Syeikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi
al-Minangkabawi
Syeikh
Ahmad Khatib adalah seorang ulama terkenal asal Minangkabau, kelahiran
Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam.
Beliau memulai dan mengakhiri kariernya sebagai ulama di Makkah Al
Mukarramah, dan terkenal dengan panggilan Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawy. Kata “Al-Minangkabawy” menunjukkan bahwa beliau berasal
dari Ranah Alam Minangkabau.
Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M). Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M).
Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang benar-benar anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun oleh ibu bernama Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek, berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Limbak Urai itu adalah putri dari Tuanku Nan Rancak, seorang pembesar Padri yang menikah dengan Zainab binti Khatib Tuanku Bagindo. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”.
Limbak Urai dikawinkan dengan Abdullatif Khatib Nagari (anak Syeikh Jalaluddin Fakih Saghir). Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)
Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M). Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M).
Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang benar-benar anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun oleh ibu bernama Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek, berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Limbak Urai itu adalah putri dari Tuanku Nan Rancak, seorang pembesar Padri yang menikah dengan Zainab binti Khatib Tuanku Bagindo. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”.
Limbak Urai dikawinkan dengan Abdullatif Khatib Nagari (anak Syeikh Jalaluddin Fakih Saghir). Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)
Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah dalam usia 11 tahun, bersama ayahnya sendiri Khatib Nagari, untuk menunaikan Ibadah Haji dan mendalami ilmu agama dari alim ulama yang berada di Mekkah. Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan disana. Isteri, anak-anak dan cucu-cucunya adalah semua orang Arab.
Di Mekah, Ahmad Khatib kecantol dengan Siti Khadijah seorang puteri dari Syekh Shaleh al-Kurdi, pemillik Toko Kitab di Babus Salam, dekat Masjidil Haram. Saleh Kurdi tertarik pada kesopanan, kerajinan dan kealiman Ahmad Khatib, yang diperhatikannya setiap hari, sewaktu keluar-masuk Masjidil Haram melewati Toko Kitabnya. Rupanya tidak cukup hanya seorang putri diamanahkan Saleh Kurdi untuk dikawini Ahmad Khatib, bahkan putrinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah putrinya yang pertama itu meninggal dunia.
Dari isteri yang pertama itu mendapatkan seorang putra yang bernama Abdul Karim dan dari isteri yang kedua Ahmad Khatib dikurnai tiga orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Siti Khadijah. Dengan demikian Syeikh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putra dan seorang putri dari kedua putri yang bersaudara itu.
Perkampungan keluarga Syeikh tersebut di Mekkah bernama “Garara Kampung Syamsiyah”. Banyak dianara mereka yang menjadi Syeikh Pelayan Haji dan memeberikan banyak pertolonganya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syeikh Ahmad Khatib.
Ilmu pengetahuan utama yang didalaminya adalah Ilmu Fiqhi, disamping juga mempelajari ilmu agama lainnya dan ilmu umum seperti ilmu Falak, ilmu Hisab, ilmu Al Jabar dsb. Aliran Fiqhi yang dipelajari dan dianutnya adalah Mazhab Syafi’i. Guru-guru beliau adalah : Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli.
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik diwaktu belajar dikampung halamanny, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdesannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam.
Dengan usaha dan jasa mertuanya Saleh Kurdi, Ahmad Khatib dapat membuat suatu Halakah tempat ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Dalam waktu yang singkat ia telah dikelilingi oleh beratus-ratus orang yang ingi menjadi muridnya. Sebagian besar murid itu berasal dari Indonesia dan Semenanjung Malaysia, yang dulu disebut dengan julukan “Orang Jawi”.
Di Makkah, kesadaran Ahmad Khatib tentang pentingnya persatuan Islam terbangun. Ia merasa persatuan Muslim di Indonesia harus diperkuat untuk membebaskan negara dari kolonialisme. Pemikiran tersebut diwariskan pada murid-muridnya seperti Syeikh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdullah Karim Amrullah (1879-1945, ayah dari Buya Hamka), Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933), KH Ahmad Dahlan (1868-1923) pendiri gerakan Muhammadiyah dan KH Hasyim Ansari (1875-19470 pendiri Nahdhatul Ulama.
Kemasyhurannya sebagai Mudarris (guru), meningkat menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kerajaan Istambul menggelari Ahmad Khatib dengan “Bey Tunis”, sebagai guru suatu tanda jasa yang diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam bidang ilmu pengetahuan, Banyak Raja-raja dan Sultan-sultan di tanah Air dan di daerah Simenanjung yang meminta fatwa agama kepada beliau melalui surat-menyurat, yang selanjutnya diiringi dengan menukar tanda mata.
Diantaranya yang beliau kirimkan adalah “Bacaan Khutbah Kedua” yang disebut juga dengan Khutbah “Na’at”, dan inilah yang dibaca oleh Khatib di negeri yang berada dibawah naungan sultan yang meminta fatwa kepada Ahmad Khatib, seperti tersebut diatas.
Beliau juga banyak menulis buku-buku agama mengenai Fiqhi, Ushul Fiqhi, Tashauf dan lain-lain dalam bahasa Melayu dan Bahasa Arab. Salah satu karya beliau adalah kitab al-Nufahaat 'ala Syarh al-Warqaat. sebuah kitab dalam bidang ushul fiqh yang banyak dipelajari dikalangan pesantren di Indonesia. (catatan dari Tgk Alizar Usman).
Ia menyampaikannya dalam buku Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulisnya pada 1906, Syeikh Ahmad Khatib secara terbuka menentang Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Tak pelak, seluruh pengikut Thariqat Naqsyabandiyah dan penganut tasawuf dari berbagai thariqat lainnya marah dengan tulisan Ahmad Khatib itu. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, guru besar Thariqat Naqsyabandiyah yang juga sahabat Ahmad Khatib, meresponnya dengan menulis buku berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang rampung pada 1907.
Dengan terbitnya kitab Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin. Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
Dalam beberapa karyanya, Ahmad Khatib menegaskan barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga ‘kafir’, maka ia termasuk kafir dan akan masuk neraka. Selain pengikut Naqshabandiyah, banyak pula guru agama yang tidak menyetujui pendirian Ahmad Khatib yang dinilai tidak kenal damai.
Syaikh Ahmad Khatib dengan tegas menulis Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Wahhabiyah yang diikuti oleh anak murid beliau [Syaikh Abdul Karim Amrullah] adalah sesat. Menurut Syaikh Ahmad Khatib, golongan tersebut sesat kerana keluar daripada fahaman Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah dan menyalahi pegangan mazhab yang empat. Antara tulisannya ialah ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ dan lain-lain.
Namun demikian, perbedaan pendapat yang muncul pada masanya disebut-sebut melahirkan gerakan di Tanah Minang untuk berkembang dan maju meninggalkan keterbelakangan. Kecamannya soal harta waris, misalnya, menumbuhkan kesadaran masyarakat Minangkabau bahwa tradisi matrilineal tidak dapat disejajarkan dengan hukum agama.
Beliau meninggal hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 (1915 M), dalam usia 63 tahun
sumber referensi:
- http://ajuncell.blogspot.com/2011/08/syekh-ahmad-khatib-al-minangkabawi.html
- http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/03/syaikh-ahmad-khatib-al-minangkabawi/
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/01/16/lxvtbn-syekh-ahmad-khatib-alminangkabawi-dari-minang-ke-masjidil-haram-2
No comments :
Post a Comment