Wednesday, April 14, 2010

Morfogenesis Eksposisional

MORFOGENESIS EKSPOSISIONAL

Armahedi Mahzar (c) 2010

Senin pagi kemarin, saya mengajar Morfologi Seni, pertemuan ke 10, dengan topik morfogenesis eksposisional. Komposisi eksposisional adalah karya seni yang fungsinya adalah menjelaskan sesuatu menurut suatu kerangka pemikiran tertentu.

Kerangka pemikiran yang dijelaskan berupa mitos ketika manusia masih menggunakan lisan sebagai media komunikasi dan otak sendiri sebagai media penyimpanan informasi. Karena itu pengetahuan mitologis pun dikemas dalam lagu yang berirama dan bersajak sehingga mudah diingat.

Berikutnya, kerangka pemikiran itu menjadi teologis ketika alfabet fonetik ditemukan. Maka seni eksposisional pun berubah dari yang verbal ke yang visual. Namun, kali ini, eksposisinya bukan lagi cerita tentang dewa-dewa mitologis, melainkan cerita tentang nabi-nabi dan tokoh-tokoh suci mereka seperti yang terpampang pada dinding-dinding gereja.

Memang, belakangan, teologi digantikan oleh sains ketika terjadinya revolusi Gutenberg . Oleh karena itu para pelukis pun menjadi naturalistik meninggalkan komposisi eksposisional dan menganut komposisi representasional seperti yang dibahas minggu lalu. Namun, bagaimana pun juga, seni representasional di bidang visual telah bertahan ribuan tahun.

Empat Cara Membaca seni Eksposisional.

Oleh karena itu kita harus bisa memaknai seni eksposisional secara benar. Thomas Munro mengatakan bahwa untuk menafsirkan sebuah karya seni eksposisional, kita harus menggunakan empat lapis pembacaan makna atau interpretasi: literal, alegoris, tropologis dan anagogis. Keempat lapis interpretasi itu sebenarnya ditemukan oleh Thomas Aquinas di abad pertengahan untuk menafsirkan kitab suci kaum nasrani yaitu Injil.

Pembacaan literal melihat teks itu sebagai pendeskripsi kejadian-kejadian historis yang nyata. Pembacaan alegoris melihat kejadian-kejadian historis itu terkait secara maknawi dengan kejadian-kejadian historis lainnya.

Pembacaan tropologis melihat kejadian-kejadian historis itu sebagai refleksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pembacaan anagogis melihat kejadian-kejadian historis itu sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada sesuatu yang adikodrati.

Belakangan, setelah revolusi Gutenberg melalui media cetaknya yang melahirkan Renaissance itu, keempat lapis metoda tafsir itu pun juga digunakan untuk membaca semua teks: tak terbatas pada kitab suci.

Akhirnya, setelah revolusi Marconi yang melalui media elektronika analog melahirkan modernisme seni, maka semua karya seni, bukan karya sastra saja, diibaratkan sebagai "teks" yang harus dibaca dengan keempat lapis penafsiran itu.

Membaca Alam sebagai Teks Eksposisional

Di akhir kuliah, seorang mahasiswa menginginkan penjelasan yang lebih rinci tentang empat penafsiran itu. Maka karena saya seorang fisikawan, maka saya mencoba menerangkannya melalui pengalaman pribadi saya tentang keindahan terdalam alam semesta.

Seorang ahli fisika tentunya terkejut ketika ke 17 jenis simetri formasi 2-dimensi yang ditemui di kristal-kristal zat padat, ditemukan juga pada dinding-dinding istana Alhambra di Spanyol yang dibangun oleh arsitek dan seniman Muslim di pertengahan abad XIV masehi.

Tentu saja, hal ini mengejutkan mereka. Soalnya, pada zaman itu para seniman muslim belum memiliki mikroskop elektron, yang baru diciptakan pada abad ke-20, untuk melihat ke 17 buah jenis simetri dalam kristal. Pengetahuan ini, buat saya pribadi, merupakan suatu pencerahan.

Saya tercerahkan karena serta merta saya melihat Sang Maha Pencipta menciptakan alam pada tataran mikroskopik -molekuler dan atomik- secara estetik. Maka, saya pun tergoda untuk mempelajari partikel elementer sebagai bagian terkecil semua atom.

Inti atom adalah nukleus yang terdiri dari dua jenis partikel elementer, proton dan netron, yang dikira merupakan bagian terkecil dari atom, setingkat dengan elektron yang menegelilingi inti.

Namun, perkiraan itu menjadi buyar setelah diketahui, secara empirik, bahwa di samping proton dan netron terdapat lebih dari dua ratus partikel elementer yang lebih berat dari nukleon dan umurnya lebih pendek dari netron. Inilah deskripsi empiris sebagai interpretasi literal pembacaan alam semesta.

Pembacaan Spiritual Alam semesta

Deskripsi empiris ini membuat fisikawan ingin mencari keteraturan di balik keanekaragaman itu. Soalnya, Jika keseratus lebih jenis atom unsur yang ada dapat dikelompokkan menjadi tujuh kolom, dalam tabel periodik Mendeleyev, maka orang pun berharap akan adanya pengelompokan yang serupa pada partikel-partikel elementer.

Tampaknya, memang ada. Murray Gell-mann menemukan bahwa kedua nukleon yang ada merupakan bagian dari oktet baryon . Begitu juga meson-pi yang mengikat kedua jenis nukleon dalam inti juga membentuk pengelompokan oktet yang serupa.

Indahnya, kedelapan anggota oktet itu mempunyai simetri 6-putaran seperti halnya segi-enam yang beraturan. Penemuan analogi antara partikel elementer dan atom unsuriah ini dapat dipandang sebagai sebagai interpretasi alegoris pembacaan alam semesta

Begitu pula, partikel-partikel elementer lainnya juga tersusun, kalau tidak dalam formasi simetri 6-putaran , dalam formasi simetri 3-putaran seperti segitiga sama sisi. Keteraturan pengelompokan ini mencurigakan bahwa partikel-partikel elementer itu sebenarnya bukanlah atomos, atau bagian terkecil yang diramalkan Demokritos .

Soalnya, keteraturan atom akhirnya menunjukkan bahwa atom itu bukan atomos yang diperkirakan orang semula. Begitulah akhirnya ditemukan atomos yang sebenarnya yaitu 3-sekawan quark yang tersusun menjadi segi-tiga sama-sisi yang simetris 3-putaran. Pengembangan teori quark ini dapat dipandang sebagai interpretasi tropologis pembacaan alam semesta.

Sebenarnya, teori quark itu dibentuk berdasarkan pandangan bahwa semua teori fundamental fisika harus memenuhi prinsip konsistensi, prinsip simetri dan prinsip optimasi. Bagi saya hal itu menunjukkan bahwa Sang Maha Pencipta alam semesta memenuhi prinsip logik atau kebenaran, prinsip estetik atau keindahan, dan prinsip etik atau Kebaikan. Hal ini tidak mengherankan, karena Dia itu memang Maha Benar, Maha Indah dan Maha Baik.

Yang mengherankan adalah kenyataan bahwa penciptaan alam itu mengikuti sebuah prinsip yang aneh yaitu Prinsip Antropik. Prinsip Antropik itu menunjukkan bahwa semua nilai kekuatan empat gaya alam fundamental (gravitasi, elektromagnet, interaksi nuklir lemah dan interaksi nuklir kuat) adalah sedemikian rupa sehingga jika mereka lebih besar atau lebih kecil dari nilai yang sekarang, maka kehidupan manusia di muka bumi tak kan terjadi.

Hal ini, bagi saya, menunjukkan bahwa Dia merancang dan menciptakan secara teliti, bagaikan seorang arsitek, alam semesta ini sebagai tahap awal yang merupakan keniscayaan logis bagi proses penciptaan manusia pada akhirnya akan menyaksikan, melalui mata pikirannya, KeMahaBenaranNya, KeMahaIndahanNya dan KeMahaBaikanNya.

Semoga pengetahuan mata pikir ini menuntun kita ke pengetahuan mata hati akan KeMahaEsaanNya. Tampaknya renungan terdasar teori bagi interaksi partikel fundamental ini akhirnya dapat dipandang sebagai sebagai interpretasi anagogis pembacaan alam semesta.

Kesimpulan

Jika kita melihat alam secara estetik, maka tak bisa dihindarkan pandangan bahwa alam itu tidak ada dengan sendirinya, melainkan ada Maha Penciptanya. Dalam sudut pandang ini, para ilmuwan tak lain dari apresiator alam semesta sebagai Mahakarya Ilahi dan menafsirkannya seperti seorang apresiator membaca karya-karya seni.

Apresiator, menurut Thomas Munro menangkap esensi karya seni secara bertahap: sensasi, persepsi, apersepsi dan proyeksi. Sensasi menjadi persepsi karena adanya proses interpretasi literal. Bagi saya, persepsi menjadi apersepsi melalui proses penafsiran alegoris, dan apersepsi menjadi proyeksi melalui proses penafsiran tropologis. Akhirnya, dalam pandangan saya, proyeksi menjadi iluminasi melalui proses penafsiran anagogis.

No comments :