Saturday, September 07, 2013

Saudagar di pesisir Minangkabau

KEHIDUPAN SAUDAGAR
DI RANTAU PESISIR MINANGKABAU


Oleh
Ari Febrianto,
mahasiswa Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas

Wilayah Minangkabau secara umum dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu Luhak dan Rantau. Luhak merupakan wilayah inti Minangkabau dan merupakan pusat kebudayaan Minangkabau. Daerah Luhak dikenal juga dengan sebutan daerah Darek (Darat) karena terletak di dataran tinggi. Wilayahnya meliputi Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.
Daerah Rantau adalah tempat orang Minangkabau merantau yang berada di luar wilayah Luhak. Rantau adalah wilayah pemukiman yang dibangun oleh orang-orang yang berasal dari Darek. Oleh karena pada umumnya merupakan pemukim pantai, daerah-daerah pemukiman ini adakalanya dibangun oleh orang-orang dari luar Minangkabau. Jika Darek homogen dan asli dari segi budaya maupun etnis, maka Rantau heterogen dan “campuran” (Kato, 1986; Naim, 1984).
Sepanjang sejarahnya, masyarakat Minangkabau telah menyaksikan saling pengaruh- mempengaruhi yang tiada hentinya antara Darek dan Rantau. Rantau adalah saluran ke luar dari sejumlah akibat kelebihan tenaga di Darek, kelebihan penduduk, kekecewaan, keingintahuan, atau ambisi dan tenaga yang lebih bagi perluasan Rantau. Darek turut menikmati kekayaan dan pembaharuan-pembaharuan yang berasal dari Rantau; Darek memberikan identitas sebagai bagian dari Alam Minangkabau, di samping menyediakan sumberdaya manusia yang perlu bagi perluasannya. Dalam tata hubungan yang saling tergantung ini, Rantau bukanlah sekedar embel-embel bagi Alam Minangkabau (Kato, 1986).
Dalam usaha menggambarkan masyarakat Minangkabau, baik tradisional maupun modern, ada kecendrungan yang kuat untuk memusatkan perhatian pada Darek, Sebab Darek dipandang sebagai perwujudan adat Minangkabau yang lebih asli; namun Rantau sendiri pun  perlu mendapat perhatian. Kehidupan saudagar di Pesisir memberi pemahaman bagaimana Rantau yang sebenarnya dan bagaimana keadaan penduduknya. Jika yang menjadi tokoh di Darek yang umumnya hidup dari sawah dan sifatnya lebih menetap, adalah Penghulu, maka yang menjadi tokoh di Rantau yang sifatnya lebih komersial itu adalah saudagar.
Kehidupan saudagar di daerah Pesisir selama ini digambarkan dengan kehidupan pantai dan laut, tapi hal itu ternyata tidak mutlak adanya, karena sebagian saudagar Pesisir ada yang tidak berkecimpung dalam dunia maritim, dalam perkembangannya sekarang mereka lebih cendrung beraktivitas di Darek dan lebih banyak memanfaatkan daratan, karena darat memiliki akses jalur transportasi ke daerah Darek lain yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan jalur Pesisir/laut.
Saudagar di Pesisir Minangkabau, adalah suatu bentuk kehidupan yang sangat menarik, karena apabila dilihat dari pola perdagangan di daerah Pesisir Minangkabau yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah Darek. Dinamika kehidupan yang dijalani oleh saudagar Pesisir yang unik, strategi yang dilakukan dalam mempertahankan eksistensi perdagangan, dan pola hubungan yang  dibangun dengan saudagar-saudagar yang lain, baik yang berasal dari daerah yang sama maupun daerah yang berbeda.
Perdagangan di Rantau Pesisir
            Berdagang menjadi salah satu ciri khas bagi orang Minang pada umumnya, karena sebagian yang merantau ke daerah-daerah lain termasuk daerah Pesisir, mereka mayoritas melakukan usaha/bekerja sebagai pedagang.
            Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minangkabau yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah suatu pilihan yang tepat. Prinsip “lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar” (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minangkabau.
            Menjadi seorang pedagang  merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minangkabau bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan obral, daripada harus kerja kantoran yang acapkali disuruh dan dimarah-marahi.
            Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minangkabau disebabkan dengan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual  hasil-hasilnya ke pasaran.  
Perkembangan dunia pedagang Minangkabau sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sistem budaya masyarakatnya. Seperti sudah diungkapkan oleh banyak ahli, sistem budaya Minangkabau merupakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya minat dagang dalam masyarakatnya. Akan tetapi pada sisi lain sistem budaya Minangkabau itu juga menjadi bagian perkembangan dunia pedagang Minangkabau. Dengan demikian nampaknya sistem budaya Minangkabau itu bersifat ambivalen terhadap perkembangan dunia pedagang Minangkabau.
Saudagar lebih banyak memanfaatkan dan memperdagangkan hasil-hasil pertanian dan peternakan yang di hasilkan dari daerahnya sendiri, seperti misalnya ikan kering, padi, karet, kayu manis, sapi, kerbau dan beberapa produk lainnya yang menjadi komuniti di daerah Pesisir.
Kehidupan Saudagar di Rantau Pesisir
            Kehidupan saudagar di daerah Pesisir di identikkan dengan materi yang melimpah, kesuksesan, ketenaran, dan yang paling mendukung adalah kepercayaan dari masyarakat, karena setiap saudagar tidak selalu mengandalkan materi dalam berdagang, masyarakat lebih menghargai kepercayaan dan kejujuran.
            Dengan kehidupan yang serba berkecukupan, masyarakat memandang seorang saudagar sebagai orang yang disegani dan sukses, sehingga tidak dapat di pungkiri saudagar-saudagar di Rantau Pesisir selalu memiliki hubungan baik dengan masyarakat dan sangat umum dikenal sebagai orang yang memiliki banyak istri, karena di semua tempat yang pernah disinggahi untuk berdagang pasti ditempat itu akan ada saja wanita yang mau di jadikan istri, sebagai tempat bermalam.
            Kehidupan saudagar di Rantau Pesisir memang berbeda dan memiliki keunikan, saudagar memiliki ruang dan tempat tersendiri di hati keluarga, masyarakat, bahkan memiliki hubungan baik dengan saudagar-saudagar lain. Walaupun dalam berdagang mereka bersaing, tapi dibelakang itu mereka memiliki kedekatan dan hubungan yang harmonis.
Kamar, yang merupakan salah satu pedagang yang berasal dari daerah Pesisir, merupakan salah satu profil saudagar tradisional yang menjadi kaya dengan usahanya tersebut. Kamar yang pernah menikah sebanyak dua belas kali ini, memilih melakukan perdagangan ke Kota Padang karena Padang memiliki akses jalur transportasi ke daerah Darek yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan daerah Pesisir lainnya. Jenis barang dagangan yang dibawa Kamar ke Padang adalah barang-barang hasil pertanian dan hasil ternak seperti Padi, sapi, dan kerbau yang dihasilkan dari Nagari Surantih dan nagari-nagari sekitarnya.
Sebagai saudagar, Kamar dalam menjalankan usaha dagang tidak semata-mata mengandalkan materi dan uang yang berlimpah, tapi lebih mengutamakan kejujuran dan kepercayaan. Dengan modal dasar ini, Kamar merintis usaha dagangnya dan inilah yang membedakan dan membuat Kamar menjadi salah satu saudagar yang berhasil dengan usaha yang dirintisnya.
sebagai langkah awal dalam menekuni dunia persaudagaran, Kamar mendirikan “gudang roti gulo” yang menjadi semakin laris dan mendapatkan keuntungan yang berlimpah, kemudian menambah usaha lain dengan memperdagangkan sapi dan kerbau yang mulai di kirim ke Padang dengan menggunakan jalur darat, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama (enam hari dengan berjalan kaki), memperkerjakan banyak orang yaitu satu ekor sapi akan dikawal oleh 2 (dua) orang (kalau untuk kerbau 3 orang). Sebagai pedagang yang memiliki naluri yang tajam dalam berdagang tidak terkecuali  hasil pertanian juga diperdagangkan seperti padi yang juga di kirim ke Padang mengunakan “biduak” sebagai transportasinya.
Dengan kata petuah yang sering diucapkan dan diterapkannya “di dunia ini tidak ada yang paling berharga kecuali kejujuran”. Kamar berhasil menjadi saudagar yang disegani dan dihormati baik dikalangan sesama saudagar ataupun masyarakat.
          
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1983. ”Sebuah Pengantar”, dalam Taufik Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S.
Abdullah, Taufik. 1984. “Studi tentang Minangkabau”, dalam Ahmad Ibrahim (ed.). Minangkabau Minangrantau. Medan: Penerbit Madju.
Adli, Adrial. 1994. “Perdagangan Hasil Bumi Sumatera Barat di Kota Padang Pada Masa Kolonial (1900-1930)”. Tesis. Yogyakarta: PPS Universitas Gadjah Mada.
Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784 – 1847. Depok: Komunitas Bambu.
Dobbin. Christine. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah. Jakarta: INIS.
Kato, Tsuyoshi. 1986. “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX” dalam Akira Nagzumi. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Manan, Imran. 1989. “Enterpreneurship dan Corak Ekonomi Minangkabau dalam Dunia Usaha”. Makalah. Bandung: Unit Pencinta Budaya Minangkabau Universitas Padjadjaran.
Mansur, M.D. 1972. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara
Naim, Mochtar. 1987. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Navis, A.A. 1984. “Pola Usaha Tradisional Minangkabau dan Bisnis Modern” dalam Majalah Interaksi No. 4 Th. I.
Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press. 1986.
Yusuf, Mohammad. 1998. “Haji Mohammad Said (1930-1990) Kisah Seorang Pedagang Minangkabau”. Skripsi. Padang: Fak. Sastra Universitas Andalas

sumber: http://yasminakbar11.blogspot.com/2012/09/kehidupan-saudagar-di-rantau-pesisir.html

No comments :