Saturday, January 21, 2012

Sejarah Minangkabau

Sejarah Kerajaan Pagaruyung




Bendera Marawa

Nama kerajaan ini berasal dari penggabungan dua kata.
Paga = Pagar
Ruyuang = ruyung
Nama untuk daerah kekuasaan Adityawarman yang dipagari ruyung pohon kuamang di wilayah kabupaten Tanah Datar sekarang.
Kerajaan Pagaruyuang adalah kerajaan yang pernah berdiri meliputi wilayah Sumatra Barat sekarang dan daerah2 sekitarnya. Ibukotanya berada di Nagari Pagaruyuang, Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347 M. Dan kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.

Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari majapahit ia sebenarnya memiliki darah melayu. Dalam sejarahnya pada tahun 1286 Raja Kertanegara dari Singosari menghadiahkan Arca Amogapacha untuk kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai balasan Raja Darmasraya memperkenankan dua putrinya Dara petak dan Dara jingga untuk dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkimpoian Dara Jingga inilah kemudian lahir Adityawarman. Setelah Singosari runtuh berdirilah kerajaan Majapahit dan Adityawarman merupakan seorang pejabat dari majapahit. Yang kemudian Dia dikirim ke Darmasraya sebagai penguasa daerah tersebut.

Namun kemudian justru Adityawarman melepaskan diri dari pengaruh Majapahit.Tertulis pada prasasti dengan tahun 1347, disebutkan bahwa Adityawarman menobatkan diri sebagai raja Daerah tersebut. Daerah kekuasaannya disebut Pagaruyuang karena Ia memagari daerah tersebut dengan ruyung agar aman dari gangguan pihak luar ( fort level 1).
Sebelum kerajaan ini berdiri sebenarnya masyarakat di wilayah minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi yg merupakan lembaga musyawarah dari berbagai nagari dan luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan pagaruyuang merupakan perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat.

Wilayah pengaruh kerajaan Pagaruyuang dapat dilacak dari pernyataan berbahasa minang ini.
Dari sikilang Aia Bangih
Hinggo Taratak Aia Hitam.
Dari Durian Ditakuak Rajo
hinggo Sialang Balantak Basi
Batas Utara adalahSikilang Aia bangih , sekarang didaerah Pasaman Barat berbatasan dengan Natal Sumatra Utara.
Taratak Aia Hitam berada diwilayah Bengkulu sekarang (Bangkahulu).
Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah dikabupaten Bungo, Jambi dan terakhir
Sialang Balantak Basi wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau.

Pada masa keemasan kesultanan Aceh wilayah2 di pesisir barat telah jatuh dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada kerajaan Pagaruyuang dan kekuasaan Raja pagaruyang sudah sangat lemah menjelang perang Padri meskipun raja masih tetap dihormati. Kerajaan ini runtuh pada masa perang Padri akibat konflik dan campur tangan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19.
"Minangkabau sudah ada sejak abad pertama Masehi"

demikian menurut Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.

Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya.

Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.

Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.


Kedukan Bukit menyatakan Minang sudah ada sebelum berdirinya sriwijaya (Prof Poerbacaraka)

Prasasti kedukan bukit menyatakan bahwa Minang sudah ada sebelum berdirinya Sriwijaya

1 Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
2 klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
3 samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
4 wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
5 tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
6 dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
7 telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
8 sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
9 laghu mudita datang marwuat wanua .....
10 Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:
1 Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
2 paroterang bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
3 perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
4 bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
5 tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
6 dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
7 tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
8 sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
9 lega gembira datang membuat wanua .....
10 Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

menurut Poerbacaraka kata Minanga Tamwam : daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar. daerah tersebut disebut2 dalam tambo Minang sebagai rantau, bagian dari Minangkabau.

sedang buku sejarah nasional menyatakan bahwa pusat kerajaan (tdk disebut namanya) yg menjadi cikal bakal Sriwijaya ada di Kampar, Pusat kerajaan berpindah ke Palembang setelah ekspedisi militer dari Minanga Tamwam berhasil. (Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53).

Sistem Pemerintahan Pagaruyuang

Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyuang. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang dibaca Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.

Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.

Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyuang mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuak Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuak Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.

Pasca pertempuran Padang Sibusuak tahun 1409

Akibat pertempuran Padang Sibusuak itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyuang selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyuang.

Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.

Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.

Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau

Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bulan tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7253558

No comments :