Tuesday, April 21, 2015

Kartini dan Agus Salim

R.A.Kartini
dan
Haji Agus Salim


Di balik sumbangan besar pemikiran Haji Agus Salim untuk bangsa Indonesia, ada kecerdasannya yang luar biasa. Mohammad Natsir menyebut, kalau hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah satu putra Indonesia, maka yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim.

Pada tahun 1891, ketika usia Agus Salim menginjak tujuh tahun, dimasukinya sekolah dasar Belanda, yaitu ELS (Europeesche Lagere Scholl) di Bukittinggi. Ketika Agus Salim duduk di bangku ELS, kecerdasan otaknya telah menarik perhatian guru-gurunya orang Belanda, rasa simpati mereka terlihat dengan permintaan ingin membina dan mengarahkan Agus Salim sepenuhnya baik di sekolah maupun di rumahnya.

Namun permintaan tersebut ditolak oleh kedua orang tua Agus Salim. Hanya diizinkannya ketika saatnya makan pagi, siang dan malam, ditambah waktu sesudahnya, boleh tinggal di rumah orang tuanya.

Pada usia 13 tahun, sesudah tamat dari ELS dengan gemilang (1898), Agus Salim berangkat menuju Jakarta melanjutkan sekolahnya. Dengan kapal laut ditinggalkannya kampung halaman, ayah ibunya, dan sanak familinya pergi merantau ke daerah seberang. Selanjutnya dimasukinya HBS (Hoger Burgelijke School),yaitu sekolah menengah Belanda di Jakarta.

Dalam tempo lima tahun, Agus salim selesai dan berhasil menempuh ujian di HBS (1903) dengan nilai terbaik sekaligus menjadi juara. Dia adalah siswa terbaik dari tiga HBS di Hindia Belanda ketika itu.

Saat itu dapat dikatakan hampir tidak ada anak pribumi yang duduk di bangku HBS, terkecuali dari Agus Salim dan P.A.Hoesein Djajaningrat (Doktor pertama di Indonesia), dan yang lain anak-anak bangsa Eropa. Kecerdasan otaknya yang luar biasa diakui oleh gurunya yang juga oleh sarjana-sarjana Belanda. Bahkan menurut ramalan-ramalan gurunya, kelak kemudian hari Agus Salim menjadi orang penting bagi bangsanya.

Sebenarnya Haji Agus Salim memiliki minat yang besar terhadap pendidikan tingkat selanjutnya. oleh karena itu ia berusaha mendapatkan beasiswa ke Negeri Belanda, bahkan ada yang menganjurkan supaya melanjutkan pendidikannya di STOVIA.

Tetapi semua usaha yang dilakukan itu mengalami kegagalan. Sehingga beritanya terdengar oleh Raden Ajeng Kartini (1879-1904), yang ditawari bea siswa ke negeri Belanda oleh pemerintah sbesar 4800 gulden pada tahun 1903. Menurut Kartini, dirinya tidak mungkin pergi sejauh itu karena adat budaya masyarakat bangsa timur belum memberikan keleluasaan terhadap kaum wanita. Begitu pula beliaupun tidak lama lagi akan melangsungkan pernikahannya.

Oleh karena itu sesudah dipertimbangkan masak-masak, maka Kartini memberikan saran kepada pemerintah agar supaya jatah bea siswanya dilimpahkan saja kepada Haji Agus Salim. Usul tersebut diterima oleh pihak pemerintah yang selanjutnya ditawarkan kepada Agus Salim.

Berikut ini adalah potongan surat RA Kartini kepada Nyonya Rosa Abendanon (suami Rosa adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905), tentang niatnya melimpahkan bea siswa kepada Haji Agus Salim. Surat Kartini ini dicuplik dari Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim:

Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya? Kami tertarik sekali kepada seorng anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS!

Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150.-sebulan. Jika dikehendaki, rasanya mau dia bekerja sebagai kelasi di kapal, asal saja dia berlayar ke Negeri Belanda.

Tanyakan kepada Hasyim tentang anak muda itu. Hasyim kenal dia; pernah mendengar anak muda itu berbicara di Stovia. Nampaknya dia itu seorang pemuda yang hebat yang pantas diberi bantuan. Ketika kami mendengar tentang dia dan cita-citanya, muncul keinginan yang tak terbendung untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan bebannya.Teringat kami pada SK gubernemen tertanggal 17 Juni 1903. SK yang begitu didambakan sebelumnya tapi kemudian, ketika kami terima, dipandang dengan rasa pilu yang menyayat hati.

Apakah hasil usaha sahabat-sahabat mulia, buah harapan dan doa kami akan hilang lenyap saja,tak terpakai? Apakah tak mungkin orang lain menikmati manfaatnya? gubernemen menyediakan untuk kami berdua sejumlah uang sebesar 4800 gulden guna penyelesaian pendidikan kami. Apakah tidak bisa uang itu dipindahkan kepada orang lain yang juga perlu dibantu, mungkin lebih banyak kepentingan daripada kami! Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulen. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulen yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.

Rupanya, Agus Salim menganggap cara yang demikian itu adalah penghinaan terhadap dirinya. Akhirnya tawaran itupun ditampiknya seraya mengatakan: "Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak," dikutip dari buku Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan. Sejak peristiwa itu, diputuskannya minat untuk tidak melanjutkan sekolah.

sumber

1 comment :

ELLA ELVIANA said...

Bikin nangis aja. tapi dapat beasiswa atau tidak, kebesaran seseorang tetaplah bersinar....