Sunday, May 23, 2010

Teknologi dan Islam

TEKNOLOGI DAN ISLAM

Armahedi Mahzar © 2010

Teknologi dalam perkembangannya yang mutakhir merupakan penerapan sains untuk kepentingan manusia. Pada umumnya penerapan itu adalah untuk menyejahterakan manusia seluruhnya, namun tak dapat dibantah bahwa pengembangan teknologi juga diarahkan pada pembuatan senjata pemusnah masal seperti misalnya senjata nuklir, kimia dan biologis. Di samping tujuan negatif dari pengembangan teknologi, teknologi yang dikembangkan untuk tujuan positif sekali pun bisa mempunyai dampak-dampak negatif pada lingkungan hidup, kehidupan sosial dan perilaku personal.

Bagi banyak kritisi, dampak-dampak negatif ini timbul karena adanya dikhotomi antara sains dan etika dalam paradigma sains modern. Dikhotomi sains etika ini yang banyak dianut di kalangan saintis yang menganggap bahwa penggunaan sains untuk pengembangan senjata pemusnah massal sebagai sesuatu yang berada di luar tanggung jawab sains yang netral secara etis. Begitu juga ketika terjadi dampak-dampak negatif sebagai akibat pengembangan teknologi sebagai sesuatu yang di luar tanggung jawab sains.

Namun belakangan muncullah kesadaran bahwa baik sains dan teknologi tak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan dari peradaban manusia yang juga mencakup cabang-cabang lain seperti misalnya budaya, ekonomi dan politik Itulah sebabnya teknologi harus dikembangkan di atas sebuah landasan filosofis atau paradigma suatu peradaban dan semua peradaban yang besar berkembang di atas landasan agama. Itulah sebabnya berikut ini akan diajukan sebuah filsafat dasar teknologi yang islami.

Hakekat Teknologi menurut Al-Qur’an

Mengenai hakekat teknologi dapat dibaca pada anak kalimat pertama ayat di atas di mana disebutkan bahwa

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
....

Tiadakah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan untukmu
apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi
dan me­nyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya yang dzahir dan yang batin

.....
(QS Surat Luqman, 31:20)

Jadi sakh-khara pada kalimat ini menunjukan bahwa alam ditundukkan Allah pada manusia, bukan manusia yang menundukkannya melalui teknologi seperti dalam kepercayaan Barat sekuler mengenai teknologi. Teknologi, pada hakekatnya, adalah bagian dari peyempurnaan nikmat-nikmat Allah pada manusia baik yaitu yang eksternal. Sedangkan nikmat yang internal berupa kepuasan batiniah karena manusia telah menyempurnakan tugasnya sebagai khalifah yang memakmurkan bumi dan beribadah kepada Allah sebagai abdiNya.. ’Abid dan khalif adalah dua peran mendasar manusia sebagai makhluk pilihanNya.

Tujuan Teknologi dalam Al-Qur’an

Dalam pandangan Islam, ilmu yang diterapkan atau teknologi adalah untuk mensyukuri nikmatNya yang berupa ilmu yang diajarkan pada orang yang mau membaca tanda-tandaNya. Tasykir adalah konsekuensi dari ta’lim. Sedangkan tujuan akhir dari tasykir, yang juga merupakan fondasi dari ta’lim itu, adalah tawhid atau mengesakan Allah.

Teknologi adalah bagian dari amal manusia. Secara ringkas hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut Hal ini sesuai dengan konsep amal sebagai syukur akan nikmat ilmu seperti yang difirmankanNya sebagai berikut :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan ingatkah juga tatkala Tuhanmu memaklumkan :
“ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu,
dan jika kamu mengingkari nikmatku ,
maka sesungguhnya azabku sangat pedih “ .

(QS, Surat Ibrahim,14: 7)

Ketika ta’lim dikaitkan dengan tawhid. maka hal ini tak lain dari manifestasi manusia sebagai abdi Allah subhana wata’ala seperti yang ditegaskanNya dalam firmanNya

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

Tidaklah kujadikan jin dan manusia kecuali mengabdi Aku
(QS, Surat al-Dzariyat, 51:56)

Sedangkan kaitan ta’lim dan tasykir merupakan konsekuensi posisi manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardh seperti Firman Allah subhana wa ta’ala

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ
فِي مَا آتَاكُمْ
إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan Dia yang membuatmu menjadi khalifah di muka bumi
dan telah mengangkat sebagian dari kamu di atas yang lain dengan mengujimu dengan sesuatu yang telah diberikan kepadamu sekalian.
Sesungguhnya Tuhanmu apat cepat siksaanNya
dan sesungguhnya Dia Maha Maha Pengampun dan Maha Penyayang

(QS, Surat al-An’am 6:165)

Kekhalifahan manusia di muka bumi itu adalah konsekuensi eksistensi ruh yang ditiupkan Allah subhana wa ta’ala sebagai bagian dari kesempurnaannya sesuai dengan firman Allah

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Kemudian Dia sempurnakan dan Dia tiupkan ruh ke dalamnya,
dan Dia adakan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati
dan hanya sedikit orang yang bersyukur.

(QS Surat al-Sajdah, 32:9)

sebagai kelanjutan penciptaannya dari tanah dan air yang mengindikasikan sifatnya sebagai ’abid Allah dalam ayat-ayat sebelumnya yaitu ayat

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah
.
(QS Surat al-Sajdah, 32:7)

dan ayat berikutnya

ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
(QS Surat al-Sajdah, 32:8)

Konteks Teknologi menurut Al-Qur’an

Oleh sebab itu, teknologi harus dijalankan sesuai dengn etika atau petunjuk Allah yang belandaskan pada kitabNya seperti yang dapat kita pahami dari potongan ayat berikut ini

......
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ

.........
Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah
tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang terang

(Quran Suci, Surat Luqman, 31:20)

Urutan penyebutan al-’Ilm, al-Huda dan al-Kitab menyarankan adanya hirarki ilmu - etika - religi. Dalam konteks ini ilmu yang dimaksudkan adalah teknologi, sehingga pada hakekatnya terdapat perjenjangan teknologi – etika – agama.

Etika teknologi dalam Al-Qur’an

Teknologi memang sarana manusia untuk menyampaikan rasa syukurnya pada Sang Pencipta. Dasar terdasar dari wawasan Islam tentang teknologi adalah pengakuan bahwa semua makhluk diciptakan Ilahi untuk mengagungkannya seperti Firman Ilahi

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُسَبِّحُ لَهُ
مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَالطَّيْرُ صَافَّاتٍ
كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi
dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya
dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

(QS Surat An-Nur, 24:41)

Di atas dasar terdasa ini, etika teknologi dalam Islam bukanlah etika humanistik yang menganggap manusia sebagai penakluk alam, tetapi sebagai imam dari salat dan tasbih semesta dari semua ciptaanNya yang menurut Sang Maha Pencipta telah diberi hak

َمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا
إِلا بِالْحَقِّ
.......

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya,
melainkan dengan Haqq

........
(QS Surat Al-Hijr, 15:85) .

Jadi di dalam Islam bukan hanya manusia yang memiliki hak di antara makhluk Allah, tetapi semua isi semesta termasuk lingkungan hidupnya.

Disamping itu teknologi dalam pandangan Islam bukanlah merupakan sarana penakluk alam, akan tetapi merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan. Prinsip keseimbangan yang disimbolkan melalui mizan atau neraca ini adalah juga merupakan prinsip dasar etika dan hukum Islam, seperti yang difirmankanNya

(7) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

(8) أَلا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ

(9) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

(7) Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(8) Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
(9) Dan jagalah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

(QS Surat Ar-Rahman 55:7-9)

Kesimpulan

Demikianlah filsafat dasar reknologi dalam Islam jika dilandaskan pada ayat-ayatNya. Tentu saja dia akan dapat menjadi lebih kokoh dan komprehensif jika diintegrasikan dengan filsafat dasar sains yang juga dilandaskan pada ayat-ayat relevan yang tercantum dalam Al-Quran al-Karim seperti yang ditampilkan pada artikel sebelum ini.

Satu hal yang patut dipikirkan, jika sains dan teknologi harus dilandaskan pada Bacaan Mulia, maka berarti sebuah peradaban akan menjagi utuh menyeluruh, kalau saja semua cabang peradaban dilandasakan pada Bacaan yang sama.

Itulah sebabnya, saya berharap ada di antara para pembaca artikel ini yang bisa menyempurnakannya, sehingga wawasan Islam rahmatan li al-’alamin juga mempunyai makna aktual pada segala dimensi peradaban termasuk sains dan teknologi dalam memecahkan problematika global di abad ke-21 ini. Insya Allah. Amin ya Rabb al-’ alamin

Friday, May 21, 2010

Sains dan Islam

SAINS DAN ISLAM

Armahedi Mahzar © 2010

Di abad ke-21 ini, kita dimanjakan oleh teknologi. Oleh karena itu sering kita tidak dapat melihat apa hakekat teknologi dan kaitannya yang timbal balik dengan sains. Sains dan teknologi merupakan motor penggerak peradaban manusia modern. Antara keduanya terdapat sebuah hubungan saling mendorong yang berujung pada percepatan perkembangan keduanya. Kini kecepatan perkembangan menjadi sangat tinggi sedemikian rupa sehingga menorehkan sejumlah bayang-bayang yang menakutkan di masa depan. Walaupun begitu yang digembar-gemborkan media massa justru bahwa sains dan teknologi itu akan membuat semacam surga di muka bumi. Pandangan yang serba positif tentang sains dan teknologi ini dikenal juga sebagai pandangan positivisme.

Pandangan lain positivisme adalah bahwa sains adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui realitas sebenarnya. Semua pengetahuan di luar sains adalah takhayul. Pandangan ini disebut para saintis sebagai obyektivisme. Namun para kritisi sains menyebutnya sebagai saintitis atau saintisme. Sudut lain dari pandangan positivisme adalah bahwa sains itu netral alias bebas nilai. Netralisme sains dianggap para saintis sebagai suatu yang positif. Namun para kritisi sains melihat itu sebagai dikhotomi antara fakta dan nilai atau antara sains dan etika.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk memperluas cakrawala sudut pandang kita dengan melihat sains dalam perpektif peradaban yang lebih luas di mana persoalan-persolan yang dibawanya diselesaikan dengan mengubah filsafat dasar dari kedua cabang peradaban itu. Sains diletakkan dalam landasan filsafat yang lebih menyeluruh daripada sekedar positivisme materialistik dan teknologi diletakkan dalam landasan etis yang religius yang meletakkan keduanya dalam perspektif yang lebih menyeluruh daripada humanisme sekularistik. Berikut ini akan diajukan sebuah pemikiran tentang sains dan teknologi dalam perspektif Islam berdasarkan pesan-pesan Ilahiyah yang tercantum dalam kitab suci al-Quran al-Karim.

Tujuan Ilmu Menurut al-Quran

Dikhotomi etika - ilmu menyebabkan krisis i1mu di bidang praktek, yang sering dijumpai di Barat. Kita dapat menghindari itu dengan menempatkan kembali i1mu ke dalarn konteks sosial dengan posisinya sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia. Selanjutnya konteks sosial itu harus diletakkan pula dalam konteks transendentalnya yaitu Islam.

Dalam konteks Islam, ilmu manusia harus ditujukan untuk bertakwa pada Allah SWT. Soalnya, semua ilmu adalah milik Allah, karena hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Dia mengajarkan ilmu itu pada kita sebagai manusia. Inilah yang disampaikan Allah dalam penutup surat Al-Baqarah ayat 282 berikut ini

وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan bertakwalah kepada Allah ;
Allah mengajarmu ;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Al-Baqarah,2: 282)

Memang demikianlah, Allah telah mengajarkan ilmu itu pada kita seperti pada surat Ar-Rahman, ayat-ayat 1 sampai 4,

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(Ar-Rahman 1 s.d 4)

Disebutkan dalam ini ada dua jenis ilmu yaitu al-Qur’an yang bisa dibaca dan al-bayan yang bisa diucapkan. Yang dimaksud Allah di sini dengan al-Qur’an tentunya bukanlah Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat qawliyah saja, tetapi tentu saja juga al-Qur’an, atau bacaan yang benar terhadap ayat-ayat kawniyah yang berada di alam semesta sebagai cakrawala-cakrawala dan di alam cita yang ada di dalam diri-diri manusia karena Allah telah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Fushilat :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Qur’an) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(Fushilat:53)

Apa yang ada di alam semesta adalah gejala-gejala alam yang mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum alam dan apa yang ada di dalam diri kita mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum logika. Keduanya diperlukan untuk menmverifikasi (tabayun) Kebenaran Mutlak atau al-Haqq. Jadi ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan berada dalam sebuah kesatupaduan ilmu.

Obyek Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menyebut ilmu dalam konteks berbeda-beda ber­ulang kali, namun mengenai obyek ilmu manusiawi secara gamblang Allah menegaskan adanya dua obyek ilmu yang diajarkan pada manusia adalah al~Qur’an dan al-Bayan. Ini tertera dalam ayat berikut:

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(QS Surat Ar-Rahman 55:1-4)

Al-Qur’an dalarn ayat ini jelas bukan dalarn arti yang sempit yaitu al-Qur’an al-Karim, karena ini diajarkan Tuhan pada manusia pada umumnya, bukan pada kaum muslimin saja.

Karena itu, kembali ke arti luasnya yaitu bacaan. jadi obyek ilmu adalah bacaan, dan alat untuk memahami bacaan itu yaitu kemampuan berbahasa - juga dalam pengertian yang luas - atau al-Bayan. Bacaan dalam arti luas adalah kumpulan tanda-tanda yang punya arti, yaitu apa yang disebut sebagai al-ayat dalam Qur’an Suci di berbagai surat­nya. Secara eksplisit menyebutkan hal ini adalah firman Ilahi berikut:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (al-Quran) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(QS Surat Fushilat:53)

Dalam ayat Qur’an Suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahwa ayat-ayat itu ada di cakrawala-cakrawala (’afaq) dan di dalarn diri-diri (anfus) manusia. jelas terdapat dua kategori ayat yaitu yang berada di luar, disimbolkan dengan cakrawala, dan yang berada di dalam, disimbolkan oleh diri. Yang di luar adalah gejala-gejala alam, obyek ilmu-ilmu kealaman. Yang di dalam adalah gejala-gejala budaya, obyek ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dari ayat yang sama kita dapatkan bahwa kedua jenis ayat tersebut diciptakan agar kita mengenal dan memahami kebenaran (al­-Haqq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya al-Qur’an. Ilmu ini merupakan obyek ilmu tersendiri, yaitu ilmu-ilmu keagamaan.

Jadi kita mengenal tiga kategori ilmu-ilmu yaitu: ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan atau ketuhanan - bersesuaian peristilahan Qur’ani: ’Afaq, Anfus dan al-Haqq. Sebenarnya banyak lagi yang dapat kita simak dari ayat ini, tapi marilah sekarang kita cari bagaimana atau dengan alat apa kita pelajari ketiga kategori ilmu-ilmu tersebut.

Organ dan Metoda Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menegaskan ada tiga macam alat pengtahuan manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan – disimbolkan dengan al-Sam’a, al-Abshara dan al-Af’idah. Ini dapat diketahui dari ayat berikut­

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Kemudian Dia sempurnakan dan Dia tiupkan ruh ke dalamnya,
dan Dia adakan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati
dan hanya sedikit orang yang bersyukur.

(QS, Surat As-Sajdah, 32:9)

Kalau ditelaah artinya, maka kita dapat mengasosiasikan as­-Sam’a, al-Bashar dan al-Af’idah masing-masing dengan pengetahuan yang dirumuskan dalam kata-kata, pengetahuan visual dan pengetahuan aktual. Pengetahuan verbal yaitu. pengetahuan yang didapat melalui kata-kata dan dipahami secara rasional tanpa melihat sendiri. Pengetahuan visual adalah pengetahuan yang diperoleh me­lalui penglihatan setelah melakukan eksperimen terhadap obyek ilmu. Sedangkan pengetahuan aktual adalah pengetahuan yang diperoleh secara intuitif melalui aktivitas penerapan ilmu itu. sendiri.

Mata, telinga dan hati adalah simbol­simbol Qur’ani tentang alat-alat ilmu tersebut. Perolehan pengetahuan verbal dalam puncaknya menjadi me­toda spekulasi teoritis. Praksis untuk pengetahuan visual dimatang­kan dengan metoda observasi eksperimental. Sedangkan praksis pengetahuan aktual, dalam ilmu-ilmu modern, mengejawantah dalam metoda aplikasi teknik. Barangkah bisa diduga bahwa telinga, mata, dan hati tersebut juga merupakan simbol-simbol Qur’an untuk ketiga praksis ilmu modern tersebut.

Struktur Ilmu menurut Al-Qur’an

Akhir-akhir ini para ilmuwan Barat menyadari bahwa di balik ilmu pengetahuan modern terdapat filsafat dasar, apa yang mereka sebut sebagai paradigma, yang sering lebih tersirat daripada tersurat. Benarkah hal itu? Bagaimanakah menurut Qur’an Suci mengenai hal ini? Mungkin jawabannya terdapat dalarn ayat berikut:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

....Allah mewahyukan padamu al-Kitab dan al-Hikmat
dan mengajarkan padamu apa-apa yang tidak engkau ketahui.
Adalah karunia Allah Maha Besar kepada engkau.

(QS, Surat An-Nisa’, 4:113)

Berdasarkan.ayat ini jelas.terdapat perjenjangan al-Kitab, al-Hikmat, al-’Ilm yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi, dalam Islam, ilmu punya landasan, al-Hikmat, sedangkan al-Hikmat harus, berlandaskan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi puda rasul-rasulNya. Kalau dibandingkan dengan susunan ilmu pengetahuan modern, tampaknya al-Hikmat itu setara dengan apa yang disebut sebagai paradigma ilmu masa kini. Hanya saja, ia mempunyai arti yang lebih luas dan punya landasan yang lebih mendalam, yaitu al-Kitab.

Kesimpulan

Demikianlah filsafat dasar sains dalam Islam yang jika dilandaskan pada ayat-ayatNya yang tentu saja dapat menjadi lebih kokoh dan komprehensif jika dilengkapi dengan sunnah rasul, ’ilm para ’ulama dan hikmat para hukama. Pada kenyataannya Integrasi antara ilmu, hikmat dan sunnah rasul berlandaskan firman-firmanNya dalam al-Quran al-Karim itu telah membuat peradaban Islam berjaya dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan integratif yang tangguh dan kreatif seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ar-Razi, Ibn Haitam dan lain-lainnya.

Satu hal yang bisa diperhatikan dalam filsafat ilmu di atas adalah kenyataan mengenai adanya hirarki baik di dalam obyek maupun di dalam metoda sains dan juga di dalam struktur dan tujuan sains. Itulah sebabnya peradaban Islam mempunyai struktur hirarki dalam ilmu tasawuf , ilmu fiqh dan ilmu kalam maupun dalam hikmat. Mungkin saja bagi banyak orang struktur hirarkis ini merupakan sesuatu yang telah ditinggalkan bersamaan ditinggalkannya struktur monarki hirarkis di dunia politik. Namun pandangan hirarkis itu kini perlu dipulihkan sebagai reintegrasi sains, peradaban dan agama.

Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, para pembaca bisa menyempurnakannya sehingga Islam menjadi rahmatan li al-’alamin juga dalam dimensi-dimensi peradaban sains dan teknologi sehingga dapat memecahkan problematika global di abad ke-21 ini. Insya Allah. Amin ya Rabb al-’ alamin