Menimbang Mantik:
Antara Al Ghazali dan Ibn Taymiah
Oleh: Umar M. Noor
Abstract:
Mantiq or Logics became polemic in history of
Islamic intellectual. Two prominent figures in Mantiq debate were
al-Ghazaly and ibn-Taymiya: the first as defender of Mantiq, while the
second was trying to reject it. Both are have reasonable arguments. This
article tries to describe briefly the debate history. Al-Ghazaly argues
that Mantiq is to authorize ones knowledge; no knowledge without
Mantiq. Meanwhile, ibn Taymiya argues that syllogisms gave nothing but
confusing and difficulties. Keywords: Mantiq, history of Mantiq, kind of Mantiq, jauhar, tashawwur, tashdiq, had, ta’rif, musallamah, nazhariah, syllogism, burhan, khithabi, jadali, syi’ri, sufusthah, critic on Mantiq.
Menuju keharusan ijtihad guna mengiringi gerak zaman memaksa kita untuk mengkaji semua perangkat yang mendukung sahnya sebuah ijtihad. Sebab ijtihad, yang disebut ahli ushul sebagai pengerahan segenap upaya (bazlul majhud) untuk menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumber aslinya, bukan perkara mudah. Paling tidak, upaya ini memaksa kita untuk mengkaji ulang furu’ dan ushul fiqih kita, bahkan pola pikir yang mendasari produk pemikiran ini. Salah satunya adalah pembahasan tentang mantik sebagai aturan-aturan berpikir yang, diakui atau tidak, berpengaruh sangat besar dalam proses penyimpulan hukum. Berikut ini diskusi antar generasi yang terpisahkan jarak ratusan tahun, dengan Al Ghazali dan Ibn Taymiah sebagai aktor pelakunya.
Mantik: Hakikat dan Sejarahnya
Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau’) yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar). Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi.[i][1]
Ahli mantik berkata bahwa pengetahuan yang dicapai manusia hanya dua macam, yakni tashawwur (pengetahuan konseptual), tanpa menetapkan hukum apa-apa atasnya, dan tashdiq (pengetahuan relasional) antara dua hal dengan menetapkan penilaian benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikir manusia hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di otaknya untuk menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai dengan realitas, atau menilai sesuatu dengan sesuatu lainnya. Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga benar. Maka dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir itu disebut mantik (logika).
Sebenarnya, Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang mengumpulkan dan menyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai “guru pertama”. Organon, bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian: Categoria (membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat), Sofistika (qiyas yang menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis).[ii][2]
Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini.
Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka.[iii][3]
Al Ghazali dan Mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah.[iv][4]
Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H) yang mendamaikan keduanya. Kharisma dan argumentasinya berhasil mengakhiri perdebatan ini dan membuat ilmu mantik diterima di kalangan sunni.
Meski terkenal sebagai musuh besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan dengan Tahafut ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandung filsafat ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi’yar ul-‘Ilm, Al Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al Mustashfa dan secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut Syiah Ismailiah di Al Qisthas ul-Mustaqim.
Berikut sedikit ringkasan tentang mantik ala Al Ghazali yang bisa penulis tampilkan pada kesempatan kali ini.
Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia sering keliru dalam memastikannya.[v][5]
Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.[vi][6]
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu tashawwur dan tashdiq. Pengetahuan tashawwur terbagi dua: pertama, pengetahuan yang telah ada di otak manusia sejak awal (a priori) sehingga pengetahuan tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh, pengetahuan tentang makna ‘ada’, ‘banyak’ dan beberapa benda-benda inderawi lainnya. Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk yang kedua ini diperlukan sebuah definisi (had/ta’rif) yang memperjelas makna kata tersebut. Sementara itu, pengetahuan tashdiq juga terbagi menjadi dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang kebenarannya tidak perlu pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus dibuktikan kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme).
Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme. Di atas kita telah membahas tentang makna tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan berikutnya adalah tentang had dan sylogisme.[vii][7]
1. Definisi (Had)
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan[viii][8]. Untuk membuat sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun) penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam, maka jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk definisi. Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas sebuah jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus dikuasai terlebih dahulu. Pertanyaan ‘apa’ menuntut tiga hal: penjelasan kata (apa itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan penjelasan hakikat serta esensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur).
Definisi pertama disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan hakikat dan esensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan ‘mengapa’ menuntut pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan ‘yang mana’ meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan dengan ‘bagaimana’, ‘di mana’, ‘kapan’ dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam penjelasan dari pertanyaan ‘apakah’ yakni menuntut penjelasan tentang sifat sesuatu.[ix][9]
Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat esensial (dzati), aksidental (‘aridh) dan lazim dari sesuatu.[x][10] Sifat esensial (dzati) adalah sifat yang masuk dalam esensi dan hakikat sesuatu, tidak mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat esensial adalah makna ‘warna’ yang dipahami dari kata ‘hitam’, dan makna ‘benda’ dari kata ‘pohon’, misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya. Seperti bayangan yang menyertai postur manusia ketika matahari terbit. Memahami hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat aksidental (‘aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang cepat atau lambat.
Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat esensial untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat esensial terbagi menjadi umum, selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau’). Makhluk adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya, manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir (differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat esensial dari obyek yang hendak didefinisikan.
Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamr adalah minuman, maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan.
Singkatnya, sebuah definisi yang baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun’akis), yakni terbuka untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu’arraf) dan tertutup untuk selain entitas-entitas itu.
2. Sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa sylogisme adalah satu-satunya jalan mencapai pengetahuan tashdiq dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Sylogisme adalah beberapa proposisi yang disusun sedemikian rupa dengan syarat-syarat tertentu sehingga melahirkan kesimpulan (natijah) yang dicari. Proposisi ini disebut premis (muqaddimah), ysng terbagi dua menjadi mayor (muqaddimah kubra) dan minor (muqaddimah shughra). Sylogisme yang baik adalah yang tersusun dari premis-premis sahih dan meyakinkan, serta disusun dengan cara yang benar. Ibarat membangun sebuah rumah, yang harus diperhatikan pertama kali adalah bahan material (batu, semen dan kayu) yang membentuk rumah itu, kemudian cara pembuatannya dan terakhir bentuk rumah tersebut. Begitu juga dalam membangun sebuah sylogisme, yang harus diperhatikan pertama kali adalah kata dan makna yang menjadi materi premis, kemudian cara penyusunan premis-premis yang sah, lalu bentuk sylogisme yang dapat menghasilkan kesimpulan.[xi][11] Maka pembahasan sylogisme ini akan dimulai dengan pembahasan tentang makna dan kata, dilanjutkan dengan pembahasan tentang cara penyusunan premis dan terakhir pembahasan tentang bentuk-bentuk sylogisme.
a. Makna dan Kata
Penunjukan kata untuk makna terjadi dalam tiga bentuk: muthabaqah, tadhdmmun dan iltizam. Kata rumah disebut muthabaqah jika me-refers kepada makna rumah secara konvensional. Disebut tadhammun jika kata tersebut me-refers kepada atap saja, misalnya. Dan relasi sebuah kata dengan makna disebut iltizam jika kata tersebut me-refers kepada hal yang di luar pengertian kata itu namun sesuatu yang selalu mengiringinya. Seperti menyebut kata atap untuk menunjuk tembok.
Relasi kata dan makna yang lain adalah sebuah kata disebut mu’ayyan jika hanya merujuk kepada satu objek tertentu, namun jika merujuk kepada banyak objek disebut mutlaq. Contoh mu’ayyan, kata Zaid, Ahmad dan lain-lain. Contoh mutlaq, kata manusia, pohon dan seterusnya.
Pembagian kata yang lain adalah mutaradifah, mutabayinah, mutawathiah dan musytarakah. Hubungan antara kata “bisa” dan “racun” disebut mutaradifah (sinonim). Hubungan antara kata “singa”, “langit”, “kunci” disebut mutabayinah (tak ada kesamaan). Hubungan antara kata “Zaid”, “Ahmad”, “Hasan” dengan kata laki-laki disebut mutawathiah (hiponimi). Hubungan antara kata “bisa” yang berarti racun dan kata “bisa” yang berarti mampu disebut musytarakah (homonim).[xii][12]
b. Proposisi
Penyusunan dua makna yang melahirkan justifikasi benar-salah disebut proposisi (qadhiyah). Proposisi terbagi empat: ta’yin (contoh, Zaid seorang sekretaris), umum (contoh, setiap benda pasti berbobot), khusus (contoh, sebagian manusia berilmu) dan muhmal (contoh, manusia dalam kerugian).[xiii][13]
c. Kontradiksi
Suatu proposisi kadang dengan mudah disimpulkan kebenarannya hanya dengan melihat kelirunya proposisi yang menjadi lawannya. Contoh, alam ini kekal atau alam ini tidak kekal. Jika proposisi yang pertama benar, maka yang kedua salah, demikian sebaliknya. Syarat sahnya kontradiksi ada enam, yaitu satu dalam subyek, satu dalam predikat, satu dalam relasi (idhafah), satu dalam potensi dan aktual, satu dalam universal dan partikular, satu dalam tempat dan waktu.[xiv][14]
d. Macam-macam Qiyas (Sylogisme)
Ahli mantik berkata bahwa dalil yang menghasilkan pengetahuan hanya tiga, yaitu deduksi, induksi dan penyerupaan (tamtsili). Sebab pembuktian hanya bisa dilakukan dengan pembuktian universal atas partikular (kulli ‘ala juz’i), partikular atas universal (juz’i ‘ala kulli) dan partikular atas partikular (juz’i ‘ala juz’i).
Yang pertama disebut deduksi (menempati peringkat pertama dalam pembuktian). Yang kedua disebut induksi (menempati peringkat kedua). Dan yang ketiga disebut penyerupaan (menempati peringkat terendah).
Qiyas penyerupaan adalah perpindahan dari satu partikular ke partikular lain yang memiliki keserupaan dalam sifat dengannya. Qiyas ini sering digunakan para fuqaha dalam menyimpulkan hukum syar’i atas sesuatu. Jika seseorang bertanya, “Apa itu roti,” lalu diperlihatkan kepadanya sebuah roti, maka selanjutnya ia akan menyebut roti untuk sesuatu yang serupa dengan yang ia lihat itu, meski bentuk dan warnanya berbeda.
Induksi terbagi dua: jika bagian-bagiannya (al afrad) terbatas sehingga bisa diteliti semuanya maka induksi ini sempurna dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Namun jika bagian-bagiannya tak terbatas sehingga hanya menetapkan hukum atas sebagian besarnya, maka disebut induksi tidak sempurna dan tidak menghasilkan keyakinan (zhan).
Terakhir deduksi, jika premis-premisnya terdiri dari materi meyakinkan dengan bersandarkan kepada dalil-dalil aksiomatik (yaitu inderawi lahir, perasaan batin, ekperimental, berita mutawatir dan kepastian rasional), menghasilkan kesimpulan meyakinkan. Qiyas ini disebut demonstrasi (burhan). Jika tidak, maka salah satu dari retorika (khithabi), dialektika (jadali), poetika (syi’ri) atau sofistika (sufusthah).
e. Bentuk demonstrasi
Bentuk demonstrasi ada tiga:
Bentuk pertama, yakni proposisi yang saling sepadan (ta’adul) terdiri dari tiga skema;
Pertama, illat (kopula) berada di predikat (premis I) dan di subjek (premis II).
Setiap bir memabukkan.
Setiap yang memabukkan hukumnya haram
Kesimpulan: Setiap bir hukumnya haram
Kedua, illat berada di predikat kedua premis.
Sang Pencipta tidak tersusun
Setiap benda tersusun
Kesimpulan: Sang Pencipta bukan benda
Ketiga, illat berada di subjek kedua premis.
Setiap hitam adalah sifat
Setiap hitam adalah warna
Kesimpulan: Sebagian sifat adalah warna
Bentuk kedua, yaitu proposisi yang saling menentukan (talazum). Pakar logika menyebutnya syarat bersambung (syarti al muttashil). Bentuk ini terdiri dari empat skema, namun hanya dua yang berkesimpulan. Keduanya adalah:
Pertama, menerima sebab berarti menerima akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalat itu sah
Kesimpulan: Pelakunya suci
Kedua, menerima negasi akibat berarti menerima negasi sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya tidak suci
Kesimpulan: Shalatnya tidak sah
Kedua skema yang tidak berkesimpulan adalah:
Pertama, menerima akibat belum tentu menerima sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya suci, tapi belum tentu shalatnya sah (sebab boleh jadi shalat itu batal karena hal lain).
Kedua, menerima negasi sebab, belum tentu menyimpulkan akibat atau negasi akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalatnya tidak sah, belum tentu karena pelakunya tidak suci.
Bentuk ketiga, disebut bentuk saling menentang (ta’anud). Pakar logika menyebutnya syarat terpisah (syarti al munfashil), sementara ahli kalam menyebutnya Sabr wa Taqsim. Bentuk ini juga terbagi menjadi empat pengandaian:
Contoh: Alam ini kekal atau diciptakan
Pengandaian pertama: Alam ini diciptakan
Kesimpulan: Alam ini tidak kekal
Pengandaian kedua: Alam ini kekal
Kesimpulan: Alam ini tidak diciptakan
Pengandaian ketiga: Alam ini tidak diciptakan
Kesimpulan: Alam ini kekal
Pengandaian keempat: Alam ini tidak kekal
Kesimpulan: Alam ini diciptakan
f. Mantik di Dalam Al Qur’an?
Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur’an menggunakan tiga cara penyimpulan logis ini (ta’adul, talazum dan ta’anud) dalam menjawab argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan ‘Neraca Al Qur’an’ (mizan Al Qur’an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini.[xv][15] Untuk neraca ta’anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau tuhan) terbitkanlah dari barat!” (QS Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:[xvi][16]
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhan
Al Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta’adul ini dengan neraca besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), “Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam.” (QS Al An’am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:[xvii][17]
Bulan tenggelam
Tuhan tidak mungkin tenggelam
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan
Skema terakhir dari neraca ta’adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, “Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, ‘Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?’” Uraian logisnya sebagai berikut:[xviii][18]
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu
Neraca talazum terdapat dalam ayat, “Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur.” (QS Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:[xix][19]
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain
Terakhir, neraca ta’anud terdapat dalam ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?’ katakanlah, ‘Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.’” (QS Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:[xx][20]
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan
Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur’an. Maka jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.
Ibn Taymiah dan Kritik Mantik
Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah lahir di Haran pada Rabi’ ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya membawanya ke Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran.
Di kota ini, ia mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga filsafat dan logika. Allah menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam memahami sesuatu serta hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan sesuatu yang pernah dihafalnya. Selain itu, ia juga seorang zuhud dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran. Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para pendengki membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal’ah) Damaskus, dekat makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit di pengasingannya, pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu dimakamkan di pekuburan Shufiah dengan diiringi ribuan manusia.[xxi][21]
Ibn Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan sunnah dan menentang bid’ah. Termasuk dalam hal ini adalah penentangannya terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang bertentangan dengan tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang hal ini antara lain adalah Naqdh ul-Mantiq, Ar-Rad ‘ala Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd ‘ala Mantiq il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan kritik mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan bahwa hukum mempelajari mantik adalah fardhu kifayah, dan dua bahasan pokok yang berkenaan dengan definisi dan sylogisme.
a. Pengantar: Mantik Wajib Dipelajari?
Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu kifayah menyulut kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian. Abu Bakar Ibn Al ‘Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, “Al Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali, namun ia tidak bisa.”[xxii][22] Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik.[xxiii][23] Berdiri dalam barisan penolak ini, Ibn Taymiah berkata, “Pendapat Abu Hamid (Al Ghazali) ini salah besar, baik dilihat dari segi rasional maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.”[xxiv][24]
Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al Qur’an dengan mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Neraca Qur’ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah menggunakan Neraca Qur’ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah turunkan bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca keseimbangan (mizan ‘adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda (mukhtalifain). Sebagai contoh, firman Allah, “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti umat sebelum kalian?” (QS Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara generasi saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, “Apakah (kalian mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang beriman seperti para durjana?” (QS Al Qalam [68]: 35) dalam membedakan antara kedua golongan yang berbeda ini.[xxv][25]
b. Bantahan Terhadap Definisi
Benarkah pengetahuan tashawwuri tidak bisa diperoleh tanpa definisi logis dengan lima universalitasnya (kulliyat al khams), yakni genus (jins), differensia (fashl), species (nau’), aksiden umum (‘ardh ‘am) dan aksiden khusus (‘ardh khash)? Ibn Taymiah mengajukan 11 kritik untuk membantah pernyataan ini. Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan mencantumkan empat dari sebelas kritik itu;
Penegasian (nafy), seperti juga penetapan (itsbat), jika bukan aksiomatik harus dilandasi bukti. Karena tidak ada bukti yang mendukungnya, maka pernyataan ini wajib ditolak.
Jika definisi adalah ucapan seorang pembuat definisi, maka ia telah mengetahui benda yang akan didefinisikan ini lewat definisi atau tidak. Jika ya, maka mewajibkan argumentasi berputar (daur) dan berantai (tasalsul) yang tidak akan habis. Jika tidak, maka batal ucapan negasi mereka.
Konsepsi hakikat tidak bisa dilakukan kecuali lewat definisi hakiki yang terdiri dari esensi universal (musytarakah) dan terpilah (mutamayyizah), yakni yang tersusun dari genus dan defferensia, dan ini mustahil atau sangat sulit sebagaimana pengakuan mereka sendiri. Dengan demikian, mustahil atau sangat sulit mengkonsepsikan hakikat, padahal terbukti hakikat itu bisa dikonsepsikan manusia, maka batal-lah pernyataan mereka.
Benda-benda konseptual bisa diketahui dengan indera lahir (seperti warna, rasa dan bau) atau dengan indera batin (seperti lapar, cinta, benci, keinginan dan lain-lain). Semua ini bisa diketahui tanpa memerlukan definisi. Jadi, batal pernyataan mereka bahwa konsepsi (tashawwur) tidak bisa dicapai tanpa definisi.
Persoalan berikutnya, benarkah definisi menghasilkan pengetahuan tentang hakikat sesuatu? Menurut Ibn Taymiah, definisi tidak memberikan pengetahuan tentang hakikat, akan tetapi hanya membedakan sesuatu dari lainnya. Definisi seperti nama, hanya membedakan seseorang dari orang lain tanpa menjelaskan hakikatnya. Untuk ini, Ibn Taymiah mengajukan beberapa bukti:
Definisi hanyalah pernyataan pembuatnya tanpa bukti. Ketika seseorang berkata, “Manusia adalah hewan yang berpikir”, ini hanya kalimat informatif tanpa bukti. Maka sudahkah pendengar mengetahui kebenarannya tanpa ucapan ini atau belum? Jika sudah, definisi ini tidak menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu itu. Jika belum, bagaimana ia bisa meyakini kebenarannya hanya berdasarkan informasi satu orang yang tidak terjaga dari kesalahan?
Mereka berkata bahwa definisi tidak bisa dibuktikan, hanya bisa ditentang. Jawab: jika seorang pembuat definisi tidak mengajukan bukti, pendengar bisa saja tidak menerima definisi itu. Sebab ia tidak bisa mengetahui sesuatu yang didefinisikan itu tanpa ucapannya, sementara ucapannya mengandung kemungkinan benar dan salah, maka ia bisa menolak menerimanya.[xxvi][26]
Sumber kesalahan ahli mantik yang lain adalah pemilahan antara hakikat dan wujud sesuatu. Menurut mereka, keduanya ada di alam nyata. Jadi, hakikat-hakikat universal dari benda-benda parsial, seperti manusia, kuda dan lain-lain, adalah realitas sebagaimana wujudnya yang kita lihat ini. Realitas-realitas ini azali dan tidak bisa berubah, inilah yang mereka sebut sebagai “ide-ide platonis”. Menurut Ibn Taymiah, ini pemilahan yang sangat keliru. Pemilahan yang benar adalah pemilahan antara abstraksi yang ada di otak manusia dengan benda yang ada di alam nyata, sebab pemilahan ini tak diragukan kebenarannya. Dan hakikat berada di alam nyata, bukan di benak manusia (al haqiqah fil a’yan la fil azhan). Sementara memperkirakan adanya hakikat yang tidak didukung dalil ilmiah dan realitas hanyalah sebuah kebodohan.[xxvii][27]
c. Bantahan Terhadap Sylogisme
Menurut Ibn Taymiah, sylogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan dan kepusingan. Seperti orang yang ditanya, “Mana telingamu?”, ia lalu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi kemudian menunjukkan telinga kirinya. Meski begitu, Ibn Taymiah mengakui bahwa sebuah sylogisme yang terdiri dari premis-premis meyakinkan (atau disebut demonstrasi [burhan]) menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Kritik Ibn Taymiah hanya ditujukan kepada pernyataan mereka bahwa sylogisme satu-satunya cara mencapai kesimpulan meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya. “Mereka benar dalam apa yang mereka tetapkan, namun keliru dalam apa yang mereka negasikan,” demikian Ibn Taymiah, “dan negasi mereka inilah sumber kesesatan dan kefasikan mereka.”[xxviii][28]
Ibn Taymiah kemudian menyebutkan bukti-bukti kelirunya pernyataan ini. Ia menyebutkan bahwa para nabi dan para wali memiliki pengetahuan yang mereka peroleh tanpa jalan sylogisme. Begitu juga, ilmu firasat yang terbukti kebenarannya, diperoleh tanpa sylogisme. Bagi orang tertentu, terbit bintang tertentu menunjukkan arah Ka’bah, terbitnya bintang ini menunjukkan tenggelam atau terbitnya bintang lain di ufuk, dan lain-lain. Allah berfirman, “Dan dengan bintang, mereka mendapatkan petunjuk.” Juga, bagi orang yang mengetahui jarak antar bintang, melihat posisi bintang memberitahunya waktu malam yang tersisa. Begitu juga, orang tertentu bisa mengetahui nama negeri yang ia datangi dengan gunung, sungai dan angin yang ia lihat dan rasakan.[xxix][29] Semua ini tidak menggunakan sylogisme logis ala Yunani sama sekali.
Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil sylogisme ini. Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan. Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada pengetahuan yang dituju, atau kepada keyakinan yang benar. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil persamaan (tamsil), sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur’an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu me-lazim-kan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan.[xxx][30] Contoh: adanya alam semesta melazimkan adanya pencipta. Selain itu, pembuktian ini juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata (imkan khariji), bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum tentu ada kenyataannya. Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini cara Al Qur’an dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan menguraikan fakta historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi), dan mukjidzat Nabi Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia, sebab menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama kali.[xxxi][31]
Penutup: Pengaruh ibn Taymiah
Ketika sekilas saya mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.”[xxxii][32]
Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.”[xxxiii][33] Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat.[xxxiv][34] Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah. Wallahu A’lam.
Catatan:
[i][1] Abdurrahman bin Khaldun, Diwan ul-Mubtada wal Khabar fi Tarikh ‘Arab wal Barbar wa man ‘asharahum min Dzaw il-Sya’n il-Akbar (Muqaddimah Ibn Khaldun), (Damaskus: Dar ul-Fikr, 2003), h. 486.
[ii][2] Ibid. h. 487
[iii][3] Ibid. h. 488
[iv][4] Lihat Ibid. h. 488-489 sebab ini sangat penting.
[v][5] Abu Nasr Al Farabi, Ihsha ul-‘Ulum, (Mesir: Dar Al Fikr Al ‘Arabi, tth.), h. 54.
[vi][6] Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa fi ‘Ilm Al Ushul, (Beirut: Dar ul Qalam, tth.), jilid I, h. 29. Pernyataan ini menyulut kecaman keras dari Ibn Taymiah dan lain-lain sebagaimana yang akan saya jelaskan di bab berikutnya. Lihat h. 8 dari makalah ini.
[vii][7] Ibid, h. 30.
[viii][8] Kedua pernyataan tentang definisi ini, yakni definisi menghasilkan pengetahuan dan tashawwur tidak bisa dicapai tanpanya, akan dibantah Ibn Taymiah pada bab berikutnya. Lihat h. 9.
[ix][9] Ibid, h. 33-36.
[x][10] Pembagian sifat benda ini juga kelak akan dibantah Ibn Taymiah. Lihat h. 9.
[xi][11] Ibid, h. 75.
[xii][12] Ibid, h.79.
[xiii][13] Ibid, h. 88.
[xiv][14] Ibid, h. 90-92.
[xv][15] Ibn Taymiah kelak membantah pernyataan ini. Lihat h. 8.
[xvi][16] Abu Hamid Al Ghazali, “Al Qisthas ul Mustaqim” dalam Majmu’at Rasail Al Imam Al Ghazali (Beirut: Dar ul-Kutub il-Ilmiah, tth.), jilid III, h. 14.
[xvii][17] Ibid, h. 20.
[xviii][18] Ibid, h. 24.
[xix][19] Ibid, h. 26.
[xx][20] Ibid, h. 28.
[xxi][21] Ibrahim bin Muhammad bin Muflih, Al Maqshad Al Al Arsyad fi Dzikr Ashhab Al Imam Ahmad,(Riyad: Maktabah Rusyd, 1990), jilid 1, h. 139.
[xxii][22] Al Dzahabi, Op. Cit., h. 327.
[xxiii][23] Ibid, h. 329.
[xxiv][24] Ibn Taymiah, “Nashihat ahli l-Iman fi r-radd ‘ala Mantiq il-Yunan” dalam Majmu’ Fatawa, (Riyadh: King Fahd, tth. ), h.
[xxv][25] Ibid. h.
[xxvi][26] Ibid. h.
[xxvii][27] Ibid. h.
[xxviii][28] Ibid, h.
[xxix][29] Ibid. h.
[xxx][30] Ibid. h.
[xxxi][31] Ibid. h.
[xxxii][32] Dr Said Ramadhan Al Buthi, Kubra Al Yaqiniat il Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq, (Damaskus: Dar ul-Fikr, 1998), h. 17.
[xxxiii][33] Ibid. h. 18.
[xxxiv][34] Ibid. h.40-44
Umar, alumni jurusan Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kini tengah tinggal di Damaskus, mengikuti persiapan (i’dady) kuliah di Universitas Damaskus
© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
International Institute of Islamic Thought Indonesia
SUMBER: Sainstory - Sains Social History
No comments :
Post a Comment