SAYA,
LOGIKA DAN SPIRITUALITAS
Armahedi Mahzar (c) 2015
Armahedi Mahzar (c) 2015
Ketika Tuhan menciptakan manusia
pertama, maka Dia mengajarkan nama-nama padanya yang tak pernah diajarkan pada
malaikat ataupun makhluk-makhluk lain di alam ini. Maka manusia pun di angkat
menjadi khalifahNya di muka bumi. Begitulah kisah penciptaan manusia menurut
kitab suci.
Sains menyatakan manusia lahir
dari evolusi sebagai binatang yang berbahasa lisan yang membuat manusia
bekerjasama satu sama lainnya melalui simbol-simbol bunyi yang sangat beragam.
Simbol-simbol terkecil itu disebut sebagai "kata" yang dalam bahasa
Yunani disebut sebagai "logos."
Jadi, manusia unggul dari makhluk
lain karena mempunyai sistem komunikasi dan informasi simbolik yang bernama
bahasa dengan kata-kata atau nama-nama sebagai unit terkecilnya. Melalui bahasa
itulah manusia merangkum pengalaman-pengalamannya dalam pengetahuan tersusun
secara teratur yang disebut sebagai ilmu atau sains.
Bahasa itu adalah pada hakekatnya
adalah sebuah sistem simbolik lisan yang memungkinkan manusia bisa berbicara
dan bercakap-cakap dengan sesamanya. Ketika dia berbicara dengan dirinya, tanpa
suara, maka proses itu disebut sebagai berpikir. Jadi berpikir bisa dianggap
sebagai berbicara dengan diri-sendiri yang menggunakan kata-kata atau logoi.
Itulah sebabnya ilmu tentang berpikir disebut sebagai "logika"
Logika diciptakan manusia, ketika
mereka bisa menangkap kata-kata ke dalam rangkaian tanda-tanda visual, yang
disebut sebagai huruf-huruf. Manusia pun bisa membedakan satu kata dengan kata
lain sebagai kombinasi huruf-huruf yang berbeda.
Rangkaian kata-kata yang bermakna disebut sebagai
pernyataan. Pernyataan bermakna bisa salah atau benar.
Logika Peradaban Yunani Kuno
Pernyataan yang tersederhana,
menghubungkan dua buah rangkaian kata yang masing-masingnya melambangkan sebuah
pengertian. Pengertian yang disebut pertama adalah pokok atau subyek.
Pengertian kedua disebut sebagai sebutan atau predikat. Pengertian yang ada
dalam kedua alasan disebut sebagai pengertian perantara.
Tiga pernyataan yang benar yang
masing-masingya menghubungkan dua dari tiga pengertian yang berbeda disebut
oleh Aristoteles (384-322 S.M.)sebagai silogisme kategoris.[1]
Dalam suatu silogisme kedua pernyataan terdahulu disebut sebagai alasan.
Pernyataan ketiga disebut sebagai kesimpulan.
Alasan yang mengandung sebutan
dari kesimpulan disebut alasan besar atau premis major. Yang mengandung pokok
dari kesimpulan disebut sebagai alasan kecil atau premis minor. Dalam pembakuan
logikawan abad pertengahan, alasan pertama adalah alasan besar dan alasan kedua
adalah alasan kecil.
Sebuah pernyataan dibedakan
berdasarkan jumlah pokoknya. Jika diawali oleh kata "semua" disebut
sebagai pernyataan "umum", jika diawali oleh kata
"sebagian" disebut sebagai pernyatan "khusus".
Sebuah pernyataan dibedakan
berdasarkan sifat sebutannya. Jika diawali oleh kata "itu" disebut
sebagai sebuah "pengakuan" , jika diawali oleh kata "tidak"
disebut sebagai sebuah "penyangkalan"
Dengan demikian hanya ada empat
macam pernyataan fundamental Aristoteles, yaitu
(1)
pengakuan umum: SEMUA a ITU b
(2)
penyangkalan umum: SEMUA a TIDAK b
(3)
pengakuan khusus: SEBAGIAN a ITU b dan
(4)
penyangkalan khusus: SEBAGIAN a TIDAK b
Silogisme dikelompokkan
bersadarkan letak pengertian perantara pada kedua alasannya. Jika disebut
pertama dalam alasan besar dan disebut kedua dalam alasan kecil, silogisme itu
disebut sebagai skema silogisme pertama.
Jika kedua pengertian pada alasan
pertama silogisme skema pertama dipertukarkan maka kita peroleh silogisme skema
kedua. Jika yang dipertukarkan adalah kedua pengertian dalam alasan kedua
disebut sebagai skema ketiga.
Jika kedua pengertian pada kedua buah
alasan sama-sama dipertukarkan, maka kita peroleh silogisme skema keempat. Akan
tetapi, hanya skema kesatu, kedua dan ketiga yang perlu dibahas menurut
Aristoteles. Skema empat hanyalah pembalikan dari skema kesatu.
Chrysippus,[2]
seabad
setelah Aristoteles, filosof Stoa menyempurnakan logika kategoris Aristoteles
dengan logika proposisi dengan cara memasukkan silogisme hipotetis dan
silogisme disjungtif. Silogisme hipotetis mengambil sebuah pernyataan bersyarat
(JIKA p MAKA q) sebagai premis, sedangkan silogisme disjungtif mengambil sebuah
pernyataan pilihan (p ATAU q) sebagai premis.
Eropa Abad Pertengahan
Untuk memudahkan kita mengingat
silogisme yang banyak itu, para logikawan Eropa abad pertengahan menamai
keempat pernyataan Aristoteles itu dengan dengan keempat huruf hidup pertama
dalam alfabet, yaitu A, E, I dan O. Pengakuan umum disebut sebagai pernyataan A
dan penyangkalan umum disebut E. Pengakuan khusus disebut I dan penyangkalan
khusus disebut O. Oleh karena itu setiap silogisme dikodekan dengan semua
kombinasi tiga huruf A, I, E dan O.
Sebuah silogisme disebut absah
jika dan hanya jika penyimpulannya adalah sebuah keniscayaan. Aristoteles
mengenal ada empat belas silogisme absah. Oleh logikawan abad pertengahan
diberi nama-nama anak Romawi yang merangkai ketiga huruf hidup lambing alasan
dan kesimpulan silogisme absah itu dengan huruf-huruf mati sebagai berikut: Barbara,
Celarent, Darii, Ferio, Baroco, Cesare, Camestres, Festino, Bocardo, Datisi,
Disamis, Ferison, Darapti dan Felapton.
Akan tetapi Galenus[3]
justru menerima silogisme skema keempat sebagai silogisme yang juga harus diperhitungkan.
Oleh karena itu logikawan abad pertengahan menambahkannya ke empatbelas
silogisme absah Aristoteles sehingga memperoleh sembilas belah silogisme absah
keselurujannya
Untuk memudahkan identifikasi
skema bagi silogisme absah itu, William Sherwood dari Inggris menggubah sebuah
sajak yang merangkai nama-nama silogisme absah berikut
Barbara, Celarent, Darii,
Ferioque prioris
Cesare, Camestres, Festino, Baroco secundae
Tertia grande sonans recitat Darapti, Felapton
Disamis, Datisi, Bocardo, Ferison. Quartae
Sunt Bamalip, Calemes, Dimatis, Fesapo, Fresison.
Cesare, Camestres, Festino, Baroco secundae
Tertia grande sonans recitat Darapti, Felapton
Disamis, Datisi, Bocardo, Ferison. Quartae
Sunt Bamalip, Calemes, Dimatis, Fesapo, Fresison.
Dalam sajak ini ditunjukkan bahwa
bagi silogisme absah Aristoteles itu
·
Barbara, Celarent, Darii dan Ferio adalah skema
pertama
·
Cesare, Camestres, Festini dan Barooco masuk dalam
skema kedua
·
Darapti, Felapton, Disamis, Datisi, Bocardo dan
Ferison masuk dalam skema ketiga
dan silogisme absah Galenus adalah
·
Bamalip, Calemes, Dimatis, Fesapo dan Fresison
yang masuk skema keempat.
Logika dalam Peradaban Islam
Setelah penangkapan pembuat kertas dari Cina pada pertempuran Talas pada tahun 751, oleh tentara muslim, mushaf Quran mulai dituliskan pada lembaran-lembaran kertas. Disamping itu berbagai kitab dituliskan dengan menggunakan teknologi baru berupa kertas. Teknologi ini menyebabkan banyaknya buku-buku ditulis pada zaman daulah Abbasiyah.
Dalam salah satu bab bukunya yang
berjudul Alasan mengapa Buku Filsafat dan
Ilmu-ilmu Kuno Menjadi Banyak di Negeri Ini, Ibn al-Nadim menceritakan
sebuah kisah yang aneh di mana khalifah al-Ma’mun bermimpi bertemu dengan
Aristoteles yang meyakinkannya bahwa tak ada pertentangan antara akal dan
wahyu. Keyakinan ini menyebabkan dia membangun Bait al-Hikmah pada tahun 830
sebagai pusat penterjemahan buku-buku ilmiah Bahasa Yunani ke Bahasa Arab.
Di antara penterjemah itu adalah Ya'qub
ibn Ishaaq al-Kindi (801-873) adalah filsafat muslim pertama yang
menterjemahkan sebagian dari kitab Organon karya Aristoteles dan memberi banyak
komentar terhadapnya. Dia menganalisis bagian-bagian dari karya itu dan
meletakkannya dalam konteks pemikiran keagamaan Islam.
Logika
bagi al-Farabi (871-950) adalah pelayan bagi semua ilmu, karena itu dia
meletakkannya pada urutan kedua setelah ilmu bahasa, diikuti oleh matematika,
fisika, metafisika, politika, hukum dan teologi dalam bukunya Katalog Imu-ilmu
yang terjemahan Latinnya dijadikan buku dasar di universitas-universitas Eropa
abad pertengahan..
Penerusnya adalah Al-Husayn Ibn
Abdallah Ibn Sina (980-1037) yang ketika
remaja membaca risalah Aristoteles tentang metafisika sebanyak empat puluh
kali, namun masih saja tidak mengerti sampai dia membaca komentar al-Farabi
tentang logika Aristoteles. Ilmu logika itu ternyata sangat berguna untuk ilmu
kedokteran yang kemudian dia tekuni dan dituliskan dalam kitabnya Al-Qanun fi t-Tibb yang 14 jilid yang
terjemahan Latinnya menjadi buku daras ilmu kedokteran di universitas-universitas
Eropa.
Muhammad Abu Hamid al-Ghazali
(1058-1111) mempelajari logika dari buku-buku karya Al-Farabi dan Ibnu Sina
ketika ingin memahami filsafat. Dalam Maqasid
Al-Falasifah[4],
dia mempelajari 14 silogisme kategoris absah Aristoteles dan menolak silogisme
skema empat yang diajukan oleh Galenus. Diapun mempelajari silogisme hipotetis
filsuf Stoa yang terdiri dari silogisme kondisional dan silogisme disjungtif.
Dengan menggunakan logika yang telah
dipelajari dan dipaparkan dalam bukunya Maqasid al Falasifah dia menunjukkan
adanya 20 kesalahan fikir Al-Farabi dan Ibnu Sina dalam metaisika mereka yang
dituliskan dalam bukunya yang terkenal sebagai Tahafut Al-Falasifah.[5]
Buku ini kemudian dikritik oleh Ibnu Rusyd dalam bukunya yang dinamai Tahafut
al-Tahafut.
Walaupun begitu al-Ghazali tidak
menganggap logika sebagai ilmu asing yang bertentangan dengan keyakinan
beragama Islam. Ia bahkan mengislamisasi logika dengan menafsirkan kata
al-Mizan di dalam Al-Quran Mulia sebagai silogisme yang dianggapnya sebagai
timbangan pengukur kebenaran sebuah penalaran. [6]
Dia menamai ketiga skema
silogisme kategoris Aristoteles sebagai al-Mizan
al-Ta’adul akbar, awsath dan asghar. Sedangkan silogisme kondisional disebutnya sebagai al-Mizan al-Talazum dan silogisme
disjungtif disebutnya sebagai al-Mizan
al-Ta’anuts. Bahkan dia menunjukkan bahwa kelima al-Mawazin itu bisa ditemui dalam ayat-ayat al-Quran.
Logika dalam Quran
Sang Hujjatul Islam menamakan
ketiga bentuk silogisme yaitu silogisme kategoris (yang ditemukan oleh
Aritoteles), silogisme kondisional dan silogisme disjungtif (yang ditemukan
filsuf Stoa) sebagai ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan
ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini.
Silogisme kategoris disebutnya
sebagai al-Mizan al-Ta’adul yang
dibaginya menjadi tiga: akbar (besar), awsath (sedang) dan asghar (kecil).
Silogisme kondisional disebutnya sebagai al-Mizan
al-Talazum. Sedangkan silogisme disjungtif disebutnya sebagai al-Mizan al-Ta’anuts. Kelima bentuk
silogisme itu ditemukan oleh al-Ghazali dalam beberapa ayat al-Quran.
Al-Mizan al-Ta'adul Akbar
“Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,
maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (QS Al Baqarah [2]: 258).
maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (QS Al Baqarah [2]: 258).
Argumentasi ayat ini adalah Barbara skema pertama
Aristoteles.
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (alasan
besar A)
Allah mampu menerbitkan matahari (alasan kecil A)
Kesimpulan: Allah tuhan (pernyataan A)
Allah mampu menerbitkan matahari (alasan kecil A)
Kesimpulan: Allah tuhan (pernyataan A)
Al-Mizan al-Ta'adul Awsath
“Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu
yang tenggelam.”
(QS Al An’am [6]: 7)
(QS Al An’am [6]: 7)
Argumentasi ayat ini adalah silogisme Camestres dalam skema
dua Aristoteles)
Bulan tenggelam (alasan
besar A)
Tuhan tidak mungkin tenggelam (alasan kecil E)
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan (pernyataan E)
Al-Mizan al-Ta'adul Asghar
Tuhan tidak mungkin tenggelam (alasan kecil E)
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan (pernyataan E)
Al-Mizan al-Ta'adul Asghar
“Mereka tidak menghargai Allah dengan
seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada
manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” (QS 6:91)
Argumentasi ayat ini adalah Darapti skema ketiga
Aristoteles:
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah {alasan besar A}
Musa As manusia {alasan besar A}
Kesimpulannya: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu {pernyataan I}
Musa As manusia {alasan besar A}
Kesimpulannya: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu {pernyataan I}
Al-Mizan al-Talazum
“Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit
dan bumi akan hancur.” (QS Al Anbiya [21]: 22).
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur {karena
alasan maka kesimpulan}
Nyatanya dunia tidak hancur {penyangkalan kesimpulan}
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain {penyangkalan alasan}
Argumentasinya adalah Modus Tollens kaum Stoa.
Nyatanya dunia tidak hancur {penyangkalan kesimpulan}
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain {penyangkalan alasan}
Argumentasinya adalah Modus Tollens kaum Stoa.
Al Mizan al-Ta'anud
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (QS Saba [34]: 24).
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (QS Saba [34]: 24).
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam
kesesatan {alternatif pilihan}
Kami tidak dalam kesesatan {penyangkalan satu pilihan}
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan {pengakuan pilihan lainnya}
Argumentasinya adalah modus tollendo ponens kaum Stoa.
Kami tidak dalam kesesatan {penyangkalan satu pilihan}
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan {pengakuan pilihan lainnya}
Argumentasinya adalah modus tollendo ponens kaum Stoa.
Dengan mengutip ayat-ayat
tersebut di atas, Al Ghazali menempatkan
mantiq bukan sebagai warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian
inheren dari Al Qur’an. Itulah sebabnya Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa
mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai
ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.
Pendapat al-Ghazali tidak dapat
diterima oleh semua ulama Islam. Taqiyaddin Ibn Thaimiyah (-1328), misalnya,
menyerang pandangan al-Ghazali yang menganggap Mantiq sebagai ilmu universal
yang disebut sebagai al-Mizan.
Menurut Ibn Taimiyah logika Yunani
itu memang berguna untuk ilmu kealaman, namun tak berguna untuk ilmu keagamaan.
Dia mengritik konsep definisi dan metoda silogisme. Soalnya, dia tak bisa
menerima ide universal yang berdiri di luar alam fisik. Baginya, konsep
universal hanya ada dalam pikiran manusia sebagai abstraksi dari realitas
eksternal.
Logika dalam Peradaban Barat Modern
Teknologi pembuatan kertas yang
dikembangkan oleh peradaban Islam menjalar ke Eropah yang dirundung kegelapan
setelah runtuhnya kerajaan Romawi. Dampak dari transfer teknologi ini adalah
didirikannya berbagai universitas di Eropa sejak tahun 1100. Salah satu
universitas itu adalah Universitas Paris di mana gambar Ibn Sina diabadikan
dalam salah satu ruang di fakultas Kedokteran.
Leibniz di abad XVII mempelajari
logika Aristoteles secara kombinatorik akhirnya menambahkan lima lagi silogisme
absah, yang mengasumsikan eksistensi salah satu pengertian, yaitu: Barbari, Camestros,
Celaront, Cesaro dan Calemos sehingga keseluruhannya dapat ditabelkan berikut
ini.
Leibniz, mengikuti renaissance yang dipicu oleh revolusi Gutenberg, juga bermimpi untuk menyusun sebuah ilmu logika
sebagai Calculus Ratiocinator sebagai cabang dari matematika.
Impian Leibniz itu baru bisa
dicapai oleh matematikawan Inggris di abad XIX George Boole[7]
yang merumuskan logika sebagai sebuah bentuk aljabar. Dia pun merumuskan silogika dalam bentuk
sepasang persamaan dua variabel di mana masing-masing variabel yang dituliskan
sebagai huruf adalah lambang bagi pengertian. Dengan ini maka pencarian
kesimpulan menjadi proses pelenyapan variabel sama yang dimiliki oleh kedua
persamaan itu.
Aljabar logika Boole itu kemudian
disempurnakan menjadi sebuah sistem aksiomatika mirip dengan sistem aksioma
ilmu ukur Euklides. Dengan demikian aljabar Boole menjadi sebuah aljabar yang
sangat abstrak.
Di lain pihak Claude Shanon[8]
menemukan bahwa aljabar Boole ini juga berlaku untuk rangkaian pemutus arus
listrik yang sangat kongkret. Aljabar Boole yang sangat kongkret inilah yang
kemudian jadi sarana untuk membuat komputer hingga telepon genggam yang meraja-lela
sekarang.
Sementara itu aksiomatisasi
aljabar logika Boole itu terus mengalami penyederhanaan. Misalnya Bertrand
Russell dapat mereduksi aksiomanya menjadi lima buah dengan satu kaidah
inferensi logika. Huntington berhasil mengurangi aksioma itu menjadi hanya tiga
buah.
George Spencer-Brown mereduksi
lebih lanjut menjadi dua aksioma dengan cara melakukan inovasi aljabar di mana
kekosongan dianggap sebagai lambang SALAH, pendampingan sebagai lambang operasi
ATAU dan PALANG sebagai simbol dua dimensi atau gambar. [9]
Bahkan Louis Kauffman seorang
matematikawan dari Amerika Serikat berhasil mengganti kedua aksioma
Spencer-Brown dengan hanya sebuah aksioma tunggal yaitu salah satu aksioma
Huntington dan membuang dua aksioma Huntington yang lainnya karena tak
diperlukan lagi dalam simbolisasi dua dimensi alias gambar. Kaufman juga mengganti notasi PALANG
Spencer-Brown dengan notasi KOTAK. [10]
Dalam notasi KOTAK Kaufman, aksioma tunggal Huntington itu
adalah sebagai berikut
Logika dalam Pencarian Saya …….
Perjalanan saya ke dunia logika berawal dengan kebingungan saya membaca risalah
logika Aristoteles yang menguntai huruf-huruf dengan kata-kata dalam
deskripsinya tentang silogisme. Padahal saya melihat aljabar logika Boole, yang
merakai huruf-huruf dengan tanda-tanda ilmu hitung, sangatlah mudah, karena
berdasarkan aritmetika yang berbasis dua nilai. Namun, sayangnya, saya tidak
bisa memahami bagaimana Boole membuktikan semua silogisme Aristoteles.
Kebingungan itu berkurang setelah
mempelajari simbolisme piktorial aljabar Boole yang dilakukan oleh Peirce di
abad kesimbilan belas dan oleh George Spencer-Brown dan Louis Kaufman.
Alhamdulillah, saya akhirnya bisa mensimulasi aljabar logika mereka dengan sebuah
permainan yang menggunakan barang-barang kongkret yang bisa kita lihat, pegang
dan pindahkan.
Sementara itu, saya juga
menemukan bahwa jika saya menggunakan notasi asli Boole yang menyatakan TIDAK x
dengan 1- x dan menyatakan x ATAU y dengan x+y, maka melalui hukum De Morgan
saya mendapatkan bahwa x DAN y adalah x-1+y. Selanjutnya pernyataan A adalah
1-x+y, pernyataan E adalah 1-x+1-y, pernyataan I adalah x-1+y dan pernyataan O
adalah x-y.
Dengan notasi seperti ini saya
dapat membuktikan bahwa ‘semua b alah c DAN semua a adalah b’ ekspresi Boolenya
adalah ‘1-b+c-1+1-a+b’ yang nilainya sama dengan ‘1-a+c’ yaitu ekspresi Boole
untuk ‘semua a adalah c’ yang tak lain dari pada kesimpulan silogisme Barbara.
Prosedur ini bisa saya lakukakan untuk mencari ke 24 silogisme absah Leibniz.
Dengan kata lain, kita dapat
menyatakan bahwa rumus aritmetik kesimpulan suatu silogisme absah adalah hasil
penghitungan rumus aritmetik gabungan DAN kedua alasan beserta asumsi
eksistensial jika memang ada. Penemuan ini membuat saya sadar mengapa
al-Ghazali menyatakan sebuah silogisme sebagai sebuah kesetimbangan, karena
kesimpulan memang ekivalen dengan gabungan
alan
Proses penyimpulan ini juga
berlaku bagi aljabar logika Sommers yang menyatakan DAN dengan + dan menyatakan
pernyatan-pernyataan A, E, I dan O masing-masingnya adalah –a+b, -a-b, +a+b dan
+a-b. Aljabar Sommers ini dapat disimulasi dengan mengganti huruf-huruf dengan
barang-barang dan tanda plus minus didepan huruf menyatakan dua keadaan barang
yang berbeda.
Menemukan permainan barang-barang
ini membuat saya bahagia bukan main. Soalnya penurunan logis suatu silogisme
menjadi begitu mudah tidak memerlukan matematika yang sulit dan rumit. Begitu
mudahnya sehingga dapat diajarkan pada anak pra-sekolah. Namun sayangnya ketika
saya sampaikan permainan mudah ini di internet. Tampaknya tak ada yang
mengomentarinya.
…. berujung pada Metoda Sastra
Karena itu saya lalu melakukan simulasi dari permainan barang-barang menjadi
permainan tulisan dengan metoda sastra. Setiap barang diganti dengan tulisan
nama barang itu. Keadaan barang dinyatakan oleh besar kecilnya huruf pertama
penulisan nama barang tersebut.
Misalnya barang-barang itu
diwakili tulisan 'sendok', 'piring' dan 'garpu', maka keadaan lain dari barang
diwakili oleh tulisan 'Sendok', 'Piring' dan 'Garpu'. Dengan demikian setiap
pernyataan kategoris fundamental dinyatakan oleh pasangan dua nama tertulis
benda-benda itu.
Menurut Aristoteles semua
silogisme absah, bisa diubah menjadi dua silogisme sempurna yang oleh logikawan
abad pertengahan diberi nama sebagai Barbara dan Celarent di mana setiap
alasannya adalah pernyataan umum. Barbara adalah silogisme KARENA semua b
adalah c DAN semua a adalah b MAKA semua a adalah c'. Celarent adalah silogisme
'KARENA semua b tidak c DAN semua a adalah c'
Selanjutnya, dia mengatakan bahwa
semua silogisme lain dapt diturunkan dari kedua silogisme sempurna ini. Namun
sebenarnya, silogisme Celarent dapat diperoleh dari silogisme Barbara dengan
mengganti predikat yang ada pada kesimpulan yang sekaligus ada pada salah satu
alasannya dengan lawannya. Misalnya Semua a itu b menjadi semua a tidak b.
Sebagian a itu b menjadi sebagian a tidak b.
Dalam metoda sastra, kita bisa
saja menggantikan huruf-huruf itu dengan nama benda langit. Misalnya, a dengan
'bulan', b dengan'bintang' dan c dengan 'matahari' atau tiga nama prabotan
makan seperti telah disampaikan di atas.
Dalam permainan tulisan, keempat
pernyataan Aristoteles cukup dinyatakan oleh cukup dituliskan dengan dua nama:
·
'semua a itu b' ditulis sebagai 'Bulan bintang',
·
semua a tidak b ditulis sebagai 'Bulan Bintang',
·
'sebagian pokok itu b' ditulis sebagai 'bulan
bintang' dan
·
'sebagian a tidak b' ditulis sebagai 'bulan
Bintang'.
Penggabungan dua buah alasan satu
silogisme dinyatakan dengan mendampingkan kedua alasan tersebut melalui
hubungan DAN yang dilambangkan oleh KOSONG. Jika sudah digabungkan, kita dapat
mencari kesimpulannya melalui metoda sastra.
Dengan metoda sastra ini Barbara ditulis sebagai ‘KARENA Bintang matahari Bulan
bintang MAKA Bulan matahari’ dan Celarent ditulis sebagai ‘KARENA
Bintang Matahari Bulan bintang MAKA Bulan
Matahari ‘
Kalau diperhatikan dalam kedua
silogisme sempurna itu ada dua keteraturan
(1) nama pengertian bersama pada
alasan huruf awalnya berlawanan
(2) kesimpulannya adalah gabungan dari dua pengertian yang berbeda dalam kedua alasan
(2) kesimpulannya adalah gabungan dari dua pengertian yang berbeda dalam kedua alasan
Jadi penyimpulan silogisme
sempurna dalam metoda sastra ini adalah sebagai berikut
(1) coret tulisan nama yang
berlawanan huruf awal pada kedua alasan
(2) kesimpulan adalah gabungan tulisan nama yang tak dicoret
(2) kesimpulan adalah gabungan tulisan nama yang tak dicoret
Cara penyimpulan ini ternyata
dapat digunakan bagi penyimpulan semua silogisme absah Leibniz, termasuk yang
membutuhkan asumsi tambahan tentang eksistensi pengertian dalam alasan. Tentu
saja hal ini tidak konsisten dengan definisi silogisme yang hanya melibatkan
tiga pernyataan menurut Aristoteles. Itulah sebabnya Aristoteles menolaknya
sebagai suatu silogisme absah.
Begitu juga Aristoteles tidak mau
menerima silogisme skema keempat, karena mereka tak lain dari pembalikan dari
silogisme skema kesatu, kedua dan ketiga.
Soalnya, jika kita membalik bulan
dan matahari pada kesimpulan Darii Skema 1 yaitu 'JIKA Bintang matahari bulan bintang MAKA bulan matahari' dan membalik
urutan alasan, maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Dimatis yaitu
‘JIKA bulan bintang Bintang matahari
MAKA
matahari bulan'
matahari bulan'
Begitu juga, jika kita membalik
Bulan dan Matahari pada Celarent skema 1 yaitu 'JIKA Bintang Matahari
Bulan bintang MAKA Bulan Matahari' lalu membalik urutan alasan, maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Calemes yaitu 'JIKA Bulan bintang Bintang Matahari MAKA
Matahari Bulan'
Bulan bintang MAKA Bulan Matahari' lalu membalik urutan alasan, maka kita akan memperoleh silogisme skema keempat Calemes yaitu 'JIKA Bulan bintang Bintang Matahari MAKA
Matahari Bulan'
Selanjutnya, jika kita membalik
bulan dan bintang pada alasan Festino skema 2
yaitu 'JIKA Matahari Bintang
bulan bintang MAKA bulan Matahari', maka kita akan memperoleh
silogisme skema keempat Fresison yaitu 'JIKA Matahari Bintang bintang bulan
MAKA bulan Matahari'
Dengan demikian melalui metoda
sastra ini, kita dapat mencari kesimpulan keempatbelas silogisme absah
Aristoteles dengan sangat mudah. Artinya kebingungan saya membaca risalah
kata-kata Aristoteles akhirnya terpecahkan dengan cara yang sederhana yaitu:
mencoret pasangan nama sama yang huruf awalnya berbeda jenis.
CATATAN AKHIR
Di awal masa kuliah, saya diminta paman saya untuk mempelajari buku Ihya
Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali lalu mencoba mengamalkannya di sisa hidup
saya. Bagi saya mistisisme Islam atau tasawwuf adalah komplementasi bagi
teologi Islam atau ilmu kalam. Ini adalah pewujudan komplementasi fungsi
psikologis intuisi dan rasio sesuai dengan komplementasi mistika dan logika
seperti yang dinyatakan Bertrand Russel.
Secara kolektif komplementasi itu
mewujud pada komplementasi seni dan sains. Komplentasi ini adalah pewujudan
manusiawi dari komplementasi Yin dan Yang di alam seperti diajarkan Lao Zi
dalam nukunya Dao De King. Karena itu saya mencoba mengidentifikasi diri saya
dengan dua tokoh besar pemikiran Islam yaitu Al-Ghazali dan Ibn Rusyd yang
saling melengkapi, meskipun dalam mitologi Barat dikatakan bahwa peradaban
pengikut al-Ghazali yaitu peradaban Islam dikalahkan oleh peradaban Barat
pengikut Ibnu Rusyd.
Dalam sejarah kedua sisi ini
tampak pada dua peradaban besar yaitu peradaban Islam religius tradisional dan
peradaban Barat sekuler modern. Dengan dikalahkannya daulah Utsmaniyah dan
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara oleh penjajah dari Eropa, maka tampak
bahwa orang yang didominasi otak kanan yang menekankan pelestarian seni dan
budaya akan dikalahkan oleh orang yang didominasi otak kanan yang menekankan
pengembangan sains dan teknologi.
Itulah sebabnya saya aktif di
masjid Salman berusaha meyakinkan mahasiswa bahwa peradaban Islam kurun pertama
yang menggabungkan kedua sisi peradaban itu secara seimbang, yaitu peradaban
Islam kurun pertama sebelum Jatuhnya Bagdad dari serbuan Mongol dari Timur dan
Kordoba dari serbuan tentara Salib dari Barat, pernah berjaya di samping
peradaban Eropa yang mengalami masa kegelapannya.
Saya berharap jika kesadaran
Islam ditingkatkan dari kesadaran personal religius menjadi kesadaran integral
peradaban, maka insya Allah, kita dapat membangkitkan peradaban Islam kurun
ketiga di masa depan yang menjadikan spiritualitas religius sebagai
pengintegrasi dimensi material, dimensi sosial, dimensi kultural dan dimensi moral seperti yang
pernah terjadi pada peradaban Islam kurun pertama. Semoga memang demikian
adanya. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Catatan kaki
[1]
Aristoteles, Categories bisa dibaca online di http://www.gutenberg.org/files/2412/2412-h/2412-h.htm
[3] Nicholas Rescher, Galen and the Syllogism, University
of Pittsburgh Pre, May 15, 1966
[4]
Terjemahan Bahasa Inggris dari terjemahan Bahasa Ibrani: THE LOGICAL PART OF AL-GHAZALI'S
MAQASID AL-FALASIFA, IN AN ANONYMOUS HEBREW TRANSLATION WITH THE HEBREW
COMMENTARY OF MOSES OF NARBONNE, EDITED AND TRANSLATED WITH NOTES AND AN
INTRODUCTION AND TRANSLATED INTO ENGLISH. CHERTOFF, GERSHON BARUCH, PHD. COLUMBIA
UNIVERSITY, 1952. http://www.ghazali.org/books/chertoff.pdf
[5] Al Ghazali, Tahafut al Falasifah, editor Sulyman Dunya, Cairo:
Dar al Maarif, tanpa tahun.
[6]
Al-Ghazali, al-Qistas al-mustaqim: The Correct Balance (Terjemahan. R. McCarthy) http://www.ghazali.org/books/jb-4.pdf .
[7] George Boole. 1854/2003. The Laws of Thought, facsimile of
1854 edition, with an introduction by J. Corcoran. Buffalo: Prometheus Books
(2003). http://www.gutenberg.org/files/15114/15114-pdf.pdf?session_id=440004f1dfdc8810a63b2f29a80d6c2f1674b177
[8] Claude Shannon, "A Symbolic Analysis of Relay and Switching
Circuits," unpublished MS
Thesis, Massachusetts Institute of Technology, August 10, 1937.
[9]
George Spencer-Brown, Laws of Form, Bantam Books, paperback (1973)
No comments :
Post a Comment