baru dalam sebuah agama akan mendapat tantangan dari satu atau lebih kelompok yang merasa kehadiran agama atau perspektif tersebut akan menggerogoti strata social mereka dalam masyarakat. 


Dalam konteks inilah mungkin bias dipahami bahwa pemikiran dan usaha dari Tuanku Imam Bonjol – dan dalam sejarah juga terlihat dari gerakan pembaharuan Islam/Wahabi di Minangkabau – ditentang oleh kaum adapt karena “objek” yang ingin diperbaiki atau mungkin dihabisi oleh Tuanku Imam Bonjol adalah kebiasaan-kebiasaan yang kebiasaan-kebiasaan tersebut merupakan simbolisasi dan penguatan social dari strata social kaum adat. Lihat Stephen K. Sanderson, “Sosiologi Agama” dalam Sosiologi Makro, terjemahan, Jakarta: Rajawali Press, 1992 dan Karen W. Amstrong, Sejarah Agama, terjemahan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Raja-raja Minangkabau merasa khawatir dengan intensitas gerakan Paderi ini sehingga mengadakan musyawarah dengan para Tuanku di Koto Tangah Tanah Datar untuk merancang perdamaian.

Namun usul-usul raja banyak yang ditolak oleh kaum Paderi sehingga menimbulkan perselisihan yang berakhir dengan terjadinya konflik fisik. Konflik fisik ini membuat banyak para bangsawan yang meninggal. Hanya satu yang lolos yaitu Raja Muningsyah, Raja Pagaruyung. Atas kejadian ini, kaum bangsawan dan kaum adapt meminta pertolongan kepada Belanda yang disambut dengan antusias oleh Belanda, karena mereka melihat bahwa gerakan Paderi merupakan ancaman paling potensial terhadap kekuasaan mereka di Minangkabau. Harimau Nan Salapan/Persatuan Tuanku Nan Salapan tersebut terdiri dari Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Gapuak, Tuanku Khalwat, Tuanku Nan Hitam, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Mudo.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang

sumber

Tuesday, October 14, 2014

Syaikh Yasin bin Isa Al-Faddani

Syaikh Yasin bin Isa Al-Faddani, Ulama Besar Makkah, Keturunan dari Sultan Minangkabau bin Sunan Giri

Syaikh Yasin Al-FaddaniSyaikh Yasin Al-Faddani

Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

Di antara ulama Nusantara yang kehebatannya diakui secara luas di dunia Islam ialah Syaikh Yasin al-Faddani. Beliau merupakan tokoh Minang yang terkemuka di Tanah Suci setelah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Namanya terukir indah dalam buku-buku biografi ulama modern. Beliau digelari sebagai muhaddits dan ahli fiqh abad ini. Selain menulis, beliau juga mengajar dan mentadbir beberapa sekolah di Makkah.

Daftar Isi:
  1. Kelahiran Syaikh Yasin Al-Faddani 
  2. Nasab Syaikh Yasin Al-Faddani
  3. Pendidikan Syaikh Yasin Al-Faddani
  4. Guru-guru Syaikh Yasin Al-Faddani
  5. Pengabdian Syaikh Yasin Al-Faddani dan Gelar Al-Musnid Ad-Dunya
  6. Karya-karya Syaikh Yasin Al-Faddani
  7. Pujian Para Ulama Kepada Syaikh Yasin Al-Faddani
  8. Memperkenalkan Nama-nama Ulama Nusantara ke Dunia
  9. Murid-murid Syaikh Yasin Al-Faddani
  10. Syaikh Yasin Al-Faddani Sosok yang Tawadhu’ dan Bersahaja
  11. Kesederhanaan Syaikh Yasin Al-Faddani
  12. Seorang Alim yang Menghargai Para Ahli Ilmu
  13. Tukang Sapu Makam Nabi Saw.
  14. Karamah Syaikh Yasin Al-Faddani
  15. Kewafatan Syaikh Yasin Al-Fadani
  16. Haul Syaikh Yasin Al-Faddani
1.  Kelahiran Syaikh Yasin Al-Faddani

Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani dilahirkan di tengah keluarga ulama yang taat di Misfalah Makkah pada hari Selasa, 27 Sya’ban 1335H/17 Juni 1917M. Beliau adalah putra dari pasangan Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani dan Maimunah binti Abdullah al-Faddani.

Sejak kecil Syaikh Yasin sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Bahkan menginjak usia remaja Syaikh Yasin mampu mengungguli rekan-rekannya dalam hal penguasaan ilmu hadits, fiqih, bahkan para gurunya pun sangat mengaguminya.

2. Nasab Syaikh Yasin Al-Faddani
Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani dilahirkan di tengah keluarga ulama yang taat di Misfalah Makkah pada hari Selasa, 27 Sya’ban 1335H/17 Juni 1917M. Beliau adalah putra dari pasangan Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani dan Maimunah binti Abdullah al-Faddani. Beliau adalah Generasi ke 36 dari Rasulullah melalui jalur keturunan dari Sultan Minangkabau bin Sunan Giri Azmatkhan Al-Husaini.

Catatan Nasab ini berdasarkan Catatan KH. Ali Maksum bin KH. Maksum Azmatkhan (Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta), yang diserahkan kepada As-Syaikh Sayyid Bahruddin Azmatkhan, pada tahun 1980.
  1. Muhammad Rasulullah SAW
  2. Sayyidah Fatimah Azzahra/Fatimah Al Batul
  3. Sayyidina Imam Husain Asshibti/Abu Syuhada
  4. As-Sayyid Imam Ali Zaenal Abidin/Ali Al Ausath/Ali Assajad
  5. As-Sayyid Imam Muhammad Al Baqir
  6. As-Sayyid Imam Ja'far Asshodiq
  7. As-Sayyid Imam Ali Al Uraidhi
  8. As-Sayyid Imam Muhammad An-Naqib
  9. As-Sayyid Imam Isa Arrumi
  10. As-Sayyid As-Sayyid Imam Ahmad Al Muhajir
  11. As-Sayyid As-Sayyid Imam Ubaidhillah/Abdullah
  12. As-Sayyid Imam Alwi Al Mubtakir/Alwi Al Awwal (Cikal Bakal lahirnya keluarga Alawiyyin)
  13. As-Sayyid Imam Muhammad Shohibus Souma'ah
  14. As-Sayyid Imam Alwi Shohib Baitu Jubair (Alwi Atsani)
  15. As-Sayyid Imam Ali Kholi 'Qosam
  16. As-Sayyid Imam Muhammad Shohib Mirbath
  17. As-Sayyid Imam Alwi Ammil Faqih
  18. As-Sayyid Imam Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Imam Abdullah Amirkhan
  20. As-Sayyid Imam Ahmad Syah Jalaluddin
  21. As-Sayyid Imam Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
  22. As-Sayyid Ibrahim Zainuddin Akbar As-Samarqandi
  23. As-Sayyid Maulana Ishaq
  24. Sunan Giri bin Maulana Ishaq
  25. Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan Minangkabau) bin Sunan Giri
  26. Sultan Nuruddin/ Muhammad Syahabuddin II (L.1520 M) bin Abdurrahman/ Muhammad Syahabuddin I (Sultan Minangkabau)
  27. Sultan Bakilap Alam Sultan Alif 1 (Raja Bagewang) (L.1540M – W. 1580) bin Muhammad Syahabuddin II
  28. Sultan Khalifatullah Indermasyah bin Bakilap Alam Sultan Alif 1 (Raja Bagewang)
  29. Sultan Ahmadsyah bin Sultan Khalifatullah Indermasyah
  30. YDP Pagaruyung Raja Alam Indermasyah bin Sultan Ahmadsyah
  31. Sultan Khalifatullah bin YDP Pagaruyung Raja Alam Indermasyah 
  32. Sultan Tunggal Alam Bagagar / Tangkal Alam Bagagarsyah bin Sultan Khalifatullah
  33. Malenggang Alam (Rajo Naro) bin Sultan Tunggal Alam Bagagar / Tangkal Alam Bagagarsyah
  34. Syaikh Udiq al-Faddani bin Malenggang Alam (Rajo Naro)
  35. Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani
  36. Syaikh Yasin Al-Faddani bin Syaikh Muhammad Isa bin Udiq al-Faddani

3. Pendidikan Syaikh Yasin Al-Faddani

Sejak kecil beliau belajar kepada ayah beliau, Syaikh Muhammad Isa dan dilanjutkan kepada paman beliau, Syaikh Mahmud. Kepada keduanya, beliau belajar dan menghafal beberapa matan kitab dalam bidang ilmu fiqh, tauhid, faraidh dan musthalah hadits.

Tahun 1346 H/1928 M beliau melanjutkan pendidikan ke Madrasah ash-Shaulatiyah al-Hindiyah. Beliau menimba ilmu di sani selama kurang lebih 7 tahun. Guru-guru beliau selama di Madrasah ash-Shaulatiyah adalah Syaikh Muhktar Utsman Makhdum, Syaikh Hasan al-Masysyath dan al-Habib  Muhsin bin Ali al-Musawa (seorang ulama Makkah yang lahir di Palembang tahun 1323 H/1905 M).

Pada tahun 1353 H/1935, beliau pindah ke Madrasah Darul Ulum ad-Diniyah yang didirikan oleh al-Habib Muhsin bin Ali al-Musawa bersama beberapa pemuka masyarakat Nusantara yang berada di Makkah kala itu. Beliau adalah angkatan pertama Darul Ulum yang kemudian menjadi pengurus Darul Ulum.

Kepindahan beliau ke Darul Ulum tidak lepas dari sebuah peristiwa menarik yaitu ketika salah seorang guru (direktur) di Madrasah ash-Shaulatiyah telah melakukan tindakan yang sangat menyinggung pelajar yang kebanyakan dari Asia Tenggara terutama dari Indonesia. Guru itu merobek surat kabar Melayu yang dianggap melecehkan martabat Melayu, sehingga memacu semangat beliau dan beberapa anak-anak Jawiy (sebutan untuk pelajar Nusantara) untuk bangkit memberikan perlawanan dengan cara pindah dan memajukan Madrasah Darul Ulum. Syaikh Yasin lah diantara yang mengemukakan ide untuk mendirikan Madrasah Darul Ulum di Mekkah.

Hal ini terbukti dengan berpindahnya 120 orang pelajar dari ash-Shaulatiyah ke Madrasah Darul Ulum yang baru didirikan. Ini hampir tidak pernah dialami oleh madrasah-madrasah yang baru dibuka mendapat murid yang begitu banyak sebagaimana Darul Ulum. Akhirnya gelombang siswa yang masuk ke Darul Ulum meningkat pada tahun berikutnya.

Syaikh Yasin menjabat sebagai wakil direktur Madrasah Darul Ulum Mekkah. Disamping itu Syaikh Yasin juga mengajar di berbagai tempat terutama di Masjidil Haram. Materi-materi yang disampaikan oleh Syaikh Yasin mendapat sambutan yang luar biasa terutama dari para pelajar asal Asia Tenggara. Syaikh Yasin juga dikenal sebagai sosok ulama yang sering meminta ijazah dari para ulama terkemuka sehingga beliau memiliki sanad yang luar biasa banyaknya.

Selain belajar di Darul Ulum, beliau juga aktif mengikuti pengajian-pengajian di Masjidil Haram. Rasa haus beliau akan ilmu membuat beliau mendatangi kediaman para syaikh terkemuka untuk belajar di tempat-tempat mereka seperti di Thaif, Makkah, Madinah, Riyadh, maupun kota-kota lainnya. Bahkan beliau sempat ke luar Arab Saudi seperti Yaman, Mesir, Syiria, Kuwait dan negeri-negeri lainnya.

Sejak awal masa belajarnya, beliau telah dikenal sebagai seorang pelajar yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, sehingga mampu mengungguli teman-temannya. Tidak mengherankan kemudian banyak teman-teman beliau yang akhirnya malah belajar kepada beliau. Kecerdasan dan juga akhlak beliau yang luhur yang membuat gurunya kagum terhadap beliau.

4. Guru-guru Syaikh Yasin Al-Faddani

Ketekunan dan kesungguhannya dalam belajar membuat beliau semakin bersinar dengan berbagai ilmu yang telah dikuasainya. Sejak muda beliau sangat gemar kepada ilmu hadits. Hal ini menjadikan para gurunya amat sayang dan simpati kepada Syaikh Yasin. Dintara guru beliau selama di Makkah adalah:
  1. Asy-Syaikh Umar bin Hamdan bin Umar bin Hamdan al-Mahrisi at-Tunisi al-Madani al-Mahrasi (beliau selalu mengikuti dan membaca kitab kepadanya)
  2. Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi al-Makki
  3. Al-Habib Abu Bakar bin Ahmad bin Husein bin Muhammad al-Habsyi al-Makki
  4. Asy-Syaikh Muhammad bin Ali bin Husain al-Maliki
  5. Asy-Syaikh Umar Bajunaid mufti Madzhab Syafi’i ketika itu (kepadanya beliau mempelajari fiqh Syafi’i)
  6. Asy-Syaikh Said bin Muhammad al-Yamani
  7. Syaikh Hasan al-Yamani
  8. As-Sayyid Muhsin bin Ali al-Musawa bin Abdurrahman (kepadanya ia belajar ilmu ushul)
  9. Asy-Syaikh Abdullah Muhammad Ghazi al-Makki (kepadanya ia belajar ilmu sejarah)
  10. Asy-Syaikh Ibrahim bin Daud bin Abdul Qadir al-Fathany al-Makki (kepadanya ia belajar ilmu bahasa)
  11. Al-Muhaddits as-Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki (untuk ilmu-ilmu lainnya)
  12. As-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al-Hasani
  13. Al-‘Allamah Khalifah bin Hamd an-Nabhani al-Makki
  14. Asy-Syaikh Hasan bin Muhammad bin Abbas bin Ali al-Masysyath al-Maliki
  15. Asy-Syaikh Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al-Makhallalati
  16. Asy-Syaikh Muhammad al-‘Arabi at-Tabbani
  17. Asy-Syaikh Muhammad Nur Saif Hilal al-Makki
  18. Al-Habib Hasan bin Ahmad Assegaf
  19. Al-Habib Hasan bin Muhammad bin Abdullah Fad’aq al-‘Alawi al-Huseini
  20. Asy-Syaikh Hibatullah bin Syarafuddin bin Muhammad bin Ibrahim al-Alawi al-Makki
  21. Asy-Syaikh Umar bin Husein ad-Daghistani al-Makki.
Beliau juga berguru kepada para ulama besar di luar Makkah. Diantara guru-guru beliau dari luar Makkah adalah:
  1. Asy-Syaikh Ahmad bin bin Muhammad bin Abdul Aziz Rafi’ at-Tahthawi al-Mishri
  2. Asy-Syaikh Muhammad Ibrahim as-Samaluti
  3. Asy-Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti’i
  4. Asy-Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf
  5. Asy-Syaikh Muhammad al-Hafidz at-Tijani
  6. Asy-Syaikh Muhammad al-Khidhr Husain
  7. Asy-Syaikh Mahmud bin Muhammad ad-Dumi
  8. Asy-Syaikh Muhammad Anwar Shah al-Kasymiri
  9. Asy-Syaikh Asyraf Ali at-Tahanawi
  10. Asy-Syaikh Mufti Syafi’ ad-Dibandi
  11. Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari
  12. Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari
  13. Asy-Syaikh Abdul Hayy al-Kattani
  14. Asy-Syaikh Ibrahim Afandi al-Jabali al-Azhari
  15. Asy-Syaikh Ibrahim bin Hamud bin Ibrahim asy-Syafi’i az-Zabidi
  16. Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah Yar Syah Muhammad bin Fadhlullah ad-Dihlawi
  17. Asy-Syaikh Ahmad bin Abdullah bin Shadaqah Dahlan
  18. Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Ahmadi az-Zawahiri
  19. Asy-Syaikh Syarif bin Muhammad Syarif bin Muhammad bin Ali as-Sanusi
  20. Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Mansur al-Fulfulani al-Malizi
  21. Asy-Syaikh Ahmad al-Marzuqi bin Ahmad al-Mirshad al-Jawi
  22. Asy-Syaikh Arsyad bin As’ad al-Banteni al-Indonesi
  23. Asy-Syaikh Amatallah binti Abdul Ghani ad-Dihlawi
  24. Asy-Syaikh Baqir bin Muhammad Nur bin Fadhil al-Jogjawi
  25. Asy-Syaikh Jam’an bin Ma’mun at-Tangerangi
  26. Asy-Syaikh Hamid bin Adin bin Ruslan ad-Damsyiqi
  27. Asy-Syaikh Hamid bin Hasan bin Abdul Ma’bud al-Haifawi ad-Damsyiqi
  28. Asy-Syaikh Hamid bin Syakir al-Halabi
  29. Asy-Syaikh Habiburrahman al-A’dzami al-Hindi
  30. Asy-Syaikh Hasan bin Muhammad Marzuq Habannakah al-Maidani ad-Damsyiqi
  31. Asy-Syaikh Zakaria bin Abdullah bin Hasan bin Zainal Bilah
  32. Asy-Syaikh Zaki bin Ahmad bin Ismail al-Barzanji
  33. Asy-Syaikh Zamzam bin Muhammad Amin al-Himshi
  34. Asy-Syaikh Shabir bin Musa al-Jawi
  35. Asy-Syaikh Shaleh bin Ahmad bin Abdullah al-Madani al-Maliki
  36. Asy-Syaikh Shaleh bin Alawi bin Aqil
  37. Asy-Syaikh Thohir bin ‘Asyur at-Tunisi
  38. Asy-Syaikh Thanthawi bin Jauhari bin al-Mishri  
  39. Al-Habib Thaha bin Ali bin Abdullah al-Haddad
  40. Asy-Syaikh Dzafar Ahmad bin Lathif Ahmad al-Hindi al-Utsmani at-Tahanawi ad-Diyubandi
  41. Asy-Syaikh Abbas bin Muhammad Amin bin Ahmad Ridhwan al-Madani
  42. Al-Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri
  43. Asy-Syaikh Abdullah bin Falih bin Muhammad bin Falih adz-Dzahiri
  44. Al-Habib Abdullah bin Muhammad bin Hamid Assegaf
  45. Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Ghazi al-Hindi al-Makki
  46. Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Niyazi al-Bukhari
  47. Asy-Syaikh Abdul Hafidz bin Muhammad ath-Thohir al-Fahri al-Fasi
  48. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Salim al-Bisyri al-Mishri
  49. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali bin Abdul Ghani Uyun as-Sud al-Himshi
  50. Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Taufiq asy-Syalabi
  51. Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Shabir al-Mandaili al-Indonesi
  52. Asy-Syaikh Abdul Karim bin Ahmad bin Abdul Lathif bin Ali al-Khathib al-Faddani
  53. Asy-Syaikh Abdul Wasi’ bin Yahya bin Abdul Wasi’ ash-Shan’ani
  54. Asy-Syaikh KH. Abdul Wahab bin Hasbullah as-Surbawi
  55. Al-Habib Alawi bin Abdullah bin Ali Syihabuddin at-Tarimi
  56. Al-Habib Alawi bin Abdullah bin Idrus bin Syihab at-Tarimi
  57. Asy-Syaikh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Muhammad Arsyad al-Banjari
  58. Asy-Syaikh Ali bin Abdul Hamid bin Muhammad Ali Qudus as-Samarani
  59. Al-Habib Ali bin Abdurrahman bin Ismail bin Abi Bakar al-Ahdal
  60. Asy-Syaikh Ali bin Falih bin Muhammad bin Falih bin Muhammad adz-Dzahiri al-Mihnawi al-Madani
  61. Asy-Syaikh Muhammad bin Ahyad bin Muhammad Idris al-Bogori
  62. Asy-Syaikh Muhammad Imam bin Ibrahim as-Saqa al-Mishri
  63. Asy-Syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri
  64. Asy-Syaikh Muhammad al-Baqir bin Muhammad Abdul Kabir bin Muhammad al-Kattani
  65. Asy-Syaikh Muhammad Bakhit bin Husein al-Muthi’i al-Mishri
  66. Asy-Syaikh Muhammad al-Hafidz bin Abdul Lathif bin Salim at-Tijani al-Mihsri
  67. Asy-Syaikh Muhammad Habibullah bin Abdullah asy-Syinqithi
  68. Asy-Syaikh Muhammad bin Hasanain bin Muhammad Makhluf al-Adawi al-Mishri
  69. Asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari
  70. Asy-Syaikh Muhammad Salim bin Muhammad Sa’id bin Muhammad Rahmatullah al-Hindi
  71. Asy-Syaikh Muhammad Syafi’ ad-Diyubandi al-Hindi
  72. Asy-Syaikh Muhammad Shaleh bin Abdullah Farfur ad-Damsyiqi
  73. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Ibrahim al-‘Aquri al-Mishri
  74. Asy-Syaikh Muhammad Abdul Hayy bin Abdul Kabir bin Muhammad al-Kattani
  75. Asy-Syaikh Muhammad Isa bin Udeq al-Faddani
  76. Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Makhluf at-Tunisi
  77. Asy-Syaikh Muhammad Mukhtar bin ‘Atharid al-Bogori
  78. Asy-Syaikh Muhammad Makki bin Muhammad Ja’far bin Idris al-Kattani
  79. Al-Habib Muhammad bin Abdul Hadi bin Hasan Assegaf
  80. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy`ari al-Jumbani
  81. Asy-Syaikh Muhammad al-Hasyimi bin Abdurrahman at-Tilmisani
  82. Al-Habib Muhammad bin Yahya Dum al-Ahdal al-Yamani
  83. Asy-Syaikh Najib bin Muhammad bin Yusuf Sirajuddin al-Halabi
  84. Asy-Syaikh Nasrullah bin Ahmad Afandi asy-Syathi asy-Syami
  85. Asy-Syaikh Hadi bin Ahmad al-Aiba’ al-Yamani
  86. Asy-Syaikh Washil bin Atha’illah bin Sa’dullah al-Kasymiri
  87. Asy-Syaikh Yusuf bin Ahmad bin Nashr bin Suwailam ad-Dijwi
  88. Asy-Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan an-Nabhani
  89. Dan lain-lain.

5.  Pengabdian Syaikh Yasin Al-Faddani dan Gelar Al-Musnid Ad-Dunya

Tinggalnya beliau di Tanah Suci Makkah memudahkan beliau bertemu dengan banyak ulama Islam, baik dari Tanah Suci sendiri maupun dari berbagai pelosok dunia yang datang ke Tanah Suci, seperti Syria, Libanon, Palestina, Yaman, Mesir, Maghribi, Iraq, Pakistan, Rusia, India, Indonesia dan Malaysia, sehingga terkumpullah di sisi beliau berbagai macam sanad periwayatan ilmu dan hadits. Sehingga sepanjang perlajanan studinya, beliau berguru lebih dari 700 orang guru yang beliau catat dalam berbagai karya literaturnya yang berkaitan dengan ilmu sanad. Ini merupakan satu jumlah yang memang sukar ditandingi apalagi untuk zaman ini.

Setelah tiga tahun belajar di Darul Ulum, pada permulaan tahun 1356 H/1938 M beliau mulai mengajar di almamaternya itu. Pertengahan tahun 1359 H/1941 M karir beliau menanjak sebagai direktur madarasah tersebut. Selain di Madrasah Darul Ulum, beliau juga mengajar di Masjidil haram tepatnya di antara Bab Ibrahim dan Bab al-Wada’, begitu pula di rumahnya dan di kantor sekolahnya.

Rekomendasi untuk mengajar di Masjidil Haram beliau peroleh secara resmi tanggal 10 Jumadil Akhir 1369 H/29 Maret 1950 M dari Dewan Ulama Masjidil Haram. Halaqah beliau mendapat sambuan hangat terutama dari kalangan masyarakat Asia Tenggara dan Indonesia. Disamping itu setiap bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan dan mengijazahakan salah satu kitab dari Kutub as-Sittah. Hal ini berlangsung selama 15 tahun.

Setiap ada kesempatan beliau juga mengadakan perjalanan ilmiyah bersama para santri dan ulama untuk mempraktekkan ilmu yang telah beliau ajarkan anatara lain ilmu falak. Perjalanan beliau juga dipergunakan untuk memburu sanad, silsilah periwayatan hadits dan ijazah ilmu atau kitab. Sehingga beliau digelari al-Musnid ad-Dunya (pemilik sanad terbanyak di dunia). Gelar itu diberikan kepada beliau karena beliau dipandang sebagai orang yang paling banyak memiliki sanad bukan hanya di Makkah dan Timur Tengah tapi juga di dunia.

Gelar al-Musnid ad-Dunya didapat Syaikh Yasin lantaran bukan hanya karena banyaknya guru yang mencapai 700 orang, tetapi lebih dilihat pada kepakaran beliau dalam bidang yang beliau geluti.

Merujuk pada Syaikh Mahmud Sa’id Mamduh, salah seorang murid beliau, Syaikh Yasin kerap kali menerima permintaan fatwa. Artinya beliau bukan hanya pakar dalam ilmu sanad tapi juga ahli ilmu syariat lainnya. Bahkan permintaan fatwa bukan hanya datang dari sekitar Makkah, tetapi juga dari luar Arab seperti Indonesia.

Menurut kisah yang diceritakan oleh Abu Mudi Syaikh Hasanul Bashri HG, seorang ulama Aceh, pimpinan LPI Ma’had al-‘Ulum ad-Diniyah al-Islamiyah Masjid Raya, Samalanga, Aceh yang lebih dikenal dengan nama MUDI Mesra, pada saat terjadi perdebatan antara Syaikh Abdul Aziz Samalanga dengan Syaikh Jalal bin Syaikh Hanafiah, Abu Mudi kecil pada waktu itu sering kali diminta oleh Syaikh Jalal bin Hanafiah untuk membawa surat beliau kepada Syaikh Yasin ke kantor pos.

Hampir seluruh waktunya beliau pergunakan untuk mengejar ilmu dan mengajarkan ilmu. Dalam musim haji maupun di luar musim haji rumah beliau senantiasa ramai dikunjungi para ulama dan pelajar baik dari Makkah maupun dari luar Makkah bahkan dari luar negeri. Semuanya ingin menimba ilmu dan meminta ijazah hadits dari beliau. Mereka semua memandang Syaikh Yasin sebagai guru meskipun hanya mengambil ijazah kepada beliau.

Syaikh Yasin memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits dengan berbagai cabang dalam ilmu yang sudah terbilang langka saat ini. Dalam hal sanad, dengan kegigihan beliau mengumpulkan sanad dari ratusan para ulama sehingga beliau dijuluki sebagai al-Musnid ad-Dunya.

Selain itu beliau juga mengarang berbagai kitab dalam ilmu sanad. Ada sekitar 70 buah karya dalam berbagai ukuran yang telah disusunnya terkait ilmu sanad. Karya-karya beliau ini membuktikan kemahiran dan kebijaksanaan beliau dalam bidang ilmu sanad. Disamping memperlihatkan kekreatifan beliau dalam sudut berbagai seni sanad.

Selain itu beliau juga gigih dalam menghimpun sanad para ulama-ulama sebelum beliau. Ini merupakan lazimnya dalam ilmu sanad, dimana kadang-kadang sanad seorang ulama dibukukan oleh muridnya atau orang-orang sesudahnya. Inilah diantara upaya yang dilakukan oleh Syaikh Yasin Al-Fadani terhadap beberapa tokoh ulama yang memiliki sanad, seperti al-Kuzbari, Ibn Hajar al-Haitami, Abdul Baqi al-Ba’li, Khalifah an-Nabhan, Sayyid Muhsin al-Musawi, Muhammad Ali al-Maliki, Umar Hamdan dan Ahmad al-Mukhallalati.

Dalam hal pengijazahan sanad Syaikh Yasin memiliki kekreatifan tersendiri, baik ijazah khash, ijazah ‘am dan ijazah muthlaq. Berkenaan dengan ijazah khash, beliau memberi perhatian istimewa kepada beberapa tokoh ulama dan orang-orang tertentu yang dirasakan kewibawaan mereka oleh beliau dengan menyusun kitab-kitab ijazah sanad yang khusus buat mereka.

Diantara ulama-ulama yang mendapatkan ijazah khash dari Syaikh Yasin ialah:

1.      Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki2.      Asy-Syaikh Aiman Suwaid3.      Asy-Syaikh Dr. Yahya Ghautsani4.      Asy-Syaikh Abdullah al-Jarafi5.      Asy-Syaikh Muhammad Riyadh al-Malih6.      Al-‘Allamah Muhammad Zabarah7.      Al-Habib Abubakar Athas al-Habsyi,8.      Asy-Syaikh Ismail Zain al-Yamani9.      Al-Qadhi Muhammad al-‘Umari10.  Asy-Syaikh Muhammad Taqiy al-Utsmani11.  Al-Mufti al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya12.  Asy-Syaikh Dr. Mahmud Sa’id Mamduh13.  Asy-Syaikh Zakaria Bila14.  As-Sayyid Muhammad al-Hasyimi15.  Dan lain-lain.

Beliau telah menyusun kitab-kitab ijazah sanad yang khusus untuk mereka dan setiap satu dengan yang lainnya memiliki ciri yang tidak ada pada lainnya. Sebagai contoh, ijazah beliau kepada Syaikh Muhammad Riyadh al-Malih yang berjudul ar-Raudh al-Fa’ih. Beliau telah menghimpunkan di dalam kitab tersebut secara khusus semua guru-gurunya yang berasal dari negri Syam (Syiria, Libanon, Palestina dan Jordan) yang berjumlah hingga 101 orang serta semua sanad-sanad mereka, tidak termasuk yang lain.

Adapun dengan ijazah ‘am, Syaikh Yasin al-Faddani boleh dikatakan sebagai seorang ahli hadits yang pemurah. Berulang kali beliau menyebut dalam beberapa kitab sanadnya pernyataan tentang pengijazahan sanad kepada semua orang yang hidup di zamannya, dengan objektif untuk memberi manfaat kepada para penuntut ilmu dan menyebarluaskan sanad-sanad periwayatan. Sebagai contoh, di akhir kitab Waraqat fi Majmu’at al-Musalsalat wa al-Awa’il wa al-Asanid al-‘Aliyyah beliau menuliskan:

هذا وقد اجزنا بما فى هذه الورقات كل من اراد رواية ذلك عنا ممن ادرك حياتنا وكذا غيره مما تجوز لنا روايته وتثبت عنا معرفته ودريته

Dan di akhir kitab al-‘Ujalah fi al-Ahadits al-Musalsalah beliau menuliskan:

وقد اجزنا بها جميع اهل عصري ووقتى ممن اراد الرواية عني

Di akhir kitab an-Nafhat al-Miskiyyah fi al-Asanid al-Muttashilah lebih luas lagi beliau menyebutkan dengan ungkapan:

وقد أجزت بالأوائل السنبلية خاصة، وبهذه النفحة المسكية بأسانيدنا المتصلة بها، وكذا بجميع مؤلفاتي  ومروياتي، كلّ مَن أرادجميع ذلك ممن أدرك حياتي، أو وُلد في السنين المتممة لعقد وفاتي.اهـ

Walaupun pengijazahan ‘am seperti ini masih dipersilisihkan di antara ulama, namun Syaikh Yasin lebih memilih pandangan yang mengharuskannya. Di sisi lain mayoritas ulama berpendapat bahwa ijazah demikian adalah jenis ijazah yang paling lemah.

Perhatian Syaikh Yasin terhadap kitab-kitab yang menghimpunkan sanad-sanad periwayatan seseorang ulama ahli hadis amat besar. Beliau sering menyebutnya dengan berbagai istilah, seperti thabat, fahrasah atau fihris, mu’jam, barnamij dan masyyakhah.

Menurut Syaikh Abdul Hayy bin Abdul Kabir al-Kattani: “Orang terdahulu memberikan istilah masyyakhah bagi kitab yang menghimpunkan nama-nama guru dan riwayat-riwayat seseorang ahli hadits, kemudian mereka menamakannya pula setelah itu sebagai mu’jam karena nama-nama guru disusun sesuai dengan urutan abjad huruf hijaiyyah. Penduduk Andalusia juga menggunakan istilah barnamij. Pada abad-abad belakangan, ahli hadits di daerah Timur hingga sekarang menyebutnya sebagai thabat, sedangkan ahli hadits di daerah Barat menyebutnya sebagai fahrasah.”

Syaikh Yasin al-Faddani mempunyai banyak riwayat bagi kitab-kitab yang berkaitan dengan kesanadan. Selain itu Syaikh Yasin juga memiliki perhatian besar dalam cabang ilmu hadits yang lain seperti periwayatan hadits musalsal, riwayat ‘ali, tash-hih dan tadh’if, ilmu rijal dan ruwah.

6.  Karya-karya Syaikh Yasin Al-Faddani

Syaikh Yasin dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis, karya beliau mencapai ratusan, sehingga al-Habib Saqqaf bin Muhammad Assegaf seorang ulama Hadhramaut memujinya dengan sebutan “Imam Suyuthi pada zamannya” lantaran karyanya yang demikian banyak.

Ulama kelahiran abad 20 ini menghasilkan karya-karya yang tak kurang dari 100 judul, yang semuanya tersebar dan menjadi rujukan lembaga-lembaga Islam, pondok pesantren, baik itu di Mekkah maupun di Asia Tenggara. Sejumlah murid dan peneliti kini mulai berusaha menginventasrisir, mengkodifikasi dan menerbitkan karya-karya tersebut. Kabarnya hingga saat ini baru sebanyak 97 kitab (diantaranya 9 kitab tentang ilmu hadits, 25 kitab tentang ilmu dan ushul fiqih, 36 kitab tentang ilmu falak, dan sisanya tentang ilmu-ilmu yang lain).

Bahkan kitab beliau al-Fawaid al-Janiyyah dijadikan materi silabus mata kuliah ushul fiqh di Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar Mesir. Sebagaimana diakui oleh kalangan para ulama yang mengetahui kadar keilmuan beliau, faktor susunan bahasa yang tinggi dan sistematis serta isinya yang padat menjadikan karya Syaikh Yasin dijadikan oleh para ulama dan pelajar sebagai rujukan.

Meskipun Syaikh Yasin al-Faddani mampu bertutur dalam bahasa Melayu, namun beliau menulis seluruh karyanya dalam bahasa Arab. Karya beliau yang terdiri dari kitab fiqh, hadits, balaghah, tarikh, falak, sanad serta dalam cabang ilmu yang lain antara lain:
  1. Fath al-‘Allam fi Syarh Bulugh al-Maram
  2. Ad-Durr al-Madhud fi Syarh Sunan Abu Dawud 20 jilid
  3. Nail al-Ma’mul Hasyiyah ‘ala Ghayat al-Wushul ‘ala Lubb al-Ushul
  4. Al-Fawaid al-Janiyyah ‘ala Qawa’id al-Fiqhiyyah (terbit tahun 1417 H/1996 M)
  5. Syarh Jauhar Tsamin fi Arba’in Haditsan min Ahadits Sayyid al-Mursalin li al-‘Ajluni
  6. Syarh al-Musalsal bi al-‘Itrat ath-Thahirah
  7. Bulghat al-Musytaq fi ‘Ilm Isytiqaq
  8. Tashnif as-Sama’ fi Mukhtashar ‘Ilm al-Wadha’
  9. Hasyiyah ‘ala Risalah Hajar Zadah fi ‘Ilm Wadha’
  10. Idhah an-Nur al-Lami’ Syarh al-Kaukab as-Sathi’
  11. Hasyiyah ‘ala al-Asybah wa an-Nadzair fi Furu’ Fiqh asy-Syafi’i li as-Suyuthi
  12. Bughyat Musytaq Syarh al-Luma’ Abi Ishaq
  13. Ta’liqat ‘ala Luma’ Abi Ishaq asy-Syirazi fi ‘Ilm Ushul
  14. Hasyiyah ‘ala at-Talaththuf fi Ushul Fiqh
  15. Hasyiyah ‘ala al-Qawa’id al-Kubra li al-‘Izz bin Abdissalam
  16. Tatmim ad-Dukhul Ta’liqat ‘ala Madkhal al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul
  17.  Ta’liqat ‘ala Syarh Mandzumah az-Zamzami fi Ushul at-Tafsir
  18. Taqrir al-Maslak li Man Arada ‘Ilm Falak
  19. Al-Khamaliyah Syarh Mutawasith ‘ala Tsamarat al-Wasilah
  20. Ar-Riyadh Nadzrah Syarh Nadzm al-‘Alaliy al-Muntatsirah fi al-Maqulat al-‘Asyrah
  21. Syarh ‘ala Risalah al-Adhud fi al-Wadha’
  22. Tatsnif as-Sami’ Mukhtashar fi ‘Ilm al-Wadh’i
  23. Syarh ‘ala Mandzumah Zubad li Ibni Ruslan fi al-Fiqh Syafi’i
  24. Kaukab al-Anwar fi Asma’ an-Nujum as-Samawiyah
  25. Al-Mukhtashar al-Muhadzdzab fi Istikhraj al-Auqat wa al-Qiblat bi ar-Rubu’ al-Mujayyab
  26. Manhal al-Ifadah Hawasyi ‘ala Risalah Adab al-Bahts wa al-Munadzarah li Thasy Kubra Zadah
  27. Ad-Durar an-Nadhid Hasyiyah ‘ala Kitab at-Tamhid li al-Asnawi fi Ushul Fiqh asy-Syafi’i
  28. Janiyy ats-Tsamar Syarh Mandzumah Manazil Qamar
  29. Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra
  30. Thabaqat asy-Syafi’iyyah ash-Shughra
  31. Thabaqat ‘Ulama al-Ushul wa al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
  32. Thabaqat ‘Ulama al-Falak wa al-Miqat
  33. Thabaqat Masyahir an-Nuhah wa Tasalsul Akhdzihim
  34. Al-Mawahib al-Jazilah Syarh Tsamrah al-Wasilah fi al-Fala
  35. Al-Fawaid al-Jamilah Syarh Kabir ‘ala Tsamarah al-Wasilah
  36. Husn ash-Shiqayah Syarh Kitab Durus al-Balaghah
  37. Risalah fi ‘Ilm al-Manthiq
  38. Ittihaf al-Khallan Taudhih Tuhfat al-Bayan fi ‘Ilm al-Bayan
  39. Ar-Risalah al-Bayaniyyah ‘ala Thariqat as-Sual wa al-Jawab
  40. Tanwir al-Bashirah bi Thuruq al-Isnad asy-Syahirah (terbit tahun 1403 H/1983 M)
  41. Al-Qaul al-Jamil bi Ijazah as-Sayyid Ibrahim bin Aqil
  42. Al-Isyadat fi Asanid Kutub an-Nahwiyyah wa ash-Sharfiyyah
  43. Al-‘Ujalah fi al-Hadits al-Mutsaltsal
  44. Asma al-Ghayah fi Asanid asy-Syaikh Ibrahim al-Hazazmi fi al-Qiraah
  45. Al-Asanid al-Kutub al-Haditsiyyah as-Sab’ah
  46. Al-‘Iqd al-Fard min Jawahir al-Asanid
  47. Ithaf al-Bararah bi Ahadits al-Kutub al-Haditsiyyah al-‘Asyrah (terbit tahun 1403 H/1983 M)
  48. Ithaf al-Mustafid bi an-Nur al-Asanid
  49. Qurrat al-‘Ain fi Asanid A’lam al-Haramain
  50. Ithaf Uli al-Himam al-‘Aliyyah bi al-Kalam ‘ala al-Hadits al-Musalsal al-Awwaliyyah
  51. Al-Waraqat fi Majmu’ah al-Musalsalat wa al-Awail wa Asanid al-‘Aliyyah (terbit tahun 1406H/1986M)
  52. Ad-Durr al-Farid min Durar al-Asanid
  53. Al-Muqtathaf min Ithaf al-Kabir bi Makkiy
  54. Ikhthiyar wa Ikhtishar Riyadh Ahli Jannah min Atsar Ahli as-Sunnah li ‘Abdul Baqi’ al-Ba’li al-Hanbali
  55. Al-Arba’un Haditsan min Arba’in Kitan ‘an Arba’in ‘an Arba’in Syaikhan (terbit tahun 1429 H/2008 M)
  56. Al-Arba’un al-Buldaniyyah Arba’un Haditsan ‘an Arba’in ‘an Arba’in (terbit tahun 1407 H/1987 M)
  57. Al-Arba’un Haditsan Mutsaltsal bi an-Nuhad ila al-Jalal as-Suyuthi
  58. As-Salasil al-Mukhtarah bi Ijazah al-Muarrikh as-Sayyid Muhammad bin Muhammad Ziyarah
  59. Fath ar-Rabb al-Majid fi Ma li Asyyakhi min Faraid al-Ijazah wa al-Asanid
  60. Ailsilah al-Wushlah Majmu’ah Mukhatarah min al-Hadits al-Mustalsal
  61. Faidh ar-Rahmani bi Ijazat Samahah al-‘Allamah al-Kabir Muhammad Taqi al-‘Utsmani (terbit tahun 1406 H/1986 M)
  62. Nihayat al-Mathlab fi ‘Ulum al-Isnad wa al-Adab
  63. Ad-Durar an-Nadzir wa ar-Raudh an-Nadzir fi Majmu’ al-Ijazah bi Tsabat al-Amir
  64. Al-‘Ujalah al-Makkiyyah
  65. Al-Waraqat ‘ala al-Jawahir ats-Tsamin fi al-Arba’in Haditsan min al-Hadits Sayyid al-Mursalin ; dan
  66. Ta’liqat ‘ala Kifayat al-Mustafiq li asy-Syaikh Mahfudz at-Turmusi
  67. Tahqiq al-Jami’ al-Hawi fi Marmiyat asy-Syarqawi
  68. Ittihaf ath-Thalib as-Sirri bi al-Asanid ila al-Wajih al-Kuzbari
  69. Al-Asanid al-Faqih Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki (terbit tahun 1429H/2008M)
  70. Faidh ar-Rahman fi Tarjamah wa Asanid asy-Syaikh Khalifah bin Hamd an-Nabhan
  71. Al-Waslu ar-Rati fi Asanid Syihab Ahmad al-Mukhallati
  72. Faidh al-Muhaimin fi Tarjamah wa Asanid as-Sayyid Muhsin
  73. Madmah al-Wujdan fi Asanid asy-Syaikh Umar Hamdan
  74. Faidh al-Ilah al-‘Ali fi Asanid ‘Abdil Baqi al-Ba’li al-Hanbali
  75. Al-Maslak al-Jaliy fi Tarjamah wa Asanid asy-Syaikh Muhammad ‘Aliy (terbit tahun 1408 H/1988 M)
  76. Ithaf al-Ikhwan bi Ikhtishar Majma’ al-Wujdan (terbit tahun 1406H/1986M)
  77. Ittihaf al-Ikhwan bi Ikhtishar Madmah al-Wujdan fi Asanid asy-Syaikh Umar Hamdan
  78. Ittihaf as-Samir bi Auham Ma fi Tsabat al-Amir
  79. Ijazah as-Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki
  80. Ijazah asy-Syaikh Aiman Suwaid
  81. Al-Irsyad as-Sawiyyah fi Asanid al-Kutub an-Nahwiyyah wa ash-Sharfiyyah
  82. Bughyat al-Muris fi ‘Ilm al-Asanid
  83. Ta’liqat ‘ala al-Awail as-Sunbuliyyah
  84. Al-Awail as-Sunbuliyah wa Dhailuha (terbit tahun 1427 H/2006 M)
  85. Ta’liqat ‘ala al-Awail al-‘Ajluniyyah
  86. Ta’liqat ‘ala Tsabat asy-Syanwani
  87. Ta’liqat ‘ala Tsabat asy-Syibrazi
  88. Ta’liqat ‘ala Tsabat al-Kazbari al-Hafidz
  89. Tsabat al-Kazbari (terbit tahun 1403 H/1983 M)
  90. Ta’liqat ‘ala Husn al-Wafa li Ikhwan ash-Shafa
  91. Ad-Durr an-Natsir fi Ittishal bi Tsabat al-Amir
  92. Ar-Raudh al-Fa-ih wa Bughyat al-‘Adi wa ar-Raih bi Ijazah al-Ustadz Muhammad Riyadh al-Malih
  93. Ar-Raudh al-Fa-ih wa Bughyat al-Ghadi wa ar-Raih (terbit tahun 1426H/2005M)
  94. Al-‘Ujlah fi Ahadits al-Musalsalah (terbit tahun 1405 H/1985 M)
  95. Al-‘Iqd al-Farid min Jawahir al-Asanid
  96. Uqud al-Lujain fi Ijazah Syaikh Ismail Zain
  97. Faidh al-Bari bi Ijazah al-Wajih as-Sayyid ‘Abdurrahman al-Anbari
  98. Faidh al-Mabdi bi Ijazah asy-Syaikh Muhammad ‘Audh az-Zabidi (terbit tahun 1429 H/2008 M)
  99. Al-Kawakib ad-Darari fi Ijazah Mahmud bin Sa’id al-Qahiri
  100. Al-Kawakib as-Siyarah fi Asanid al-Mukhtarah
  101. Masyjarah bi Asanid al-Fiqh asy-Syafi’i
  102. Al-Muqtathif min Ittihaf al-Akabir bi Asanid al-Mufti Abdul Qadir
  103. Al-Mawahib al-Jazilah wa al-‘Uqud al-Jamilah fi Ijazah al-‘Allamah al-Bahhatsah al-Musyarik asy-Syaikh Abi Yahya Zakaria bin Abdullah Bila
  104. An-Nafhat al-Maskiyyah fi Asanid al-Makkiyyah (terbit tahun 1409H/1989M)
  105. An-Nafhat al-Hasaniyyah (terbit tahun 1396 H/1976 M)
  106. Nahj as-Salamah fi Ijazah ash-Shafi Ahmad Salamah
  107. Al-Wafi bi Dzail Tadzkar al-Masafi bi Ijazah Syaikh Abdullah al-Jarafi (terbit tahun 1429 H/2008 M)
  108. Al-Washl ar-Ratibi fi Tarjamah wa Asanid Syihab Ahmad al-Mukhallati
  109. Al-Washl as-Sami bi Ijazah Sayyid Muhammad al-Hasyimi
  110. Dan masih banyak yang lainnya.
Semua kitab beliau dari no. 40 merupakan kitab dalam bidang ilmu sanad.

Namun sayang, agak sukar menjumpai karya-karya tersebut di tanah air. Karya beliau lebih banyak dicetak di Beirut dan Syiria. Selebihnya masih tersimpan dalam bentuk makhtutat di pustaka pribadi almarhum. Bahkan, karyanya yang fundamental dalam bidang hadits, Fath al-‘Allam dan ad-Durr al-Mandhud masih dalam bentuk manuskrip (penelitian tahun 2010).

Terkait karya ulama yang juga ahli fikih ini, ada beberapa perkara yang menarik. Pertama, Syeikh Fadani ternyata pernah menulis empat kitab arba’in (hadits 40) sekaligus. Kitab hadits 40 yang telah mencuri perhatian kaum muslimin selama berabad-abad ialah al-Arba’in an-Nawawiyyah karya Imam an-Nawawi (w. 676 H/1278 M). Sudah selayaknya juga, Syaikh Yasin yang menulis 4 versi kitab arba’in mendapat apresiasi yang sama dalam arti yang luas di kalangan umat Islam. Antara kitab arba’in beliau yaitu al-Arba‘un al-Buldaniyah, al-Arba’un Haditsan, Syarh al-Jauhar ats-Tsamin fi Arba’in Haditsan dan al-Arba’un Haditsan Musalsalah.

Kedua, karya Syaikh Yasin didominasi oleh kitab sanad yang ditulis dengan sangat teliti. Hampir dipastikan, setiap ilmu yang beliau tuntut ada susur galurnya hingga ke sumber pertama. Hal ini, setidaknya menyiratkan nilai ketekunan, ketulenan (otoritatif) dan keberkahan ilmu. Dengan ketekunan memelihara silsilah keilmuan itulah para ulama menyebutnya sebagai al-Musnid ad-Dunya (pemegang sanad di dunia) atau al-Musnid al-‘Ashr (pakar sanad zaman ini).

7.  Pujian Para Ulama Kepada Syaikh Yasin Al-Faddani

Kealiman dan kepakaran Syaikh Yasin diakui oleh banyak para ulama dari seluruh penjuru dunia. Baik oleh para ulama semasa beliau maupun pada masa sesudahnya. Beliau banyak dipuji oleh para ulama dan para gurunya. Diantaranya adalah dari seorang ulama ahli hadits terkemuka dari Maroko, al-Muhaddits as-Sayyid Abdul Aziz al-Ghumari, yang menjuluki Syaikh Yasin sebagai ulama kebanggaan Haramain (Mekkah dan Madinah) dan sebagai muahaddits (pakar hadits) terkemuka.

Syaikh as-Sayyid Abdullah al-Ghumari, sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Sa’id Mamduh: “Dalam suatu kesempatan berkumpul dengan Syaikh as-Sayyid Abdullah Shiddiq al-Ghumari pada musim haji tahun 1401 H/1991 M, beliau berkata kepada sekumpulan jamaah: “Kita sebelum ini telah mengakui Syaikh as-Sayyid Rafi’ at-Tahtawi sebagai al-Musnid al-‘Ashr. Namun sekarang, ketahuilah bahwa Syaikh Yasin al-Faddani adalah sebagai al-Musnid al-‘Ashr, tanpa diragukan lagi.” Suatu pengakuan yang tulus dari seorang pakar Islam yang kritis.”

Dalam muqaddimah kitab al-Fawaid al-Janiyyah kita akan temukan beberapa pujian ulama besar antara lain Syaikh Ismail Usman Zain al-Makki, Syaikh Abdullah bin Zaid al-Maghribi az-Zabidi (ulama Zabid Yaman, 1315 H-1389 H) yang merasa takjub dan kagum dengan kitab al-Fawaid al-Janiyyah, al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman al-Ahdal (Mufti Murawa’ah Yaman, 1307 H-1372 H) yang secara khusus menyusun sebuah syair panjang yang memuji SyeikhYasin diantara bait syair itu berbunyi:

أنت في العلم والمعاني فريد # وبعقد الفخار أنت الوحيد“Engkau tak ada taranya dalam ilmu dan hakekat. Dibangun orang kejayaan kaulah satu-satunya yang jaya.”

لــك عـز قــد اشـرقت بعـــــــلاه  #    شمس فضل لها الضياء يـريدعــــــــــلوم ابـدعـتـها بـمــفـهـوم    #  بحـــلاهـا تـــتوج المســــتـفـيدعصـــت فيــها عــلى فــرائد در   #   فـى نــحو الـحسـان هم العقودسـائرات كالشمس فى كــل قـطر   #   مشرقات والـجهل منـها يـبـيـدمن يضـاهى هـذا المـقام المــعلى   #   ان هــذا عـــن غــيـره لــعــيـدواذا انــتـمــى انـــاس لأصــــــل   #   انـت لـلســعـد اذ نسـبـت حفيد

Asy-Syaikh Fadhal bin Muhammad ‘Audh Bafadhal at-Tarimi juga memuji kitab karangan beliau dalam syairnya sebagai sebuah kitab yang dipenuhi permata. Diantara baitnya ia berkata dalam syairnya:

فيا طالب العلم لب نداء # ياسين وافرح بهذا القرى“Wahai pencari ilmu sambutlah panggilan Yasin. Bergembiralah dengan sajian yang ia sajikan.”

Prof. Dr. Ali Jum’ah salah satu Mufti Mesir dalam kitab Hasyiyah al-Imam al-Baijuri ‘ala Jauharat at-Tauhid  yang ditahqiqnya, pada halaman 8 mengaku pernah menerima ijazah sanad hadits hasyiah tersebut dari Syaikh Yasin yang digelarinya sebagai Musnid ad-Dunya.

Syaikh Zakaria Abdullah Bila, teman dekat pendiri Nahdlatul Wathan yakni Tuan Guru KH. M. Zainuddin Lombok pernah berkata: “Waktu saya mengajar Qawa’id al-Fiqh di ash-Shaulatiyyah, seringkali mendapat kesulitan yang memaksa saya membolak-balik kitab-kitab yang besar untuk memecahkan kesulitan tersebut. Namun setelah terbit kitab al-Fawaid al-Janiyyah karangan Syaikh Yasin menjadi mudahlah semua itu, dan ringanlah beban dalam mengajar.”

Syaikh Umar Abdul Jabbar berkata di dalam surat kabar al-Bilad edisi hari Jum’at 24 Dzul Qa’dah tahun 1379H/1960M: “Bahkan yang terbesar dari amal bakti Syaikh Yasin adalah membuka madrasah putri pada tahun 1362 H. Dimana dalam perjalanannya selalu ada rintangan, namun beliau dapat mengatasinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan.”

Prof. Dr. Asy-Syaikh Yusuf Abdurrazzaq (Dosen kuliah Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo) juga memuji beliau dengan perkataan dan syi’ir yang panjang. Salah satu bait syairnya berbunyi:

أنت فينا بقية من كرام # لا ترى العين مثلهم إنسانا“Engkau di tengah kami orang terpilih dari orang terhormat. Tak pernah mata melihat manusia seumpama mereka.”

Al-Habib Saqqaf bin Muhammad Assegaf, seorang tokoh pendidik di Hadhramaut (1373 H) menceritakan kekaguman beliau terhadap Syaikh Yasin. Beliau menjulukinya sabagai “Sayuthiyyu Zamanihi” (Imam al-Hafidz as-Suyuthi pada zamannya). Beliau juga mengarang sebuah syair untuk memuji beliau, diantaranya berbunyi:

لله درك يا ياسين من رجل # أم القرى أنت قاضيها ومفتيهافي كل فن وموضوع لقد كتبا  # يداك ما أثلج الألباب يحديها“Bagus perbuatanmu hai Yasin engkau seorang tokoh. Dari Ummul Qura engkau Qadhi dan Muftinya.Setiap pandan judul ilmu tertulis dengan dua tanganmu. Alangkah sejuknya akal pikiran rasa terhibur olehnya.”

Al-Muhaddits as-Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki sebagai guru Madrasah al-Falah dan Masjidil Haram, Syaikh M. Mamduh al-Mishri dan al-Habib Ali bin Syaikh Bilfaqih Sewun Hadhramaut dan para ulama lainnya, pernah memuji karangan-karangan beliau.

Prof. Dr. asy-Syaikh Yahya al-Ghautsani pernah menghadiri majelis Syaikh Yasin untuk mengkhatamkan Sunan Abu Dawud. Ketika itu hadir pula pakar hadits Maghribi (Maroko), asy-Syaikh as-Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Gumari, asy-Syaikh Abdussubhan al-Barmawi dan asy-Syaikh Abdul Fattah Rawah.

Pujian tersebut bukan hanya datang dari ulama Ahlussunnah, seorang ulama Wahabi Prof. Dr. asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Abi Sulaiman (Dosen Dirasatul ‘Ulya Universitas Ummul Qura) di dalam kitab al-Jawahir ats-Tsaminah fi Bayan Adillat ‘Alam al-Madinah berkata: “Syaikh Yasin adalah muhaddits, faqih, mudir Madrasah Darul Ulum, pengarang banyak kitab dan salah satu ulama Masjidil Haram.”

Seorang tokoh agama Najd dari Ibukota Riyadh (pusat paham Wahabi), yaitu Jasim bin Sulaiman ad-Dausari pada tahun 1406 H pernah berkata:

أبلغوا مني سلاما من صبا نجد # ذكيالأبي الفيض فدانيمسند الوقت بعيد عن نزول # هابط أما لما يعلو فدانيفدى أسر الروايات فلوتنطق # لقالت: علم الدين فداني

Selain itu, pujian kepada beliau juga datang dari ulama India, Syaikh Muhammad Abdul Hadi serta ulama Seiwun Yaman, al-Habib Ali bin Syaikh Balfaqih al-‘Alawi.

8. Memperkenalkan Nama-nama Ulama Nusantara ke Dunia

Salah satu jasa besar Syaikh Yasin al-Faddani adalah memperkenalkan tokoh-tokoh ulama Nusantara ke dunia luar. Tanpa usaha beliau mungkin saja masyarakat luar Melayu tidak mengenali sama sekali peranan dan sumbangsih tokoh-tokoh ulama dari Nusantara. Melaluinya, perawi-perawi Arab dan non Melayu mengenal istilah “Kiyai” dalam bahasa Jawa yang bermakna syaikh, ustadz atau orang alim.

Diantara nama-nama ulama Nusantara yang disebutkan oleh Syaikh Yasin al-Faddani adalah sebagai berikut:

1.      Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani2.      Syaikh Abdushshamad bin Abdurrahman al-Falimbani3.      Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy‘ari al-Jombangi4.      Syaikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani5.      KH. Jam‘an bin Samun at-Tanqarani6.      KH. Uhaid Ahyad bin Idris al-Bogori7.      KH. Ma’shum bin Ahmad al-Lasemi8.      KH. Baidhawi bin Abdul Aziz al-Lasemi9.      KH. Baqir bin Nur al-Jogjawi10.  KH. Mahfudz bin Abdullah at-Termasi11.  KH. Khalil bin Abdul Lathif al-Bangkalani12.  KH. Abdul Muhith bin Ya’qub as-Sidoarjowi13.  KH. Umar bin Shalih as-Samarani14.  KH. Ali bin Abdullah al-Banjari15.  KH. Hasan bin Abdus Syakur as-Sarbawi16.  Syaikh Zainuddin as-Sumbawi17.  KH. Mahmud bin Kenan al-Falimbani18.  KH. Arsyad bin Abdushshamad al-Banjari19.  KH. Taib bin Ja‘far al-Falimbani20.  KH. Abdullah bin Azhari al-Falimbani21.  KH. Ahmad Marzuqi bin Hamid as-Suwahani22.  KH. Muhammad bin Yasin al-Pekalongani23.  KH. Abdul Hamid bin Zakaria al-Betawi24.  Syaikh Muhsin bin Raden Muhammad as-Sirangi25.  KH. Shiddiq bin Abdullah al-Lasemi26.  KH. Hasan bin Syamsuddin al-Qanquni27.  KH. Bakri bin Sida al-Bantani28.  Qadhi Musa bin Ibrahim al-Melakawi29.  Qadhi Abubakar bin Hasan al-Muari30.  Syaikh Utsman bin Abdul Wahhab as-Sarawaqi31.  Syaikh Muhammad Shalih bin Idris al-Kelantani32.  Dan lain lain.

Ada juga tokoh Nusantara yang diberi gelar sebagai muhaddits (ahli hadits) oleh Syaikh Yasin al-Faddani, seperti al-Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Botoputih Surabaya. Menurut Syaikh Yasin: “Muhaddits di zaman akhir bermakna seorang musnid (ahli sanad) yang luas periwayatannya serta banyak memperoleh kitab sanad dan fihris secara bersambung dari para ulama Timur dan Barat. Sekarang ini kira-kira terdapat 130 orang alim ulama Nusantara.”

Diantara ulama yang paling banyak sanad periwayatannya ialah Syaikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani (1182 H), Syaikh Abdushshamad bin Abdurrahman al-Falimbani (1211 H), Syaikh Abdul Ghani bin Shubuh al-Bimawi, Syaikh Mahfudz bin Abdullah at-Termasi (1338 H), Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Mukhtar bin Atharid al-Bogori dan al-Habib Salim bin Jindan.

9. Murid-murid Syaikh Yasin Al-Faddani

Murid-murid Syeikh Yasin sangat banyak sekali. Merekalah yang menjadi penyambung silsilah keilmuan yang beliau miliki dari para guru untuk para murid. Diantara murid-murid beliau antar lain:

1. Asy-Syaikh Muhammad Ismail Zain al-Makki al-Yamani2. Prof. DR. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki3. Asy-Syaikh Muhammad Mukhtaruddin al-Falimbani4. Asy-Syaikh Muhammad Hamid Amin al-Banjari5. Al-Habib Umar bin Hafidz Tarim6. Al-Habib Muhammad Hamid al-Kaf Makkah7. Asy-Syaikh Ahmad Damanhuri al-Bantani8. KH. Abdul Hamid ad-Dari9. Asy-Syaikh Ahmad Muhajirin ad-Dari Bekasi10. Asy-Syaikh KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai) Martapura11. Asy-Syaikh Mu’allim KH. M. Syafi’i Hadzami12. DR. Burhanuddin Umar Lubis13. KH. Maimoen Zubair Rembang14. KH. Hasan Azhari15. KH. Sahal Mahfudz Pati16. KH. DR. Abdul Muhith Abdul Fattah17. KH. Zayadi Muhajir18. KH. Ahmad Junaidi19. KH. Idham Khalid20. KH. Thahir Rahili21. KH. Ahmad Muthohar Mranggen22. DR. Muslim Nasution23. KH. Yusuf bin Hasyim Asy’ari24. Prof. DR. Sayyid Agil Husain al-Munawwar25. Prof. DR. Muhibbudin Wali al-Khalidi26. Asy-Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari27. DR. Yahya al-Ghaustani28. As-Sayyid Abdullah Shiddiq al-Ghumari29. Asy-Syaikh Abdus Shubhan al-Barmaw30. Asy-Syaikh Abdul Fattah Rawah31. Asy-Syaikh DR. Ali Jum’ah Mufti Mesir32. Asy-Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni Damaskus33. DR. Muhammad Hasan ad-Dimyathi34. Asy-Syaikh Hasan al-Qathirji35. Tuan Guru KH. Abdullah bin Abdurrahman Pondok Lubuk Tapah Kelantan36. Tuan Guru KH. Hasyim bin Abubakar Pondok Pasir Tumboh Kelantan37. Prof. Dr. M. Hasan ad-Dimasyqi38. Asy-Syaikh Isma’il Zain al-Yamani39. Dan masih banyak lagi.

Di Indonesia bisa dikatakan hampir semua ulama di Jakarta dan beberapa daerah lainnya yang seangkatan dengan beliau atau di bawah beliau merupakan murid beliau. Selain itu di Malaysia, Thailand dan Brunei juga tersebar murid-murid beliau yang sangat banyak.

10.  Syaikh Yasin Al-Faddani Sosok yang Tawadhu’ dan Bersahaja

Meski dikenal sebagai seorang maha guru, Syaikh Yasin tetap bersikap tawadhu’ kepada siapa saja. Beliau tak segan untuk meminta ijazah dan ilmu dari para muridnya.

Syaikh Yasin juga sering berkunjung ke Indonesia, negeri asal nenek moyangnya. Dalam kunjungan beliau ke Indonesia beliau mengunjungi beberapa pondok pesantren antara lain di Jakarta, Padang, Palembang, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, NTB, Kalimantan, Ambon dan Manado. Setiap pesantren yang beliau kunjungi selalu dipenuhi oleh jamaah dari berbagai kalangan, ulama, santri maupun masyarakat awam. Dalam setiap kesempatan beliau selalu menyampaikan hadits sekaligus mengijazahkannya. Oleh karena itu banyak ulama menemui Syaikh Yasin hanya karena ingin dianggap sebagai murid olehnya dan meminta ijazah hadits.

Hal yang menarik dari sosok Syaikh Yasin adalah, sekalipun beliau adalah seorang ulama tradisional namun beliau memiliki wawasan yang luas. Beliau berpandangan belajar dan mengajar bagi kaum wanita juga wajib sebagaimana yang telah disabdakan Baginda Nabi Saw. Ini terbukti dengan usahanya mendirikan beberapa lembaga pendidikan untuk kaum wanita.

Setelah sekian lama menanamkan cita-citanya untuk membangun madrasah putri, pada tahun 1362 H/1943 M beliau mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum wanita yang dinamainya dengan Madrasah Ibtidaiyyah lil Banat. Lembaga pendidikan ini merupakan yang pertama di Arab Saudi yang didirikan khusus untuk kaum hawa. Setelah sekolah ibtidaiyah telah banyak dan membutuhkan tenaga pengajar, Syaikh Yasin memandang perlu mendirikan lembaga pencetak guru wanita. Maka pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 1377 H beliau mendirikan Ma’had lil Mu’allimat.

Dalam surat kabar al-Bilad edisi Jum’at 24 Dzul Qa’dah 1379 H/1960 M, Syaikh Umar Abdul Jabbar, seorang ulama dan kolumnis menulis esai sebagai berikut: “Bahkan yang terbesar dari amal bakti Syaikh Yasin adalah membuka madrasah putri pada tahun 1362 H/1943 M. Inilah sekolah pertama perempuan yang didirikan di Negeri Kerajaan Arab Saudi. Dalam perjalananya selalu ada rintanagn, namun beliau dapat mengatasinya dengan penuh kesabaran dan ketabahan.”

Ketawadhu’an beliau juga terlihat sebagaimana diceritakan oleh murid beliau, Syaikh Mahmud bin Said Mamduh, bahwa karya Syaikh Yasin mengenai ushul fiqh, syarah al-Luma’ sebaganyak dua jilid yang tebal terpaksa tidak jadi dicetak lantaran guru beliau Syaikh Yahya Aman sudah terlebih dahulu mengirimkan naskah karyanya dalam hal yang sama ke percetakan. Tampaknya beliau berkaca pada kejadian sebelumnya, saat beliau mencetak kitab Hasyiyah at-Taisir karya beliau, yang ternyata karya serupa dibuat oleh guru beliau Syaikh Yahya Aman, yang akhirnya membuat karya Syaikh Yasin kurang dikenal.

11.  Kesederhanaan Syaikh Yasin Al-Faddani

Karena sangat bersemangat dan giat dalam menuntut ilmu agama, Syaikh Yasin hampir saja lupa menikah. Beliau termasuk terlambat dalam membina rumah tangga. Hingga sampai pada usia empat puluh tahun beliau belum juga menikah. Hal ini membuat orangtuanya merasa prihatin dan khawatir, juga para guru dan rekan-rekan beliau. Mereka mengingatkan beliau bahkan ada yang ingin menjadikan beliau sebagai menantu. Karena orangtua beliau mengancam akan membakar kitab-kitab beliau dan beliau pun merasa takut durhaka kepadanya, akhirnya masa lajang beliau akhiri tepat pada usia 40 tahun.

Hal yang sangat menarik dari sosok Syaikh Yasin al-Fadani adalah kesederhanaannya. Walaupun beliau seorang ulama besar namun beliau tidak segan-segan untuk keluar masuk pasar memikul dan menenteng sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Dengan memakai kaos oblong dan sarung, Syaikh Yasin juga sering nongkrong di warung teh sambil menghisap Shisah (rokok Arab). Tak ada seorang pun yang berani mencelanya karena ketinggian ilmu yang dimiliki Syaikh Yasin.

KH. Sukarnawadi Husnuddu’at mengatakan: “Syaikh Yasin orangnya santai, sederhana, tidak menampakkan diri, sering muncul menggunakan kaos biasa, sarung, dan sering nongkrong di “Gahwaji” untuk nyisyah (menghisap rokok Arab). Tak seorangpun yang berani mencela beliau karena kekayaan ilmu yang beliau miliki. Yang ingkar kepada beliau hanyalah orang-orang yang lebih mengutamakan tampang dzahir daripada yang bathin.”

Jika musim haji tiba Syaikh Yasin mengundang para ulama dari seantero dunia dan para pelajar  untuk berkunjung ke rumahnya untuk berdiskusi dan tak sedikit dari para ulama yang meminta ijazah sanad hadits dari beliau. Namun walau musim haji telah lewat, rumah Syaikh Yasin tetap selalu ramai dikunjungi para ulama dan pelajar.

12.  Seorang Alim yang Menghargai Para Ahli Ilmu
 Syaikh Yasin sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara terutama di Indonesia yang merupakan asal dari nenek moyangnya. Tak sedikit dari para ulama yang bertemu Syaikh Yasin ingin dianggap sebagai murid oleh beliau dan meminta ijazah sanad hadits.

Salah satu kejadian yang menarik adalah sewaktu Syaikh Yasin berkunjung ke Indonesia. Banyak para ulama dari berbagai daerah di Indonesai berbondong-bondong menemui Syaikh Yasin untuk dianggap sebagai murid. Salah satu dari mereka adalah Mu’allim KH. Syafi’i Hadzami. KH. Syafi’i datang menemui Syaikh Yasin untuk diangkat sebagai murid. Namun Syaikh Yasin menolaknya, bukan karena tidak suka atau ada hal lain, namun Syaikh Yasin menganggap bahwa dirinya tidak pantas menjadi guru dan beliau mengatakan bahwa dirinyalah yang pantas menjadi murid KH. Syafi’i Hadzami.

Syaikh yasin menilai bahwa kedalaman ilmu yang dimiliki KH. Syafi’i Hadzami tak diragukan lagi. KH. Syafi’i Hadzami begitu terkenal namanya di Mekkah sebagai sosok ulama Indonesia yang memiliki keluasan ilmu. Begitulah sosok Syaikh Yasin al-Faddani yang sangat menghargai para ahli ilmu.

13.  Tukang Sapu Makam Nabi Saw.

KH. Maimoen Zubair adalah murid senior Syeikh Yasin al-Faddani yang sekarang masih hidup. Sebagaimana diutarakannya, ia telah berguru pada Syaikh Yasin al-Faddani sejak tahun 1370 H/1940 M. Kepada Syaikh Yasin al-Faddani beliau mengaji kitab Sunan Abi Daud hingga tamat.

Syaikh Yasin pernah bercerita pada Mbah Maimenn tentang kisah Syaikh al-Ajrum yang melarang sebuah karyanya dicetak pada masa itu. Karya yang berjudul al-Ajrumiyyah baru dicetak setelah wafatnya dan menjadi kitab yang baku dalam pelajaran tata bahasa Arab dan termasyur di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Mungkin itulah sebab ada sebagian ulama yang melarang karyanya dicetak di masa itu. Mereka melihat dengan mata batinnya, kelak kitab itu dibutuhkan dan menjadi amal jariah setelah wafatnya.

Begitu pula dengan karya al-Qadhi Abu Syuja’, Matn at-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’ hidup selama 160 tahun lebih. 60 tahun digunakannya untuk mengajar, dan 100 tahun dari usianya ia abdikan sebagai Kannas Qabr an-Nabiy (tukang sapu makam Nabi Saw.). Ia senang dengan gelar itu sehingga ia tak mau dirinya disebut Syaikh atau ‘Allamah.

Acap kali saat membersihkan makam Nabi Saw., ia bermunajat agar dirinya diberikan keberkahan umur dan karyanya akan kelak berguna bagi umat. Dan di kemudian hari, kitabnya, Matn at-Taqrib, memang termasyur di kalangan para penuntut ilmu.

14.  Karamah Syaikh Yasin Al-Faddani

Allah Swt. memang sangat mengasihi hambaNya yang shaleh dengan bentuk yang beragam. Ada yang diangkat derajatnya dengan diberikan ilmu agama yang mendalam dan ada pula yang diberikan kejadian yang luar biasa yang disebut dengan karamah. Syaikh Yasin dimuliakan Allah dengan kedua-duanya. Ini merupakan hasil istiqamah beliau dalam ilmu dan beramal. Ada beberapa kisah yang masyhur di kalangan pecinta beliau antara lain:

Pernah suatu ketika ada seorang tamu asal Syiria, Zakaria Thalib, mendatangi rumah Syaikh Yasin pada hari Jum’at. Ketika adzan Jum’at dikumandangkan, Syaikh Yasin masih saja di rumah. Akhirnya tamu tersebut keluar dan shalat di masjid terdekat.

Seusai shalat Jum’at, ia menemui seorang kawan dan ia pun bercerita pada temannya bahwa Syaikh Yasin tidak shalat Jum’at. Namun hal itu dibantah oleh temannya tersebut seraya berkata: “Kami sama-sama Syakh Yasin shalat di Nuzhah, yaitu di Masjid Syaikh Hasan al-Masysyath yang jaraknya jauh sekali dari rumah beliau.”

KH. M. Abrar Dahlan juga pernah bercerita: “Suatu hari Syaikh Yasin menyuruh saya membikin syai (teh) dan syisah (rokok Arab). Setelah saya bikinkan dan Syaikh Yasin mulai meminum teh, saya keluar menuju Masjidil Haram. Ketika kembali, saya melihat Syaikh Yasin baru pulang mengajar dari Masjidil Haram dengan membawa beberapa kitab. Saya menjadi heran, anehnya tadi di rumah menyuruh saya bikin teh, sekarang beliau baru pulang dari masjid.”

Pernah salah seorang murid Syaikh Yasin, KH. Abdul Hamid dari Jakarta, sewaktu beliau dihadapi kesulitan dalam mengajar ilmu fiqih “bab diyat”, sehingga pengajian terhenti karenanya. Malam hari itu juga, beliau mendapati sepucuk surat dari Syaikh Yasin. Begitu membuka isi surat tersebut ternyata isinya adalah jawaban dari kesulitan yang sedang dihadapinya. Ia pun merasa heran, dari mana Syaikh Yasin tahu, sedangkan ia sendiri tidak pernah menanyakan kepada siapapun tentang kesulitan ini.

Syaikh Mukhtaruddin Palembang juga bercerita: “Ketika Bapak Presiden Soeharto sedang sakit mata, beliau mengirim satu pesawat khusus untuk menjemput Syaikh Yasin. Akhirnya Pak Soeharto pun sembuh berkat doa beliau.”

15.  Kewafatan Syaikh Yasin Al-Fadani

Setelah sekian lama membaktikan dirinya dalam pengembangan ilmu agama, Hadhratus Syaikh al-‘Allamah Abu al-Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-faddani al-Makki berpulang ke hadhiratNya pada hari Jum’at Shubuh tanggal 27 Dzul Hijjah tahun 1410 H/20 Juli 1990 M dalam usia 75 tahun.

Dalam waktu singkat berita kewafatannya menyebar luas. Orang-orang pun berdatangan berduyun-duyun untuk bertakziyah. Roman wajah beliau ketika wafat tampak berseri-seri dan tersenyum.

Setelah dishalati usai shalat Jum’at jasad beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la. Dan kebesaran Allah ditampakkan oleh para hadirin yang hadir dalam prosesi penguburan jenazah ulama besar tersebut. Begitu jenazah dimasukkan ke liang lahat, bukan liang yang sempit dan lembab yang tampak tapi liang tersebut berubah menjadi lapangan yang luas membentang disertai dengan semerbak wewangian yang harum mewangi nan menyegarkan.

Beliau meninggalkan satu orang istri dengan empat orang putra yaitu Muhammad Nur ‘Arafah, Fahd, Ridha dan Nizar.

16.  Haul Syaikh Yasin Al-Faddani

Seperti biasanya jika telah datang tanggal 28 Dzul Hijjah maka banyak para murid al-Maghfrulah Syaikh Yasin bin Muhammad Isa al-Faddani menghadiri upacara haul peringatan wafatnya beliau yang biasanya diselenggarakan di rumah putra beliau.

Tepatnya di masjid Jami’ al-Amjad Jalan Prapanca Buntu, acara ini biasanya dipimpin oleh khalifah Syaikh Yasin yaitu al-Habib Hamid bin Alwi al-Kaff dan Syaikh Muhammad Husni Thamrin al-Banjari.

sumber