500 TAHUN ISLAM DI PAPUA:
DARI RAJA AMPAT HINGGA SULTAN PAPUA
Oleh : Beggy Rizkiyansyah
Gema Takbir
mengumandangkan kebesaran Allah di Nusantara ternyata meluas, bahkan
hingga ke Papua. Lautan luas, diterabas, ombak diterjang oleh muslim
untuk menyiarkan Islam ke penjuru nusantara. Di bumi Papua, kita dapat
merasakan kehadiran dakwah Islam, bahkan sejak lima ratus tahun yang
lalu.
Papua sendiri telah dikenal sejak lama. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut
Janggi. Pelaut Portugis yang pernah singgah di Papua tahun 1526-1527 menyebutnya ‘Papua.’ Namun ada pula yang menyebutnya
Isla de Oro (Island
of Gold). Kemiripan fisik orang Papua dengan orang Afrika membuat
pelaut Spanyol menyebutnya ‘Nieuw Guinea’, merujuk pada wilayah Guinea
di Afrika Barat.
[1] Papua, mungkin juga berasal dari bahasa Melayu,
pua-pua,
yang berarti keriting. Istilah ini dipakai oleh William Mardsen tahun
1812, dan terdapat dalam salah satu kamus bahasa Melayu -Belanda karya
Von der Wall tahun 1880, dengan kata ‘
papoewah’ yang berarti orang yang berambut keriting.
[2]
Istilah Papua sendiri tampaknya berasal dari bahasa Tidore,
Papo Ua, yang
berarti tidak bergabung atau tidak bersatu. Maksudnya adalah wilayah
luas dan tanah besar itu (Papua) tidak termasuk ke dalam induk
kesultanan Tidore.
[3]
Berbagai sebutan untuk Papua menyiratkan pada kita, akan keragaman
bangsa yang berinteraksi dengan orang-orang Papua. Salah satu bangsa
yang diketahui berhubungan dagang dengan orang-orang Papua adalah
pedagang Cina. Pertukaran barang seperti porselin dan tembikar terjadi
diantara mereka. Bahkan di kalangan masyarakat Seruni, terdapat
keturunan Cina. Hubungan lain tercipta antara Kerajaan Majapahit dengan
orang-orang Papua. Terutama dengan penduduk Papua di Onin (
Wwanin), Fakfak. Hubungan ini diketahui dari Syair
Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365M), dalam sebuah bait syair disebutkan kata
Wwanin (Onin, Fakfak) dan
Sran (Kowiai atau Kaimana).
[4]
Tak hanya dengan bangsa di Asia, para penjelajah Eropa juga telah
mengunjungi Papua sejak abad ke 16. Tahun 1526, misalnya, Gubernur
Portugal pertama di Maluku bernama Jorge de Menesez mengunjungi Pulau
Waigeo (Raja Ampat). Tahun 1545, Kapten Ynigo Ortiz de Retez dari
Spanyol mencapai sekitar Sarmi, di muara Sungai Mamberamo. Ia kemudian
memberi nama pulau itu (Papua) Nueva Guinea.
[5] Hubungan
orang Papua, yaitu Raja Waigeo dengan orang Portugis bisa ditelusuri
dari catatan perjalanan Miguel Roxo de Brito, yang menjelajah ke Raja
Ampat tahun 1581. Dari catatan De Brito, tampaknya dapat kita simpulkan
Raja Waigeo telah memeluk agama Islam.
[6]
Kontak-kontak orang-orang Papua dengan berbagai pihak tersebut
biasanya sebatas perdagangan. Namun kontak orang-orang Papua dengan
muslimlah yang kemudian memberikan dampak yang berbeda. Kontak
orang-orang Papua dengan muslim tak hanya terbatas pada soal
perdagangan, namun juga perubahan hidup mereka dengan memeluk Islam.
Syiar Islam di Bumi Papua terjadi terutama terkonsentrasi di wilayah
Papua Barat, mulai dari Raja Ampat hingga Fakfak. Ada beberapa versi
mengenai masuknya Islam di Papua. Kebanyakan sumber sejarah masuknya
Islam di Papua berdasarkan sumber-sumber lisan masyarakat setempat.
Versi Papua, misalnya, berdasarkan legenda di masyarakat setempat,
khususnya di Fakfak. Versi ini menyebut Islam bukanlah dibawa dari luar
seperti Tidore atau pedaganh Muslim, tetapi Papua sudah Islam sejak
Pulau Papua diciptakan oleh Allah. Versi ini tentu saja tidak bisa
diterima, namun secara tersirat versi ini menandakan Islam di Papua
telah menjadi kepercayaan yang menyatu dengan masyarakat setempat.
[7]
Versi lain adalah versi Aceh. Versi ini berdasarkan sejarah lisan
dari daerah Kokas (Fakfak) yang menyebutkan Syekh Abdurrauf dari
Kesultanan Samudera Pasai mengirim Tuan Syekh Iskandar Syah untuk
berdakwah di
Nuu War (Papua) tahun 1224. Syekh Iskandar kala itu membawa beberapa kitab yakni
mushaf Al
Qur’an, kitab hadits, kitab tauhid dan kitab kumpulan doa. Ada pula
manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip daun lontara.
Beberapa manuskrip tersebut diyakini selamat hingga saat ini. Namun
versi ini perlu dipertimbangkan kembali, mengingat btu nisan Sultan
pertama Pasai, Malik As Shalih di Pasai berangka tahun 1297M. Artinya,
abad ke 13 adalah masa-masa awal Kesultanan Samudera Pasai. Dakwah
Kesultanan Samudera Pasai saat itu (abad ke 13) sepertinya masih
terkonsentrasi di Sumatera, mengingat saat itu, wilayah-wilayah lain di
Sumatera pun belum sepenuhnya memeluk Islam. Manuskrip warisan yang
disimpan hingga kini, akan lebih baik jika diteliti secara filologi.
Menurut tradisi lisan lain di Fakfak, Islam disebarkan oleh
mubaligh bernama
Abdul Ghafar asal Aceh pada tahun 1360-1374 di Rumbati. Makam dan
Masjid Rumbati menjadi peninggalannya. Namun informasi lain menyebut
Abdul Ghafar datang ke Rumbati tahun 1502 M. Kemungkinan ini perlu
ditinjau kembali, terutama dalam hal waktu masuknya Islam. Kemungkinan
Abdul Ghafar datang pada abad ke 16, bersamaan dengan masa keemasan
Kesultanan Ternate dan Tidore sebagai bandar jalur sutera dan meluaskan
kekuasaannya dari Sulawesi hingga Papua.
[8]
Versi lain masuknya Islam di Papua adalah versi Arab. Versi ini
menyebutkan Islam di Papua disebarkan oleh seorang sufi bernama Syarif
Muaz al Qathan (Syekh Jubah Biru) dari Yaman , yang terjadi pada abad ke
16. Hal ini sesuai dengan adanya Masjid Tunasgain yang dibangun sekitar
tahun 1587. Informasi lain menyebut Syekh Jubah Biru datang pada tahun
1420M.
[9]
Pendapat yang tampaknya lebih kuat mengenai masuknya Islam di Papua
adalah datangnya Islam di Papua melalui Kesultanan Bacan (Maluku). Di
Maluku terdapat empat Kesultanan, yaitu, Bacan, Jailolo, Ternate dan
Tidore (
Moloku Kie Raha atau
Mamlakatul Mulukiyah).
[10]
J.T. Collins, menyebutkan, berdasarkan kajian linguistik, Kesultanan
Bacan adalah Kesultanan tertua di Maluku. Syiar Islam oleh Kesultanan
Bacan disebarkan di wilayah Raja Ampat.
Terbentuknya
Kolano Fat (Raja Ampat atau Raja Empat, dalam
bahasa Melayu) di kepulauan Raja Ampat oleh Kesultanan Bacan, dapat
dilihat dari nama-nama gelar di kepulauan tersebut; (1) Kaicil Patra
War, bergelar
Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo, (2) Kaicil Patra War bergelar
Kapas Lolo di Pulau Salawati. (3) Kaicil Patra Mustari bergelar
Komalo Nagi di Misool, (4) Kaicil Boki Lima Tera bergelar
Komalo Boki Sailia di Pulau Seram.Isitilah
Kaicil adalah
gelar anak laki-laki Sultan Maluku. Menariknya, nama Pulau Salawati
menurut tutur lisan masyarakat setempat,, diambil dari kata
Shalawat.[11]
Ada beberapa nama tempat yang merupakan pemberian Sultan Bacan.
Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing
dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa
atas sumur) dan lainnya. Nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti
peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi
Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat. Kemungkinan Kesultanan Bacan
menyebarkan Islam di Papua sekitar pertengahan abad ke 15 dan kemudian
abad ke 16, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Raja
Ampat, setelah para pemimpin-pemimpin Papua di Kepulauan tersebut
mengunjungi Kesultanan Bacan tahun 1596.
[12]
Pendapat ini didukung pula oleh catatan sejarah Kesultanan Tidore
‘Museum Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Malige’, yang menyebutkan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada
kora-kora.
Ekspedisi ini menyusuri Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di
Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur yang sering
disebut Sultan Papua I, mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan
dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan
dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan
inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat
bahkan hingga Biak.
[13]
Penyebaran Islam kemudian juga disebarluaskan ke berbagai wilayah
pesisir Papua Barat, seperti Kokas, Kaimana, Namatota, Kayu Merah,
Aiduma dan Lakahia oleh para pedagang muslim seperti dari Bugis, Buton,
Ternate dan Tidore. Kehadiran orang Buton diperkuat dengan kesaksian
Luis Vaes de Torres di tahun 1606. Ia menyebutkan di daerah pesisir Onin
(Fakfak) telah menetap orang
Pouton (Buton) yang berdagang dan menyebarkan agama Islam.
[14]
Syi’ar Islam di Papua menjadi lebih mudah karena kesamaan budaya dan
bahasa. Bahasa yang dipakai tergolong bahasa-bahasa dari rumpun
Austronesia, seperti bahasa di Bacan dan Sula (bahasa Biak di Raja
Ampat; Tobelo dan bahasa Onin di Fakfak dan Seram; maupun bahasa non
Austronesia seperti di Ternate; Tidore dan Jailolo karena masuk golongan
Bahasa Halmahera Utara, yaitu bahasa Galela). Bahasa Onin telah lama
digunakan sebagai
lingua franca yang berguna sebagai bahasa untuk
perdagangan dan penyebaran agama Islam. Bahasa ini dipakai oleh
kalangan pedagang dan elit (pemimpin masyarakat) yang terdapat di
pesisir pantai selatan ‘Kepala Burung’ dan Semenanjung Bomberey (Fakfak
dan Kaimana).
[15]
Kemudahan komunikasi dengan para pemimpin masyarakat Papua, yang
kemudian memeluk Islam, mendorong berdirinya kerajaan-kerajaan
(Petuanan) otonom di bawah Kesultanan Tidore. Kerajaan-kerajaan
(Petuanan) ini terdapat di Raja Ampat (
Kolano Fat), yang tetap
terpatri hingga kini sebagai identitas Pulau Papua. Kerajaan di Raja
Ampat terdiri dari Kerajaan Waigeo (yang berpusat di Weweyai), Kerajaan
Salawati (berpusat di Sailolof), Kerajaan Misool (berpusat di Lilinta)
dan Kerajaan Batanta.
[16] Kerajaan-kerajaan ini berdiri
dengan perangkatnya masing-masing, yang diberi gelar oleh Kesultanan
Tidore, sebagai imbal atas upeti kerajaaan tersebut kepada Kesultanan
Tidore.
[17]
Di wilayah Fakfak dan Kaimana kerajaan-kerajaan (Petuanan) ini
terbagi menjadi sembilan, yaitu Petuanan Namatota, Komisi, Fatagar,
Ati-ati, Rumbati, Pattipi, Sekar, Wertuar dan Arguni. Pengaruh
Kesultanan Tidore di Kerajaan Wertuar misalnya, dapat dilihat dari
pelantikan Raja Wertuar VII yang dilakukan oleh Sultan Tidore, Muhammad
Tahir Alting pada tahun 1886. Sedangkan di Kampung Ugar, Fakfak,
terdapat dokumen silsilah Raja-Raja Ugar beraksara Arab, yang tertulis
tahun 1929 M.
[18]
Pengaruh Islam kepada masyarakat papua dapat diperkirakan dengan
melihat penerapan ajaran Islam yang terdapat di masyarakat Papua saat
itu. Penerapan hukum Islam, misalnya, telah diterapkan masyarakat Pulau
Misool, hinggak akhir masa kolonial Belanda. Di sana terdapat Hakim
Syara’ yang
bertugas mengurusi perihal perkawinan, kematian dan sholat berjamaa’ah.
Kehadiran Masjid-masjid tua, seperti misalnya Masjid Tunasgain, yang
diperkirakan dibangun sejak tahun 1587. Atau di Patimburak, yang
diperkirakan sejak abad ke 19.
[19]
Kehadiran Masjid ini selain peninggalan fisiknya, dapat pula kita
perkirakan kedudukannnya dalam masyarakat. Kehadiran Masjid sejak abad
ke 16, menandakan sejak lama telah dilaksanakannya pendidikan Islam
melalui khotbah Jum’at. Kehadiran Masjid bisa pula kita perkirakan
berfungsi sebagai tempat pendidikan, meski dalam bentuk yang sederhana
di masyarakat. Pola pendidikan sederhana ini dapat kita telusuri dengan
ditemukannya kitab
Barzanji, bertanggal 1622 M dalam bahasa Jawa Kuno dan teks khutbah Jum’at yang bertarikh 1319 M.
[20] Kehadiran kitab
Barzanji, dapat kita perkirakan sebagai upaya untuk menumbuhkan tradisi Islam dalam masyarakat.
Pengaruh Islam lainnya dalam masyarakat, dapat dilihat dari nama-nama
yang terdapat dalam masyarakat papua pribumi. Di desa Lapintol dan Beo,
pada umumnya, kaum pria memakai nama-nama Arab seperti Idris, Hamid,
Abdul Shomad, atau Saodah untuk perempuan.
[21] Islam
juga mengubah penampilan masyarakat. Jika di pedalaman Papua, masyarakat
aslinya belum berpakaian, dan hanya menutup bagian vitalnya saja, maka
di pesisir penduduk Papua keadaan sangat berbeda.
[22] Tak
dapat dipungkiri, Syiar Islam di Papua mengalami proses yang gradual.
Masih dapat ditemukan muslim Papua saat itu yang mempercayai kepercayaan
Animisme atau kepercayaan lokal lainnya. Proses penyebaran Islam
melalui kepala suku atau pemimpin masyarakat, membuat syi’ar Islam
sangat bergantung kepada kepedulian kepala suku tersebut. Syiar Islam di
Papua sedikit banyak juga terpengaruh oleh dinamika yang terjadi di
Maluku.
Pasang-surutnya kekuasaan Kesultanan Tidore mempengaruhi kehidupan
yang terjadi di Papua. Kehadiran bangsa asing yang menjajah Maluku,
seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda berpengaruh besar
terhadap kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate. Kedudukan Kesultanan
Tidore pada masa Sultan Saifuddin yang sebelumnya sejajar dengan
Belanda, lama kelamaan mengalami masa surut.
[23]
Konflik internal dan suksesi kepemimpinan di Kesultanan Tidore ikut
menyeret Belanda ke dalam pusaran konflik. Pergantian kepemimpinan di
Kesultanan Tidore lambat laun melibatkan campur tangan VOC (Belanda).
Kesultanan Tidore dan Ternate yang saling bertikai, memaksa keduanya
bertekuk di bawah VOC dan menjadi
vasal VOC. Hal ini berdampak
pada pengaruh Kesultanan Tidore di Papua. Kesultanan Tidore mulai
kehilangan pengaruhnya di Papua terutama sejak abad ke 18.
[24]
Kondisi Kesultanan Tidore yang lemah, membuat seorang Pangeran
Kesultanan Tidore, yaitu Pangeran Nuku memberontak terhadap kekuasaan
Tidore. Pangeran Nuku kemudian menjadi simbol perlawanan terhadap VOC
yang bersekutu dengan Sultan Tidore serta Ternate.Perlawanan Pangeran
Nuku yang anti Belanda, menggerogoti kekuasaan Belanda di Maluku.
Pangeran Nuku tidak saja mampu memperoleh dukungan dari orang-orang di
Tidore, Ternate, Seram, dan juga Halmahera, tetapi ia terutama
memperoleh dukungan dari orang-orang Papua terutama di Raja Ampat.
Dukungan orang-orang Papua di Raja Ampat, membuatnya bergelar Sultan
Papua II. Meneruskan Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) yang bergelar
Sultan Papua I.
[25]
Kekuatan pasukan Pangeran Nuku begitu hebat, terutama saat ia
bersekutu dengan Inggris untuk memerangi VOC. Yang menarik, Pangeran
Nuku juga disebutkan didukung oleh ulama dan tokoh haji berpengaruh,
yaitu Haji Umar. Ambisi Pangeran Nuku untuk membebaskan dan memunculkan
kembali empat Kesultanan Maluku memang tak tercapai. Namun ia berhasil
membebaskan Kesultanan Tidore dari pengaruh Belanda. Hingga ia wafat
(1805), Kesultanan Tidore mampu berdiri tanpa pengaruh Belanda. Namun
Semenjak ia wafat, Kesultanan Tidore tak mampu lagi mempertahankan
kemerdekaannya. Belanda kembali menguasai Kesultanan Tidore.
[26]
Masuknya kembali pengaruh Belanda ke Kesultanan Tidore membawa
pengaruh besar di Papua. Belanda akhirnya terjun langsung ke bumi Papua,
untuk menegakkan kekuasaannya. Motivasi Belanda menguasai langsung
Papua setidaknya terdapat lima motif, (1) Belanda hendak mencegah
intervensi asing seperti Inggris ke wilayah Papua. (2) Belanda juga
berhasrat untuk melindungi kekuasaannya di Maluku. (3) Belanda memiliki
kepentingan ekonomi di Papua, terutama dari hasil produk hutan, laut dan
eksplorasi agararia. (4) Melindungi Belanda dari perompak, yaitu Suku
Tugeri (Marind-Anim) di Papua. (5) Belanda hendak mendukung penyebaran
Kristen (Katolik dan Protestan) di Papua.
[27]
Belanda mendirikan benteng pertamanya di Papua, yaitu Benteng Du Bus.
Dinamakan Benteng Du Bus, sebagai penghargaan terhadap Komisaris
Jenderal Hindia Belanda, L.P.J. du Bus de Gesignies yang mengusulkan
dibangunnya pos perdagangan di Papua (1826-1830). Belanda kemudian
mengumumkan kepemlikan Raja Netherland atas seluruh wilayah Papua bagian
barat, kecuali yang menjadi hak Sultan Tidore di Mansarij, Karandefur,
Ambapura dan Umbarpon.
[28] Meski Benteng Du Bus tak
bertahan lama, namun hal ini menandakan berkuasanya Belanda di Papua
secara langsung, setelah selama ini mereka ‘berkuasa’ melalui perantara
Kesultanan Tidore. Namun pada kenyataannya Belanda mengalami kesulitan
mengontrol Papua bagian barat, terutama pesisir bagian selatan. Di
wilayah itu (Fakfak), masyarakat pribuminya beragama Islam, dan secara
struktur kekuasaan berbentuk kerajaan (pertuanan) sehingga lebih dekat
kepada pengaruh Tidore.
[29]
Di antara kelima motif Belanda di Papua, mungkin dukungan Belanda
terhadap penyebaran Kristen Protestan dan Katolik di Papua, yang paling
berpengaruh negatif terhadap syi’ar Islam di Papua. Belanda amat
Kristenisasi di Papua. Kristenisasi di Papua di mulai sejak 5 Februari
1855 dengan kehadiran Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di
Mansinam, Manokwari.
[30] Mereka berdualah yang kelak
dijuliki ‘Rasul Papua’, dan tanggal kehadiran mereka kini diperingati
setiap tanggal 5 Februari oleh Gereja Kristen Injili di Papua.
[31]Dengan
mendukung Kristenisasi di Papua maka, Belanda mendapatkan justifikasi
untuk menduduki Papua, menutupi motif utama mereka, mengeruk keuntungan
dari tanah Papua.
Di Papua bagian barat, penyebaran Kristen (
Zending) bersaing dengan Missi Katolik. Para
zending dibantu oleh guru
zending yang berasal dari Ambon dan Manado-Sanger. Sedangkan missionaris Katolik dibantu guru yang berasal dari Kei. Kehadiran
zending dan
missi di Papua bagian barat ini menjadikan penduduk pribumi Papua
memeluk Katolik dan Kristen. Namun lain halnya dengan Papua bagian
selatan. Di wilayah ini dikuasai missi Katolik, sebagai akibat dari
kebijakan Asisten Residen Kroesen. Pada Agustus 1905, missi Katolik
dimulai dengan kehadiran Pastor H. Nollen, Pastor P. Braun dan Bruder
Roessel di Merauke. Mereka mulai memfokuskan pada kajian bahasa,
mengajarkan membaca, berhitung dan menulis. Tahun 1921 missi Katolik
mulai mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak Papua.
[32]
Di Papua wilayah tengah, lembaga
zending Christian and Missionary Alliance membuka pos penginjilan mereka di Baliem. Missi Katolik juga turut serta di wilayah ini. Namun daya cakupan
zending lebih luas dibandingkan lainnya. Bagaimanapun, pemerintah kolonial mendukung penuh penyebaran Kristen dan Katolik di Papua,
[33] hal
ini bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap syi’ar Islam di
Papua. Tak ada dukungan, misalnya untuk anak-anak muslim pribumi di
Papua.
[34]
Syi’ar Islam sejak bercokolnya Belanda di Papua, lebih banyak
bergantung kepada umat Islam itu sendiri. Tahun 1910, Haji Abdul Majid
mulai mendirikan pendidikan Islam di Jayapura dan mendirikan sebuah
masjid pertama di Jayapura. Ia pulalah yang menjadi imam masjid
tersebut. Di Merauke, tahun 1908, seiring dibukanya perkebunan kapas,
pemerintah Belanda mendatangkan orang-orang Jawa di wilayah tersebut.
Anak-anak pendatang ini kemudian mempelajari agamanya dengan bantuan
guru mengaji.
[35]
Tahun 1930, Tengku Bujang, seorang yang berstatus diasingkan oleh
pemerintah kolonial Belanda (Digulis), tiba di Merauke dan memulai
dakwahnya dengan membangun Masjid Sepadin. Di Masjid inilah ia memulai
khotbah Jumat dengan bahasa Indonesia. Ia pula yang mempelopori Sholat
Ied di lapangan. Di Merauke ia kemudian membentuk Muhammadiyah. Antara
tahun 1933-1936 Muhammadiyah mengirimkan tiga orang mubaligh ke Papua,
yaitu Ustadz Jais, Ustadz Asarar dan Ustadz M, Chatib.
[36]
Di Fakfak, Muslim Papua membentuk
Kesatuan Islam Nieuw Guinea (KING),
yang dipimpin oleh Raja Rumbati, yaitu Haji Ibrahim Bauw. Ia kemudian
membuka sekolah Islam. Tahun 1933, bersama pembimbingnya, Daeng Umar, ia
mendirikan Muhammadiyah Fakfak. Namun hal ini tak berlangsung lama,
Haji Ibrahim ditangkap dan Daeng Umar diasingkan ke tempat lain. Tahun
1950, bahkan pekerja-pekerja Muslim yang ada di Jayapura dikembalikan
secara besar-besaran ke luar Papua. Jayapura menjadi kosong dari
penduduk Muslim. Masjid Jayapura pun dijadikan bar dan restoran.
[37]
Pemerintah Belanda memang beriskap diskriminatif terhadap muslim di
Papua. Buku-buku agama Islam sulit diperoleh, sehingga didatangkan dari
Jawa atau daerah lainnya. Pemerintah Belanda, hanya mendirikan sebuah
sekolah untuk anak-anak muslim, yaitu
Openbare Vervolg School (O.V.V.S), itupun dilakukan menjelang pengalihan kekuasaan Belanda pada Indonesia ditahun 1960an.
[38]
Syi’ar Islam di Papua semakin semarak sejak Papua bergabung dengan
Indonesia. Pemerintah kemudian mendirikan berbagai sekolah, termasuk
sekolah pendidikan Agama Islam di Papua. Syi’ar Islam kembali menguat
sejak dibukanya program transmigrasi di era Orde Baru.
[39] Muslim-muslim
yang hadir di Papua meneruskan kembali dakwah Islam di Papua yang telah
dimulai setidaknya sejak 500 tahun yang lalu, ketika Islam menjadi
agama pertama yang masuk ke Papua. Maka sungguh ironis jika umat Islam,
yang telah hadir di Papua sejak 500 tahun yang lalu, diintimidasi dalam
melaksanakan ibadah dan syi’ar agamanya.[]
–
Penulis adalah Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)