Friday, April 09, 2010

Morfogenesis Representasional

Morfogenesis Representasional

Armahedi Mahzar (c) 2010

Senin lalu saya memberi kuliah dengan topik morfogenesis representasional di S2 senirupa ITB. Yang saya sebut morfogenesis adalah proses pengembangan komposisi oleh seniman akan karya seninya. Minggu lalu saya menjelaskan bahwa, menurut Thomas Munro , ada empat jenis pengembangan komposisi: utilitarian, representasional, eksposisional dan tematik. Saya katakan bahwa masing-masingnya mempunyai ciri penghiasan, peniruan, penjelasan dan penataan.

Pengembangan komposisi representasional menjadi menonjol setelah renaissance yang didorong oleh penemuan cetak tekan Gutenberg . Revolusi Gutenberg melahirkan obyektivisme sains yang berakhir dengan revolusi sains Isaac Newton . Pelukis-pelukis renaissance tidak lagi bekerja untuk menceritakan atau menjelaskan sesuatu (morfogenesis eksposisional) seperti pada zaman pertengahan Eropa dan zaman kuno di peradaban Romawi , Yunani dan Mesir kuno. Perspektivisme , realisme dan naturalisme pun menjadi gaya yang dominan dalam seni pasca-renaissance.

Analisis morfogenesis representasional menyangkut (1) obyek apa yang ditiru, (2) mengapa terjadi peniruan, (3) bagaimana perspektif peniruannya, dan (4) apa tahap-tahap peniruan itu dan (5) bagaimana kualitas tiruannya. Kelima aspek itu jalin menjalin di dalam diri seniman, proses kreasi dan produk kreatif seniman, baik dalam bidang seni rupa, maupun seni sastra dan seni musik serta seni pertunjukan.

Setelah memperinci kelima faktor morfogenesis representasional itu, maka pada akhir kuliah, saya mengajukan pandangan pribadi bahwa semua seniman adalah peniru. Sebenarnya, bukan hanya semua seniman peniru, bahkan semua manusia adalah peniru. Kebudayaan adalah sarana peniruan dari gagasan yang ingin ditiru. Ini adalah teori biolog Richard Dawkins dalam bukunya Selfish Gene.

Karya-karya manusia, menurut Dawkins, baik teknis maupun estetis, tak lain dari pada materialisasi gagasan-gagasan yang akan ditiru. Dalam perspektif ini produksi adalah reproduksi. Maka, mungkin tidak ada salahnya jika dikatakan bahwa kebudayaan manusia itu sebenarnya adalah perpanjangan saja dari kehidupan biologis. Maka sejarah peradaban manusia adalah bentuk pengayaan evolusi kehidupan biologis.

Evolusi kehidupan itu berlangsung melalui reproduksi dan dalam setiap proses reproduksi maka gen itu melakukan mutasi dan rekombinasi. Lingkungan alam akan menyeleksi gen mana yang bisa bertahan. Nah, Richard Dawkins berpendapat bahwa mem budaya, analog dari gen biologis, dalam otak manusia juga mmereproduksi dirinya melalui modifikasi, ibarat mutasi, dan sintesa, ibarat rekombinasi. Lingkungan sosial manusia lah yang menyeleksi mem mana yang bisa bertahan sebagai bagian dari kebudayaannya.

Dalam sudut pandang Dawkins yang ultra-darwinis ini, unit elementer evolusi biologis adalah gen sedangkan organisme hanyalah senjata gen untuk memperbanyak dirinya. Analog dengan ini, unit elementer perkembangan peradaban adalah mem dan otak manusia dalam budaya adalah ibarat DNA dalam biologi. Selanjutnya institusi-institusi sosial adalah senjata mem untuk memperbanyak dirinya. Evolusi budaya itu paralel dengan dengan evolusi biologis. Hanya saja, evolusi budaya berjalan dengan kecepatan yang jauh lebih tingi dibanding kecepatan evolusioner.

Pandangan Richard Dawkins ini didukung oleh teori Stuart Kauffman , tentang jaringan acak boolean swa-organisasi, yang menganggap sel-sel biologis sebagai pabrik otomatis yang dilengkapi oleh jaringan komputer yang terdiri dari DNA-DNA. Dilihat dari sudut pandang ini, maka institusi sosial budaya adalah jaringan komputer yang terdiri dari otak-otak manusia yang menata dirinya sendiri pula. Peradaban manusia adalah jaringan dari institusi sosial budaya yang membentuk apa yang disebut oleh Pierre de Chardin sebagai noosfer yang merupakan lapisan baru di atas lapisan biosfer yang menyelimuti bumi.

Pandangan Dawkins dan Kauffman tentang karakteristik komputer sistem-sistem biologis sosial ini tentunya agak aneh bagi kaum modernis yang melihat materi sebagai mesin-mesin energi. Namun setelah ditemukannya komputer sebagai mesin informasi maka wawasan bahwa pola-pola aliran energi biologis dan aktivitas sosiologis sebagai komputer merupakan suatu kewajaran saja. Soalnya, di zaman alfabetis pra-cetak, alam dipandang sebagai suatu organisme adalah suatu kewajaran karena kompleksitas otonomi organisme biologis. Di era pasca cetak-tekan Gutenberg, alam pun menjadi wajar saja jika dipandang sebagai mesin.

Sekarang, dalam era informasi yang dibawa oleh penemuan komputer , memang ada kecenderungan untuk memandang alam secara keseluruhan sebagai sebuah komputer raksasa. Misalnya hal itu dipostulatkan oleh Stephen Wolfram , fisikawan yang sukses menciptakan dan memasarkan perangkat lunak Mathematica yang berhasil melakukan operasi-operasi matematika tinggi seperti diferensiasi dan integrasi dalam kalkulus. Fisikawan lainnya seperti Seth Lloyd bahkan menganggap bahwa alam semesta sebagai sebuah komputer kuantum raksasa. Paola Zizzi adalah astronom Itali yang menganggap bahwa sejak dari awal peciptaan alam semesta adalah sebuah jaringan komputer superkecil.

Dengan transformasi paradigmatik dari pan-mesinisme materialistik ke pan-komputerisme informatik ini maka peranan seniman sebagai pembangun-pembangun bentuk menjadi lebih sentral. Para disainer industrial membuat bentuk-bentuk mesin-mesin informasi semakin cantik. Para seniman pertunjukan menghiasi media komunikasi informasi dengan komposisi-komposisi musikal dan sinematografis yang menghibur. Para seniman perupa, pelukis dan pematung membangun produk-produk yang menghiasi bangunan-bangunan arsitektur yang semakin meraksasa. Para senimanlah yang kini menghiasi lingkungan teknis dengan bentuk-bentuk estetis yang memanusiakan kembali lingkungan serba mesin itu. Itulah tugas mulia para seniman.

No comments :