Thursday, December 03, 2015

Logika, saya dan spiritualitas



SAYA, LOGIKA DAN SPIRITUALITAS
 
Armahedi Mahzar (c) 2015

Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama, maka Dia mengajarkan nama-nama padanya yang tak pernah diajarkan pada malaikat ataupun makhluk-makhluk lain di alam ini. Maka manusia pun di angkat menjadi khalifahNya di muka bumi. Begitulah kisah penciptaan manusia menurut kitab suci.
Sains menyatakan manusia lahir dari evolusi sebagai binatang yang berbahasa lisan yang membuat manusia bekerjasama satu sama lainnya melalui simbol-simbol bunyi yang sangat beragam. Simbol-simbol terkecil itu disebut sebagai "kata" yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai "logos."
Jadi, manusia unggul dari makhluk lain karena mempunyai sistem komunikasi dan informasi simbolik yang bernama bahasa dengan kata-kata atau nama-nama sebagai unit terkecilnya. Melalui bahasa itulah manusia merangkum pengalaman-pengalamannya dalam pengetahuan tersusun secara teratur yang disebut sebagai ilmu atau sains.
Bahasa itu adalah pada hakekatnya adalah sebuah sistem simbolik lisan yang memungkinkan manusia bisa berbicara dan bercakap-cakap dengan sesamanya. Ketika dia berbicara dengan dirinya, tanpa suara, maka proses itu disebut sebagai berpikir. Jadi berpikir bisa dianggap sebagai berbicara dengan diri-sendiri yang menggunakan kata-kata atau logoi. Itulah sebabnya ilmu tentang berpikir disebut sebagai "logika"
Logika diciptakan manusia, ketika mereka bisa menangkap kata-kata ke dalam rangkaian tanda-tanda visual, yang disebut sebagai huruf-huruf. Manusia pun bisa membedakan satu kata dengan kata lain sebagai kombinasi huruf-huruf yang berbeda.
Rangkaian kata-kata yang bermakna disebut sebagai pernyataan. Pernyataan bermakna bisa salah atau benar.

Logika Peradaban Yunani Kuno

Pernyataan yang tersederhana, menghubungkan dua buah rangkaian kata yang masing-masingnya melambangkan sebuah pengertian. Pengertian yang disebut pertama adalah pokok atau subyek. Pengertian kedua disebut sebagai sebutan atau predikat. Pengertian yang ada dalam kedua alasan disebut sebagai pengertian perantara.
Tiga pernyataan yang benar yang masing-masingya menghubungkan dua dari tiga pengertian yang berbeda disebut oleh Aristoteles (384-322 S.M.)sebagai silogisme kategoris.[1] Dalam suatu silogisme kedua pernyataan terdahulu disebut sebagai alasan. Pernyataan ketiga disebut sebagai kesimpulan.
Alasan yang mengandung sebutan dari kesimpulan disebut alasan besar atau premis major. Yang mengandung pokok dari kesimpulan disebut sebagai alasan kecil atau premis minor. Dalam pembakuan logikawan abad pertengahan, alasan pertama adalah alasan besar dan alasan kedua adalah alasan kecil.
Sebuah pernyataan dibedakan berdasarkan jumlah pokoknya. Jika diawali oleh kata "semua" disebut sebagai pernyataan "umum", jika diawali oleh kata "sebagian" disebut sebagai pernyatan "khusus".
Sebuah pernyataan dibedakan berdasarkan sifat sebutannya. Jika diawali oleh kata "itu" disebut sebagai sebuah "pengakuan" , jika diawali oleh kata "tidak" disebut sebagai sebuah "penyangkalan"
Dengan demikian hanya ada empat macam pernyataan fundamental Aristoteles,  yaitu
(1)    pengakuan umum: SEMUA a ITU b
(2)    penyangkalan umum: SEMUA a TIDAK b
(3)    pengakuan khusus: SEBAGIAN a ITU b dan
(4)    penyangkalan khusus: SEBAGIAN a TIDAK b
Silogisme dikelompokkan bersadarkan letak pengertian perantara pada kedua alasannya. Jika disebut pertama dalam alasan besar dan disebut kedua dalam alasan kecil, silogisme itu disebut sebagai skema silogisme pertama.
Jika kedua pengertian pada alasan pertama silogisme skema pertama dipertukarkan maka kita peroleh silogisme skema kedua. Jika yang dipertukarkan adalah kedua pengertian dalam alasan kedua disebut sebagai skema ketiga.
Jika kedua pengertian pada kedua buah alasan sama-sama dipertukarkan, maka kita peroleh silogisme skema keempat. Akan tetapi, hanya skema kesatu, kedua dan ketiga yang perlu dibahas menurut Aristoteles. Skema empat hanyalah pembalikan dari skema kesatu.
Chrysippus,[2]  seabad setelah Aristoteles, filosof Stoa menyempurnakan logika kategoris Aristoteles dengan logika proposisi dengan cara memasukkan silogisme hipotetis dan silogisme disjungtif. Silogisme hipotetis mengambil sebuah pernyataan bersyarat (JIKA p MAKA q) sebagai premis, sedangkan silogisme disjungtif mengambil sebuah pernyataan pilihan (p ATAU q) sebagai premis.

Eropa Abad Pertengahan

Untuk memudahkan kita mengingat silogisme yang banyak itu, para logikawan Eropa abad pertengahan menamai keempat pernyataan Aristoteles itu dengan dengan keempat huruf hidup pertama dalam alfabet, yaitu A, E, I dan O. Pengakuan umum disebut sebagai pernyataan A dan penyangkalan umum disebut E. Pengakuan khusus disebut I dan penyangkalan khusus disebut O. Oleh karena itu setiap silogisme dikodekan dengan semua kombinasi tiga huruf A, I, E dan O.
Sebuah silogisme disebut absah jika dan hanya jika penyimpulannya adalah sebuah keniscayaan. Aristoteles mengenal ada empat belas silogisme absah. Oleh logikawan abad pertengahan diberi nama-nama anak Romawi yang merangkai ketiga huruf hidup lambing alasan dan kesimpulan silogisme absah itu dengan huruf-huruf mati sebagai berikut: Barbara, Celarent, Darii, Ferio, Baroco, Cesare, Camestres, Festino, Bocardo, Datisi, Disamis, Ferison, Darapti dan Felapton.
Akan tetapi Galenus[3] justru menerima silogisme skema keempat sebagai silogisme yang juga harus diperhitungkan. Oleh karena itu logikawan abad pertengahan menambahkannya ke empatbelas silogisme absah Aristoteles sehingga memperoleh sembilas belah silogisme absah keselurujannya
Untuk memudahkan identifikasi skema bagi silogisme absah itu, William Sherwood dari Inggris menggubah sebuah sajak yang merangkai nama-nama silogisme absah berikut
Barbara, Celarent, Darii, Ferioque prioris
Cesare, Camestres, Festino, Baroco secundae
Tertia grande sonans recitat Darapti, Felapton
Disamis, Datisi, Bocardo, Ferison. Quartae
Sunt Bamalip, Calemes, Dimatis, Fesapo, Fresison.
Dalam sajak ini ditunjukkan bahwa bagi silogisme absah Aristoteles itu
·         Barbara, Celarent, Darii dan Ferio adalah skema pertama
·         Cesare, Camestres, Festini dan Barooco masuk dalam skema kedua
·         Darapti, Felapton, Disamis, Datisi, Bocardo dan Ferison masuk dalam skema ketiga
dan silogisme absah Galenus adalah
·         Bamalip, Calemes, Dimatis, Fesapo dan Fresison yang masuk skema keempat.

Logika dalam Peradaban Islam

Setelah penangkapan pembuat kertas dari Cina pada pertempuran Talas pada tahun 751, oleh  tentara muslim, mushaf Quran mulai dituliskan pada lembaran-lembaran kertas. Disamping itu berbagai kitab dituliskan dengan menggunakan teknologi baru berupa kertas. Teknologi ini menyebabkan banyaknya buku-buku ditulis pada zaman daulah Abbasiyah.
Dalam salah satu bab bukunya yang berjudul Alasan mengapa Buku Filsafat dan Ilmu-ilmu Kuno Menjadi Banyak di Negeri Ini, Ibn al-Nadim menceritakan sebuah kisah yang aneh di mana khalifah al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan Aristoteles yang meyakinkannya bahwa tak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Keyakinan ini menyebabkan dia membangun Bait al-Hikmah pada tahun 830 sebagai pusat penterjemahan buku-buku ilmiah Bahasa Yunani ke Bahasa Arab.
Di antara penterjemah itu adalah Ya'qub ibn Ishaaq al-Kindi (801-873) adalah filsafat muslim pertama yang menterjemahkan sebagian dari kitab Organon karya Aristoteles dan memberi banyak komentar terhadapnya. Dia menganalisis bagian-bagian dari karya itu dan meletakkannya dalam konteks pemikiran keagamaan Islam.
Logika bagi al-Farabi (871-950) adalah pelayan bagi semua ilmu, karena itu dia meletakkannya pada urutan kedua setelah ilmu bahasa, diikuti oleh matematika, fisika, metafisika, politika, hukum dan teologi dalam bukunya Katalog Imu-ilmu yang terjemahan Latinnya dijadikan buku dasar di universitas-universitas Eropa abad pertengahan..
Penerusnya adalah Al-Husayn Ibn Abdallah Ibn Sina (980-1037)  yang ketika remaja membaca risalah Aristoteles tentang metafisika sebanyak empat puluh kali, namun masih saja tidak mengerti sampai dia membaca komentar al-Farabi tentang logika Aristoteles. Ilmu logika itu ternyata sangat berguna untuk ilmu kedokteran yang kemudian dia tekuni dan dituliskan dalam kitabnya Al-Qanun fi t-Tibb yang 14 jilid yang terjemahan Latinnya menjadi buku daras ilmu kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Muhammad Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) mempelajari logika dari buku-buku karya Al-Farabi dan Ibnu Sina ketika ingin memahami filsafat. Dalam Maqasid Al-Falasifah[4], dia mempelajari 14 silogisme kategoris absah Aristoteles dan menolak silogisme skema empat yang diajukan oleh Galenus. Diapun mempelajari silogisme hipotetis filsuf Stoa yang terdiri dari silogisme kondisional dan silogisme disjungtif.
Dengan menggunakan logika yang telah dipelajari dan dipaparkan dalam bukunya Maqasid al Falasifah dia menunjukkan adanya 20 kesalahan fikir Al-Farabi dan Ibnu Sina dalam metaisika mereka yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal sebagai Tahafut Al-Falasifah.[5] Buku ini kemudian dikritik oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya yang dinamai Tahafut al-Tahafut.
Walaupun begitu al-Ghazali tidak menganggap logika sebagai ilmu asing yang bertentangan dengan keyakinan beragama Islam. Ia bahkan mengislamisasi logika dengan menafsirkan kata al-Mizan di dalam Al-Quran Mulia sebagai silogisme yang dianggapnya sebagai timbangan pengukur kebenaran sebuah penalaran. [6]
Dia menamai ketiga skema silogisme kategoris Aristoteles sebagai al-Mizan al-Ta’adul akbar, awsath dan asghar. Sedangkan silogisme kondisional disebutnya sebagai al-Mizan al-Talazum dan silogisme disjungtif disebutnya sebagai al-Mizan al-Ta’anuts. Bahkan dia menunjukkan bahwa kelima al-Mawazin itu bisa ditemui dalam ayat-ayat al-Quran.

Logika dalam Quran

Sang Hujjatul Islam menamakan ketiga bentuk silogisme yaitu silogisme kategoris (yang ditemukan oleh Aritoteles), silogisme kondisional dan silogisme disjungtif (yang ditemukan filsuf Stoa) sebagai ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini.  
Silogisme kategoris disebutnya sebagai al-Mizan al-Ta’adul yang dibaginya menjadi tiga: akbar (besar), awsath (sedang) dan asghar (kecil). Silogisme kondisional disebutnya sebagai al-Mizan al-Talazum. Sedangkan silogisme disjungtif disebutnya sebagai al-Mizan al-Ta’anuts. Kelima bentuk silogisme itu ditemukan oleh al-Ghazali dalam beberapa ayat al-Quran.
Al-Mizan al-Ta'adul Akbar
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,
maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (QS Al Baqarah [2]: 258).
Argumentasi ayat ini adalah Barbara skema pertama Aristoteles.
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (alasan besar A)
Allah mampu menerbitkan matahari (alasan kecil A)
Kesimpulan: Allah tuhan (pernyataan A)
Al-Mizan al-Ta'adul Awsath
“Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.”
(QS Al An’am [6]: 7)
Argumentasi ayat ini adalah silogisme Camestres dalam skema dua Aristoteles)
Bulan tenggelam                                    (alasan besar A)
Tuhan tidak mungkin tenggelam        (alasan kecil E)
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan         (pernyataan E)

Al-Mizan al-Ta'adul Asghar
 “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” (QS 6:91)
Argumentasi ayat ini adalah Darapti skema ketiga Aristoteles:
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah                               {alasan besar A}
Musa As manusia                                                                                   {alasan besar A}
Kesimpulannya: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu   {pernyataan I}

Al-Mizan al-Talazum
 “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (QS Al Anbiya [21]: 22).
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur {karena alasan maka kesimpulan}
Nyatanya dunia tidak hancur                                                 {penyangkalan kesimpulan}
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain                                         {penyangkalan alasan}
Argumentasinya adalah Modus Tollens kaum Stoa.
Al Mizan al-Ta'anud

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (QS Saba [34]: 24).
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan  {alternatif pilihan}
Kami tidak dalam kesesatan                                                                    {penyangkalan satu pilihan}
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan                                       {pengakuan pilihan lainnya}
Argumentasinya adalah modus tollendo ponens kaum Stoa.
Dengan mengutip ayat-ayat tersebut di atas,  Al Ghazali menempatkan mantiq bukan sebagai warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Itulah sebabnya Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.
Pendapat al-Ghazali tidak dapat diterima oleh semua ulama Islam. Taqiyaddin Ibn Thaimiyah (-1328), misalnya, menyerang pandangan al-Ghazali yang menganggap Mantiq sebagai ilmu universal yang disebut sebagai al-Mizan.
Menurut Ibn Taimiyah logika Yunani itu memang berguna untuk ilmu kealaman, namun tak berguna untuk ilmu keagamaan. Dia mengritik konsep definisi dan metoda silogisme. Soalnya, dia tak bisa menerima ide universal yang berdiri di luar alam fisik. Baginya, konsep universal hanya ada dalam pikiran manusia sebagai abstraksi dari realitas eksternal.

Logika dalam Peradaban Barat Modern

Teknologi pembuatan kertas yang dikembangkan oleh peradaban Islam menjalar ke Eropah yang dirundung kegelapan setelah runtuhnya kerajaan Romawi. Dampak dari transfer teknologi ini adalah didirikannya berbagai universitas di Eropa sejak tahun 1100. Salah satu universitas itu adalah Universitas Paris di mana gambar Ibn Sina diabadikan dalam salah satu ruang di fakultas Kedokteran.
Leibniz di abad XVII mempelajari logika Aristoteles secara kombinatorik akhirnya menambahkan lima lagi silogisme absah, yang mengasumsikan eksistensi salah satu pengertian, yaitu: Barbari, Camestros, Celaront, Cesaro dan Calemos sehingga keseluruhannya dapat ditabelkan berikut ini.

https://integralisme.files.wordpress.com/2012/09/leibniz24.jpg?w=645
Leibniz, mengikuti renaissance yang dipicu oleh revolusi Gutenberg, juga bermimpi untuk menyusun sebuah ilmu logika sebagai Calculus Ratiocinator sebagai cabang dari matematika. 

Impian Leibniz itu baru bisa dicapai oleh matematikawan Inggris di abad XIX George Boole[7] yang merumuskan logika sebagai sebuah bentuk aljabar.  Dia pun merumuskan silogika dalam bentuk sepasang persamaan dua variabel di mana masing-masing variabel yang dituliskan sebagai huruf adalah lambang bagi pengertian. Dengan ini maka pencarian kesimpulan menjadi proses pelenyapan variabel sama yang dimiliki oleh kedua persamaan itu.
Aljabar logika Boole itu kemudian disempurnakan menjadi sebuah sistem aksiomatika mirip dengan sistem aksioma ilmu ukur Euklides. Dengan demikian aljabar Boole menjadi sebuah aljabar yang sangat abstrak.
Di lain pihak Claude Shanon[8] menemukan bahwa aljabar Boole ini juga berlaku untuk rangkaian pemutus arus listrik yang sangat kongkret. Aljabar Boole yang sangat kongkret inilah yang kemudian jadi sarana untuk membuat komputer hingga telepon genggam yang meraja-lela sekarang.
Sementara itu aksiomatisasi aljabar logika Boole itu terus mengalami penyederhanaan. Misalnya Bertrand Russell dapat mereduksi aksiomanya menjadi lima buah dengan satu kaidah inferensi logika. Huntington berhasil mengurangi aksioma itu menjadi hanya tiga buah.
George Spencer-Brown mereduksi lebih lanjut menjadi dua aksioma dengan cara melakukan inovasi aljabar di mana kekosongan dianggap sebagai lambang SALAH, pendampingan sebagai lambang operasi ATAU dan PALANG sebagai simbol dua dimensi atau gambar. [9]
Bahkan Louis Kauffman seorang matematikawan dari Amerika Serikat berhasil mengganti kedua aksioma Spencer-Brown dengan hanya sebuah aksioma tunggal yaitu salah satu aksioma Huntington dan membuang dua aksioma Huntington yang lainnya karena tak diperlukan lagi dalam simbolisasi dua dimensi alias gambar.  Kaufman juga mengganti notasi PALANG Spencer-Brown dengan notasi KOTAK. [10]
Dalam notasi  KOTAK Kaufman, aksioma tunggal Huntington itu adalah sebagai berikut

Logika dalam Pencarian Saya …….

Perjalanan saya ke dunia logika berawal dengan kebingungan saya membaca risalah logika Aristoteles yang menguntai huruf-huruf dengan kata-kata dalam deskripsinya tentang silogisme. Padahal saya melihat aljabar logika Boole, yang merakai huruf-huruf dengan tanda-tanda ilmu hitung, sangatlah mudah, karena berdasarkan aritmetika yang berbasis dua nilai. Namun, sayangnya, saya tidak bisa memahami bagaimana Boole membuktikan semua silogisme Aristoteles.
Kebingungan itu berkurang setelah mempelajari simbolisme piktorial aljabar Boole yang dilakukan oleh Peirce di abad kesimbilan belas dan oleh George Spencer-Brown dan Louis Kaufman. Alhamdulillah, saya akhirnya bisa mensimulasi aljabar logika mereka dengan sebuah permainan yang menggunakan barang-barang kongkret yang bisa kita lihat, pegang dan pindahkan.
Sementara itu, saya juga menemukan bahwa jika saya menggunakan notasi asli Boole yang menyatakan TIDAK x dengan 1- x dan menyatakan x ATAU y dengan x+y, maka melalui hukum De Morgan saya mendapatkan bahwa x DAN y adalah x-1+y. Selanjutnya pernyataan A adalah 1-x+y, pernyataan E adalah 1-x+1-y, pernyataan I adalah x-1+y dan pernyataan O adalah x-y.
Dengan notasi seperti ini saya dapat membuktikan bahwa ‘semua b alah c DAN semua a adalah b’ ekspresi Boolenya adalah ‘1-b+c-1+1-a+b’ yang nilainya sama dengan ‘1-a+c’ yaitu ekspresi Boole untuk ‘semua a adalah c’ yang tak lain dari pada kesimpulan silogisme Barbara. Prosedur ini bisa saya lakukakan untuk mencari ke 24 silogisme absah Leibniz.
Dengan kata lain, kita dapat menyatakan bahwa rumus aritmetik kesimpulan suatu silogisme absah adalah hasil penghitungan rumus aritmetik gabungan DAN kedua alasan beserta asumsi eksistensial jika memang ada. Penemuan ini membuat saya sadar mengapa al-Ghazali menyatakan sebuah silogisme sebagai sebuah kesetimbangan, karena kesimpulan memang ekivalen dengan gabungan  alan
Proses penyimpulan ini juga berlaku bagi aljabar logika Sommers yang menyatakan DAN dengan + dan menyatakan pernyatan-pernyataan A, E, I dan O masing-masingnya adalah –a+b, -a-b, +a+b dan +a-b. Aljabar Sommers ini dapat disimulasi dengan mengganti huruf-huruf dengan barang-barang dan tanda plus minus didepan huruf menyatakan dua keadaan barang yang berbeda.
Menemukan permainan barang-barang ini membuat saya bahagia bukan main. Soalnya penurunan logis suatu silogisme menjadi begitu mudah tidak memerlukan matematika yang sulit dan rumit. Begitu mudahnya sehingga dapat diajarkan pada anak pra-sekolah. Namun sayangnya ketika saya sampaikan permainan mudah ini di internet. Tampaknya tak ada yang mengomentarinya.

…. berujung pada Metoda Sastra

Karena itu saya lalu melakukan simulasi dari permainan barang-barang menjadi permainan tulisan dengan metoda sastra. Setiap barang diganti dengan tulisan nama barang itu. Keadaan barang dinyatakan oleh besar kecilnya huruf pertama penulisan nama barang tersebut.
Misalnya barang-barang itu diwakili tulisan 'sendok', 'piring' dan 'garpu', maka keadaan lain dari barang diwakili oleh tulisan 'Sendok', 'Piring' dan 'Garpu'. Dengan demikian setiap pernyataan kategoris fundamental dinyatakan oleh pasangan dua nama tertulis benda-benda itu.
Menurut Aristoteles semua silogisme absah, bisa diubah menjadi dua silogisme sempurna yang oleh logikawan abad pertengahan diberi nama sebagai Barbara dan Celarent di mana setiap alasannya adalah pernyataan umum. Barbara adalah silogisme KARENA semua b adalah c DAN semua a adalah b MAKA semua a adalah c'. Celarent adalah silogisme 'KARENA semua b tidak c DAN semua a adalah c'
Selanjutnya, dia mengatakan bahwa semua silogisme lain dapt diturunkan dari kedua silogisme sempurna ini. Namun sebenarnya, silogisme Celarent dapat diperoleh dari silogisme Barbara dengan mengganti predikat yang ada pada kesimpulan yang sekaligus ada pada salah satu alasannya dengan lawannya. Misalnya Semua a itu b menjadi semua a tidak b. Sebagian a itu b menjadi sebagian a tidak b. 
Dalam metoda sastra, kita bisa saja menggantikan huruf-huruf itu dengan nama benda langit. Misalnya, a dengan 'bulan', b dengan'bintang' dan c dengan 'matahari' atau tiga nama prabotan makan seperti telah disampaikan di atas.
Dalam permainan tulisan, keempat pernyataan Aristoteles cukup dinyatakan oleh cukup dituliskan dengan dua nama:
·         'semua a itu b' ditulis sebagai 'Bulan bintang',
·         semua a tidak b ditulis sebagai 'Bulan Bintang',
·         'sebagian pokok itu b' ditulis sebagai 'bulan bintang' dan 
·         'sebagian a tidak b' ditulis sebagai 'bulan Bintang'.
Penggabungan dua buah alasan satu silogisme dinyatakan dengan mendampingkan kedua alasan tersebut melalui hubungan DAN yang dilambangkan oleh KOSONG. Jika sudah digabungkan, kita dapat mencari kesimpulannya melalui metoda sastra.
Dengan metoda sastra ini Barbara ditulis sebagai  ‘KARENA Bintang matahari  Bulan   bintang   MAKA Bulan   matahari’ dan Celarent ditulis sebagai ‘KARENA Bintang Matahari Bulan   bintang  MAKA Bulan   Matahari ‘
Kalau diperhatikan dalam kedua silogisme sempurna itu ada dua keteraturan
(1) nama pengertian bersama pada alasan huruf awalnya berlawanan
(2) kesimpulannya adalah gabungan dari dua pengertian yang berbeda dalam kedua alasan
Jadi penyimpulan silogisme sempurna dalam metoda sastra ini adalah sebagai berikut
(1) coret tulisan nama yang berlawanan huruf awal pada kedua alasan
(2) kesimpulan adalah gabungan tulisan nama yang tak dicoret
Cara penyimpulan ini ternyata dapat digunakan bagi penyimpulan semua silogisme absah Leibniz, termasuk yang membutuhkan asumsi tambahan tentang eksistensi pengertian dalam alasan. Tentu saja hal ini tidak konsisten dengan definisi silogisme yang hanya melibatkan tiga pernyataan menurut Aristoteles. Itulah sebabnya Aristoteles menolaknya sebagai suatu silogisme absah.
Begitu juga Aristoteles tidak mau menerima silogisme skema keempat, karena mereka tak lain dari pembalikan dari silogisme skema kesatu, kedua dan ketiga.
Soalnya, jika kita membalik bulan dan matahari pada kesimpulan Darii Skema 1 yaitu 'JIKA Bintang  matahari bulan  bintang MAKA bulan matahari' dan membalik urutan alasan, maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Dimatis yaitu ‘JIKA bulan bintang Bintang  matahari MAKA
 matahari bulan'
Begitu juga, jika kita membalik Bulan dan Matahari pada Celarent skema 1 yaitu 'JIKA Bintang  Matahari
Bulan bintang MAKA Bulan Matahari' lalu membalik urutan alasan, maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Calemes yaitu 'JIKA Bulan bintang Bintang  Matahari MAKA
Matahari Bulan'
Selanjutnya, jika kita membalik bulan dan bintang pada alasan Festino skema 2  yaitu 'JIKA Matahari Bintang   bulan    bintang MAKA  bulan Matahari', maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Fresison yaitu 'JIKA Matahari Bintang bintang bulan MAKA bulan Matahari'
Dengan demikian melalui metoda sastra ini, kita dapat mencari kesimpulan keempatbelas silogisme absah Aristoteles dengan sangat mudah. Artinya kebingungan saya membaca risalah kata-kata Aristoteles akhirnya terpecahkan dengan cara yang sederhana yaitu: mencoret pasangan nama sama yang huruf awalnya berbeda jenis.

CATATAN AKHIR

Di awal masa kuliah, saya diminta paman saya untuk mempelajari buku Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali lalu mencoba mengamalkannya di sisa hidup saya. Bagi saya mistisisme Islam atau tasawwuf adalah komplementasi bagi teologi Islam atau ilmu kalam. Ini adalah pewujudan komplementasi fungsi psikologis intuisi dan rasio sesuai dengan komplementasi mistika dan logika seperti yang dinyatakan Bertrand Russel.
Secara kolektif komplementasi itu mewujud pada komplementasi seni dan sains. Komplentasi ini adalah pewujudan manusiawi dari komplementasi Yin dan Yang di alam seperti diajarkan Lao Zi dalam nukunya Dao De King. Karena itu saya mencoba mengidentifikasi diri saya dengan dua tokoh besar pemikiran Islam yaitu Al-Ghazali dan Ibn Rusyd yang saling melengkapi, meskipun dalam mitologi Barat dikatakan bahwa peradaban pengikut al-Ghazali yaitu peradaban Islam dikalahkan oleh peradaban Barat pengikut Ibnu Rusyd.
Dalam sejarah kedua sisi ini tampak pada dua peradaban besar yaitu peradaban Islam religius tradisional dan peradaban Barat sekuler modern. Dengan dikalahkannya daulah Utsmaniyah dan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara oleh penjajah dari Eropa, maka tampak bahwa orang yang didominasi otak kanan yang menekankan pelestarian seni dan budaya akan dikalahkan oleh orang yang didominasi otak kanan yang menekankan pengembangan sains dan teknologi.
Itulah sebabnya saya aktif di masjid Salman berusaha meyakinkan mahasiswa bahwa peradaban Islam kurun pertama yang menggabungkan kedua sisi peradaban itu secara seimbang, yaitu peradaban Islam kurun pertama sebelum Jatuhnya Bagdad dari serbuan Mongol dari Timur dan Kordoba dari serbuan tentara Salib dari Barat, pernah berjaya di samping peradaban Eropa yang mengalami masa kegelapannya.
Saya berharap jika kesadaran Islam ditingkatkan dari kesadaran personal religius menjadi kesadaran integral peradaban, maka insya Allah, kita dapat membangkitkan peradaban Islam kurun ketiga di masa depan yang menjadikan spiritualitas religius sebagai pengintegrasi dimensi material, dimensi sosial, dimensi  kultural dan dimensi moral seperti yang pernah terjadi pada peradaban Islam kurun pertama. Semoga memang demikian adanya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
 
Catatan kaki

[1] Aristoteles, Categories bisa dibaca online di http://www.gutenberg.org/files/2412/2412-h/2412-h.htm
[3] Nicholas Rescher, Galen and the Syllogism, University of Pittsburgh Pre, May 15, 1966

[4] Terjemahan Bahasa Inggris dari terjemahan Bahasa Ibrani: THE LOGICAL PART OF AL-GHAZALI'S MAQASID AL-FALASIFA, IN AN ANONYMOUS HEBREW TRANSLATION WITH THE HEBREW COMMENTARY OF MOSES OF NARBONNE, EDITED AND TRANSLATED WITH NOTES AND AN INTRODUCTION AND TRANSLATED INTO ENGLISH. CHERTOFF, GERSHON BARUCH, PHD. COLUMBIA UNIVERSITY, 1952. http://www.ghazali.org/books/chertoff.pdf
[5] Al Ghazali, Tahafut al Falasifah, editor Sulyman Dunya, Cairo: Dar al Maarif, tanpa tahun.
[6] Al-Ghazali, al-Qistas al-mustaqim: The Correct Balance (Terjemahan. R. McCarthy) http://www.ghazali.org/books/jb-4.pdf .
[7] George Boole. 1854/2003. The Laws of Thought, facsimile of 1854 edition, with an introduction by J. Corcoran. Buffalo: Prometheus Books (2003). http://www.gutenberg.org/files/15114/15114-pdf.pdf?session_id=440004f1dfdc8810a63b2f29a80d6c2f1674b177
[8] Claude Shannon, "A Symbolic Analysis of Relay and Switching Circuits," unpublished MS Thesis, Massachusetts Institute of Technology, August 10, 1937.
[9] George Spencer-Brown, Laws of Form, Bantam Books, paperback (1973)
[10] Louis Kauffman, Laws of Form bisa diunduh di   www.math.uic.edu/~kauffman/Laws.pdf

No comments :