Saya, logika dan sekolah
Armahedi Mahzar (c) 2011Pada zaman saya sekolah dulu saya tak pernah diajar tentang logika. Begitu juga ketika saya kuliah. Tapi ketika saya di sekolah menengah saya belajar logika secara tersamar, yaitu ketika belajar ilmu ukur: ilmu ukur bidang di smp dan ilmu ukur ruang di sma. Ilmu ukur diajarkan sebagai sistem aksiomatika, di mana semua kebenaran geometris dibuktikan secara logis berdasarkan aksioma-aksioma itu. Aksioma adalah kebenaran yang kita ketahui secara intuitif. Aksioma geometri dirumuskan oleh Euklides. ,
Nah, ketika saya di sma saya tinggal sekamar dengan paman saya yang kebetulan seorang mahasiswa hukum. Di sana saya baru tahu bahwa ada ilmu yang bernama logika dan itu adalah cabang dari ilmu filsafat sedangkan filsafat itu cabang sastra alias ilmu ngomong-ngomong doang.
Jadi bagi saya ilmu logika hanyalah omongan-omongan kosong tentang proses pemikiran yang kita semua bisa tanpa belajar.
Waktu itu saya juga menemukan sebuah buku puisi bernama Tao Te Ching
karangan Lao Tse yang kata orang adalah berisi filsafat Cina. Saya juga menemukan sebuah buku milik paman saya berjudul filsafat dewasa ini yang isinya adalah filsafat barat paling mutakhir yang pada waktu itu berujung pada eksistensialisme yang sangat digemari
oleh para seniman. Tokoh utama eksistensialisme Jean Paul Sartre
bahkan adalah seorang penulis sandiwara yang terkenal.
Sementara itu saya juga menemukan buku tentang filsafat Yunani dan satu lagi
tentang filsafat Islam. Dan saya pun jatuh cinta pada filsafat dan filsafat yang
paling kucintai adalah positivisme logis yang merupakan musuh eksistensialisme.
Eksistensialisme, kata posivisme logis, adalah sastra seperti sastra lainnya adalah
omongan tanpa makna alias omong kosong. Walaupun omong kosong, bagi saya,
sastra tetap berguna bagi penyejuk hati, walaupun bukan pemuas akal.
Positivisme logis membuat saya lebih mencintai logika, karena logika baginya
bukan sebuah sastra yang merangkai kata-kata, tetapi matematika yang merangkai
simbol-simbol. Itulah sebabnya saya terkecoh oleh optimisme Bertrand Russel
untuk mereduksi semua matematika menjadi logika. Belakangan saya tahu bahwa
usaha mengaksiomakan aritmetika yang hanya sebagian kecil matematika saja
dibuktikan Kurt Godel sebagai sebuah kemustahilan logis. Untungnya logika yang
dimatematikakan oleh Boole tetap bisa diaksiomakan.
Misalnya Bertrand Russel dan Alfred North Whitehead mempunyai 5 aksioma dengan dua konsep fundamental yaitu JIKA dan TIDAK dalam buku monumental PRINCPIA MATHEMATICA. Bagi saya ini adalah puncak keungggulan sistem aksiomatik.
Itulah sikap mental saya selama mahasiswa. Namun saya terkejut ketika ketika masa akhir kuliah saya menemukan sebuah buku aneh dengan notasi yang juga aneh di perpustakaan British Council berjudul Laws of Form.
Buku itu ditulis oleh George Spencer-Brown . Penulis mengaku telah berhasil
mereduksi sistem aksiomatik Russel-Whitehead menjadi sistem dengan cukup dua aksioma menyangkut satu simbol saja. Begitulah claimnya, tapi saya tak pernah mengerti isinya, bahkan kemudian buku itu hilang sebelum sempat saya pinjam ke rumah.
Ketika saya lulus sarjana, saya lupakan buku itu, tetapi satu hal yang tak bisa saya
lupakan dari buku itu. Buku itu mengandung sebuah kutipan dalam tulisan Cina yang
katanya berasal dari buku asli buku Tao Te Ching yang terjemahannya ke Bahasa
Indonesia. Filsafat Taoisme dalam buku Tao Te Ching inilah yang mendasari pandangan
saya tentang logika. Logika adalah komplemen dari intuisi seperti halnya Im dan Yang
dalam filsafat Taoisme. Dalam skala budaya ini merupakan dasar bagi komplementasi
sains dan seni. Di SMA saya juga menulis artikel majalah Siswa tentang komplementaritas
partikel dan gelombang yang berada di dasar realitas fisik alam semesta. Jadi filsafat
Taoisme itulah sudut pandang saya melihat logika di akhir masa kuliah saya.
No comments :
Post a Comment