Friday, May 21, 2010

Sains dan Islam

SAINS DAN ISLAM

Armahedi Mahzar © 2010

Di abad ke-21 ini, kita dimanjakan oleh teknologi. Oleh karena itu sering kita tidak dapat melihat apa hakekat teknologi dan kaitannya yang timbal balik dengan sains. Sains dan teknologi merupakan motor penggerak peradaban manusia modern. Antara keduanya terdapat sebuah hubungan saling mendorong yang berujung pada percepatan perkembangan keduanya. Kini kecepatan perkembangan menjadi sangat tinggi sedemikian rupa sehingga menorehkan sejumlah bayang-bayang yang menakutkan di masa depan. Walaupun begitu yang digembar-gemborkan media massa justru bahwa sains dan teknologi itu akan membuat semacam surga di muka bumi. Pandangan yang serba positif tentang sains dan teknologi ini dikenal juga sebagai pandangan positivisme.

Pandangan lain positivisme adalah bahwa sains adalah satu-satunya jalan untuk mengetahui realitas sebenarnya. Semua pengetahuan di luar sains adalah takhayul. Pandangan ini disebut para saintis sebagai obyektivisme. Namun para kritisi sains menyebutnya sebagai saintitis atau saintisme. Sudut lain dari pandangan positivisme adalah bahwa sains itu netral alias bebas nilai. Netralisme sains dianggap para saintis sebagai suatu yang positif. Namun para kritisi sains melihat itu sebagai dikhotomi antara fakta dan nilai atau antara sains dan etika.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk memperluas cakrawala sudut pandang kita dengan melihat sains dalam perpektif peradaban yang lebih luas di mana persoalan-persolan yang dibawanya diselesaikan dengan mengubah filsafat dasar dari kedua cabang peradaban itu. Sains diletakkan dalam landasan filsafat yang lebih menyeluruh daripada sekedar positivisme materialistik dan teknologi diletakkan dalam landasan etis yang religius yang meletakkan keduanya dalam perspektif yang lebih menyeluruh daripada humanisme sekularistik. Berikut ini akan diajukan sebuah pemikiran tentang sains dan teknologi dalam perspektif Islam berdasarkan pesan-pesan Ilahiyah yang tercantum dalam kitab suci al-Quran al-Karim.

Tujuan Ilmu Menurut al-Quran

Dikhotomi etika - ilmu menyebabkan krisis i1mu di bidang praktek, yang sering dijumpai di Barat. Kita dapat menghindari itu dengan menempatkan kembali i1mu ke dalarn konteks sosial dengan posisinya sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia. Selanjutnya konteks sosial itu harus diletakkan pula dalam konteks transendentalnya yaitu Islam.

Dalam konteks Islam, ilmu manusia harus ditujukan untuk bertakwa pada Allah SWT. Soalnya, semua ilmu adalah milik Allah, karena hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan Dia mengajarkan ilmu itu pada kita sebagai manusia. Inilah yang disampaikan Allah dalam penutup surat Al-Baqarah ayat 282 berikut ini

وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dan bertakwalah kepada Allah ;
Allah mengajarmu ;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(Al-Baqarah,2: 282)

Memang demikianlah, Allah telah mengajarkan ilmu itu pada kita seperti pada surat Ar-Rahman, ayat-ayat 1 sampai 4,

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(Ar-Rahman 1 s.d 4)

Disebutkan dalam ini ada dua jenis ilmu yaitu al-Qur’an yang bisa dibaca dan al-bayan yang bisa diucapkan. Yang dimaksud Allah di sini dengan al-Qur’an tentunya bukanlah Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat qawliyah saja, tetapi tentu saja juga al-Qur’an, atau bacaan yang benar terhadap ayat-ayat kawniyah yang berada di alam semesta sebagai cakrawala-cakrawala dan di alam cita yang ada di dalam diri-diri manusia karena Allah telah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Fushilat :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Qur’an) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(Fushilat:53)

Apa yang ada di alam semesta adalah gejala-gejala alam yang mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum alam dan apa yang ada di dalam diri kita mengikuti keteraturan yang disebut hukum-hukum logika. Keduanya diperlukan untuk menmverifikasi (tabayun) Kebenaran Mutlak atau al-Haqq. Jadi ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan berada dalam sebuah kesatupaduan ilmu.

Obyek Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menyebut ilmu dalam konteks berbeda-beda ber­ulang kali, namun mengenai obyek ilmu manusiawi secara gamblang Allah menegaskan adanya dua obyek ilmu yang diajarkan pada manusia adalah al~Qur’an dan al-Bayan. Ini tertera dalam ayat berikut:

(1) الرَّحْمَ
(2) عَلَّمَ الْقُرْآنَ
(3) خَلَقَ الإنْسَانَ
(4) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ

Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Pemurah ),
Yang telah mengajarkan al–Qur’an.
Menciptakan Insan.
Mengajarnya Al-Bayan.

(QS Surat Ar-Rahman 55:1-4)

Al-Qur’an dalarn ayat ini jelas bukan dalarn arti yang sempit yaitu al-Qur’an al-Karim, karena ini diajarkan Tuhan pada manusia pada umumnya, bukan pada kaum muslimin saja.

Karena itu, kembali ke arti luasnya yaitu bacaan. jadi obyek ilmu adalah bacaan, dan alat untuk memahami bacaan itu yaitu kemampuan berbahasa - juga dalam pengertian yang luas - atau al-Bayan. Bacaan dalam arti luas adalah kumpulan tanda-tanda yang punya arti, yaitu apa yang disebut sebagai al-ayat dalam Qur’an Suci di berbagai surat­nya. Secara eksplisit menyebutkan hal ini adalah firman Ilahi berikut:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا
فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ
أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami
di cakrawala-cakrawala dan pada diri mereka sendiri ,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (al-Quran) itu adalah benar (al-Haqq) .
Dan apakah Rabb-mu tidak cukup ( bagi kamu )
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

(QS Surat Fushilat:53)

Dalam ayat Qur’an Suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahwa ayat-ayat itu ada di cakrawala-cakrawala (’afaq) dan di dalarn diri-diri (anfus) manusia. jelas terdapat dua kategori ayat yaitu yang berada di luar, disimbolkan dengan cakrawala, dan yang berada di dalam, disimbolkan oleh diri. Yang di luar adalah gejala-gejala alam, obyek ilmu-ilmu kealaman. Yang di dalam adalah gejala-gejala budaya, obyek ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dari ayat yang sama kita dapatkan bahwa kedua jenis ayat tersebut diciptakan agar kita mengenal dan memahami kebenaran (al­-Haqq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya al-Qur’an. Ilmu ini merupakan obyek ilmu tersendiri, yaitu ilmu-ilmu keagamaan.

Jadi kita mengenal tiga kategori ilmu-ilmu yaitu: ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan atau ketuhanan - bersesuaian peristilahan Qur’ani: ’Afaq, Anfus dan al-Haqq. Sebenarnya banyak lagi yang dapat kita simak dari ayat ini, tapi marilah sekarang kita cari bagaimana atau dengan alat apa kita pelajari ketiga kategori ilmu-ilmu tersebut.

Organ dan Metoda Ilmu Menurut Qur’an Suci

Qur’an Suci menegaskan ada tiga macam alat pengtahuan manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan – disimbolkan dengan al-Sam’a, al-Abshara dan al-Af’idah. Ini dapat diketahui dari ayat berikut­

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Kemudian Dia sempurnakan dan Dia tiupkan ruh ke dalamnya,
dan Dia adakan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati
dan hanya sedikit orang yang bersyukur.

(QS, Surat As-Sajdah, 32:9)

Kalau ditelaah artinya, maka kita dapat mengasosiasikan as­-Sam’a, al-Bashar dan al-Af’idah masing-masing dengan pengetahuan yang dirumuskan dalam kata-kata, pengetahuan visual dan pengetahuan aktual. Pengetahuan verbal yaitu. pengetahuan yang didapat melalui kata-kata dan dipahami secara rasional tanpa melihat sendiri. Pengetahuan visual adalah pengetahuan yang diperoleh me­lalui penglihatan setelah melakukan eksperimen terhadap obyek ilmu. Sedangkan pengetahuan aktual adalah pengetahuan yang diperoleh secara intuitif melalui aktivitas penerapan ilmu itu. sendiri.

Mata, telinga dan hati adalah simbol­simbol Qur’ani tentang alat-alat ilmu tersebut. Perolehan pengetahuan verbal dalam puncaknya menjadi me­toda spekulasi teoritis. Praksis untuk pengetahuan visual dimatang­kan dengan metoda observasi eksperimental. Sedangkan praksis pengetahuan aktual, dalam ilmu-ilmu modern, mengejawantah dalam metoda aplikasi teknik. Barangkah bisa diduga bahwa telinga, mata, dan hati tersebut juga merupakan simbol-simbol Qur’an untuk ketiga praksis ilmu modern tersebut.

Struktur Ilmu menurut Al-Qur’an

Akhir-akhir ini para ilmuwan Barat menyadari bahwa di balik ilmu pengetahuan modern terdapat filsafat dasar, apa yang mereka sebut sebagai paradigma, yang sering lebih tersirat daripada tersurat. Benarkah hal itu? Bagaimanakah menurut Qur’an Suci mengenai hal ini? Mungkin jawabannya terdapat dalarn ayat berikut:

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

....Allah mewahyukan padamu al-Kitab dan al-Hikmat
dan mengajarkan padamu apa-apa yang tidak engkau ketahui.
Adalah karunia Allah Maha Besar kepada engkau.

(QS, Surat An-Nisa’, 4:113)

Berdasarkan.ayat ini jelas.terdapat perjenjangan al-Kitab, al-Hikmat, al-’Ilm yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi, dalam Islam, ilmu punya landasan, al-Hikmat, sedangkan al-Hikmat harus, berlandaskan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi puda rasul-rasulNya. Kalau dibandingkan dengan susunan ilmu pengetahuan modern, tampaknya al-Hikmat itu setara dengan apa yang disebut sebagai paradigma ilmu masa kini. Hanya saja, ia mempunyai arti yang lebih luas dan punya landasan yang lebih mendalam, yaitu al-Kitab.

Kesimpulan

Demikianlah filsafat dasar sains dalam Islam yang jika dilandaskan pada ayat-ayatNya yang tentu saja dapat menjadi lebih kokoh dan komprehensif jika dilengkapi dengan sunnah rasul, ’ilm para ’ulama dan hikmat para hukama. Pada kenyataannya Integrasi antara ilmu, hikmat dan sunnah rasul berlandaskan firman-firmanNya dalam al-Quran al-Karim itu telah membuat peradaban Islam berjaya dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan integratif yang tangguh dan kreatif seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ar-Razi, Ibn Haitam dan lain-lainnya.

Satu hal yang bisa diperhatikan dalam filsafat ilmu di atas adalah kenyataan mengenai adanya hirarki baik di dalam obyek maupun di dalam metoda sains dan juga di dalam struktur dan tujuan sains. Itulah sebabnya peradaban Islam mempunyai struktur hirarki dalam ilmu tasawuf , ilmu fiqh dan ilmu kalam maupun dalam hikmat. Mungkin saja bagi banyak orang struktur hirarkis ini merupakan sesuatu yang telah ditinggalkan bersamaan ditinggalkannya struktur monarki hirarkis di dunia politik. Namun pandangan hirarkis itu kini perlu dipulihkan sebagai reintegrasi sains, peradaban dan agama.

Mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, para pembaca bisa menyempurnakannya sehingga Islam menjadi rahmatan li al-’alamin juga dalam dimensi-dimensi peradaban sains dan teknologi sehingga dapat memecahkan problematika global di abad ke-21 ini. Insya Allah. Amin ya Rabb al-’ alamin

1 comment :

wak kaji Duan said...

k anda4 jempol untu