Friday, November 28, 2014

Kecerdasan Spiritual Danah Zohar

KECERDASAN SPIRITUAL DANAH ZOHAR

Armahedi Mahzar (c) 2000


Buku Danah Zohar https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-Smt7VdUvNsFq1eATq_W_Wq3jxlfjfTx-mk9BdYDavfDFGJ5dAgCWI8V5zywI6vjkMlRNw62xDwAEOJ-Osx3vpS5IikPyIRpf8F-XM0-1guzRpX4KzE-8Qpslh1WRSN1h6XAK/s320/danah.jpg telah terbit lagi. Buku itu berjudul sangat bombastis SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence (Bloomsbury, London 2000). Buku ini adalah bagian dari triloginya tentang holisme kuantum yang aplikatif untuk kehidupan sehari-hari. Pada buku pertama, the Quantum Self (Bloomsbury , London 1990), Zohar telah mendobrak elitisme fisika kuantum yang oleh Fritjof Capra dilebur dengan elitisme mistik Timur menjadi elitisme eksklusif mistisime zaman baru. Dengan bukunya itu, Zohar justru meletakkan proses kuantum di tengah kehidupan kita sehari-hari dengan menyatakan bahwa proses berpikir kita yang biasa dalam kehdupan sehari-hari, bukan hanya pengalaman mistik yang esoteris, pada dasarnya adalah sebuah proses kuantum. 

Pada bukunya yang kedua, the Quantum Society (Flamingo, London 1994), dia menyatakan bahwa masyarakat dunia harus ditata kembali menjadi sebuah masyarakat kuantum, yaitu sejumlah komunitas-komunitas kecil tatap muka yang berinteraksi secara dialogis serupa dengan model dialog internal yang terjadi dalam otak manusia. Dalam buku kedua ini dia mengatakan bahwa landasan fisika bagi kesadaran manusia adalah proses kondensasi Bose-Einstein kuantum sel-sel saraf yang menimbulkan koherensi gelombang listrik-magnet di otak.

Nah, buku Danah Zohar yang ketiga ini, SQ, adalah bagian terakhir, tentunya klimaks, dari trilogi holisme kuantum. Dalam buku ini, Zohar sekali lagi menggunakan otak sebagai model sentral untuk wacana besarnya, dan teorinya tentang holisme kuantum menjadi bingkai besar membayangi wacana  yang tabu di kalangan ilmuwan Barat yaitu mistisisme. Alih-alih berbicara tentang mistik yang metarasional, dia justru menggunakan konsep “inteligensi spiritual” yang suprarasional sebagai konsep sentral dalam wacana mistisisme terapan.  

Tampaknya, sudah menjadi kecendrungan  umum di dasawarsa-dasawarsa peralihan milenium ini untuk memperluas konsep inteligensi pada aspek-aspek kejiwaan yang pada waktu-waktu sebelumnya dianggap sebagai tidak rasional. Misalnya, Daniel Goleman mengajukan konsep inteligensi emosional. Kini, Danah Zohar mengajukan konsep inteligensi spiritual. Inteligensi spiritual dianggap sebagai bentuk inteligensi tertinggi yang memadukan kedua bentuk inteligensi terdahulu yaitu inteligensi intelektual dan inteligensi emosional.

Sebenarnya, konsep inteligensi spiritual yang berkaitan dengan makna hidup telah dibicarakannya secara sambil lalu pada buku-bukunya yang pertama dan kedua. Pada Quantum Self, Zohar berbicara mengenai visi kuantum tentang kosmologi dan teologi. Pada bab akhir bukunya yang kedua, the Quantum Society, Zohar melampirkan naskah pidatonya di depan di depan pertemuan Yayasan Kebudayaan Eropa di Helsinki bulan Mei 1994 pada akhir abad yang lalu, dia berbicara mengenai tiga jenis cara berpikir manusia yaitu berpikir logis rasional, berpikir asosiatif intuitif dan berpikir praktis kreatif. 

Di tahun 1997 dalam bukunya diluar trilogi kuantum, Rewiring the Corporate Brain, dia berbicara adanya tiga jenis cara berpikir yaitu berpikir serial, berpikir asosiatif dan berpikir kuantum. Di tahun 2000 konsep berpikir kuantum itulah menjelma menjadi “hyperthinking” atau inteligensi spiritual dalam bukunya SQ.  SQ adalah pelengkap dan penyepadu IQ dan EQ. Dengan demikian EQ, IQ dan SQ berkaitan dengan emosi, rasio dan spirit adalah trinitas psikologi baru yang menggantikan trinitas Id, Ego dan Superego yang diberikan Freud.

Namun suami Danah Zohar, psikiater Ian Marshall, bukanlah seorang psiko-analis Freudian. Dia adalah seorang Jungian yang juga psikolog humanistis. Trinitas Id, Ego dan Superego digantikan oleh trinitas Anima, Persona dan Diri. Berbeda dengan Id yang mencerminkan dorongan-dorongan hayawaniah, anima adalah sekumpulan potensi-potensi  manusiawi primitif yang berada di bawah kesadaran. Dan persona adalah topeng psikologis yang dikembangkan oleh ego seseorang dalam menghadapi lingkungannya.  Sedangkan Diri adalah pusat kesadaran dan ketidaksaran.

Berbeda dengan Freud dan Jung yang menganggap inteligensi hanya ada pada tataran ego dan person, pasangan suami istri Zohar-Marshall ini justru menganggap bahwa ketiga-tiga komponen psikhis mempunyai kecerdasan sendiri-sendiri. Id mempunyai kecerdasan emosional yang asosiatif, ego mempunyai kecerdasan intelektual yang rasional dan Diri mempunyai kecerdasan spiritual yang integratif. 

Ketiga bentuk kecerdasan itu, menurut Zohar dan Marshall, mempunyai akar-akar neurobiologis di otak manusia. Kecerdasan emosional ada di sistem limbik, alias otak dalam, yang terdiri dari thalamus, hypothalamus dan hippocampus. Kecerdasan intelektual ada di korteks serebrum alias otak besar. Sedangkan kecerdasan spiritual mempunyai dasar neurofisiologis pada osilasi frekuensi gamma 40 Hertz yang bersumber pada integrasi sensasi-sensasi menjadi persepsi obyek-obyek dalam pikiran manusia.

Tnetu saja dugaan Danah Zohar adanya korelasi antara osilasi Gamma dan kecerdasan spiritual sangatlah berlebihan. Soalnya integrasi sensasi menjadi persepsi obyek-obyek bukanlah komponen tertinggi pengalaman spiritual. Komponen utama spiritualitas bukan integrasi pada tahapan indrawi, akan tetapi unifikasi dan transendensi yang melampaui taraf intelektualitas. Sedangkan intelektualitas itu sendiri merupakan taraf perkembangan mental yang melampaui pengalaman obyek-obyek indrawi.

Tabel 1.
Tiga jenis kecerdasan dan proses psikologis yang menyertainya
. 

Kecerdasan
(organ)
Proses psikologis
(karakteristik)
Emosional
(Id)
Proses primer
(asosiatif)
Mental
(Ego)
Proses sekunder
(rasional)
Spiritual
(Diri Luhur)
Proses tersier
(integratif)

LANDASAN FISIKA KECERDASAN SPIRITUAL

Ketiga buku Danah Zohar mempunyai asumsi yang sama, yaitu asumsi bahwa kesadaran itu punya landasan di alam fisik. Asumsi dasar yang kedua adalah evolusionisme yang mengatakan bahwa kesadaran manusia adalah puncak kesadaran dari evolusi kesadaran fisik yang primordial. Dalam formulasi awalnya, di the Quantum Self, kesadaran fisik itu diidentifikasinya dengan kuantum medan-medan interaksi fundamental antar partikel elementer.  Dalam bukunya yang kedua, dia mengidentifikasi kesadaran fisik itu dengan sinkronisasi gelombang-gelombang otak.   

Dalam bukunya yang terakhir dia mengidentifikasi proto-kesadaran itu dengan partikel skalar Higgs, yang dihipotesakan oleh Higgs agar terjadi perusakan simetri spontan interaksi antar partikel fundamental yang ditandai dengan massa yang berbeda-beda antara quark dan lepton. Konon, menurut Zohar perusakan simetri ini merupakan awal primordial evolusi kesadaran yang berpuncak pada terbentuknya kecerdasan spiritual pada manusia.

Evolusi kesadaran itu berlangsung secara siklis dengan enam fase evolusioner diskrit yang tegas. Sebelum terjadinya perusakan simetri terdapat superstring yang disebut sebagai Era GUT (Grand Unified Field Theory). Era ini diawali dengan vakum kuantum dan berakhir dengan munculnya medan Higgs, yang diikuti oleh era kedua yaitu era quark. Era Quark berakhir dengan terbentuknya hadron-hadron yaitu partikel-partikel yang berinteraksi kuat.

Di antara hadron-hadron yang penting adalah nukleon (proton dan netron) dan pion (meson pi). Quark itu adalah bagian terkecil bagi nukleon yang merupakan batu bata inti-inti atom dan meson pi yang merupkan perekat nukleon dalam inti. yang kemudian bergabung dengan elektron-elektron membentuk atom-atom. Nukleon dan meson itu disebut sebagai hadron. 

Era ketiga, yaitu Era Atom, adalah era di mana hadron-hadron yang stabil membentuk inti atom yang kemudian bergabung dengan elektron menjadi atom-atom. Atom-atom ini, sangat beragam jenisnya, kemudian bergabung membentuk molekul-molekul yang jauh lebih beragam bentuk dan sifatnya. Molekul-molekul ini adalah bagian-bagian terkecil materi yang masih memiliki sifat-sifat keseluruhan.

Tabel 2.
Siklus Evolusi Kosmologis
menurut Danah Zohar
 

Vakum Kuantum
(Sunyata)
     Kecerdasan Spiritual
             Era Superstring
Kecerdasan Mental
                        Era Quark
  Kecerdasan Emosional
             Era Atom

Benda-benda makroskopik
(bumi)


Maka, dengan demikian, kita telah melukiskan sebuah proses terbentuknya materi makroskopis bersumber dari vakum kuantum yang oleh Danah Zohar diidentifikasikan dengan sunyata yaitu kekosongan mutlak dalam ajaran Budha. Proses selanjutnya pada evolusi kosmik adalah proses peningkatan kesadaran mulai dari tahap inteligensi emosional diikuti oleh tahap inteligensi mental dan berakhir pada tahap inteligensi spiritual yang berujung pada terbentuknya ruh semesta. Proses peningkatan kesadaran ini dapat diidentifikasi sebagai proses kembalinya proto-kesadaran ke sunyata yang diidentifikasi Zohar dengan  vakum kuantum.

Kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang dimiliki oleh hewan-hewan. Manusia memiliki kecerdasan emosional dalam kendali ego. Ego inilah yang mencapai kecerdasan mental yang bisa ditingkatkan menjadi kecerdasan spiritual dengan pembentukan diri yang utuh seperti yang dikenal oleh Carl Gustaf Jung, pendiri psikologi analitis,  sebagai proses individuasi. Suami Danah Zohar, Ian Marshal yang psikiater itu, adalah penganut psikologi analitis Jung yang kreatif. Bersama suaminya, Zohar mengidentifikasi ada enam tipe ego yang diidentifikasinya dengan enam cakra terrendah dalam tradisi Yoga dan melukiskannya secara indah dalam bentuk bunga teratai bertajuk enam, masing-masing tajuk  diidentikasi dengan ego tipe tertentu.

Pusat dari bunga teratai itu tak lain dari Diri yang utuh yang didefinisikan Jung sebagai terminal akhir proses individuasi. Pusat bunga inilah yang diidentifikasi oleh Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai cakra mahkota dalam tradisi Yoga. Yoga adalah jalan menuju terbukanya cakra mahkota itu. Dalam tradisi Yoga pembukaan cakra-cakra itu berjalan secara berurutan, mulai dari yang terrendah berakhir dengan yang tertinggi yaitu cakra mahkota. Dengan tersempurnakannya Diri manusia, manusia pun memperoleh kecerdasan spiritual.

EVALUASI KRITIS TEORI KECERDASAN SPIRITUAL

Teori psikologi Danah Zohar yang pada dasarnya adalah sebuah rekonstruksi terhadap psikologi analitis Jung dengan menggunakan teori kuantum sebagai model. Teori ini sebenarnya merupakan kontribusi besar bagi terbentuknya paradigma baru di milenium yang baru kita masuki ini. Zohar membawakan sebuah kisah besar evolusi kosmik ditengah teriakan garang para posmodernis yang mencanangkan berakhirnya kisah-kisah besar dipenghujung abad ke-20 yang lalu. Akan tetapi kisah evolusi spiritual kosmos telah lama ditembangkan di awal abad lalu sebelum pecahnya Perang Dunia II oleh Henry Bergson dengan evolusi kreatifnya, Pierre Teilhard dengan teori noogenesisnya, Aurobindo dengan Yoga integralnya, Alfred North Whitehead dengan filsafat organismenya. 

Teori evolusionisme spiritual bahkan disempurnakan oleh David Bohm dengan teori Holo-movementnya yang kemudian dikembangkan secara populer oleh banyak pemikir Zaman Baru seperti Gorge Leonard (The Silent Pulse 1991) dan Ken Wilber (Atman Project 1980) dengan psikologi transpersonalnya. Kebanyakan pemikir-pemikir zaman baru dipengaruhi oleh filsafat mistik Timur yang panteistik. Danah Zohar mencoba mengoreksi pemikir-pemikir zaman baru tersebut dengan cara memasukkan kembali spiritualitas dalam konteks keseharian dengan wacana religius yang monoteistik, di mana vakum kuantum dianggap sebagai wadah imanensi Tuhan yang transenden.

Lepas dari sumbangan positif Danah Zohar dan Ian Marshall dalam memulihkan kehidupan spiritual pada sehari-hari dengan argumentasi ilmiah sehingga dapat diterima oleh generasi milenium, barangkali ada baiknya memeriksa gagasan mereka dengan tradisi mistik tradisional secara mendalam. Misalnya adanya tiga inteligensi yaitu inteligensi emosional, inteligensi rasional dan inteligensi spiritual mengingatkan kita akan adanya tiga jiwa, yaitu nafs haywaniah, nafs nathiqah dan nafs qudsiyah, dalam filsafat Islam tradisional. Dalam tradisi tashawwuf ketiganya dikaitkan dengan nafs, aql dan qalb

Jadi apa yang diberikan kedua suami istri dari Inggris itu,sebenarnya, bukanlah suatu yang baru. Hanya saja dengan mengidentifikasi ketiga fakultas itu dengan inteligensi yang biasanya diasosiasikan dengan rasionalitas menunjukkan adanya kegamangan yang harus dicari sumbernya. Pernyataannya, bahwa intelligensi rasional dapat dimilik oleh komputer, tetapi tidak dengan EQ dan SQ, menunjukkan sumber kegamangan dan kegelisahan mereka. Membaca literatur kecerdasan buatan menunjukkan bahwa dalam paruh pertama abad ini komputer akan mencapai IQ yang sama dengan IQ manusia dan terus berlipat mengikuti hukum Moore. 

Prediksi futuristik robot-robot supercerdas itu tentunya akan menakutkan para evolusionis materialistis yang menganggap manusia sebagai puncak evolusi biologis dengan IQ sebagai mahkotanya. Penganut holisme, sayap kanan pemikiran pos-modernis Barat, yang mewarisi evolusionisme dari materialisme abad pencerahan, dengan sendirinya juga mengalami ketakutan yang sama. Untuk menangkal ketakutan itu maka diciptakanlah konsep inteligensi yang yang lebih besar dari inteligensi intelektual atau IQ. EQ adalah perluasan pertama. Dan SQ adalah perluasan terakhir yang disumbangkan oleh Danah Zohar dan suaminya. Dengan demikian, kini manusia dapat mengatakan dengan tenang bahwa komputer atau robot-robot masa depan tak akan dapat mencapai kecerdasan manusia seutuhnya. 

Dengan begitu, sebenarnya Danah Zohar telah memasuki dunia psikologi transpersonal, namun sayangnya ternyata dia masih terperangkap dalam kerangka pemikiran teoritis psikologi analitis tradisi Carl Gustaf Jung. Walaupun begitu, dia telah melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan Jung, yaitu membuat skematisasi yang kaku. Bahkan, untuk skematisasi itu, dia telah melakukan revisi dengan menggabungkan sensasi dan intuisi menjadi satu fungsi yaitu persepsi. Dengan demikian, dia telah mengganti keempatan kuaternitas, yang menurut  Jung adalah pengganti ketigaan atau trinitas, dengan keenaman atau heksitas. Padahal, jika dia melakukan perluasan yang konsisten terhadap psikologi analitis Jung, dia akan memperoleh suatu skema kedelapanan. 

Namun, tampaknya Danah Zohar lebih tertarik pada bunga teratai bertajuk enam ketimbang bunga teratai bertajuk delapan. Mungkin, apa yang diperolehnya adalah mandala pribadi yang mencerminkan milenium ketiga yang kita hadapi sekarang. Namun, mengikuti pola pikir Jungian, apa yang diperoleh Zohar mungkin saja merupakan cerminan arkhetipe bintang enam Daud yang ada di bawahsadar kolektif leluhurnya yaitu bangsa Yahudi. Walaupun begitu hal itu bukan berarti bahwa arkhetip itu tidak benar. Arkhetip bukanlah suatu  kebenaran, akan tetapi merupakan medium ekspresi bagi  formulasi kebenaran. Satu arkhetip tidak lebih benar dari arkhetip yang lain. 

Oleh karena berada dalam perangkap Jungian, dia tidak bisa menerima hirarki kesadaran yang melekat dalam setiap kesadaran Timur yang ditemukan kembali oleh para psikolog transpersonal. Itulah sebabnya, oleh Danah Zohar, keenam cakra yang, dalam tradisi Yoga tersusun secara berjenjang dari tempat kedudukan ke ubun-ubun, menjadi tersebar mendatar melingkar sebagai tajuk bunga dan dan cakra ketujuh sebagai pusat bunga.  Keenam tajuk itu diidentifikasikannya sebagai enam buah ego dan pusatnya dianggap sebagai representasi Diri. 

Di antara keenam tajuk ego dan pusat bunga diri itu terdapat enam tajuk arkhetipe Jung yang diidentifikasi Zohar dengan enam dewa-dewi dalam mitologi Yunani/Romawi yang diabadikan dalam enam benda langit, enam titik Sephirot dalam pohon Kehidupan Qabbalah  mistik Yahudi, enam sakramen Kristen dan enam cakra di bawah cakra mahkota dalam Kundalini Yoga. 

Dengan demikian, tampaknya, Danah Zohar ingin menunjukkan bahwa spiritualitas itu sebenarnya sama, kendati berkembang dalam konteks kultural yang berbeda, karena bersumber pada proses pemenuhan diri psikologis yaitu proses yang sama: proses individuasi. Namun sayang, dengan menyejajarkan semua simbol-simbol esoteris dalam satu bidang datar, dia telah menghilangkan sifat hirarkis kesadaran yang dipahami oleh hampir semua tradisi mistik sedunia.

ALTERNATIF ISLAMI KECERDASAN SPIRITUAL

Menyadari sinkretisme metodologis dan teologi panteistik  Danah Zohar bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita perlu melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap peta psikologi esoteris Danah Zohar. Pertama-tama kita harus mengembalikan struktur hirarkis ke dalam  upaya pemetaan psikologis. Disamping itu kita harus mengganti kosmologi panteistik  Zohar dengan yang monoteistik. Kita akan melakukan yang kedua terlebih dahulu. 

Siklus evolusi kosmologis Danah Zohar harus diganti dengan siklus evolusi-devolusi kosmologis sebagai berikut. Pada tabel ini  busur aliran penciptaan adalah dari atas kebawah. Dilihat pada kolom kiri proses penciptaan merupakan proses integrasi dan pada kolom kanan terdapat aspek diferensiatif proses penciptaan.

Tabel 3.
Siklus Evolusi/Devolusi Kosmologis
 
       Maha Pencipta
                Vakum
          
Partikel
      
Intiatom
           
Atom

Adiantara 
  
 Jagatraya
       
Galaksi
     
Bintang
          Molekul    

    Planet
                      Sel

Biosfera
   Organisme

Perbedaan siklus evolusi-devolusi kosmologis ini dengan siklus evolusi kosmologi Danah Zohar ada dua. Pertama, siklus evolusi devolusi kosmologis bersifat murni material, sedangkan siklus kosmologis Danah Zohar mencampurkan proses material dan mental dalam satu siklus. Kedua, siklus Danah Zohar tidak memasukkan Yang Maha Pencipta sehingga memberikan kesan panteistik. Sedangkan proses evolusi-devolusi kosmik tak lain dari proses penciptaan-penghancuran Ilahiah.

Selanjutnya kita pada kolom tengah kita dapat membuat satu garis menurun, Maha Pencipta berupa peniupan ruh pada organisme manusia, disamping itu kita dapat membuat garis tegak menaik sebagai lambang dari kembalinya ruh manusia ke padaNya. Proses menurun ini dapat kita sebut sebagai proses involusi, sedangkan proses menaik ini dapat kita beri nama sebagai proses envolusi. Dalam bahasa filsafat tradisional, proses involusi dikenal sebagai proses emanasi atau Tanazzul, sedangkan proses envolusi tak lain dari proses iluminasi mistik atau Taraqqi.

Dalam skematisme Zohar proses taraqqi itu bersesuaian dengan jalur naik “emosional=>mental=>spiritual=>ruh-semesta”. Dalam hal ini Zohar masih konsisten dengan hirarki psikologi tradisional. Akan tetapi jika dia tetap konsisten, maka dia akan meletakkan cakra-cakra yoga yang merupakan simbolisasi tingkat-tingkat kesadaran mistik itu juga secara vertikal. Sayangnya dia tidak konsisten, hirarki cakra dalam tradisi Yoga dirombaknya.

Hal ini, mungkin, karena tradisi pemikiran liberalisme demokratik dan egaliterisme modernistik telah begitu kuat pada bawah sadar Danah Zohar. Oleh karena itu, seperti halnya pada  banyak psikolog Barat modern yang lain, dia pun membuat keenam cakra Kundalini Yoga ada dalam satu dataran —atau dalam skema bunga teratai bertajuk enamnya, dalam satu lingkaran— yang menunjukkan kesetaraan tingkat-tingkat tersebut dan menyamakannya dengan tingkat arhetipal Jung.

Selanjutnya terjadilah ketidak-konsistenan kedua yaitu ketika dia mengubah perumusan jalur “emosional->mental->spiritual” pada siklus evolusi kosmik menjadi jalur “mental->emosional->spiritual” pada proses individuasi psikhik. Dalam hal ini, tampak pengaruh pemikiran psikologi analitis Jung yang dianut suaminya telah menghalangi proses pencerahan dirinya. Alih-alih menemukan sumber transendental di atas akal rasional, dia menemukan sumber imanen di bawah emosionalitas pada kehidupan atau, lebih dalam lagi, pada apa yang disebutnya sebagai proto-kesadaran.

Tampaknya kita harus mengoreksi Danah Zohar dalam hal ini, jika ingin merumuskan kecerdasan spiritual secara islami. Pertama-tama, mungkin kita harus mengembalikan ketujuh cakra Yoga itu secara vertikal, lalu menggantinya dengan ekivalennya dalam tradisi tashawuf Islam. Tradisi Islam tidak mengenal konsep cakra tetapi mengenal konsep Lathaif atau kumpulan lathifah. Nama-nama lathifah ini berbeda-beda untuk  thariqat yang berbeda, namun fungsinya sama yaitu sebagai representasi tingkat-tingkat kesadaran. 

Apa yang disebut sebagai cakra mahkota yang mencerminkan tingkat tertinggi kesadaran manusia, dalam tradisi tarekat dikenal sebagai nafs kamilah (2:177). Cakra terendah dalam Yoga bersesuaian dengan nafs ammarah (12:53). Sedangkan kelima cakra lainnya dari bawah keatas bersesuaian dengan tingkat-tingkat kesadaran yang disebut nafs lawwamah (75:1-2, 14:22), nafs mulhamah (91:78), nafs muthma’innah (89:27, 13:27-28), nafs mardhiyah (89:28, 92:18-20) dan nafs radhiyah (89:28, 92:21, 46:15). Syaikh al-Palimbani  misalnya menyatakan bahwa ketujuh nufus ruhiah itu dengan ketujuh lathaif: nafs, qalb, ruh, sirr, sirr as-sirr, khafi dan akhfa. 

Agar supaya kita dapat merujuk pada Quran lebih tepat, mungkin kita dapat mengganti urutan lathaif itu itu dengan alternatif berikut jism , nafs (12:53, 50:67), ’aql (67:10), qalb (2:225, 26:88-89), fu’ad (32:9), lubb (3:190, 12:111) dan ruh (19:17, 32:9). Ketujuh lathaif itu dapat letakkan pada jalur involusi menurun atau tanazul pada kolom tengah siklus envolusi-devolusi dengan jism diletakkan pada organisme dan ruh diletakkan pada haribaan MahaPencipta. Sedangkan ketujuh nufus ruhiah itu kita letakkan pada jalur envolusi menaik dari nafs ammarah, yang kesadarannya berpusat pada jism organisme, ke puncak kesadaran nafs kamilah yang berpusat pada Tauhid. 

Dengan skema tingkat kesadaran Islam yang baru kita buat ini, tampaklah apa yang disebut kecerdasan spiritual oleh Danah Zohar baru sampai pada tataran qalb atau nafs mulhamah yang bersesuaian dengan tataran makna atau meaning. Sedangkan tataran nilai-nilai yang  universal dan transendental dapat diidentifikasi dengan tingkat-tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yang tak dapat dicapai oleh enam jalur individuasi pada mandala teratai bertajuk enam yang diajukannya. Secara tabular kenyataan itu dapat dilukiskan sebagai Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4.
Envolusi Psikologis Kesadaran Islam

(dibaca dari bawah ke atas)
 

Nafs
Lathifah
Kecerdasan
Kamilah
Insan Kamil

Radhiyah
Ruh

Mardhiyah
Lubb

Muthma’innah
Fu’ad

Mulhamah
Qalb
Spiritual
Lawwamah
‘Aql
Intelektual
Ammarah
Nafs
Emosional

Sebenarnya, Danah Zohar bukannya tidak mengenal adanya tingkat-tingkat yang lebih tinggi dari Diri luhur yang menurut Jung merupakan pusat kesadaran pribadi. Dari siklus evolusi kosmologisnya, puncak evolusi itu bukanlah kecerdasan spiritual manusia, akan tetapi adalah ruh universal yang diidentifikasinya dengan vakum kuantum dan diinterpretasikannya sebagai sunyata sesuai dengan tradisi agama Budha yang dianutnya. Dengan demikian Zohar meletakkan dirinya sebagai seorang reformis zaman baru yang mensintesakan spiritualitas dan sains.

Dikembalikan ke tataran peradaban Islam, maka ruh universal versi Zohar itu harus digantikan dengan konsep ‘aql al-‘awal dalam filsafat tradisional Islam, atau Haqiqat al-Muhammadiyah dalam tradisi tashawuf. Dalam terminologi masa kini kita dapat mengidentifikasi ‘aql al-awal itu sebagai kesadaran kosmik, di mana pada fase milenium ini kesadaran kosmik itu masih terlalu jauh dari jangkauan. Akan tetapi tahap pertama menuju hal itu secara kolektif telah di depan mata kita. Pada tahap pertama ini spiritualitas individu cukup ditingkatkan menjadi spiritualitas kolektif dalam lingkup planeter. 

Kesadaran planeter yang mungkin bisa disebut kesadaran Gaia ini sebenarnya dapat diidentifikasikan dengan aql fa’al yang menurut tradisi filsafat Islam merupakan limpahan terakhir aql al-’awal yang diyakini oleh ahli hikmat Islam di masa lalu sebagai kecerdasan pengatur alam bawah bulan alias bumi kita ini. Dengan demikian ini berarti bahwa thariqah yang biasanya diidentifikasi sebagai proses pensucian diri atau tazkiyah al-nafsi harus diperluas menjadi tazkiyah al-madaniyati atau islamisasi peradaban. 

Tampaknya, misi Danah Zohar untuk melakukan spiritualisasi peradaban, jika diletakkan dalam konteks Islam, tidak lain dari pada parsialisasi tazkiyah al-madaniyati yang merupakan misi Rasulullah Muhammad SAW yang membawa Din al-Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin. Dengan demikian, penyakit krisis makna hidup yang di alami peradaban Barat dewasa ini dan menyebar dengan semakin gencarnya globalisasi di segala bidang, insya Allah, dapat ditangkal oleh dunia Islam apabila kita dapat memaknai dan menghayati Din al-Islam secara kaafah dan hakiki.

Kesimpulan 

  1. Danah Zohar dan Ian Marshall  adalah tokoh-tokoh zaman baru yang menyadari krisis spiritual peradabannya yaitu peradaban Barat modern yang sekuler yang paradigmanya berdasarkan paradigma Newtonian yang atomisitik.
  2. Kedua pemikir zaman baru itu berusaha memperbaiki peradabannya secara mendasar dengan menggantikan paradigma atomistik Newtonian dengan paradigma holistik relasional kuantum.
  3. Dengan reformasi paradigmatik ini keduanya mengharapkan terjadi transformasi personal melalui pemahaman diri, penyelenggaraan masyarakat dan penataan peradaban secara kuantum
  4. Untuk melakukan penataan kembali peradaban Barat, diperlukan transformasi personal para pembangun peradaban dengan mengembangkan kecerdasan spiritual yang mengatasi dan mengendalikan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang lebih rendah.
  5. Gagasan kecerdasan spiritual Danah Zohar dan suaminya itu ternyata masih menggunakan psikologi analitis Jungian yang dikombinasikan dengan psikologi humanistik yang digabungkan dengan mitologi dan mistisisme tradisional yang berasal dari Barat maupun dari Timur.
  6. Gagasan kecerdasan spiritual ini diintegrasikan dengan wawasan holisme kuantum yang menganggap evolusi jagatraya sebagai pengembangan fluktuasi kuantum vakum yang diidentifikasi dengan sunyata dalam agama Budha
  7. Dengan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi integralis disimpulkan bahwa Din Islam yang dipahami secara integral merupakan alternatif Islami bagi solusi terhadap krisis multidimensional yang bersumber pada krisis spiritualitas seperti yang dipahami Danah Zohar.

 
SUMBER PUSTAKA

  1. Ken Wilber The Atman Project,  The Theosophical Publishing House, Illinois 1980
  2. DR.M.Chatib Quzwain, MENGENAL ALLAH, sebuah studi mengenai ajaran tasawuf Syaikh 'Abdus-samad al-Palimbani, Bulan Bintang, Jakarta 1985Gorge Leonard The Silent Pulse, Bantam 1991
  3. Danah Zohar, Ian Marshal The Quantum Self, Bloomsbury , London 1990
  4. Danah Zohar, Ian Marshal The Quantum Society, Flamingo, London 1994
  5. Danah Zohar, Ian Marshal SQ, Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, Bloomsbury, London 2000 
Disempurnakan dari makalah yang disajikan pada
Seminar sehari: Spiritual Quotient dalam perspektif Tasawuf dan Psikologi
Himpunan Mahasiswa Psikologi IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 16 Desember 2000

Tuesday, November 25, 2014

Tazkiyatul Madaniyah

TAZKIYATUL MADANIYAH

ORIENTASI DAN ISLAMISASI PERADABAN

Armahedi Mahzar (c) 2000

Dalam era globalisasi multisektoral yang menggebu-gebu sekarang ini, dengan dampaknya berupa krisis multidimensional yang berkepanjangan dewasa ini, sudah tiba waktunya untuk tidak berpikir sektoral saja, apakah itu politik, ekonomi ataupun budaya. Soalnya apa yang kita digembar-gemborkan sebagai globalisasi itu tak lain dari westernisasi global yang terselubung. Memang tak semua yang berasal dari Barat buruk. Namun, ada baiknya jika kita mengenal peradaban Islam secara lebih mendasar, agar kita dapat menyaring aspek-aspek peradaban mana saja  dari peradaban Barat yang harus diambil, dimodifikasi dan ditolak. Dengan perkataan lain, perlukah kita melakukan orientasi dan islamisasi peradaban? Jika perlu, bagaimanakah caranya? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu marilah kita memeriksa terlebih dahulu apa peradaban itu sebenarnya.


PERADABAN DAN KEBUDAYAAN :
KERANCUAN, PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

Banyak sekali pengertian peradaban atau civilization diajukan orang. Antara “peradaban” dan “kebudayaan”  atau culture sering dirancukan orang. Kerancuan itu terjadi baik di rumpun budaya Melayu-Indonesia maupun di rumpun budaya Arab-Parsi di Timur Tengah. Mengapa sampai terjadi demikian? Sebabnya adalah karena di dunia Barat sendiri kedua konsep itu sering dikacaukan orang, sedangkan dalam sumber primer Islam, yaitu Quran dan Sunnah, konsep peradaban dalam pengertiannya yang sekarang belumlah ada, walaupun kata ‘adab yang dalam bahasa Indonesia merupakan akar kata dari “peradaban” memang ada. 

Namun dalam bahasa Arab modern sendiri kata civilization sering diterjemahkan menjadi kata 'madaniyyah' (Muhammad Abduh) atau 'tamaddun' (Abdul Jabar Beg) dan 'umran' (Ziauddin Sardar). Kata madaniyyah digunakan oleh cendekiawan Mesir Farid Wajdi untuk bukunya yang berjudul "Al-Madaniyyah wa al-Islam" (1899).  Kata ini juga digunakan oleh  Muhammad Abduh dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1910 berjudul "Al-Islam wa al-Nashraniyyah ma'al Ilmi wa al- Madaniyyah". Padahal, kata madaniyyah sendiri pertama kalinya digunakan oleh filsuf Islam Abu Nashr al-Farabi (meninggal 339 H) dalam bukunya tentang ilmu politik yaitu "al-Siyyasah al-Madaniyyah" dalam pengerian kehidupan kota atau urban.

Perubahan ma'nawi kata madaniyyah itu juga dialami oleh kata 'hadharah'. Pada mulanya kata 'hadharah' digunakan untuk pengertian kehidupan menetap oleh bapak ilmu sosiologi dari Tunisia, Ibn Khaldun, di abad XIV. Pada abad XX kata ini digunakan untuk penngertian civilization oleh penulis-penulis Arab seperti Kurd Ali ( "Al-Islam wa al-Hadharah al-Arabiyyah"), dan  Prof Jamaluddin Surur ("Tarikh al Hadharah al-Islamiyyah fi l-Syarq").

Sementara itu penulis Arab lainnya lebih suka menggunakan 'tamaddun' untuk menterjemahkan kata peradaban. Misalnya Jurji Zaidan menulis buku Ta'rikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam). Kata itu menjadi populer di kawasan Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia. Tetapi di kawasan Indo-Pakistan, para penulis di sana menggunakannya untuk pengertian kebudayaan atau kultur, bukan untuk peradaban. 

Pendapat ini senafas dengan pemikir muslim dari Libanon, 'Effat al-Sharqawi, yang menulis:

"Kebudayaan (hadharah), menurut kami adalah khazanah historis yang terefleksikan dalam kredo dan nilai, yang menggariskan bagi tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, yang jauh dari kontradiksi-kontradiksi ruang dan waktu. Sedang peradaban (madaniyah) adalah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia dari peringatan penyerahan diri terhadap kondisi-kondisi alam di sekelilingnya". (Filsafat Kebudayaan Islam , Pustaka 1983 hal. 6  )

Begitu juga pemikir brilian Ikhwanul Muslimin Sa'id Hawwa berpendapat sama ketika dia berkata :

".... madaniah (peradaban) suatu bangsa berarti aspek material yang ada pada bangsa ini. .... tsaqafah (kebudayaan suatu bangsa berarti aspek lain dari kehidupan bangsa itu sendiri .... hadharah suatu bangsa berarti gabungan tsaqafah dan  madaniahnya."  (Agar Kita Tidak Dilindas Zaman, Pustaka Mantiq, Jakarta 1989, hal 95).


HAKEKAT DINUL ISLAM:
SUPER-PARADIGMA PERADABAN

Oleh karena kerancuan konseptual itu penulis menjajukan sebuah stratifikasi kebudayaan lapis empat sebagai berikut:
Ringkasnya , kebudayaan itu dapat dianggap sebagi suatu sistem integral yang terdiri dari empat buah subsistem yaitu: 1. Subsistem teknikal atau tata sarana ( kebudayaan bendawi)2. Subsistem institusional atau tata lembaga (pola perilaku yang nampak)3. Subsistem ideasional atau tata cita (pola tersirat bagian luar)4. Subsistem valuasional atau tata nilai (pola perilaku tersirat bagian dalam). (Integralisme : sebuah rekonstruksi Filsafat Islam, Penerbit Pustaka 1983, hal 86)
Dan selanjutnya kita dapat memandang peradaban sebagai kebudayaan yang lebih kompleks dan lebih luas wilayahnya. Dengan susunan terstratifikasi seperti ini, kita bisa memandang ummat sebagai tubuh dari peradaban dan teknologi sebagai pakaiannya. Tetapi kita juga menggabungkan ummat dengan lingkungan hidupnya, yang alami maupun buatan sebagai tubuh peradaban yang disebut sebagai madinah Dengan sudut pandangan ini susunan eksistensial peradaban selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1.   Komponen pertama peradaban adalah madinah sebagai aspek ekoteknologis peradaban, yaitu ummah beserta lingkungan hidupnya, meliputi subsistem-subsistem populasi, pemukiman, teknologi dan ekologi. Komponen ini juga sering disebut sebagai madaniyah yang merupakan bentuk material suatu peradaban.
2.  Komponen kedua adalah tamaddun sebagai aspek sosiologis berupa proses interaksi sosial antar anggota ummat yang meliputi subsistem-subsistem politik (siyasah), ekonomi , sosial, seni budaya dan lain sebagainya. Komponen ini juga sering disebut sebagai hadharah yang merupakan struktur sosial suatu peradaban.
3.      Sedangkan komponen ketiga adalah hikmat sebagai aspek ideologis yaitu sistem informasi, pengetahuan dan gagasan untuk menata tamaddun meliputi subsistem-subsistem ideologi (maktab), filsafat (hikmah), ilmu pengetahuan (ulum), teologi (kalam), mitologi  dan lain sebagainya. Komponen ini sering disebut tsaqafah yang merupakan kerangka intelektual suatu peradaban.
4.   Akhirnya, komponen keempat adalah Din sebagai aspek aksiologis yaitu sistem nilai, keyakinan yang mengarahkan dan membingkai hikmat, meliputi subsistem-subsistem yuridis, etis, estetis dan lain sebagainya. Komponen Din ini merupakan landasan fundamental suatu peradaban.  Dinul Islam meliputi Aqidah, Syari’ah dan Thariqah.
Dinul Islam sendiri bukanlah suatu sistem nilai yang terbentuk secara evolusioner dari konsensus-konsensus sosial antar manusia, akan tetapi merupakan wahyu Ilahi transendental, Quranul Karim, yang merupakan sumber luhur nilai-nilai Aqidah, Syari’ah dan Thariqah. Aqidah merupakan sistem kepercayaan merupakan bingkai bagi pemahaman dan landasan bagi syari’ah. Syari’ah sendiri merupakan sistem nilai dasar bagi pengamalan sosial yang terintegrasi dengan dengan pengabdian vertikal seorang muslim. Sedangkan Thariqah adalah metoda untuk menimbulkan motivasi vertikal bagi pengamalan sosial secara terpadu.
Ringkasnya, struktur peradaban Islam dapat dilukiskan seperti pada Tabel 1 berikut ini
Tabel 1
Fundamental Peradaban Islam
Komponen peradaban
Peradaban
Islam
Elemen
Peradaban
Aspek Ekotekologis
(Bentuk material)
Ummah, Madinah, Alat
(=Madaniyah)
Penduduk, Pemukiman,
Ekologi, Teknologi
Aspek Sosiologis
(Struktur sosial)
Tamaddun
(=Hadharah)
Sosial, Ekonomi,
Politik dll
Aspek Ideologis
(Kerangka intelektual)
Hikmat, ‘Ilm, Maktab
(=Tsaqafah)
Filsafat, Ilmu, Seni,
Ideologi dll

Aspek Aksiologis 
(Landasan fundamental)

Aqidah, Syari’ah, Thariqah
(=Din)
Nilai, Prinsip, Norma
(Agama,Etika,Estetika  dll)
Esensi Teleologis
(Substansi spiritual)
Quran,
Sunnah
Sumber
Nilai


HIKMATUL WAHDATIYAH :
PARADIGMA KEILMUAN ISLAM

Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan tampak bahwa kedudukan kerangka intelektual suatu peradaban terletak tepat ditengah bentuk material dan substansi spiritual peradaban, dan juga tepat di antara struktur sosial dan landasan fundamental peradaban. Sesungguhnyalah, pemilihan kerangka intelektual yang tepat itu sangat penting, sebab tanpa kerangka yang tepat kita akan cenderung terperangkap oleh materialisme kapitalistik dan sosialisme sekuler di satu pihak, serta fundamentalisme religius dan spiritualisme mistik di lain pihak.

Islam jelas tidak akan terperangkap pada bentuk-bentuk ekstremitas  parsial tersebut, oleh karena Imam Al-Ghazali telah menunjukkan dengan gamblang bahwa terdapat empat aspek non-material manusia yaitu ruh, qalb, ‘aql dan nafs sebagai pelengkap aspek material manusia yaitu jism alias tubuh fisik. Para mutashawif dan ahli hikmat sesudah beliau kemudian meletakkan kelima komponen individu itu dalam suatu hirarki yang lebih halus dan kompleks. Namun, bagi penyusunan kerangka paradigma epistemologis untuk sains modern yang islami, hirarki integralitas individu seperti yang ditampilkan pada kolom pertama tabel 2 berikut ini agaknya cukuplah memadai.

Tabel 2
Struktur Paradigma Keilmuan Islami
Insan
Kalam
Fiqh
Tasauf
Ilmu
Hikmat
Ruh
Dzatullah
Quran
Haqiqah
(Transendentalitas)
Illat thammah
Qalb
Sifatullah
Sunnah
Ma’rifah
Universalitas
Illat gha’iyah
‘Aql
Amrullah
Ijtihad
Thariqah
Rasionalitas
Illat surriyah
Nafs
Sunnatullah
Ijma’
Syari’ah
Operasionalitas
Illat fa’iliyah
Jism
Khalqillah
Urf
Aqidah
Obyektivitas
Illat maddiyah

Perlu diperhatikan bahwa struktur lima strata kepribadian insan, jika dibaca dari bawah ke atas, sejajar dengan struktur lima strata peradaban Islam pada Tabel 1 dibaca dari atas kebawah. Maksudnya jism individu bersesuaian dengan aspek material peradaban, sedangkan ruh individu bersesuaian dengan aspek spiritual  peradaban. Selanjutnya nafs, ‘aql dan qalb individu bersesuaian dengan aspek-aspek sosial, intelektual dan moral peradaban. Dengan demikian, kesepaduan peradaban Islam dan individu-individu  penggeraknya merupakan suatu keniscayaan yang tak terbantahkan.

Dengan mengidentifikasi kesejajaran kelima strata individu dan peradaban itu dengan lima strata konsep Allah dalam Kalam, lima sumber hukum dalam Fiqh dan lima jalan pengabdian dalam Tashawuf, maka kita melihat kesepaduan individu dan ulumuddin sebagai bagian integral dari peradaban Islam. Yang perlu ditekankan ialah kenyataan bahwa keempat strata terendah hirarki psikologi, sosiologi dan ideologi tradisisional itu bahkan juga bersesuaian dengan empat strata struktur epistemologi sains modern, yaitu: obyektivitas, operasionalitas atau empirisitas, rasionalitas dan universalitas sains modern. Dari kesejajaran parsial ini, kita dapat melihat keunggulan sekaligus kelemahan sains modern.

Dengan memasukkan unsur transendentalitas ke dalam sains modern yang kita peroleh dari barat itu sebagai ulumuddunya dan menyepadukannya  dengan ulumuddin, maka kita memperoleh ulumul islamiyah. Ulumul Islamiyah ini sebenarnya sepadu juga dengan Hikmatul Islamiyah melalui konsep stratifikasi illat atau kausalitas yang diajarkan oleh Hikmatul Masya’iyyah yang merupakan islamisasi  dari filsafat helenisme. Maratibul Illat atau hirarki kausalitas membentuk jenjang dari Illat Maddiyah (Causa Materialis) ke Illat Thammah (Causa Prima), melaui Illat Fa’iliyah (Causa Eficiens), Illat Suriyyah (Causa Formalis) dan Illat Gha’iyah (Causa Finalis).   
Dengan menyepadukan kembali ilmu kealaman, ilmu keagamaan dan filsafat, melalui kesepaduan maratibul ‘ulum, dalam ‘ulumul islamiyah, dan maratibul wujud, dalam hikmatul islamiyah, kita tiba pada filsafat Wahdatul Ulum atau Hikmatul Wahdatiyah yang merupakan aspek terpenting Hikmatul Islamiyah. Hikmatul Wahdatiyah atau filsafat kesepaduan tradisi Islam di masa lalu telah menjadi paradigma epistemologis dua kurun kebangkitan peradaban Islam: kurun ‘arabi dan kurun ‘ajami. Kini ketika dunia memasuki milenium tiga dengan segala keanekaragam, percepatan dan ketidakpastian perubahan di masa depan, sudah tiba waktunya cendekiawan muslim kurun ‘alami menyumbangkan paradigma ilmu yang sepadu bagi dunia keilmuan modern sebagai penganti paradigma sains modern yang dualistik parsial yang melahirkan kegalauan fraktal peradaban Barat posmodern dewasa ini.


ULIL ALBAB:
PEMBANGKIT PERADABAN ISLAM MASA DEPAN

Siapakah cendekiawan muslim yang akan mempersembahkan kunci rahasia penyelesai kemelut fragmentasi posmodern di awal milenium ini? Dialah para ulil albab yang deskripsinya telah diuraikan dengan jelas oleh Allah subhana wata’ala dalam Al-Quranul Karim seperti berikut:
Adakah (sama dengan lainnya) orang yang berbakti pada Allah pada waktu malam, seraya sujud dan berdiri, lagi takut akan (siksa) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbinya? Katakanlah apakah sama orang-orang berilmu dengan orang-orang yang tak berilmu. Sesungguhnya tidaklah ingat kecuali ulil-albab (Quran Suci, Az-Zumar 39:9)
Dari uraian itu jelas dapat kita uraikan adanya tiga aspek kepribadian yang harus dikembangkan oleh seorang ulul albab. Ketiga aspek kepribadian itu tercermin dalam tiga sikap hidup sebagai seorang ‘abid, seorang ‘alim dan seorang ‘arif .

Seorang ‘abid senantiasa melayani sesama makhluk hidup dalam pengabdian atau ibadahnya kepada Sang Pencipta. Seorang ‘alim meningkatkan pelayanan kemanusiaan para ‘abid dengan cara mencari cara-cara baru yang lebih murah, mudah dan ramah lingkungan melalui penelitian mengenai ayat-ayat Allah yang ada di cakrawala atau ‘afaq alam fisik. Sedangkan orang-orang ‘arif selalu membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam diri-diri mereka atau anfus dengan maksud untuk mengalahkan hawa nafsu yang kini telah meluar tubuh melalui perkembangan teknologi yang didorong oleh mekanisme ekonomi pasar bebas global.

Tabel 3
Sikap, peran, sarana dan metoda ulil albab
Sikap
Peran
Albab
Din
‘arif
Waliyullah
Qalb
(Spiritual Intelligence)

Thariqah

‘alim
Khalifatullah
‘Aql
(Intelectual Intelligence)

Aqidah

‘abid
Abdullah
Nafs
(Emotional Intelligence)

Syari’ah



Seorang ulul ‘albab adalah seorang yang sekaligus ‘abid, ‘alim dan ‘arif. Sebagai seorang ‘abid, dia berperan sebagai abdullah yang segala perilaku dan tindakannya disesuaikan dengan Syari’ah yang mengendalikan nafs-nya. Begitu pula, sebagai seorang ‘alim, dia berperan sebagai khalifatullah fil ardh yang mengembangkan kreativitasnya dalam bingkai aqidah yang mengendalikan ‘aql-nya. Akhirnya, sebagai seorang ‘arif dia berperan sebagai waliyullah yang menjelajahi kedalaman dirinya dengan metoda thariqah yang membersihkan qalb-nya sehingga dapat memantulkan cahaya Kebenaran dan Kebijaksanaan dalam kehidupannya sehari-hari.
Dalam bahasa yang populer sekarang, seorang ulul albab harus mengembangkan Intelligence Quotient, Emotional Quotient dan Spiritual Quotient secara selaras, seimbang dan sepadu sehingga hubungannya secara vertikal, horisontal dan internal dengan Allah subhana wata’ala dapat berlangsung secara optimal.  Dalam bahasa religius keislaman, seorang ulul albab adalah seorang muslim, mu’min dan muhsin yang seutuhnya sehingga dia mencapai taraf seorang muttaqin sejati yang menjalankan Dinul Islam secara kaafah.

ARKANUL ISLAM:
INTI STRATEGIS TAZKIYATUL MADANIYAH

Dinul Islam harus diimplementasikan dalam sebuah proses pengamalan Islam. Dalam tataran individu hal itu dilakukan dengan melaksanakan Arkanul Islam. Rukun Islam yang lima itu tidak hanya mempunyai dimensi vertikal sebagai kegiatan ibadah dalam rangka membina pribadi muslim yang kaafah, tetapi juga dimensi horisontal sebagai kerangka dasar bagi kegiatan mu’amalah membangun peradaban Islam.

Tasyahud, yaitu rukun pertama, tak lain dari komitmen individu untuk mengabdi pada Allah Yang Maha Esa, yaitu Tauhid, dan komitmen individu untuk melaksanakan Dinul Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad dengan cara meneladaninya sehingga dapat melakukan transformasi religio-kultural lingkungannya sebagai rahmatan lil alamiin. Sebagai penebar rahmat bagi seluruh bangsa, pribadi muslim menyampaikan pesan salam (kedamaian) melalui aslama (penyerahan diri total) pada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Esensi tasyahud ini adalah Tazkiyatun-Nafsi, penyucian diri adalah pasrah pada Kasih Sayang Ilahi menyalurkan Kasih-SayangNya pada segala CiptaanNya. Dalam konteks islamisasi peradaban, tahap ini berarti melakukan reorientasi dan rekonseptualisasi semua pemikiran, pemahaman dan pengamalan pribadi kita menjadi islami.

Shalat lima waktu, sebagai rukun kedua, tak lain dari komitmen individu untuk melaksanakan pengabdian secara berkelompok. Pembentukan jama’ah shalat di keluarga dan di masjid secara tertib waktu adalah sarana dari pembentukan molekul-molekul peradaban jika kita menggunakan metafor ilmu kimia. Jika kita menggunakan metafor komputer. Pembentukan jama’ah yang harmonis adalah sinkronisasi banyak prosesor sehingga dapat berfungsi secara kooperatif dalam bentuk modul-modul multi-prosesor meta-komputer peradaban.Jadi esensi shalat secara mu’amalah adalah Tazkiyatul Jama’ati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ini berarti melakukan studi dan aksi kelompok dalam islamisasi salah satu cabang peradaban tertentu sesuai dengan bidang studi dan bidang kerja masing-masing.

Shaum, sebagai rukun Islam ketiga, tak lain dari pembentukan solidaritas sosial berbagai kelompok itu sehingga muncul kerjasma tolong menolong antara kelompok yang lebih mampu pada yang kurang mampu. Dalam metafor kimia ini berarti memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing molekul untuk membentuk reaksi kimia kompleks jalin-menjalin yang menata-diri (self-organized) menjadi sel-sel biokimia.  Dalam hal peradaban reaksi kimiawi itu berupa berbagai masyarakat atau institusi sosial dengan fungsi berbeda-beda. Jadi shaum pada dasarnya adalah Tazkiyatul Ijtima’i atau penyucian masyarakat. Dalam konteks islamisasi peradaban, ini berarti melakukan kerja sama antar kelompok studi dan aksi islamisasi cabang peradaban yang sama membentuk suatu masyarakat keilmuan dan kebudayaan Islam.

Zakat, sebagai rukun Islam keempat, tak lain dari pembersihan harta seorang muslim dari apa yang bukan haknya. Untuk pelaksanaan zakat ini diperlukan lembaga sentral yang bisa menangani ketidakseimbangan pendapatan dari berbagai masyarakat dan kelembagaannya sehingga terjadi keseimbangan. Dalam metafor biologis, peradaban memerlukan satu organ yang memonitor dan mengoptimalkan kinerja organ-organ lainnya. Dalam hal peradaban Islam, pemerintahan merupakan instintusi sosial yang diperlukan untuk itu. Penggabungan berbagai institusi sosial dalam suatu sistem negara merupakan proses Tazkiyatul-Ummati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ini berarti berbagai masyarakat keilmuan dan kebudayaan Islam yang berbeda terintegrasi membentuk suatu dewan budaya keagamaan Islam yang terpusat dalam skala kebangsaan.

Hajj adalah rukun kelima yang tak lain dari pelepaskan kotak-kotak kenegaraan, kebangsaan dan stratifikasi sosial melebur dalam suatu upacara suji mengelilingi Ka’bah dan lain sebagainya bersatu dengan jama’ah dari berbagai negara dan bangsa. Dalam metafor komputer, ini setara dengan peleburan satu sistem dengan sistem-sistem lainnya dalam suatu meta-sistem jaringan komputer yang tidak tergantung pada sistem operasi masing-masing komputer melalui satu protokol komunikasi antar-sistem yang sama. Peleburan komputer-komputer dalam satu meta-komputer bernama internet adalah analog bagi peleburan negara-negara melalui warganya dalam suatu peradaban global. Jika hajj adalah puncak ibadah individual yang melambangkan pembangkitan peradaban Islam atau Tazkiyatul Manadiyati. Dalam konteks islamisasi peradaban, ini berarti bahwa berbagai dewan budaya keagamaam Islam bangsa-bangsa sedunia menjalin jaringan informasi, komunikasi dan kooperasi sebagai sistem saraf dan organ kebangkitan peradaban Islam di masa-depan .

Tabel 4
Rukun Islam sebagai
Inti Strategi Islamisasi Peradaban
Rukun
Syahadah
Shalat
Shaum
Zakat
Hajj
Hakekat
Mu’amalah
Tazikyatul
Nafsi
Tazkiyatul
Jama’ati
Tazkiyatul
Ijtima’i
Tazkiyatul
Ummati
Tazkiyatul
Madaniyati


PENUTUP


Dengan demikian, kesimpulannya, Arkanul Islam dapat dipandang sebagai inti strategis untuk Tazkiyatul Madaniyati, atau islamisasi peradaban, yang bersifat mu’amalah sebagai pelengkap fungsi ubudiah-nya. Dalam hal ini tazkiyatul madaniyati dapat dilihat sebagai perluasan tazkiyatul nafsi yang biasa dilakukan oleh kaum sufi. Hal ini perlu dilakukan oleh karena tubuh-luar manusia yang kini, dalam tahap perkembangan teknologi informasi, telah terintegrasi sangat ketat membentuk sebuah super-organism dengan organ-organ sosial dan teknologis. Jika Tazkiyatul Nafsi adalah perjuangan melawan logika organ-organ endo-somatik manusia alias naluri biologis, maka Tazkiyatul Madaniyati adalah perjuangan melawan logika organ ekso-somatik manusia alias dorongan/tarikan tekno-ekonomis dalam bentuk berbagai pesona konsumtivisme materialistik yang dibujukkan lewat media telekomunikasi massa global.

Menjadikan tempat kerja kita sebagai medan Tazkiyatul Madaniyati adalah bentuk perjuangan yang sangat berat. Perjuangan itu menjadi bertambah berat jika lingkungan teknologis itu telah menjadi lebih cerdas bahkan melebihi kecerdasan manusia. Akan tetapi, dengan mengasah qalbu kita untuk dapat menjalankan Dinul Islam sebagai sistem operasi super-cerdas ilahiah, maka, insya Allah, perjuangan itu dapat dimenangkan oleh kaum muslimin. Dengan demikian sebuah peradaban Islam yang kuat dan damai akan dapat menjadi teladan bagi peradaban-peradaban lainnya.

Pembangunan peradaban Islam adalah misi kita dunia sebagai kelanjutan implementasi program komputasi evolusiner kosmik yang terstruktur secara hirarki fraktal. Proses evolusi semesta adalah implementasi dari program Kun Fayakun Sang Maha Pencipta. Proses evolusi semesta ini berlangsung secara bertahap dari evolusi kosmologis, geologis, biologis, psikologis, sosiologis dan teknologis. Kini kita tiba pada satu fase di mana ke empat tahap terakhir evolusi semesta itu bergulung menjadi satu sebagai ujian bagi manusia untuk mengatasi problematika yang ditimbulkannya. Kaum muslimin dengan modal Dinul Islam tertantang untuk berjuang membuktikan keunggulan peradaban Islam sebagai alternatif pemecahan masalah. Semoga perjuangan kita mendapat ridha Allah subhana wa ta’ala. Amin ya Rabbal alamin.

Bandung, 21 September 2000
Islamic Studies of Economics Group
Universitas Padjadjaran  Bandung