Wednesday, January 21, 2015

Tekno-Etika Baru

MENUJU TEKNO-ETIKA BARU


Armahedi Mahzar (c) 2009

Kamis minggu lalu saya memberi kuliah terakhir pada mahasiswa International School of Pharmacy ITB. Seharusnya saya memberi topik "Ethics in Science and Technology Development." Tapi judulnya saya ubah jadi "Techno-ethics". Soalnya saya telah membahas "science ethics" dan ""enviromental ethics" pada dua kuliah sebelumnya. Jadi kuliah ini saya fokuskan pada tekno-etika yang menurut saya sangat luas cakupannya.

Teknologi pada dasarnya adalah aplikasi sains untuk memanfaatkan dan dan mengendalikan alam. Teknologi mengendalikan alam, tetapi siapa yang mengendalikan teknologi. Tentu saja para insinyur atau rekayasawan. Oleh sebab itu para insinyur juga harus menjalankan etika profesi. Hanya saja etika profesi itu harus selalu diperbarui oleh karena teknologi terus berkembang. Teknologi berkembang dalam skala maupun dalam fungsinya.

Sesuai dengan tingkat perkembangannya, maka etika teknologi atau tekno-etika pun ikut berkembang. Teknologi telah berkembang dari fase agrikultur melalui fase industri ke fase informatik. Pada fase agrikultur tekno-etika hanyalah bagian saja dari sosio-etika. Pada fase industri etika teknologi adalah bagian dari etika lingkungan. Kini pada fase teknologi informasi, maka tekno-etika harus dikembangkan menjadi lebih luas lagi. Pada prinsipnya tekno-etika berkembang sesuai dengan dampak-dampak sampingan yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi.

Perkembangan Teknologi dari Masa ke Masa




Teknologi pada mulanya bukanlah aplikasi sains ketika dia hanyalah merupakan perkakas dalam skala kecil. Pada skala ini teknologi berfungsi sebagai perpanjangan saja bagi organ-organ manusia sebagai organisme. Kemudian skalanya menjadi besar ketika teknologi utama berupa mesin. Pada skala ini teknologi adalah media antara manusia dengan sesamanya dan alam lingkungannya.

Akhirnya, ada dalam skala raksasa sebagai sistem jaringan mesin-mesin misalnya jaringan bangunan dan infrastruktur transportasi dan energi. Kita juga mempunyai jaringan telepon, televisi dan komputer sedunia oleh satelit-satelit berupa jaringan teknologi informasi komunikasi. Tentu saja juga ada jaringan sistem produksi yang berupa pabrik-pabrik yang memproses produk dari pabrik-pabrik lain. Dalam fase ini teknologi berubah menjadi lingkungan buatan manusia yang menyelubunginya.

Teknologi skala kecil muncul ketika manusia membuat perkakas-perkakas untuk bertani. Teknologi skala besar muncul ketika manusia membuat mesin-mesin yang merupakan perangkat utama bagi sistem industri. Teknologi skala raksasa timbul pada revolusi industri kedua di mana mesin pembangkit tenaga listrik menjadi bagian utama dari sistem indusri global diikuti oleh revolusi industri ketiga di mana media elektronika menjadi bagian tak terhindarkan bagi berfungsinya sistem teknologi global. Ini menodrong revolusi informasi.

Dalam fase awalnya, fase agrikultur, teknologi sebagai perpanjangan organ manusia merupakan subsistem eksternal bagi manusia. Dalam fase menengah, fase industrial, teknologi adalah sistem eksternal seukuran manusia yang merupakan penolong manusia. Dalam fase raksasanya, fase informatik, teknologi berfungsi sebagai teknosistem yang lebih mirip sebuah ekosistem biologi yang melingkungi manusia. Begitulah fase akhir dari tumbuh kembang teknologi yang berkembang mirip dengan proses evolusi biologis.

Namun, ekosistem mikroorganisme dalam evolusi biologis kemudian berekembang menjadi makroorganisme yang beraneka ragam. Mengingat adanya kesejajaran antara evolusi teknologis dengan evolusi biologis, maka kita pun akan bertanya-tanya: Apakah teknosistem akan berubah menjadi sebuah tekno-organisme raksasa? Maka ada baiknya jika kita periksa bagaimana kesejajaran antara perkembangan sistem teknologis dan perkembangan sistem biologis. Benarkah ada kesejajaran antara teknologi dan biologi?

Dinamika Perkembangan Teknologi

 

Untuk menjawab hal itu barangkali kita perlu mengetahui dinamika proses perkembangan teknologi. Pertama sebuah produk teknologi yang sukses cenderung untuk ditiru, sehingga dalam hal ini manusia dapat dipandang sebagai alat reproduksi teknologi. Sebagai konsekuensi dari reproduksi ini teknologi mempunyai kecendrungan. Industrialisasi global adalah contoh dari dinamika ekspansi ini.

Teknologi yang ditiru sering diubah atau disempurnakan sehingga teknologi juga mengalami mutasi. Misalnya, kita kini mempunyai ribuan bentuk mobil, komputer dan telepon seluler. Jadi teknologi bukan hanya mempunyai dinamika yang ekspansif, tetapi juga diversifikatif. Diversifikasi adalah dinamika perkembangan teknologi yang kedua. Ekspansi dan diversifikasi adalah dinamika teknologi yang mengikuti dinamika biologi organisme.

Jadi dalam hal ini, teknologi adalah sejenis organisme yang memperbanyak diri dan berkembanga dalam media masyarakat manusia. Dalam sejarahnya organisme-organisme teknologi juga berintegrasi membentuk orrganisme teknologi yang lebih kompleks. Misalnya pewawat adalah kombinasi dari perkakas-perkakas dan mesin adalah kombinasi pesawat produksi dengan pesawat generator energi. Pada gilirannya mesin-mesin berintegrasi menjadi pabrik-pabrik. Dan pabrik-pabrik berintegrasi menjadi sistem industri global.

Sistem teknologi industri global tak mungkin bergerak jika tak ada proses distribusi menggunakan sistem teknologi transportasi dan proses konsumsi yang dirangsang oleh sistem teknologi komunikasi. Dan semua sistem teknologi tidak akan bergerak tanpa manusia terdidik melalui sistem teknologi informasi. Sistem teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan perekat dan pendorong sistem teknologi industri. Semua sistem teknologi tak mungkin bekerja tanpa sistem teknologi konstrusi yang membangun infrastrukturnya.

Dasar Teknoetika Lama: Dampak Geo-Biologis

Sebagai akibatnya teknosistem yang terintegrasi dari semua sistem teknologi yang ada itu dewasa ini sangat padat dan meluas meliputi seluruh penjuru dunia, sehingga dapat dipandang sebagai sebuah lingkungan baru yang menandingi biosfer yang meliputi semua ekosistem sedunia. Oleh sebab itu, lingkungan baru buatan manusia itu dapat kita namakan sebagai sebuah teknosfer. Jika biosfer dapat dipandang sebagai organisme raksasa yang disebut Gaia, maka teknosfer dapat disebut sebagai otak Gaia.

Akan tetapi, Gaia sebagai mega-organisme juka memiliki jantung dan paru-paru. Zoosfera, komponen bosfera yang terdiri dari semua hewan sedunia, dapat dipandang sebagai jantung Gaia dan fitosfera, komponen biosfera berupa semua tanaman sedunia, dapat dipandang sebagai paru-parunya. Kini teknosfera juga dapat dipandang sebagai paru-paru buatan bagi gaia. Dia pun dapat dipandang sebagai jantung buatan bagi Gaia.

Sayangnya, sebagai organ-organ buatan bagi Gaia, teknosfera ternyata menjadi masalah bagi organ-organ asli bumi. Misalnya saja, sebagai paru-paru bumi dia justru mengeluarkan gas-gas yang meracuni atmosfer dan hidrosfer yang pada ujungnya mempengaruhi komposisis jantung gaia yaitu zoosfera. Begitu juga gas-gas racun yang dikeluarkan bisa merusak lapisan ozon sebagai bagian dari atmosfera yang melindungi bumi dari sinar kosmik dan pancaran partikel dari matahari.

Begitu juga sebagai ekstensi fitosfera dan zoosfera, teknosfera justru memadati udara dengan gas karbon-dioksida yang berlebihan melampaui daya serap fitosfera yang semakin lama semakin sempit luasnya. sebagai akibatnya atmosfer pun menjadi penjara bagi gelombang panas dari dalam bumi. Maka muka bumipun bertambah panas. yang sedikit demi sedikit melelehkan es di kutub dan salju di puncak-puncak gunung. Selanjutnya permukaan air laut bertambah tinggi dan atmosfer bergolak menimbulkan siklus bencana alam yang semakin lama semakin sering dan semakin besar. Inilah dampak pemanasan global.

Mengingat bencana bio-geosfera sebagai dampak perkembangan teknosfera itu, maka sudah sepatutnyalah para teknolog di masa depan mulai memikirkan dampak-dampak dari karyanya pada lingkungan hidup manusia. Namun sebenarnya, bukan hanya dampak-dampak pada biosfera yang harus dipikirkan. Dampak-dampak pada antroposfera atau keseluruhan organisme manusia sedunia. Dampak-dampak itu dapat berupa dampak sosial maupun yang berupa dampak psikologis. Dampak-dampak sosial psikologis itu terjadi terutama oleh perkembangan komponen informatik dari teknosfera secara keseluruhan.

Dasar Teknoetika Baru: dampak sosio-psikologis

 

Komponen informatik teknosfera adalah perpanjangan otak Gaia. Otak Gaia itu sendiri tak lain tak bukan adalah peradaban manusia. Individu-individu manusia adalah sel otak Gaia. Pada mulanya sel-sel otak Gaia mempunyai memori luar berupa catatan-catatan di dinding gua. Kemudian ada catatan-catan di atas helaian-helaian kertas. Lalu ada rekaman-rekaman gamber di pita seluloid, kemudian rekaman-rekaman gambar dan suara dalam pita magnetik. Belakangan catatan, gambar dan suara semuanya terekam dalam cakram-cakram optik.

Namun, yang lebih menarik adalah kenyataan bahwa memori-memori luar sel otak Gaia kemudian menjadi dinamik dilengkapi prosesor-prosesor pengolah informasi yang disebut komputer. Dan komputer-komputer itu semakin lama semakin kecil, semakin padat, semakin cepat dan semakin terhubung satu sama lainnya menjadi jaringan internet yang dapat kita sebut sebagai otak baru Gaia. Otak baru Gaia ini berupa jaringan mesin-mesin jauh lebih bodoh ketimbang jaringan otak-otak manusia yang memanfaatkannya yang merupakan otak lama Gaia. Begitulah otak baru Gaia melengkapi otak Gia lama berupa antroposfer dan otak Gaia yang lebih primitif yaitu zoosfer.

Namun chip-chip memori dan prosesor elektronik sebagai sel-sel saraf komputer itu, nyatanya terus menerus menjadi lebih padat dan lebih cepat mengikuti hukum Moore, yaitu hukum empiris yang mencatat perkembangan eksponensial kapasitas rangkaian terpadu transistor. Menurut hukum Moore, kedua jenis chip itu kapasitasnya telah dan akan berlipat dua kali setiap delapan belas bulan. Dengan menggunakan hukum Moore ini Peter Beck di tahun 19.. meramalkan bahwa pada tahun 2040, suatu chip elektronik akan memiliki kapasitas sebesar kapasitas sebuah otak manusia.

Oleh karena itu diduga pada tahun itu akan terdapat robot-robot yang kecerdasannya setingkat dengan kecerdasan manusia. Jika memang demikian, maka apa yang akan terjadi sesudah itu tidak akan dapat dibayangkan manusia. Artinya, dia akan merupakan kegelapan bagi kecerdasan manusia. Saat itu diberi nama oleh Victor Vinge sebagai singularitas teknologi. Penamaan ini diilhami oleh penamaan lubang hitam yang di dalam astronomi disebut singularitas gravitasi yang menyerap semua sinar cahaya yang memasukinya sehingga dia tak dapat terlihat oleh teropong-teropong optik.

Jika saat singularitas teknologi itu telah dicapai, maka pada saat itu manusia pun akan berdampingan dengan mesin-mesin dalam hubungan setingkat. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah jika etika teknologi tidak hanya diterapkan pada manusia saja, tetapi juga pada mesin-mesin cerdas itu. Apa lagi dapat diketahui kenyataan bahwa, berbeda dengan otak-otak biologis manusia, perkembangan otak teknologis Gaia itu jauh lebih cepat. Itulah sebabnya pada masa-masa setelah terjadinya singularitas teknologi itu, kecerdasan manusia akan menjadi jauh ketinggalan ketimbang kecerdasan teknologis mesin-mesin yang berkembang yang mengikuti hukum Moore.

Jika hal ini terjadi maka akan terjadi sebuah dampak sosio-psikologis yang sangat besar. Manusia untuk pertama kalinya harus bersaing dengan mesin. Selanjutnya kecerdasan manusia semakin relatif tertinggal terhadap kecerdasan mesin, seperti halnya kecerdasan hewan tercerdas tertinggal jauh dari kecerdasan manusia. Hal ini tentu saja akan menimbulkan perasaan rendah diri manusia relatif terhadap mesin. Perasaan rendah diri ini bisa berujung apada pemujaan mesin yang ekstrimnya adalah penuhanan teknologi. Dampak sosiso-psikologis ini akan lebih dahsyat daripada dampak geo-ekologis yang bersifat material energetik.

Kesimpulan: Menuju Tekno-etika Baru

 

Tentu saja dalam fase singularitas teknologi ini hubungan asimetris antara manusia dan teknologi bisa menjadi terbalik. Bila pada mulanya teknologi mengabdi manusia yang lebih cerdas, maka, setelah teknologi menjadi lebih cerdas, hubungan terbalik bisa saja terjadi. Manusia lah yang akan mengabdi teknologi. Atau lebih tepatnya peradaban manusia mengabdi megasistem teknologi. Tentu saja hal ini tidak diinginkan oleh semua manusia. Namun kebergantungan luar biasa manusia pada teknologi sekarang ini membuat peluang terjadinya hal ini menjadi suatu kenyataan menjadi sangat tinggi.

Oleh sebab itu, meskipun mesin-mesin menjadi lebih cerdas daripada manusia dan populasi mereka menjadi lebih banyak dari manusia, maka kita harus mencegah hal itu terjadi. Supaya hal itu terjadi tekno-etika harus diperluas bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan proses produksi, distribusi, instalasi dan aplikasi sistem teknologi. Tetapi juga harus meliputi hubungan antara mesin-mesin dan manusia-manusia yang dilayaninya, apalagi jika mesin-mesin itu secerdas atau lebih cerdas dari manusia. Artinya tekno-etika tidak hanya berlaku untuk manusia, tetapi juga bagi mesin-mesin.

Dengan perkataan lain, para teknolog harus mencari cara untuk memprogram robot-robot cerdas itu dengan kode-kode tekno-etika. Diperlukan sebuah teknologi nilai-nilai yang diintegrasikan dengan teknologi informasi. Sementara itu penerapan teknologi itu harus dirumuskan sebagai hukum global yang mengatur setiap pembuatan robot cerdas di mana saja di dunia. Jika robot-robot itu memiliki kearifan etis disamping kecerdasan, maka sudah waktunya pula kita mengakui hak-hak asasi mereka yang setingkat dengan hak-hak asasi manusia. Jika ini terjadi maka tekno-etika akan menjadi sangat luas yang tidak hanya mengatur  hubungan antar manusia, hubungan manusia dan mesin, tetapi juga antar sesama mesin.

Mungkin sebagian kita akan beranggap bahwa taraf singularitas teknologi ini masih jauh dari sekarang. Namun pada kenyataannya para teknolog sendiri masih berbeda pendapat tentang bila terjadinya singularitas teknologi ini.Misalnya Peter Beck pada tahun 1990 meramalkan hal itu akan terjadi pada tahun 2040, namun Ray Kurzweil memprediksi, dalam bukunya The Age of Spiritual Machines yang terbit tahun 1999, bahwa hal ini baru terjadi pada tahun 2019, kira-kira sepuluh tahun lagi dari sekarang.

Namun, menurut Arthur T. Murray, yang menamakan dirinya Mentifex di internet, justru singularitas teknologi itu akan terjadi pada masa depan yang sangat  dekat ini: 2012. Soalnya, menurut Mentifex, pengembangan kecerdasan artifisial ini telah diakselerasi oleh adanya internet. Oleh sebab itu marilah kita memikirkankan kembali tekno-etika sesegera mungkin. Lebih cepat, lebih baik.

No comments :