Wawancara Dana Revolusi
dengan Dr.Soebandriyo
oleh Linda Djalil
Linda Djalil: Bisa Anda jelaskan tentang dana revolusi yang diributkan orang?
Subandriyo: Saya
gembira diberi kesempatan memberi penjelasan tentang dana revolusi.
Hingga kini, orang memberi keterangan mengenai dana itu tanpa pengertian
sebenarnya. Pengumpulan dana revolusi diputuskan oleh Presiden Soekarno
dan Pemerintahan Djuanda.
Ketika itu keadaan keuangan negara
sangat sulit, dan anggaran belanja para menteri sangat terbatas. Jika
menteri kehabisan uang maka dibutuhkan tambahan anggaran belanja. Ini
makan waktu agak lama, sampai beberapa bulan.
Maka menteri
keuangan dipersilakan menyediakan dana revolusi dalam rupiah, dalam
jumlah terbatas. Keadaan keuangan negara waktu itu serba sulit, separuh
anggaran belanja negara dipakai untuk perjuangan merebut Irian Barat
kini Irian Jaya.
Para menteri yang sangat membutuhkan uang
mengajukan permintaan kepada menteri keuangan yang meneliti permintaan
itu. Jika menteri keuangan setuju, kemudian harus diajukan kepada
Djuanda untuk mendapat pengesahannya.
Setelah Bapak Djuanda meninggal, saya dan Chairul Saleh diberi tugas memberi keputusan terakhir tentang permintaan menteri.
Lalu?
Ya, kami berdua memberikan persetujuan. Misalnya untuk Menteri
Perindustrian Arumnanto. Jumlahnya Rp30 juta, atas rekomendasi menteri
keuangan.
Dana Revolusi itu sebenarnya disimpan di mana?
Dana
itu dihebohkan disimpan di luar negeri atas nama saya. Sebenarnya tak
begitu. Dana revolusi berwujud rupiah dan hanya disimpan di bank dalam
negeri, bukan di luar negeri.
Lalu Anda mengetahui adanya Dana Revolusi dari mana?
Semula
saya sendiri lupa, tak pernah memikirkan apakah ada uang sebanyak itu,
yang disebut dana revolusi itu. Tiba-tiba, kira-kira tahun 1980-an,
seorang Malaysia bernama Musa datang ke rumah menemui istri saya Dyan
(Sri Kusdyantina).
Saya sendiri sudah hidup di penjara. Musa mengaku baru tahu bahwa saya masih hidup setelah melihat foto kami.
Musa datang mengaku sebagai apa?
Sebagai
nasabah Union Bank of Swetzerland. Dia juga mengaku tahu persis bahwa
di bank Swiss itu ada deposito atas nama Dr Soebandrio sebanyak USD130
juta. Dia ceritakan kepada Dyan. Tapi saya menganggap keterangan itu
bohong dan sensasional.
Pemerintahan Soekarno sama sekali tak
mempunyai dana untuk disimpan di Swiss. Saya pesan kepada istri saya
untuk menjawab begitu kalau ditemui Musa. Sebab saya yakin, dana
revolusi itu tak mungkin ada.
Tapi kok akhirnya Anda percaya?
Begini
ya. Namanya orang di dalam bui, tak bisa apa-apa, tak bisa mengecek
langsung. Sementara itu, Musa tak putus asa dengan jawaban istri saya.
Dia berkali-kali berusaha menemui Dyan. Itu berlangsung selama kira-kira
satu tahun.
Bahkan, dia pernah datang membawa seorang Swiss
untuk membuktikan bahwa saya masih hidup, dan hukuman saya telah diubah
dari vonis mati menjadi hukuman seumur hidup. Musa terus membujuk.
Dia berkata, kalau saya sudah mati, dana itu akan menjadi milik Bank Swiss. Sayang sekali kalau tak segera diambil.
Apa upaya Musa selanjutnya?
Dia
mendesak istri saya agar membujuk saya untuk memberikan surat
keterangan bahwa deposito yang ada di Swiss memang atas nama saya.
Akhirnya saya bersedia memberi surat kuasa kepada Musa.
Isinya
minta keterangan tertulis kepada Union Bank of Switzerlan (UBS), apakah
benar deposito di bank tersebut memang atas nama saya. Jadi justru saya
yang meminta keterangan, bukan saya yang memberi keterangan. Saya juga
tak mengatakan ingin menagih.
Jawaban mereka?
Ha,ha,ha, sampai sekarang keluarga saya belum menerima surat jawaban
dari UBS. Jadi saya belum tahu apakah benar di sana ada deposito atas
nama saya.
Siapa lagi yang pernah menyebut soal dana revolusi itu kepada Anda?
Harry,
keponakan saya dari istri pertama, dan bapaknya Hoepoedio. Mereka
mengunjungi saya di penjara dan menganjurkan supaya dana di Swiss itu
diambil negara. Katanya, cukup dengan surat kuasa saja kepada Harry
untuk mengambil dana itu.
Tapi mengapa Anda diam-diam juga melakukan penyelidikan, tanpa melapor kepada pemerintah?
Saya
tidak diam-diam dan tak ada maksud jahat untuk membelakangi pemerintah.
Kalau Musa merasa yakin, ya silakan cari. Sebab saya sendiri belum
yakin betul dana itu ada. Jadi untuk apa diberitahukan kepada
pemerintah, kalau saya sendiri tak yakin. Iya kalau ada. Kalau tidak,
kan malu.
Kalau waktu itu memang ada, apakah Anda akan mengambil uang itu untuk pribadi?
Sejak
semula saya sudah niat, seandainya uang itu benar ada, akan saya
serahkan kepada negara. Saya sadar, itu bukan hak saya. Tak ada uang
pribadi saya sebanyak itu di luar negeri. Tak tebersit sedikit pun
mengambil uang orang lain.
Saya narapidana yang ingin bertobat dan hanya kepada Allah SWT hidup ini saya pasrahkan.
Tapi nyatanya Anda toh memberi kuasa kepada Musa untuk mencairkan uang USD35 juta?
Itu
salah. Bukan USD35 juta, melainkan USD35 ribu. Dan itu bukan uang dana
revolusi. Itu uang dari rekening pribadi saya sendiri, uang yang saya
miliki di Swiss. Jumlahnya USD35 ribu. Itu kan kecil.
Sengaja
saya suruh Musa mengurusnya, sekalian untuk mengetes dia, apa benar dia
bisa. Ternyata uang itu pun tak bisa diambil. Sekali lagi, saya tak
mengutak-utik dana revolusi. Uang USD35 ribu itu uang saya pribadi.
Kabarnya
tanggal 27 Februari 1992 Anda memberi cek senilai USD1 juta kepada Musa
untuk dicairkan di UBS. Anda juga meminta Musa untuk mentransfer uang
tersebut ke rekening Kusdyantinah di First National City Bank di Jalan
Thamrin, Jakarta. Benar begitu?
Itu betul. Tapi cek itu juga tak berhasil dicairkan.
Dalam riuh Dana Revolusi ini muncul nama Nicholas James Constantine? Siapa dia?
Saya
menerima surat dari ahli hukum Swiss, ya itulah orangnya. Dia
mengatakan, saya punya deposito di UBS sebesar USD 130 juta. Deposito
itu bisa diambil melalui sindikat Swiss, yaitu organisasi perbankan di
Swiss.
Bantuan sindikat ini harus dibayar dengan imbalan 40%
dari jumlah deposito. Syarat lain, saya harus dalam keadaan bebas dan
harus datang sendiri ke Union Bank of Switzerland di Jenewa.
Anda bertemu sendiri dengan orang itu?
Tidak. Istri saya yang bertemu dengannya. Tapi saya meminta Dyan
untuk menghindarinya. Sebab sejak kejadian Musa dulu, saya sudah tak mau
lagi mengurus uang yang disebut sebagai dana revolusi itu.
Saya
menganjurkan agar istri saya tak lagi menggubris berita sensasional
itu. Oleh sebab itu, Constantine berupaya datang terus ke Jalan Imam
Bonjol, tapi istri saya tak mau menemuinya.
Bagaimana akhirnya bisa bertemu dengan Constantine?
Istri
saya pernah diundang menghadiri acara pengajian di rumah Ibu Nelli Adam
Malik. Ya, istri saya datang. Tahu-tahu di sana sudah ada Constantine
yang sengaja menunggu. Ibu Nelly sekonyong-konyong mempertemukan istri
saya.
Tentu saja istri saya sangat kaget. Di situlah Constantine
mulai menjelaskan kembali deposito atas nama saya di Union Bank of
Switzerland. Constantine meminta Dyan membujuk saya untuk mencairkannya.
Constantine bilang, sayang sekali kalau deposto itu tak diambil
dan akan jatuh ke tangan bank itu. Bahkan Ibu Nelly ikut mempengaruhi.
Kepada istri saya, dia berkata, dosa lho kalau uang negara itu
didiamkan. Istri saya jadi bingung.
Apakah Constantine minta imbalan?
Tentu
saja. Kepada istri saya, dia mengatakan bisa mengurus dana revolusi
asalkan diberi 40% dari hasil deposito yang bisa dicairkan.
Tanggal
13 Februari 1986 Anda menulis surat kepada Presiden Soeharto,
memberitahukan tentang adanya dana revolusi itu. Artinya Anda mengakui
bahwa uang itu ada?
Saya serba salah. Tidak melapor, nanti salah.
Diam, salah. Akhirnya saya pikir melapor saja. Saya tulis surat ke
Presiden. Dalam surat itu pun saya mengatakan, sebagai warna negara yang
setia, saya ingin menyerahkan uang itu kepada pemerintah RI.
Dalam
surat kepada Pak Harto, Anda merinci jumlah dana di Union Bank of
Switzerland sebesar USD450 juta. Di Barcley Bank Inggris ada emas
senilai 125 juta poundsterling. Bukankah itu berarti Anda tahu persis
keberadaan dana itu?
Itulah kesalahan saya. Saya dan keluarga
saya begitu dipengaruhi orang luar. Dari tak percaya, sampai akhirnya
percaya. Mengapa saya menyebut angkanya kepada Pak Harto, itu karena
saya bingung.
Banyak orang memberikan data itu berikut
menyebutkan tempat penyimpanannya. Mereka juga berkata, kalau saya tak
mengaku akan berdosa, yang akibatnya bisa fatal. Saya sebetulnya bukan
tak mau mengaku. Tapi saya memang sanksi barang itu ada.
Surat itu Anda tulis sesudah atau sebelum dihubungi oleh Constantine?
Sesudah.
Anda pernah menyebut soal barter kebebasan dengan Dana Revolusi?
Sama sekali tidak. Itu fitnah belaka. Sebab sejak semula saya sudah
menganggap, uang itu kalau memang ada, bukan milik saya, bukan hak saya.
Anda memakai pengacara Amin Arjoso?
Arjoso
semula teman akrab Harry Hupudio–kemenakan saya. Setelah saya ditanya
macam-macam tentang dana revolusi, Amin yakin betul uang itu ada. Mereka
minta surat kuasa dari saya dan mengatakan sanggup mengambil uang itu
asalkan dibayar 40%.
Mereka berjanji, istri saya akan diberi 10% dari deposito itu. Permintaan mereka tak saya layani.
Hubungan Anda dengan Suhardiman?
Ketika
saya menjadi Menteri Luar Negeri, dia sering datang ke rumah saya untuk
beramah-tamah. Pernah pula dia minta bantuan untuk organisasi buruh
SOKSI.
Saya pun membantu. Ketika dana revolusi diramaikan, dia
mengatakan agar dana itu segera diambil dan diserahkan kepada
pemerintah. Saya tak patut meminta komisi. Rupanya Suhardiman belum
tahu, bahwa jauh sebelumnya saya sudah menulis surat kepada Presiden.
Baru belakangan dia tahu.
Masih berhubungan dengan Musa ataupun Constantine?
Sama
sekali tidak. Dan belum pernah sepotong surat pun yang mereka bawa dari
UBS. Sampai sekarang mereka ternyata tak bisa membuktikan bahwa saya
memiliki deposito di UBS. Jadi tak benar ada dana revolusi atas nama
saya.
sumber http://lindadjalil.com/2013/10/wawancara-soebandrio-tentang-dana-revolusi/
No comments :
Post a Comment