CINDUR MATO (Cerita Rakyat Sumatra
Barat)
Oleh A.A. Navis di ceritakan kembali
oleh Sita S.Priyadi
RABU, 14 NOV. 2012 – SITA
BLOG: Adik-adik! Kali ini kakak akan
bercerita tentang kisah Cindur Mato yaitu Salah satu cerita rakyat dari Sumatra
Barat yang jalan ceritanya patut kita jadikan pelajaran dalam menyikapi hidup
di era sekarang ini. Beginilah ceritanya!
Menurut yang empunya
cerita, tersebutlah suatu kerajaan di
Minangkabau yang bernama Pagaruyung.
Tahta kerajaan itu diduduki oleh seorang wanita bergelar Bundo Kandung.
Ia mempunyai anak tunggal bernama Dang Tuanku . bundo Kandung juga mempunyai
seorang saudara yang menjadi raja muda di ranah Sikalawi. Untuk memelihara
hubungan, Dang Tuanku ditunangkan dengan anak Raja Muda yang bernama Puti
Bungsu.
Pada suatu hari, istana
Pagaruyung menjadi gempar karena berita yang dibawa pedagang keliling. Berita
itu berisi bahwa Puti Bungsu akan menikah dengan Imbang Jaya, anak Tiang
Bungkuk, raja dari Sungai Ngiang. Di Sikalawi juga tersebar berita bahwa Dang
Tuanku menderita penyakit nimbi (penyakit
kulit). Penyakit itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya dan tidak dapat
dissembuhkan lagi. Itulah sebabnya Raja Muda bersedia menjodohkan Puti Bungsu
dengan Imbang Jaya. Lagi pula Imbang Jaya semartabat dengan Dang Tuanku. Mereka
sama-sama anak raja. Juga tersebar berita bahwa jalan antara Pagaruyung dan
Sikalawi tidak dapat dilalui. Imbang Jaya telah memerintahkan penyamun untuk
berjaga-jaga di pesawangan (tempat
sepi antara desa-desa), supaya tidak seorang pun dapat lewat.
Bundo Kandung marah
mendengar berita itu. Ia segera memerintahkan orang untuk menabuh bedug istana
untuk memanggil para pembesar kerajaan. Setelah semua para pembesar kerajaan
hadir, Bundo Kandung menceritakan berita itu. Bundo Kandung sangat gusar pada
perlakuan adiknya, Raja Muda. Gusar karena memutuskan pertunangan kedua anak
mereka tanpa pemberitahuan. Mereka akhirnya sepakat untuk menyelidiki apa yang
sesungguhnya terjadi di Sikalawi. Kata mereka,
“Mungkin
berita itu hanya fitnah untuk mengadu domba Bundo Kandung dengan Raja Muda.
Oleh karena itu, perlu dikirim utusan ke sana.”
“Kita
memerlukan utusan khusus. Utusan itu haruslah orang yang pemberani dan cerdik,”
usul
salah seorang yang hadir.
Akhirnya mereka sepakat
memilih Cindur Mato untuk menjadi utusan. Dialah penjaga istana yang paling
setia. Cindur Mato adalah anak Lenggo Geni, dayang kesayangan Bundo Kandung.
Selain setia, Cindur Mato juga berhati tulus. Ia juga teman seperguruan Dang
Tuanku, pendekar yang tidak ada tandingannya. Dengan sedih Bundo Kandung
melepas Cindur Mato. Bundo Kandung member berbagai nasehat sebelum Cindur Mato
pergi. Pada malam sebelum kepergiannya, Cindur Mato dibisikkan sesuatu oleh
Dang Tuanku. Tak seorang pun yang tahu apa yang dibisikkan kepadanya.
Menurut
yang empunya cerita, Cindur Mato pergi dengan membawa Gumarang, kuda sembrani
berbulu putih. Kuda itu dapat berlari kencang dan dapat melompat tinggi. Ia
juga membawa kerbau bernama Binuang. Jika kerbau itu membunyikan genta yang
tergantung dilehernya, bertaburanlah lebah yang bersarang di lehernya. Lebah
untuk mementak (menyengat) musuh. Dibawanya juga ayam berbulu putih bernama
Kinatan. Ayam sabungan (aduan) yang mengalahkan seluruh lawannya. Ayam yang
kokoknya sangat keras.
Setelah lama berjalan,
siang dan malam, akhirnya Cindur Mato tiba di pesawangan menjelang Sikalawi. Ketika melewati bukit Tambun Tulang,
segerombolan penyamun tiba-tiba menghadang. Perkelahian Cindur Mato melawan
para penyamun yang berjumlah banyak berlangsung tidak seimbang. Lambat-laun
Cindur Mato terdesak dan kehabisan tenaga. Dengan suara pelan, Cindur Mato
berseru,
“Wahai
Binuang, goyang-goyangkanlah gentamu.” Bagaikan mengerti,
Binuang pun menggoyangkan genta yang tergantung di lehernya. Lalu,
berhamburanlah lebah berbisa keluar dari telinganya. Lebah berbisa itu
menyengat para penyamun sehingga mereka lari tunggang langgang. Cindur Mato
kemudian melanjutkan perjalanan. Menjelang tengah malam dia sudah sampai di
Sikalawi.
Tidak menunggu pagi,
Cindur Mato segera mengendap-endap masuk ke dalam itana. Ia langsung
membangunkan Puti Bungsu yang sedang tidur pulaas. Dengan berbisik, Cindur Mato
menceritakan maksud kedatangannya. Disampaikannya juga pesan dari Dang Tuanku
pada malam sebelum keberangkatannya. Katanya,
“Dang
Tuanku berpesan kepadaku supaya Kak Puti kubawa ke Pagaruyung.”
“Baiklah.
Kapan kita pergi?” Puti Bungsu bertanya.
“Sebaiknya
sekarang juga,” jawab Cindur Mato.
Tanpa berpikir panjang,
Puti Bungsu pergi mengikuti Cindur Mato menuju Pagaruyung. Pagi harinya, istana
Raja Muda menjadi gempar. Dayang-dayang istana tidak menemukan Puti Bungsu di
kamarnya. Telah dicari ke seluruh peloksok istana, tetapi Puti bungsu tidak
ditemukan. Berita itu tersebar sampai ke luar istana. Akhirnya, berita itu
didengar Imbang Jaya. Dia telah mendapat kabar dari salah seorang penyamun
Bukit Tambun Tulang bahwa Cindur Mato tidak mampu mereka hadang. Imbang Jaya
menjadi yakin bahwa Puti Bungsu dibawa ke Pagaruyung. Imbang jaya segera
melompat ke punggung kudanya. Hulubalangnya
(pengawal) mengikuti di belakang. Imbang Jaya bukan putra sembarang raja.
Ia putra raja yang kebal dan kejam. Dipacunya kuda agar berlari kencang.
Kemudian Imbang Jaya mengejar Cindur Mato. Pertarungan pun berlangsung dengan
seru dan seimbang. Namun akhirnya, ketika desta
(ikat kepala) Imbang Jaya jatuh ke tanah, kesaktiannya tiba-tiba punah.
Cindur Mato segera menusukkan belatinya. Imbang Jaya jatuh ke tanah dan tewas
seketika itu juga.
Setibanya di
Pagaruyung, Cindur Mato dimarahi Bundo Kandung karena ia telah melanggar
perintah. Ia kemudian diadili oleh
Pembesar Empat Balai. Akan tetapi, pengadilan itu tidak menghasilkan satu
keputusan pun. Oleh karena itu,
pengadilan keesokan harinya dipimpin langsung oleh Bundo Kandung. Bundo Kandung
ingin menyelesaikan secepatnya. Hal itu
untuk menjaga agar jangan sampai peristiwa itu menjadi keributan.
“Persoalan
yang terberat bukanlah masalah Cindur Mato menculik Puti Bungsu. Persoalannya
adalah Imbang Jaya tewas dibunuh oleh Cindur Mato. Tiang Bungkuk pasti marah
besar dan akan membalas.” Bundo Kandung melanjutkan kata-katanya.
“Tiang
Bungkuk bukan raja yang dapat diajak berunding. Dia akan datang ke sini untuk
menuntut balas atas kematian anaknya. Itu yang pertama. Kedua, dia merasa terhina karena tunangan
anaknya diculik. Apa pembelaan kita?”
Kemudian Badaro dari
Sungai Tarab, anggota Empat Balai yang tertua, mengusulkan Cindur Mato
diperintahkan meninggalkan Pagaruyung.
Meninggalkan Pagaruyung dan pergi ke Indra Pura.
“Jika
Tiang Bungkuk datang, kita katakana bahwa Cindur Mato telah dibuang menurut hukum
adat kita. Mengenai tewasnya Imbang Jaya, Tiang Bungkuk tidak dapat menuntut
kita. Imbang Jaya tewas karena berkelahi.” Demikian keputusan pertemuan itu.
Mendengar anaknya tewas
dibunuh Cindur Mato di Bukit Tambun Tulang, Tiang Bungkuk marah bukan
kepalang. Dikerahkannya pasukan ke
Pagaruyung untuk membalas dendam atas kematian anaknya. Akan tetapi, Pagaruyung adalah kerajaan yang
tidak mempunyai tentara. Jika melawan,
mereka akanmati. Oleh karena itu, mereka
kemudian lari menyelamatkan diri ke Lunang.
Pagaruyung telah
menjadi kosong dan sunyi ketika Tiang Bungkuk sampai. Orang yang ditugaskan menanti kedatangan Tiang Bungkuk ialah Raja
Dua Sila, yaitu Raja Adat dan Raja Ibadat.
Mereka bertugas untuk membujuk Tiang Bungkuk agar bersedia
berdamai. Akan tetapi, Tiang Bungkuk belum
juga puas. Dendam kesumat atas
kematian Imbang Jaya tak juga hilang.
Pagaruyung dibakarnya habis menjadi debu.
Ketika Tiang Bungkuk
kembali ke Sungai Ngiang, dia membawa serta seorang anak muda yang bertingkah
-laku seperti orang gila. Akan tetapi,
pemuda itu memiliki banyak ilmu. Anak muda itu bukan lain adalah Cindur Mato
yang sedang menyamar. Jika ada orang
yang patah tulang atau terkilir, ia
mampu menyembuhkannya dengan cepat dengan mengurutnya pada bagian yang
terkilir. Cindur Mato mengurutnya sambil bernyanyi dengan suaranya
yang merdu. Tiang Bungkuk sangat
menyukainya. Jika Tiang Bungkuk sakit, dan
tubuhnya merasa pegal-pegal Cindur Mato yang memijatnya. Ia memijat sambil bernyanyi hingga Tiang Bungkuk tertidur pulas. Karena hubungannya dengan Tiang Bungkuk sudah
semakin akrab, akhirnya Cindur Mato mengetahui rahasia kesaktian Tiang Bungkuk. Ternyata rahasia kesaktian Tiang Bungkuk
terletak pada keris pusaka saktinya yang bernama “Si Bungkuk” yang menyebabkannya selalu menang dalam perang. Dengan demikian satu-satunya senjata yang
dapat mengalahkan dan membunuh Tiang Bungkuk ialah keris bungkuk miliknya
sendiri. Akhirnya dalam satu kesempatan saat
Tiang Bungkuk tertidur pulas setelah dipijat, Cindur Mato mencuri keris pusaka
Tiang Bungkuk lalu ditikamkan ke tubuhnya sehingga Tiang Bungkuk tewas saat itu
juga.
Menurut yang empunya
cerita, Istana Pagaruyung dibangun kembali oleh Cindur Mato. Dia kemudian diangkat menjadi raja. Bundo Kandung dan Dang Tuanku serta Puti
Bungsu tidak pernah kembali lagi dari Lunang.
Mereka meninggal dan dikuburkan di sana.
Sampai sekarang oleh masyarakat setempat, makamnya dianggap keramat. [Sita
S.Priyadi]
Referensi: A.A. Navis, “Cerita Rakyat dari Sumatra
Barat”. Penerbit Grasindo. Jakarta: 1994.
http://gemahripahst06.blogspot.com/2012/11/mengupas-secuil-sejarah-minangkabau.html
Catatan
http://gemahripahst06.blogspot.com/2012/11/mengupas-secuil-sejarah-minangkabau.html
Catatan
- Bundo Kanduang adalah gelar bagi Puti Panjang Rambut II. Ia adalah putri dari Tuanku Maharaja Sakti Dewang Pandang Putrawana, sepupu Ananggawarman
- Dang Tuanku'Sultan Remendung' adalah Raja Pagaruyung, putra Bundo Kanduang dengan Bujang Salamat alias Hyang Indera Jati dari dinasti Makhudum di Sumanik. Dia ditunangkan dengan Puti Bungsu, sepupunya, anak dari pamannya Rajo Mudo alias Sutan Saktai Gelar Rajo Jonggor, yang berkuasa di Renah Sekalawi (Lebong)kira-kira kurang lebih 40 km dari lunang sbg Raja Jang Tiang Pat ke I (petuloi Tubey)
- Cindua Mato seperti Dang Tuanku terlahir setelah ibunya, Kembang Bendahari, sepupu dari Bundo Kandung. Karena itu dia juga dapat dipandang sebagai saudara Dang Tuanku.
- Imbang Jayo adalah raja Sungai Ngiang, rantau Minangkabau sebelah selatan yakni di sekitar Sangir dan Kerinci. Dia berusaha merebut Puti Bungsu, yang sudah ditunangkan dengan Dang Tuanku, dengan menyebarkan desas-desus bahwa raja Pagaruyung tersebut menderita penyakit.
- Tiang Bungkuak adalah ayah Imbang Jayo yang sakti dan kebal. Namun pada akhirnya Cindua Mato menemukan kelemahannya.
3 comments :
Siapakah Imbang Jaya?
"Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan
Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci,
Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah
lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu."
http://m.kompasiana.com/post/jalan-jalan/2012/03/14/kerak-emas-cincin-api/
Edisi cetak tertua kaba ini adalah yang dicatat oleh van der Toorn, Tjindur Mato, Minangkabausch-Maleische Legende. Edisi ini hanya memuat sepertiga saja dari manuskrip asli yang tebalnya 500 halaman. Pada 1904 Datuk Garang menerbitkan edisi lengkap kaba ini di Semenanjung Malaya, dalam aksara Jawi. Edisi ini mirip dengan versi van der Toorn. Edisi Datuk Garang didasarkan pada manuskrip milik keluarga seorang Tuanku Laras di daerah Minangkabau timur.[2] Edisi lain adalah Saripado (1930), Madjoindo (1964), Endah (1967), Singgih (1972) dan Penghulu (1982). Cerita ini juga telah disadur ke dalam bentuk sandiwara oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam Esten, 1992).
http://id.wikipedia.org/wiki/Kaba_Cindua_Mato
Imbang Jaya adalah Raja Kecil yang berkuasa di Lebong.
Cerita Cindur Mato ini menceritakan konstelasi politik di Minangkabau era abad ke 15 pertangahan. Sekitar 1440 masehi 1460 masehi.
Tiang Bungkuk adalah bekas panglima kerajaan Yuan Mongol yang lari ke pedalaman Kerinci saat dikejar Laksamana Cheng Ho saat dinasty Yuan runtuh dan digantikan Dinasy Ming.
Post a Comment