tanggapan terhadap Yasraf Amir Piliang
Armahedi Mahzar (c) 2013
Saya sudah lama meninggalkan filsafat lebih dari 10 tahun. Buku filsafat saya terakhir terbit tahun 2004, itu pun setelah lebih setahun tertunda. Tapi tiba-tiba pada usia senja saya ketujuhpuluh, sekelompok bekas mahasiswa saya mengadakan sebuah Tribute Lecture for Armahedi Mahzar, di mana sejumlah tokoh muda akan mengevaluasi dan mengkritik filsafat yang saya namakan integralisme dan saya diundang untuk mendengarkannya.
Tokoh budayawan pertama yang berbicara adalah Yasraf Amir Piliang seorang doktor senirupa yang terkenal karena telah mempopulerkan posmodernisme dan posstrukturalisme di Indonesia. Ketika datang untuk mendengarkannya, sebenarnya saya ingin belajar bagaimana seorang posmodernis membaca integralisme. Saya dengarkan dan saya tercengang setengah mati. Dia melihat integralisme terjebak dalam kontradiksi diri.
Wah, wah, wah, bagaimana mungkin? Namun setelah saya dengarkan agak lama, ternyata beliau melihat Integralisme Islam yang juga saya sebut sebagai posmodernisme Timur itu sebagai sintesa dari strukturalisme dan pos-strukturalisme sepasang filsafat yang bertentangan satu sama lainnya. Strukturalisme memerlukan dasar atau latar sedangkan pos-strukturalisme justru membuang semua latar atau fondasi. Menggabungkan keduanya tentu saja bisa dikatakan tidak mungkin alias kontradiksi diri.
Sayangnya, beliau terlalu panjang untuk menjelaskan strukturalisme dan pos-strukturalisme sehingga waktu habis untuk diskusi dengan peserta kuliah sehingga saya tak mendapat kesempatan untuk menjelaskan bagaimana integralisme itu sebenarnya. Namun saya beruntung dalam kuliah itu untuk mendengarkan upaya-upaya mensintesakan strukturalisme dan pos-strukturalisme di kalangan filosof Barat sendiri.
Salah seorang pemadu strukturalisme dan pos-strukturalisme di Barat adalah Catherine Malabou murid Jacques Derrida yang mengembangkan sebuah sintesa yang disebut plastisisme. Dalam plastisisme, dekonstruksi dan konstruksi dipasangkan sebagai kutub-kutub proses dialektika yang berkesinambungan. Dengan demikian kontradiksi diri itu lenyap. Itulah sebabnya pada akhir kuliahnya Yasraf menganjurkan integralisme Islam yang saya kembangkan disempurnakan dengan plastisisme.
Lalu bagaimana saya memandang usul ini? Pertama-tama tentunya saya akan menyampaikan bahwa dialektika sebenarnya hanyalah satu hal khusus dari multilektika. Dialektika dideskripsikan oleh filsuf Yunani sebagai proses pencarian kebenaran melalui saling kritik dua buah pendapat yang saling pertentangan. Hegel memetafisikakan konsep dialektika sebagai esensi proses partikularisasi Ide Mutlak yang merupakan sumber dan fondasi semua realitas. Karl Marx menjungkir balikkan filsafat Hegel, yang dikatakannya sebagai berjalan dengan kepala dibawah, melalui filsafat materialisme dialektik.
Buku Das Kapital oleh Marx didedikasikan pada Charles Darwin yang menemukan prinsip "survival of the fittest" sebagai inti dari proses evolusi biologi. Dalam bahasa sekarang prinsip itu disebut sebagai adaptasionisme: adaptasi organisme terhadap seleksi lingkungan. Prinsip ini bisa dilihat sebagai proses dialektika antara organisme dan lingkungan. Namun ada teori evolusi sekarang menganut neo-adaptasionisme di mana yang beradaptasi bukannya satu organisme melawan lingkungan, tetapi populasi gen melawan lingkungan. Neo-adaptasionisme inilah contoh dari multilektika.
Jadi sebenarnya sistem integral atau integralitas mempunyai prinsip dinamikanya sendiri yang saya sebut multilektika. Sayangnya saya tak pernah menuliskannya dalam buku, namun secara lisan selalu saya sampaikan dalam diskusi antarpribadi ataupu diskusi-diskusi kelompok. Neo-adaptasionisme biologis mewujud dalam pasar bebas dalam atau liberalisme ekonomi dan mewujud sebagai demokrasi dalam politik. Dalam sektor budaya ada pasar bebas gagasan yang kini disebut sebagai multi-kulturalisme. Neo-adapsionisme, liberalisme, demokrasi dan multikulturalisme adalah pewujudan dari multilektika integralitas.
Dalam multilektika sebuah sistem integral berinteraksi melalui kompetisi dan koperasi dengan sistem-sistem lainnya membangun sistem-sistem baru yang lebih tinggi. Dalam tataran gagasan dan wawasan, setiap tesis harus melawan atau bergabung banyak altitesis untuk membangun supratesis-supratesis baru. Sebagai contoh di Eropa strukturalisme dan pos-strukturalisme bergabung menjadi plastisisme dan bentuk-bentuk dialektisisme lain, seperti misalnya strukturasionisme Anthony Giddens , dan sintesa fenomenologi dan strukturalisme oleh Pierre Bourdieu dalam sebuah praksisisme.
Itu pula yang saya lakukan ketka mengadu strukturalisme dan isme-isme Barat lainnya dengan islamisme sehingga menghasilkan integralisme yang herannya merupakan reformulasi baru dari filsafat tradisional Islam yang ternyata merupakan esensi struktural dari filsafat-filsafat tradisional lainnya baik dari Barat maupun dari timur. Perjenjangan materi-energi-informasi-nilai-sumber bukan hanya ada dalam tasauf, fiqh dan kalam Islam tetapi juga dalam konsep manusia dan alam filsafat agama-agama tradisional lainnya.
Tampaknya esensi struktural inilah yang luput dari pandangan Yasraf Amir Piliang sehingga pada akhirnya dia menganjurkan plastisisme dialektik harus dimasukkan kedalam integralisme Islam, tanpa melihat bahwa dialektika sudah ada sebagai bagian dari multilektika integralitas. Multilektika inilah yang menjadi esensi dari proses evolusi/involusi yang berjalan dari Yang Tunggal Mutlak ke yang aneka nisbi dan dari proses envolusi/devolusi yang berjalan sebaliknya. Proses pertama itu adalah proses konstruksi dan proses kedua adalah proses dekonstruksi. Jadi plastisitas adalah bagian dari integralitas.
Kenapa Yasraf luput dari sisi yang saya sampaikan tadi? Saya kira karena beliau salah menafsirkan integralisme sebagai sintesa dari strukturalisme dan pos-strukturalisme. Ketika integralisme lahir di tahun 80-an saya belum mengenal pos-strukturalisme atau posmodernisme Barat. Posmodernisme yang saya tahu adalah upaya mensintesakan kembali modernitas dengan tradisionalitas seperti yang dilakukan oleh para filsuf perenialisme yang menentang evolusionisme tapi mendukung involusionisme atau emanasionisme Timur.
Saya memadukan evolusionisme dan involusionisme dalam satu wawasan yang saya sebut sebagai integralisme di tahun 80-an. Integralisme itu juga dapat dilihat sebagai pemaduan strukturalisme Barat dan holisme Timur di samping sebagai pemaduan saintisme Barat yang atomistik demokratik dan Perenialisme Timur yang holistik hierarkis. Aspek struktural itulah yang saya sampaikan dalam buku pertama: Integralisme. Evolusi kolektif dan involusi individual berlanjut dengan envolusi individual dan devolusi kolektif. Aspek dinamik proses inilah yang saya sampaikan dalam buku ketiga saya: Revolusi Integralisme.
Mudah-mudahan tidak terdapat mispersepsi lagi tentang buku-buku saya itu. Namun multipersepsi memang tak dapat dihindarkan dan merupakan bagian dari dinamika multilektik integralitas seperti saya sampaikan di atas. Saya berharap multiperspektivisme ini bisa menghasilkan varian-varian dari integralisme yang siap untuk bertarung dalam pasar bebas ide-ide sebagai bagian dari dinamika multilektik universal dalam proses sirkular evolusi-devolusi/involusi-envolusi dari kesepaduan realitas atau integralitas wujud.
Tokoh budayawan pertama yang berbicara adalah Yasraf Amir Piliang seorang doktor senirupa yang terkenal karena telah mempopulerkan posmodernisme dan posstrukturalisme di Indonesia. Ketika datang untuk mendengarkannya, sebenarnya saya ingin belajar bagaimana seorang posmodernis membaca integralisme. Saya dengarkan dan saya tercengang setengah mati. Dia melihat integralisme terjebak dalam kontradiksi diri.
Wah, wah, wah, bagaimana mungkin? Namun setelah saya dengarkan agak lama, ternyata beliau melihat Integralisme Islam yang juga saya sebut sebagai posmodernisme Timur itu sebagai sintesa dari strukturalisme dan pos-strukturalisme sepasang filsafat yang bertentangan satu sama lainnya. Strukturalisme memerlukan dasar atau latar sedangkan pos-strukturalisme justru membuang semua latar atau fondasi. Menggabungkan keduanya tentu saja bisa dikatakan tidak mungkin alias kontradiksi diri.
Sayangnya, beliau terlalu panjang untuk menjelaskan strukturalisme dan pos-strukturalisme sehingga waktu habis untuk diskusi dengan peserta kuliah sehingga saya tak mendapat kesempatan untuk menjelaskan bagaimana integralisme itu sebenarnya. Namun saya beruntung dalam kuliah itu untuk mendengarkan upaya-upaya mensintesakan strukturalisme dan pos-strukturalisme di kalangan filosof Barat sendiri.
Plastisisme Catherine Malabou
Salah seorang pemadu strukturalisme dan pos-strukturalisme di Barat adalah Catherine Malabou murid Jacques Derrida yang mengembangkan sebuah sintesa yang disebut plastisisme. Dalam plastisisme, dekonstruksi dan konstruksi dipasangkan sebagai kutub-kutub proses dialektika yang berkesinambungan. Dengan demikian kontradiksi diri itu lenyap. Itulah sebabnya pada akhir kuliahnya Yasraf menganjurkan integralisme Islam yang saya kembangkan disempurnakan dengan plastisisme.
Lalu bagaimana saya memandang usul ini? Pertama-tama tentunya saya akan menyampaikan bahwa dialektika sebenarnya hanyalah satu hal khusus dari multilektika. Dialektika dideskripsikan oleh filsuf Yunani sebagai proses pencarian kebenaran melalui saling kritik dua buah pendapat yang saling pertentangan. Hegel memetafisikakan konsep dialektika sebagai esensi proses partikularisasi Ide Mutlak yang merupakan sumber dan fondasi semua realitas. Karl Marx menjungkir balikkan filsafat Hegel, yang dikatakannya sebagai berjalan dengan kepala dibawah, melalui filsafat materialisme dialektik.
Buku Das Kapital oleh Marx didedikasikan pada Charles Darwin yang menemukan prinsip "survival of the fittest" sebagai inti dari proses evolusi biologi. Dalam bahasa sekarang prinsip itu disebut sebagai adaptasionisme: adaptasi organisme terhadap seleksi lingkungan. Prinsip ini bisa dilihat sebagai proses dialektika antara organisme dan lingkungan. Namun ada teori evolusi sekarang menganut neo-adaptasionisme di mana yang beradaptasi bukannya satu organisme melawan lingkungan, tetapi populasi gen melawan lingkungan. Neo-adaptasionisme inilah contoh dari multilektika.
Multilektika Integralitas
Jadi sebenarnya sistem integral atau integralitas mempunyai prinsip dinamikanya sendiri yang saya sebut multilektika. Sayangnya saya tak pernah menuliskannya dalam buku, namun secara lisan selalu saya sampaikan dalam diskusi antarpribadi ataupu diskusi-diskusi kelompok. Neo-adaptasionisme biologis mewujud dalam pasar bebas dalam atau liberalisme ekonomi dan mewujud sebagai demokrasi dalam politik. Dalam sektor budaya ada pasar bebas gagasan yang kini disebut sebagai multi-kulturalisme. Neo-adapsionisme, liberalisme, demokrasi dan multikulturalisme adalah pewujudan dari multilektika integralitas.
Dalam multilektika sebuah sistem integral berinteraksi melalui kompetisi dan koperasi dengan sistem-sistem lainnya membangun sistem-sistem baru yang lebih tinggi. Dalam tataran gagasan dan wawasan, setiap tesis harus melawan atau bergabung banyak altitesis untuk membangun supratesis-supratesis baru. Sebagai contoh di Eropa strukturalisme dan pos-strukturalisme bergabung menjadi plastisisme dan bentuk-bentuk dialektisisme lain, seperti misalnya strukturasionisme Anthony Giddens , dan sintesa fenomenologi dan strukturalisme oleh Pierre Bourdieu dalam sebuah praksisisme.
Itu pula yang saya lakukan ketka mengadu strukturalisme dan isme-isme Barat lainnya dengan islamisme sehingga menghasilkan integralisme yang herannya merupakan reformulasi baru dari filsafat tradisional Islam yang ternyata merupakan esensi struktural dari filsafat-filsafat tradisional lainnya baik dari Barat maupun dari timur. Perjenjangan materi-energi-informasi-nilai-sumber bukan hanya ada dalam tasauf, fiqh dan kalam Islam tetapi juga dalam konsep manusia dan alam filsafat agama-agama tradisional lainnya.
Tampaknya esensi struktural inilah yang luput dari pandangan Yasraf Amir Piliang sehingga pada akhirnya dia menganjurkan plastisisme dialektik harus dimasukkan kedalam integralisme Islam, tanpa melihat bahwa dialektika sudah ada sebagai bagian dari multilektika integralitas. Multilektika inilah yang menjadi esensi dari proses evolusi/involusi yang berjalan dari Yang Tunggal Mutlak ke yang aneka nisbi dan dari proses envolusi/devolusi yang berjalan sebaliknya. Proses pertama itu adalah proses konstruksi dan proses kedua adalah proses dekonstruksi. Jadi plastisitas adalah bagian dari integralitas.
Akhirul Kalam: sebuah Harapan
Kenapa Yasraf luput dari sisi yang saya sampaikan tadi? Saya kira karena beliau salah menafsirkan integralisme sebagai sintesa dari strukturalisme dan pos-strukturalisme. Ketika integralisme lahir di tahun 80-an saya belum mengenal pos-strukturalisme atau posmodernisme Barat. Posmodernisme yang saya tahu adalah upaya mensintesakan kembali modernitas dengan tradisionalitas seperti yang dilakukan oleh para filsuf perenialisme yang menentang evolusionisme tapi mendukung involusionisme atau emanasionisme Timur.
Saya memadukan evolusionisme dan involusionisme dalam satu wawasan yang saya sebut sebagai integralisme di tahun 80-an. Integralisme itu juga dapat dilihat sebagai pemaduan strukturalisme Barat dan holisme Timur di samping sebagai pemaduan saintisme Barat yang atomistik demokratik dan Perenialisme Timur yang holistik hierarkis. Aspek struktural itulah yang saya sampaikan dalam buku pertama: Integralisme. Evolusi kolektif dan involusi individual berlanjut dengan envolusi individual dan devolusi kolektif. Aspek dinamik proses inilah yang saya sampaikan dalam buku ketiga saya: Revolusi Integralisme.
Mudah-mudahan tidak terdapat mispersepsi lagi tentang buku-buku saya itu. Namun multipersepsi memang tak dapat dihindarkan dan merupakan bagian dari dinamika multilektik integralitas seperti saya sampaikan di atas. Saya berharap multiperspektivisme ini bisa menghasilkan varian-varian dari integralisme yang siap untuk bertarung dalam pasar bebas ide-ide sebagai bagian dari dinamika multilektik universal dalam proses sirkular evolusi-devolusi/involusi-envolusi dari kesepaduan realitas atau integralitas wujud.
No comments :
Post a Comment