Konspirasi Hebat CIA dan Freeport
Pada sekitar tahun 1961, Presiden
Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang
asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan
perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia. Namun
kebanyakan dari mereka, gerah dengan peraturan itu. Akibatnya, skenario
jahat para elite dunia akhirnya mulai direncanakan terhadap negeri
tercinta, Indonesia.
Saat itu di Kuba, Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba, akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Fidel Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan. Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936.
Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda. Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya. Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata. Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah disekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama GOLD MOUNTAIN, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga tahun pasti sudah kembali modal. Pimpinan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Forbes Wilson bersama anggota geologist Freeport di Erstberg 1967
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama
dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas
tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah
memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy
(JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah
sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda, akan
menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan
Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk
membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang
Dunia II, terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Soekarno dan JF Kennedy
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg
sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja
Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan
yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai
emas yang ada di gunung tersebut. Dampak dari sikap Belanda untuk
mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pemimpin Freeport jelas marah besar.
Presiden AS, John F Kennedy ditembak saat bersama istrinya di mobil kab terbuka pada 22 November 1963.
Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi
kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank
Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan! Segalanya berubah seratus
delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22
November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kennedy merupakan
sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak
mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika. Presiden
Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang
dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada
Indonesia, kecuali kepada militernya.
Presiden
Sukarno pada lawatan kenegaraannya ke Amerika Serikat sedang memeriksa
barisan tentara kehormatan Amerika setelah turun dari pesawat didampingi
presiden AS, John F Kennedy
Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C.Long,
salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini
memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan
Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan
dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961
memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60
persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai
salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat
terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.Augustus C.Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport dan pemimpin Texaco, yang membawahi Caltex, ia juga chairman Presbyterian Hospital Board dan Penasehat CIA di kepresidenan AS untuk masalah luar negeri..
Pengamat sejarawan LIPI, Dr Asvi Marwan Adam
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui
Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua.
Namun Soekarno menolak secara halus. “Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya,”
ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno. Soekarno berencana modal asing
baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap
mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang
Indonesia masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri.
Oleh karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa
belajar ke negara-negara lain.Soeharto, sebagai komandan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disaat memimpin pasukan untuk memerangi G-30/S-PKI
Soeharto diberikan mandat dengan dikeluarkannya Supersemar untuk mengatasi keadan oleh Presiden Soekarno
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara
Indonesia berubah total. Terjadi kudeta yang telah direncanakan dengan
“memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966,
yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu disalahartikan. Dalam
Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi
keadaan negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru
menjadikannya menjadi seorang presiden. Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport
yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease
menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah
tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga
sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat
telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport? Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Oleh karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah.
Julius Tahija, penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo
. Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga
dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata. Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan
Freeport. Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha
lokal dalam perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam
PT Faroka, PT Procter & Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera
Indonesia, Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia. Sedangkan Ibnu
Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena
dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka. Sebagai bukti
adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA)
pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang
draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller
seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967. Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia
menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan
mungkin untuk selamanya. Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28
Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota
Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia
kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata
dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan
perjanjian pengembalian kembali pabrik Bata pada tanggal 3 Maret 1967.
Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk
memperbesar) Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal ini. Namun ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach. Masih ditahun yang sama 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya juga dilakukan, tepatnya pada tanggal 7 April perjanjian itu ditandatangani.
Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Freeport di Jakarta Indonesia, 1967. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar)
Akhirnya, perusahaan Freeport Sulphur of Delaware, AS pada Jumat 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS. Penandatanganan bertempat di Departemen Pertambangan, dengan Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata dan Freeport oleh Robert C. Hills (Presiden Freeport Shulpur) dan Forbes K. Wilson (Presiden Freeport Indonesia), anak perusahan yang dibuat untuk kepentingan ini. Disaksikan pula oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Marshall Green.
Freeport
mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk
kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama
dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali
dilakukan dengan tujuan Jepang.
Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar
penyusunan Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 yang disahkan
pada Desember 1967. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru
dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing
selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa,
kontrak-kontrak seperti itu malah merugikan Indonesia. Setelah itu juga
ikut ditandatangani kontrak eksplorasi nikel di pulau Irian Barat dan di
area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia.Keterangan gambar diatas: Penandatanganan Kontrak Nikel Irian oleh Pacific Nickel Indonesia, 19 Februari 1969. Sumber foto: The Netherlands National News Agency (ANP) (klik untuk memperbesar) Perjanjian dilakukan oleh E. OF Veelen (Koninklijke Hoogovens), Soemantri Brodjonegoro (yaitu Menteri Pertambangan RI selanjutnya yang menggantikan Ir. Slamet Bratanata) dan RD Ryan (U.S. Steel). Pacific Nickel Indonesia adalah perusahaan yang didirikan oleh Dutch Koninklijke Hoogovens, Wm. H. MÜLLER, US Steel, Lawsont Mining dan Sherritt Gordon Mines Ltd. Namun menurut penulis, perjanjian-perjanjian pertambangan di Indonesia banyak keganjilan. Contohnya seperti tiga perjanjian diatas saja dulu dari puluhan atau mungkin ratusan perjanjian dibidang pertambangan. Terlihat dari ketiga perjanjian diatas sangat meragukan kebenarannya. Pertama, perjanjian pengembalian pabrik Bata, mengapa dikembalikan? apakah rakyat Indonesia tak bisa membuat seperangkat sendal atau sepatu? sangat jelas ada konspirasi busuk yang telah dimainkan disini.
Kedua, perjanjian penambangan tembaga oleh Freeport, apakah mereka benar-benar menambang tembaga?
Saya sangat yakin mereka menambang emas, namun diperjanjiannya
tertulis menambang tembaga. Tapi karena pada masa itu tak ada media,
bagaimana jika semua ahli geologi Indonesia dan para pejabat yang
terkait di dalamnya diberi setumpuk uang? Walau tak selalu, tapi didalam
pertambangan tembaga kadang memang ada unsur emasnya.
Perjanjian
ketiga adalah perjanjian penambangan nikel oleh Pasific Nickel, untuk
kedua kalinya, apakah mereka benar-benar menambang nikel?
Saya sangat yakin mereka menambang perak, namun diperjanjiannya
tertulis menambang nikel. Begitulah seterusnya, semua
perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia
dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta
perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan
ratusan tahun kedepan. Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan
Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur kenegara-negara
pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan
tahun. “Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat
karena telah membantu menghancurkan komunis, yang konon bantuannya itu
dengan senjata,” tutur pengamat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Dr Asvi Marwan Adam.Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport mengandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978. Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan
menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi
tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu
merupakan yang termurah di dunia!!
Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
EMASPURA. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah.
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine)
atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut
emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah
Indonesia sampai sekarang!! Seharusnya patut dipertanyakan, mengapa kota
itu bernama Tembagapura? Apakah pada awalnya pihak Indonesia sudah
“dibohongi” tentang isi perjanjian penambangan dan hanya ditemukan untuk
mengeksploitasi tembaga saja? Jika iya, perjanjian penambangan harus
direvisi ulang karena mengingat perjanjian pertambangan biasanya berlaku
untuk puluhan tahun kedepan! Menurut kesaksian seorang reporter CNN
yang diizinkan meliput areal tambang emas Freeport dari udara. Dengan
helikopter ia meliput gunung emas tersebut yang ditahun 1990-an sudah
berubah menjadi lembah yang dalam. Semua emas, perak, dan tembaga yang
ada digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah
beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga
ratusan tahun kedepan. Freeport juga merupakan ladang uang haram bagi
para pejabat negeri ini di era Suharto, dari sipil hingga militer. Sejak
1967 sampai sekarang, tambang emas terbesar di dunia itu menjadi
tambang pribadi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Freeport McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk itu yang walau
jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil
karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat. Jika
Indonesia mau mandiri, sektor inilah yang harus dibereskan terlebih
dahulu.Karena, jika presiden Indonesia siapapun dia, mulai berani mengutak-atik tambang-tambang para elite dunia, maka mereka akan menggunakan seluruh kekuatan politik dengan media dan militernya yang sangat kuatnya di dunia, dengan cara menggoyang kekuasaan presiden Indonesia.
No comments :
Post a Comment