Tuesday, December 01, 2015

PERDEBATAN ANTARA AL-GHAZALI DENGAN IBNU RUSYD

PERDEBATAN ANTARA AL-GHAZALI DENGAN IBNU RUSYD

METODE, ARGUMENTASI DAN IMPLIKASI PERDEBATAN TERSEBUT TERHADAP PEMIKIRAN DUNIA ISLAM, FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSYD.


A.    RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI (1058-1111 M).
 
Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ghazali Ath-Thusi, biasa dipanggil Abu Hamid. Gelarnya Hujjatul Islam   dan  Zaenuddin.
Dilahirkan di Thabrani, sebuah desa di Thusi Khurasan pada tahun 450 H.
Dia seorang yang cerdas, teliti, sempurna jasadnya, istimewa pendapatnya, kuat hafalannya dan mengasai makna-makana yang mendalam.
Pergi ke Naisabur untuk belajar kepada Imam Haramain Juaeni, lalu berpindah ke Baghdad mengajar di Madrasah Nidzamiyah,  kemudian pergi ke Hijaz, Syam, Mesir dan akhirnya kembali ke tempat asalnya.
Dia seorang yang ahli dalam bidang fikih Syafi’I, teologi, tafsir, tasauf, filsafat dan sya’ir-sya’ir Arab. Disamping itu juga mendalami berbagai ilmu pengetahuan sampai mengauasai dengan sempurna.
Di akhir-akhir hayatnya sering menyendiri untuk mengarang kitab. Karyanya yang diberi judul Al-Basith merupakan kitab fikih madzhab Syafi’i, kitab ini kemudian  diringkas lagi menjadi  Al-Wasith,  yang diringkas lagi menjadi  Al-Wajiz,  dan diringkas lagi menjadi Al-Khulashah. Disebutkan dalam syairnya :
Mazhab diikat dalamkhabar yang mana Allah telah menamatkannya dan Basith, Wasith, Wajiz dan Khulashah
Kitab karangannya mencapai dua ratusan, diantaranya :  Ihaya Ulumuddin, Yqut at-Ta’wil fi Tafsiri at-Tanzil, Tahafutu al-Falasifah, Al-Muqidz min al-Dhalal, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad  dan Fadhaihu al-Batiniyyah.
Dia wafat di Thabrani pada tahun 505 H[i]


B.     RIWAYAT HIDUP IBNU RUSYD (1126-1198 M)

Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga khirnya menjadi Averroi   [ii] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.  [iii]
Sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut :
1.      Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal,  berisikan korelasi antara agama dan filsaft
2.      Al-Kasyf ‘an Manahij-al_Adillah fi “Aqa’id al-Millat,  berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.      Tahafut al-Tahafut,  berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahaful al-Falasifah
4.      Bidayatut al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,  berisikan uraian-uraian di bidang fiqh.  [iv]
C.     KRITIK  AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Jaringan Islam Liberal dalam sebuah Pengajian Ramadhan, membedah kitab-kitab Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Dalam bedah kitab tersebut disebutkan :    
“ Kitab setebal seribuan halaman itu menurut Guntur Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang metafisika dan ketuhanan yang dibahas Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di antaranya, menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang mempelajarinya menjadi zindik. Sementara tiga masalah yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam, keterbatasan ilmu Tuhan pada hal yang universal, dan kebangkitan jasmani pada hari kiamat.”
Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut aktivis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak fair. Pasalnya pendapat para filosof tentang masalah metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami dengan logika teologis. “Perdebatan para filosof itu adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman terhadap filsafat”, tegasnya.
Sebagaimana penjelasan di atas,  disebutkan juga bahwa dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi (257-337 H.)   dan Ibnu Sina (362-429 H / .).  [v]
   Al-Farabi (850-950 M); lahir di Wasij suatu desa di Farab (Transoxiana) pada tahun 870 M (Nasution, 1973:26), meninggal pada tahun 961 M dalam usia 8o tahun (Hoesin, 1981:32). Al-Ahwani justru menyatakan bahwa al-Farabi lahir pada tahun 850 M dan meninggal pada tahun 950 M. Dikenal di Eropa dengan nama Alpharabius. [vi]Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh, yang biasa disingkat saja menjadi Al-Farabi. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.[vii]
Sedangkan Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[viii] Ia dikenal dengan gelar-gelar besar, seperti Amir al-Aththiba, Syaikhal-Rais, dan Hujjah al-Haq (Nasr, 1986:17, Hoesin, 1981 :35). Di Barat, ia terkenal dengan nama Avicenna.  Ayahnya seorang pegawai tinggi di Dinasti Samaniah.  [ix]
Tentang penciptaan alam, Ibnu Sina berpendapat sbb :
Adapun cara penciptaan Tuhan terhadap makhluk-Nya, ibnu Sina mengikuti pendahulunya, al-Farabi, bahwa ala mini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Dengan teorinya ini, Ibnu Sina tidak menerima teori yangmengatakan bahwa ala mini diciptakan dari tiada menjadi ada atau creation ex nihilo. (Ensi, 1993,II:167). [x]
Pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti ini, belakangan dikonter oleh Al-Ghazali dengan tulisannya Tahafut al Falasifah (kekacauan para Filosof). [xi]
Ringkasnya, al-Ghazâlî sebagai seorang `Asyâ’irah dan sufi berpendapat bahwa ada tiga (3) perkara yang membuat para filosof menjadi kafir, yaitu
1)      kepercayaan mereka bahwa alam itu qadîm;
2)      bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara yang juz`îyyât;
3)      pengingkaran meraka terhadap kebangkitan tubuh-tubuh di akhirat kelak.
Pendapat Al-Ghazali mengenai hal-hal di atas sbb :
Pertama , tentang alam :
a. Tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakannya. Sementara itu ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut Al-Ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi memilih sesuatu dari yang lainnya yang sama. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya yang baru dari zat yang qadim. Alasannya, iradah Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh waktu atau tempat. Hal ini sesuai dengan ta’alluq  (hubungan) –nya yakni pada yang mungkin.
b. Memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptatakan Allah. Zaman adanya setelah adanya alam sebab zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam.
c. Menurutnya alam senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saan dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa ala mini selamanya (kadim) tentu ia tidak baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan. [xii]
    Kedua , tentang Tuhan tidak mengetahui yang Juz’iyyaat  (Parsial)
    Menurutnya Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak zaman azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan. [xiii] Untuk memperkuat argumennya, Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya :
وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء وَلاَ أَصْغَرَ مِن ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
( يونس : 61 )
Artinya :
Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)  (QS. Yunus [10] : 61)
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
  (الحجرات : 16)
Artinya :
...... padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujarat [49] : 16)
Ketiga, tentang É kebangkitan jasmani di akhirat :
Menurut Al-Ghazali tidak ada alas an untuk menolak terjadinya kebangkitan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman :
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
  ( السجدة : 17 )
Artinya :
 Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah [32] :17)
Kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara’ (agama) dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun  tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan.
                                                           
D.    ARGUMENTASI IBNU RUYSD DALAM MENYANGGAH KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam tiga persoalan itu, Ibnu Ruysd memberikan bantahan-bantahannya terhadap pendapat al-Ghazali  sebagai berikut :
1. Qodimnya Alam
Bagi masalah yang pertama, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang kepercayaan mereka akan alam itu qadîm. Salah satu hujjah yang dikemukakan al-Ghazâlî adalah mustahil wujudnya alam itu qadîm yang bersamaan wujudnya Allah yang juga qadîm. Ini dikarenakan Allah menjadikan alam. Berarti alam itu hudûts, yang asal mulanya dari tidak ada menjadi ada (الإيجاد من العدم).
Jawaban Ibn Rusyd dalam masalah ini, bahwa al-Ghazâlî salah faham akan qadîmnya alam menurut filosof. Menurut filosof, alam itu qadîm di dalam makna qadîm yang berbeda dengan qadîmnya Allah, yaitu yang ada (alam) menjadi sesuatu yang ada dalam bentuk yang lain (alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada sebelumnya). Ini dikarenakan, penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.[xiv]
Jadi, menurut pemikiran filosof muslim, dikala  Allah menciptakan alam sudah ada  seuatu selain Allah. Dari sesuatu yang ada itulah alam diciptakan Allah.
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd mengemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an : QS. Al-Anbiya [21]:30; Hud [11]:7 ; Fushshilat [41]:11; dan Al-Mu’minun [23]:12-14. [xv]
1) . Alquran, Surah al-Anbiyâ`, ayat 30:
  أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُون
( الأنبياء : 30)
 Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?  (QS. Al-Anbiya [21]:30)
2) . Alquran, Surah Hûd, ayat 7:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.....  ( هود : 7 )
. Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah `Arsy-Nya di atas air (Hud [11]:7)
;
3) . Alquran, Surah Fushilat, ayat 11:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ  ... ( فصلت : 11 )
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, …(Fushshilat [41]:11)
4) Al-Mu’minun [23]:12-14) 
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ﴿١٢﴾ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ ﴿١٣﴾ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ﴿١٤﴾
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minun [23]:12-14)
      2. Allah tidak mengetahui Perincian yang Terjadi di Alam
Bagi masalah yang kedua, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui perkara yang juz`îyyât (partikel).
Dalam menjawab masalah ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa al-Ghazâlî salah faham sebab tidak ada filosof muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan Allah SWT bersifat qadîm (Allah mengetahuinya sejak azali). Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat hâdits. Begitu juga pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.
Begitu juga menurut Ibn Rusyd. Pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz`î dan kullî. Juz`î adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kullî mencakup berbagai jenis. Kullî bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal.
Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz`î dan kullî.  [xvi]
3.       Kebangkitan jasmani di akhirat .
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani. [xvii]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini didasari hadis “إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد” Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijmak, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijmak ulama secara pasti.

E.     IMPLIKASI PERDEBATAN TERHADAP PEMIKIRAN DUNIA ISLAM
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur   dengan   Baghdad   sebagai  pusat  pemikiran  menjauhi falsafat.  Apalagi  di  samping  pengkafiran  itu  al-Ghazali mengeluarkan  pendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf,  bahwa  bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang  sesudah serangan  al-Ghazali  tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat
F.      FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSYD.
Filosof muslim pasca Ibnu Rusyd, antara lain adalah Al-Suhrawardi( wafat tahun 1191 M ), , Ibnu “Arabi (1165-1240 M) , Shadr al-Din Al-Syirazi (1572-1641 M),  Muh. Iqbal (1873-1938 M). Muthahhari(1919-1979M), dan Mohammad Arkoun (1928-.
           
1.      Al-Suhrawardi ( w. 1191 M)
                        Al-Suhrawardi nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya al-Suhrawardi. Tahun kelahirannya belum dapat diketahui secara pasti, namun tahun wafatnya adalah 1191 M. Filofof yang berasal dari Alepo ini dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh) atau al-Syahid (sang Syuhada), karena kematiannya dihukum bunuh. Ia merupakan filosof pasca Ibn-Rusyd yang inti pemikirannya terletak pada usahanya untuk mempertahankan kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika, serta  kewajiban para pencari kebenaran yang sungguh-sungguh  untuk mencari kebanaran dari manapun sumbernya; baik dalam filsafat Yunani , pemikiran Persia Kuno, Neo Platonisme Muslim maupun sufismne [xviii]
            Karya-karyanya dalam bidang filsafat antara lain :
Ø  Al-Masy’ari
Ø  Hikma al-Isyarat
Ø  Al-Muqawamat
Ø  At-Tahwihat
Ø  Hikmat al-Isyraq
2.  Ibnu “Arabi (1165-1240 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn. Ali Ibn. Ahmad Ibn. ‘Abdullah al-Tha’l al-Hatimi. Ia lahir di Mursia, Andalusia Tenggara, dari seorang keluarga pejabat, hartawan, dan Ilmuwan.[xix]
Bagi Ibn. ‘Arabi, manusia adalah cermin (tajalli) yang sempurna bagi diri-Nya, karena manusia dapat memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat yang ada pada Diri-Nya, sedangkan makhluk lain, hanya mampu memantulkan sebagian nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ada manusia yang kualitasnya sangat sempurna sebagai cermin Tuhan, mareka ini adalah para nabi. Puncak paling kesempurnaan cermin adalah Nabi Muhammad saw.  [xx]


3.      Shadr al-Din Al-Syirazi (1572-1641 M)
Shadr al-Din al-Syirazi lahir di Syiraz pada tahun 1572 dan dikenal dengan nama Mulla Shadra. . Ia kemudian pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abu’lQasim Fendereski (w.1640). Tetapi pada ahirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada sebuah sekolah agama (madrasah) yang didirikan oleh gubernur Provinsi Fars. Dikatakan bahwa ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan meninggal di Bashrah pada tengah perjalanan sepulang naik haji yang ke tujuh kalinya pada tahun 1641.
Karya-karyanya antara lain :
Ø  Komentar kitab Hikmat Al-Isyraq nya Al-Suhrawardi
Ø  Komentar kitab al-Hidayah fil al-Hikmah Atsir al-Abhari
Ø  Huduts ( tentang penciptaan dalam waktu)
Ø  Al-Hasyr
Ø  Kasr al-Hikmah al-Muta’aliyah
Ø  Al-Masya’ir
Ø  Kasr ashnam al-Jahiliyah
Ø  Al-Asfar al-Arba’ah
4.      Muh. Iqbal (1873-1938 M)
                  Namanya Muhammad Iqbal. Ia lahir di Sialkot Punyab, Pakistan, pada tanggal 9 Nopember 1877 M. Ia seorang keturunan Brahmana  dari Kasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad. Ibunya bernama Imam Bibi. Kakeknya bernama Sheikh Muhammad Rafiq. Iqbal meningal dunia pada 20 April 1938 M. [xxi]
     Ia mempelajari filsafat dari seorang orientalis Inggris bernama Thomas W. Arnold. Iqbal memperoleh gelar doctor dengan desertasi berjudul The Development of Metaphysics in Persia. Terkenal sebagai penyair, praktisi dan pemikir.
Karya-karyanya antara lain :
Ø  Arrar-l Khudi (Rahasia Pribadi), Buku puisi karya pertamanya dalam bahasa Persia. Terbit tahun 1915     .Berisi tentang Konsep Insan Kamil
Ø  The Development of Metaphysics in Persia. Karya desertasi yang terbit pada tahun 1908 M. Berisi sejarah perkembangan keagamaan di Persia sejak zaman Zoroaster hingga Mulla Hadi dan Sabzawar.
Ø  Rumuz-l Bikhudi. Terbit tahun 1918 M. Kealnjutan tentang Insan Kamil
Ø  Teh Reconstruction of Religious Though in Islam.Berisi tentang pembuktian secara filosofis pengalaman keagamaan, terutaman tentang Tuhan, makna sholat, ego manusia, kemerdekaan dan keabadian.
Ø  Dll.

5.      Muthahhari(1919-1979M)


Ia adalah seorang pakar pemikir abad ini. Karya-karyanya mengenai tasawuf, filsafat, teologi, logika, fikih, ushul fikih, etika, agama, social, sejarah, dan lain-lain.Poko-pokok tulisannya bertujuan untuk kemuliaan Islam meski sebagian besar karyanya sangat mementingkan filsafat. Bahkan ia sering mengatakan bahwa pemikiran Syiah itu bersifat filosofis.Bagi Muthahhari, filsafat bukan hanya sekedar sarana polemic atau disiplin intelektual saja, melainkan suatu model dan metode dalam memahami dan memformulasikan Islam.
Bagi Muthahhari, secara telogis Allah pasti memelihara semua amal baik ia seorang muslim maupun non muslim tanpa diskriminasi. Lihat surat Al-Zalzalah : 7-8; Al-Taubah :20, dan al-Kahfi:30.  [xxii]
6.      Mohammad Arkoun (1928-
      Lahir di Taourirt-Mimoun, Kabilia Al-Jazair, pada tanggal 1 Pebruari 1928 M. Menguasai beberapa bahasa, antara lain, bahasa Kabilia (bahasa zaman pra Islam Afrika utara), bahasa Arab dan bahasa Perancis.
Secara kronologis riwayat hidupnya antara lain :
·         Bersekolah di sekolah menengah di Oran. Kota agak jauh dari Kabilia
·         Tahun 1950-1954, Kuliah bahasa dan sastra Arab di Universitas Al-Jir.
·         Tahun 1954-1962, Kuliah di Universitas Sarbobonne, Perancis dengan studi dan penelitiannya berkenaan dengan bahasa dan sastra Arab.
·         Tahun 1961, diangkat sebagai dosen di Al-mamater tsb.
·         Tahun 1969, memperoleh gelar doctor pada bidang sastraArab
·         Tahun 1970-1972, mengajar di Universitas Lyon, lalu kemabli ke Paris sebagai guru Sejarah Pemikiran Islam.
·         Tahun 1993 ia menjadi guru besar tamu di Universitas Amsterdam dan beberapa universitas Al-Jazair.
      Sebagai orang yang belajar dari  Barat, ppemikiran Arkoun dianggap sangat liberal. Oleh sebab itu, pemikirannya kurang banyak diperhatikan atau memperoleh sambutan negative. Di dunia Islam sendiri, Arkoun cenderung dikafirkan. Diantara ilmuwan muslim yang mengkafirkannya, yaitu Muhammad Barisy dari Maroko dan Nu'man Abd. Al-Razzaq al-Samarra'l dari Saudi Arabia. [xxiii]
Diantara karya Arkoun , yaitu :
Ø  Rethinking Islam: Commo Questions, Uncommon Answers.
Ø  Arab Thought
Ø  L'Islam, Hier, Demain,  Ditulis bersama dengan Louis Gardet.
Ketiga buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ø      Traite d'ethique
Ø      Pour Une Critique de la Raison Islamique
      Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut. Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan dalam intisari filsafat. Oleh  kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.
 
 

Catatan Kaki


[i] Muh.Said Mursi, alih bahasa Khairul Amru Harahap Lc.MHI, Ahmad Fauzan Lc .,M.Ag: Tokoh-tokoh  Islam Sepanjang Sejarah,, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 361-362.
[ii] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.221-222
[iv] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.221-225
[v]  http://3kh4.wordpress.com/2008/05/06/ibnu-rusyd-kritik-terhadap-al-ghazali-averroisme-dan-pengaruhnya-di-eropa/ diakses  5 Nopember 2009 ;  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.111.Ibid halaman 103-104 : Sejalan dengan filsafat emanasi, alam inikadim karena diciptakan oleh Allah sejak kidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja ibnu Sina mambedakan antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadin dari segi zaman (taqaddumuz zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini baharu (hudus zaty). Sementara itu Allah taqaddumuz Zaty, Ia sebab semua yang ada dan Ia Pencipta alam..
[vi]  Abdul Razak, M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama:Bandung, 2002, hal. 137
[vii]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.65.
[viii] Ibid,  hal. 91
[ix]  Abdul Razak, M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama:Bandung, 2002, hal. 142.
[x]  Ibid, hal. 144
[xi]  Ibid, hal. 145
[xii] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h. 165-166.
[xiii]  Ibid, hal. 169-170, Sirajuddin mengutip dari kitab Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah , hal: 206-207
[xiv] http://aktiano.blogspot.com/2009/02/filsafat-ibn-rusyd-paradigma.html
[xv] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.227
[xvi] Ibid,  h. 229-230
[xviii] Abuddin Nata, Drs. M.A., Ilmu Kalam , Filsafat, dan Tasawuf, Rajagrafindo Persada Jakarta, Cet. IV, 2004, hal 143
[xix]  Abdul Razak, M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama, Bandung, Cet. I,  2002, hal. 153
[xx]  Ibid,  hal 156
[xxi][xxi]  Ibid, hal. 175
[xxii]   Ibid. hal. 184
[xxiii]   Ibid, hal. 186

1 comment :

KISAH SUKSES IBU HERAWATI said...
This comment has been removed by a blog administrator.