Friday, May 10, 2013






Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi
 
Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama terkenal asal Minangkabau, kelahiran Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam. Beliau memulai dan mengakhiri kariernya sebagai ulama di Makkah Al Mukarramah, dan terkenal dengan panggilan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Kata “Al-Minangkabawy” menunjukkan bahwa beliau berasal dari Ranah Alam Minangkabau.

Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M). Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M).

Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang benar-benar anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun oleh ibu bernama Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek, berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.

Limbak Urai itu adalah putri dari Tuanku Nan Rancak, seorang pembesar Padri yang menikah dengan Zainab binti Khatib Tuanku Bagindo. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”.

Limbak Urai dikawinkan dengan Abdullatif Khatib Nagari (anak Syeikh Jalaluddin Fakih Saghir). Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)


Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah dalam usia 11 tahun, bersama ayahnya sendiri Khatib Nagari, untuk menunaikan Ibadah Haji dan mendalami ilmu agama dari alim ulama yang berada di Mekkah. Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan disana. Isteri, anak-anak dan cucu-cucunya adalah semua orang Arab.

Di Mekah, Ahmad Khatib kecantol dengan Siti Khadijah seorang puteri dari Syekh Shaleh al-Kurdi, pemillik Toko Kitab di Babus Salam, dekat Masjidil Haram. Saleh Kurdi tertarik pada kesopanan, kerajinan dan kealiman Ahmad Khatib, yang diperhatikannya setiap hari, sewaktu keluar-masuk Masjidil Haram melewati Toko Kitabnya. Rupanya tidak cukup hanya seorang putri diamanahkan Saleh Kurdi untuk dikawini Ahmad Khatib, bahkan putrinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah putrinya yang pertama itu meninggal dunia.

Dari isteri yang pertama itu mendapatkan seorang putra yang bernama Abdul Karim dan dari isteri yang kedua Ahmad Khatib dikurnai tiga orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Siti Khadijah. Dengan demikian Syeikh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putra dan seorang putri dari kedua putri yang bersaudara itu.

Perkampungan keluarga Syeikh tersebut di Mekkah bernama “Garara Kampung Syamsiyah”. Banyak dianara mereka yang menjadi Syeikh Pelayan Haji dan memeberikan banyak pertolonganya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syeikh Ahmad Khatib.

Ilmu pengetahuan utama yang didalaminya adalah Ilmu Fiqhi, disamping juga mempelajari ilmu agama lainnya dan ilmu umum seperti ilmu Falak, ilmu Hisab, ilmu Al Jabar dsb. Aliran Fiqhi yang dipelajari dan dianutnya adalah Mazhab Syafi’i. Guru-guru beliau adalah : Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli.

Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik diwaktu belajar dikampung halamanny, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdesannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam. 

Dengan usaha dan jasa mertuanya Saleh Kurdi, Ahmad Khatib dapat membuat suatu Halakah tempat ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Dalam waktu yang singkat ia telah dikelilingi oleh beratus-ratus orang yang ingi menjadi muridnya. Sebagian besar murid itu berasal dari Indonesia dan Semenanjung Malaysia, yang dulu disebut dengan julukan “Orang Jawi”.
Di Makkah, kesadaran Ahmad Khatib tentang pentingnya persatuan Islam terbangun. Ia merasa persatuan Muslim di Indonesia harus diperkuat untuk membebaskan negara dari kolonialisme. Pemikiran tersebut diwariskan pada murid-muridnya seperti Syeikh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdullah Karim Amrullah (1879-1945, ayah dari Buya Hamka), Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933), KH Ahmad Dahlan (1868-1923) pendiri gerakan Muhammadiyah dan KH Hasyim Ansari (1875-19470 pendiri Nahdhatul Ulama.

Kemasyhurannya sebagai Mudarris (guru), meningkat menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kerajaan Istambul menggelari Ahmad Khatib dengan “Bey Tunis”, sebagai guru suatu tanda jasa yang diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam bidang ilmu pengetahuan, Banyak Raja-raja dan Sultan-sultan di tanah Air dan di daerah Simenanjung yang meminta fatwa agama kepada beliau melalui surat-menyurat, yang selanjutnya diiringi dengan menukar tanda mata.

Diantaranya yang beliau kirimkan adalah “Bacaan Khutbah Kedua” yang disebut juga dengan Khutbah “Na’at”, dan inilah yang dibaca oleh Khatib di negeri yang berada dibawah naungan sultan yang meminta fatwa kepada Ahmad Khatib, seperti tersebut diatas.

Beliau juga banyak menulis buku-buku agama mengenai Fiqhi, Ushul Fiqhi, Tashauf dan lain-lain dalam bahasa Melayu dan Bahasa Arab. Salah satu karya beliau adalah kitab al-Nufahaat 'ala Syarh al-Warqaat. sebuah kitab dalam bidang ushul fiqh yang banyak dipelajari dikalangan pesantren di Indonesia. (catatan dari Tgk Alizar Usman).
Ia menyampaikannya dalam buku Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulisnya pada 1906, Syeikh Ahmad Khatib secara terbuka menentang Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Tak pelak, seluruh pengikut Thariqat Naqsyabandiyah dan penganut tasawuf dari berbagai thariqat lainnya marah dengan tulisan Ahmad Khatib itu. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, guru besar Thariqat Naqsyabandiyah yang juga sahabat Ahmad Khatib, meresponnya dengan menulis buku berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang rampung pada 1907.

Dengan terbitnya kitab Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin. Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.

Dalam beberapa karyanya, Ahmad Khatib menegaskan barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga ‘kafir’, maka ia termasuk kafir dan akan masuk neraka. Selain pengikut Naqshabandiyah, banyak pula guru agama yang tidak menyetujui pendirian Ahmad Khatib yang dinilai tidak kenal damai.

Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh Abdul Karim Amrullah] adalah sesat. Menurut Syaikh Ahmad Khatib, golongan tersebut sesat kerana keluar daripada fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.

Namun demikian, perbedaan pendapat yang muncul pada masanya disebut-sebut melahirkan gerakan di Tanah Minang untuk berkembang dan maju meninggalkan keterbelakangan. Kecamannya soal harta waris, misalnya, menumbuhkan kesadaran masyarakat Minangkabau bahwa tradisi matrilineal tidak dapat disejajarkan dengan hukum agama.

Beliau meninggal hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 (1915 M), dalam usia 63 tahun

sumber referensi:
  • http://ajuncell.blogspot.com/2011/08/syekh-ahmad-khatib-al-minangkabawi.html
  • http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/03/syaikh-ahmad-khatib-al-minangkabawi/ 
  • http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/16/lxvtbn-syekh-ahmad-khatib-alminangkabawi-dari-minang-ke-masjidil-haram-2

PENGARUH TASAWWUF
DALAM KABA CINDUR MATO


Dari Perbendaharaan Lama
Prof. Dr. HAMKA



Orang Minangkabau yang masih asyik dengan adatnya, sangatlah dipengaruhi oleh hikayat "Cindur Mato". Dalam hikayat ini nampak pula betapa pujangga-pujangga istana mencari sumber dari dalam telaga Tasawuf sesuatu yang "keramat" yang akan dibanggakan kepada raja. Anggapan kepada Bunda Kandung bagi orang Minang, sama pula dengan anggapan orang Bugis yang mengatakan bahwa Ratu mereka yang mula-mula, Siti Malangkai adalah keturunan Ratu Bulqis dalam perkawinannya dengan Nabi Sulaiman, dan kemudiannya menurunkan Sawirigading. Dan Sawirigading dianggap sebagai Dewa.

Dalam kata pendahuluan seketika membaca "Cindur Mato" disusunlah perkataan meminta ampun kepada "Daulat Tuan Kita", sebab keadaan baginda akan diperkatakan dan kebesaran baginda akan dipaparkan.

"Ampun beribu kali ampun, ampunlah kami mengabarkan, sedang di raja perempuan, di dalam Ulak Tanjung Bungo, di dalam Koto Pagarruyung, di dalam jorong Kampung Dalam. Bukanlah raja yang meminta, bukanlah raja yang membeli, Raja berdiri sendirinya! Sama tajalli dengan alam. Timbalan raja benua Ruhum, timbalan raja benua Cina, timbalan raja di lautan."

Kemudian itu disebutkan pula bahwasanya Bunda Kandung memerintahkan kepada si "Kembang Bendahari" supaya segera membangunkan Dang Tuanku yang sedang beradu di atas anjung peranginan. Maka berdatang sembahlah si Kembang, memohon diberi ampun karena dia tidak berani membangunkan Dang Tuanku, sebab baginda itu sangat keramat.

"Kalau disebut namanya lidah menjadi kelu, kalau ditentang matanya, mata sendiri jadi buta, kalau terlintas sedang baginda tidur, kakipun lumpuh,"- demikian benarlah tuah dan keramat baginda, "niscaya Bunda juga yang akan kehilangan."

Lalu disebutkan bahwasanya tiga orang raja besar dahulunya telah datang meminang Bunda Kandung. Pertama Raja Ruhum (Rum), kedua Raja Cina, ketiga Raja Aceh. Raja Rum datang membawa hadiah hantaran kawin ialah kapal sebuah yang penuh isinya. Pinangan itu telah diterima. Tetapi setelah kapal dan isinya diterima, Raja Rum itupun mati, sehingga Bunda Kandung menjadi kaya-raya. Demikian juga Raja Cina membawa pelang seisinya. "Pelang tertanda raja mati". Raja Aceh membawa hantaran perahu gurap lengkap dengan isinya. "Gurap teranda rajapun mati". Di situ mengertilah orang bahwasanya ketiga raja yang besar-besar itu bukanlah jodoh baginda!

Maka diperintahkanlah Bujang Selamat, pesuruh istana yang sangat setia memanjat pohon kelapa yang bernama "Nyiur Gading", karena Bunda ingin benar hendak memakan buahnya. Demikian lamanya memanjat pohon kelapa itu. "Hari Khamis naik memanjat, hari Arbaa baru sampai turun ke bawah. "Buah kelapa itu hanya dua saja. Yang satu, karena sangat hausnya memanjat, telah dimakan oleh si Selamat di atas pohon itu juga. Setelah isinya habis diminum, buah itu dilemparkannya ke bawah. "Sabutnya dimakan oleh kerbau, itulah asal si Benuang!" Sebagian sabut lagi dimakan oleh seekor kuda, "itulah asal si Gumarang," dan isi kelapanya dimakan oleh seekor ayam jantan. "Itulah asal si Kinantan." Dan setelah si Selamat turun ke bawah membawa buah yang sebuah lagi, diserahkannyalah kepada Bunda Kandung, lalu baginda makan. "Itulah asal Daulat Tuan Kita, nama sanan gelarpun sanan, bernama Sutan Rumandung. "Dan air kelapa yang diminum si Selamat, itulah yang menjadi "Cinder Mato", dengan istrinya si Kembang Bendahari. Oleh sebab itu maka Dang Tuanku, Cinder Mato, Si Kinantan, (seekor ayam jantan sabungan Dang Tuanku), si Gumarang (kuda kendaraan Dang Tuanku), si Benuang (kerbau pelihara Dang Tuanku), semuanya itu datang dari satu asal, bangsa dewa! Atau Indrajati.

Tetapi sebagaimana disebutkan di atas tadi, yang Bunda Kandung sendiri bukan saja baginda dewa, bahkan lebih dari dewa, "sama tajalli dengan alam "dan "raja berdiri sendirinya".

Tentang Bunda Kandung dengan amat halus masuklah "salah satu Pokok penting dari pegangan kaum Tasawuf, yaitu tentang "Insan Kamil".

"Al Insan Al Kamil", manusia yang maha sempurna, menurut ahli Tasawuf ialah Allah Ta' ala sendiri yang menyatakan dirinya, dan itulah Nur Muhammad atau "Al Haqiqatul Muhammadiyah", "dialah permulaan ujud, tetapi dia pula kesudahan Nabi." Insan Kamil tidaklah mati, selama Dia hidup. Mungkin dia menyatakan dirinya dengan bentuk yang berlain-lain, seumpama menjadi tubuh Nabi Adam, atau Nabi Isa, atau yang lain. Tetapi kesempurnaan mazh'harnya ialah pada tubuh Nabi Muhammad s a w. Dan jika Nabi Muhammad wafat, hanya tubuh Muhammad yang wafat. Adapun Insan Kamil terus menjelma dalam tubuh yang lain. Menurut kepercayaan setengah mereka, Insan Kamil itu menjelma pada diri Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dan menurut kepercayaan setengahnya lagi, Insan Kamil itu terus menjelma dalam tubuhnya Wali-wali (Aulia) yang tinggi martabatnya yang disebut juga Ghaust atau Quthub. Di antara Insan Kamil itu ialah Sayid Abdulkadir Jailany, "yang kakinya di atas pundak segala Wali."

Tidak perlu diragukan bahwasanya "Pelajaran" seperti ini sekali-kali tidaklah berasal daripada Islam. Dia adalah inti-filsafat Hinduisme yang bernama "Atman", yang masuk pengaruhnya ke dalam Tasawuf Islam. Dia adalah "Panteisme" yang terdapat juga dalam "Neo Platoisme" dan berpengaruh juga ke dalam Agama Kristen, yang bahkan dijadikan dasar kepercayaan agama Nasrani tentang "Ketuhanan Nabi Isa".

Rupanya pengarang Cindur Mato, tentu saja pujangga istana, mendapat "inspirasi" buat mensucikan raja atau mendewakannya, dengan memakai kepercayaan demikian terhadap kepada Raja Minangkabau.

"Insan Kamil" adalah Tasawufnya Al Hallaj, di "Filsafat" kan oleh Ibnu Arabi dan dilanjutkan oleh Abdulkadir Jailany dalam bukunya yang bernama "Al Insan Al Kamil". Abdulkarim Jailany, keturunan Sayid Abdulkadir Jailany itu meninggal pada tahun 813 Hijriyah, atau 1410 Miladiyah, di zaman mulai berdirinya Kerajaan-Islam Melayu Malaka.

Disebutkanlah dalam kitab itu bahwasanya:

"Insan Kamil adalah Khalifah daripada Allah. Padanyalah tajalli Ketuhanan. Dan di setiap zaman ada saja insan tempat Allah mentajallikan diri-Nya. Sesudah Nabi ialah Wali. Dan Wali itu bertingkat-tingkat. Adapun tingkatnya yang di atas sekali ialah Quthub." Dan disebut juga bahwasanya "Wali yang Kamil ialah Insan yang Kamil".

Oleh sebab itu dijelaskanlah pada permulaan hikayat "Cindur Mato" itu bahwasanya Raja Minangkabau itu bukanlah sembarang raja, dia "adalah berdiri sendirinya, sama tajalli dengan alam."

Kemudian diceriterakan pula bahwasanya telah terjadi peperangan di antara Raja Negeri Sungai Ngiang yang bernama "Raja Imbang Jaya" dengan Raja Minangkabau, karena memperebutkan Puteri Bungsu, sehingga negeri Minangkabau diserang oleh Sungai Ngiang. Minangkabau dibakar, rumahnya yang besar-besar dimusnahkan dengan "cermin terus". Maka di waktu yang sangat genting itu datanglah perahu Nabi Nuh dari langit, datang menjemput Bunda Kandung, Dang Tuanku dan Puteri Bungsu istri Dang Tuanku. Berhentilah perahu itu di halaman istana besar dan dipersilakanlah mereka naik ke dalamnya. Setelah naik semuanya, perahu itu terbang kembali ke udara, membawa baginda semuanya ke atas langit. Yang tinggal di antara mereka di bumi ini hanya seorang raja, yaitu Cindur Mato sendiri yang disuruh menyingkir ke Indrapura dan menjadi raja di sana.

Bertahun-tahun di belakang, setelah Cindur Mato sendiri menjadi tua, barulah datang seekor burung, turun dari langit, bernama burung "Nuri Bayan", membawa dua orang putera-puteri di dalam "keranda-kaca" yaitu Sutan Alam Dunia dan Puteri Sri Dunia, anak daripada Dang Tuanku dan Puteri Bungsu, buat menjadi Raja di Minangkabau . . . .

Di sekeliling Raja Alam Minangkabau itu ada lagi dua raja, yaitu Raja Adat di Bua dan Raja Ibadat di Sumpu Kudus. Dan ada lagi empat orang besar negara, yaitu Bendahara di Sungai Tarap, Makhudum di Sumanik, Indomo di Suruaso dan Tuan Kadhi di Padang Ganting. Dan seorang lagi orang besar di dalam peperangan, yaitu Tuan Gadang di Batipuh.

Nyata benar bahwasanya Hikayat Cindur Mato itu ditulis setelah Agama Islam masuk. Huruf yang dipakai ialah Huruf Arab bahasa Melayu, langgam cara Minangkabau.

Akan ragulah orang menolak dongeng ini, karena demikian indah susunannya, bagus khayalnya, pandai benar penyusunnya, sehingga bercampur aduklah yang benar dengan yang khayal. Sebab Raja Tiga Sela, dan Besar Empat Balai memang ada. Kubur mereka masih dapat dilihat, tetapi raja-raja yang berasal dari anak "Indra Jati", turun dari buah kelapa nyiur bali dan mengirab (mi'raj) ke langit dengan perahu Nabi Nuh, memang tidak diketahui pabila datangnya dan pabila perginya dan pabila tahunnya.

Kepercayaan Tasawuf Iran, diseludupkan ke dalam legende Minangkabau, sehingga menjadi salah satu bentuk kepercayaan Indonesia ....

Barulah kalah pengaruh ceritera atau "mithos" ini setelah pergerakan kaum Paderi, atau kaum Ulama di permulaan abad kesembilan belas, yang telah menurunkan martabat dewa atau wali itu ke dalam gelanggang kemanusiaan dan dituntut di muka mahkamah segala keturunan raja yang tidak patuh mengerjakan hukum syari' at Islam!