Kajian Sejarah : Penyatuan Nusantara antara Fakta dan Fiksi
Oleh: Dr. Adian Husaini“Majapahitisme”
Majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali seperti Majapahit”. Ditegaskan pada bahasan utama: “Kembali pada hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi Negara Adidaya.”
Mengutip ramalan Goldman Sach, Majalah Hindu ini menyatakan, tahun 2050 Indonesia akan menjadi Negara maju ke-7 setelah China, USA, India, Brazil, Mexico dan Rusia. Prediksi ini, katanya, cocok dengan ramalan Jayabaya bahwa di tahun 2000 Saka (2078 M), Nusantara menjadi negara Adikuasa.
10 Negara Termaju Tahun 2050 (versi Goldman Sach)
“Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila meyoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi Negara Adidaya. Satusatunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini,” demikian tulis majalah yang terbit di Jakarta ini.
Di dalam pengantar redaksi, disebutkan: “Pohon bisa tumbuh besar dan kuat menghadapi badai adalah yang akarnya tertanam jauh di dalam tanah. Bukan pohon hasil cangkokan atau tempelan. Dan pohon yang tumbuh dalam habitatnya akan menghasilkan buah yang baik. Salak Nongan di Karangasem, tidak akan menghasilkan buah yang sama kualitasnya bila ditanam di Ubud. Pohon kurma yang habitatnya di gurun pasir tidak akan berbuah di daerah subur dan banyak hujan seperti Indonesia. Jika Indonesia ingin maju maka ia harus kembali ke akar budayanya.”
Jadi, simpul MEDIA HINDU : “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Harapan dan imbauan MEDIA HINDU ini sejalan dengan “mitos nasional” yang selama ini dibangun di Indonesia – khususnya melalui pendidikan sejarah – bahwa Indonesia memang pernah mengalami puncak kejayaan di masa Kerajaan Hindu Majapahit, terutama di era Pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Berbagai buku sejarah menulis, bahwa di Nusantara ini, hanya pernah ada dua Kerajaan di Indonesia yang bersifat Nasional, yaitu Kerajaan Sriwijaya (Budha) dan Kerajaan Majapahit (Hindu). Islam belum pernah menyatukan Nusantara. Itulah informasi yang mudah kita jumpai di berbagai buku sejarah.
Tokoh Kristen di Indonesia, TB Simatupang, pernah menulis bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. “Tetapi tidak pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri,” tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia. (Lihat, T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). hal. 11).
Pendeta Dr. Eka Darmaputera, balam bukunya, mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. “Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada,” tulis Eka Darmaputera. (Lihat, Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), hal. 34).
Doktrin tentang “penyatuan Nusantara” oleh Kerajaan Budha dan Hindu seperti itulah yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan kadangkala juga di berbagai pondok pesantren, melalui pengajaran Sejarah. Sebagai contoh, buku Sejarah untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit. Ditulis: “Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Citacitanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.” (hal. 48).
Jadi, disimpulkan, bahwa Indonesia pernah jaya dan hebat di zaman Hindu. Kemudian, dikatakan, datanglah Islam, yakni Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah, untuk menghancurkan kejayaan Indonesia itu. Tentang keruntuhan Kerajaan Majapahit, ditulis dalam buku pelajaran sejarah tersebut: “Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak).” (hal. 49).
Tentu, penggambaran semacam itu bisa menimbulkan salah paham dan citra buruk terhadap Islam. Dalam bukunya, Genealogi Keruntuhan Majapahit, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Nengah Bawa Atmadja mengutip buku Islam Kejawen (2004) karya Hariwijaya dan buku Ramalan Ghaib Sabdo Palon Noyo Genggong (2006) karya S. Hardiyanto, yang menggambarkan keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan tikus, tawon dan setan (demit).
“Pendek kata, ungkapan bahwa Majapahit runtuh karena diserang oleh tikus, tawon, dan setan memiliki makna konotatif. Dalam konteks ini Majapahit runtuh karena diserang oleh Demak. Demak adalah musuh dalam selimut yang menghancurkan Majapahit secara tersembunyi dari dalam pada saat Majapahit lengah dan berada dalam kondisi sakit keras. Serangan ini terjadi secara tiba-tiba dan beramai-ramai.” (hal. 12).
Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia. Logikanya, kalau mau mengalami kejayaan, Islam harus disingkirkan dari simbol-simbol dan lambang kenegaraan. Kembalilah ke Majapahit! Kembalilah ke Hindu, jika ingin meraih kejayaan! Islam ditempatkan sebagai “musuh persatuan”, sehingga perlu diupayakan agar istilah dan simbol-simbol Islam dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara!
Upaya menyingkirkan Islam dari kehidupan berbangsa dan bernegara ini sudah disadari oleh para cendekiawan Muslim di Indonesia. Cendekiawan Muslim Haji Agus Salim, tahun 1941, menulis sebuah buku berjudul Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia (dicetak ulang dan diterbitkan oleh Tintamas Jakarta, 1962). Haji Agus Salim mengklarifikasi cerita tentang keruntuhan Majapahit akibat serangan Islam. Bahkan, menurut cendekiawan legendaris ini, Majapahit tidak runtuh pada 1478 M, saat ibu kota Majapahit diserang oleh Girindrawardhana. Encyclopædie van Nederlandsch-Indië mencatat bahwa seorang pelaut Portugis, Pigafetta, memberitakan pada 1463 Çaka (1541) Majapahit masih berdiri. Jadi, anggapan bahwa tahun 1478 adalah tahun runtuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam adalah keliru yang bersumber dari para penjelajah bahari Portugis (hlm. 19-20).
Kontroversi ”Majapahitisme”
Benarkah Majapahit pernah menyatukan Nusantara? Sejumlah sejarawan memang menggambarkan kebesaran Majapahit. Mengutip buku Sriwijaya (2008), karya Slamet Mulyana, Yudi Latif menulis: “Selepas Sriwijaya, giliran Kerajaan Majapahit yang menguasai sebagian besar (wilayah pantai) Nusantara, bahkan meluas ke arah Barat hingga bagian tertentu di Vietnam Selatan dan ke arah Timur sampai di bagian Barat Papua.” (Lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.260).
Para cendekiawan Muslim sudah lama mengkritisi rekayasa penonjolan Hinduisme dan pengecilan Islam ini. Buya Hamka – yang di tahun 2011 ini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional — dalam Tafsir al-Azhar, sudah menulis, bahwa bangsa Indonesia selama ini dididik untuk menjauhkan nasionalisme dengan Islam dan hendaklah bangsa ini lebih mencintai Gajah Mada ketimbang Raden Patah. “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.” (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar — Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)
Karena opini tentang kehebatan Majapahit tersebut sudah begitu dominan, bisa dimaklumi, bahwa sebagian kaum Hindu di Indonesia berpikir, bahwa bangsa ini harus kembali menjadi Hindu, bila ingin menjadi bangsa besar, sebagaimana dicitakan oleh Majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011) tersebut.
Prof. Dr. Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka: “Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”
Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit. Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan.
Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.
Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian datang ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).
“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak,” tulis Hamka.
Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan. “Maksud ini berhasil,” papar Hamka.
Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga. Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.
Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini:
“Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih!
Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa.
Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya.
Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.
Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocordan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?
Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”
Begitulah paparan dan imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang ‘Pengislaman Nusantara’ seyogyanya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memposisikan Islam sebagai agama yang “anti-budaya bangsa”, sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan ke-Hindu-an atau ke-Budha-an. Hukum adat dan warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan, masih saja berpikir, bahwa Islam bukanlah jatidiri bangsa Indonesia. Islam tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekular di luar agama.
Peta Indonesia sesudah ‘Pengislaman Nusantara’ (sekarang)
Ternyata, bukan hanya kalangan Islam yang mengkritisi pengagungan Majapahit secara berlebihan. Majalah Hindu RADITYA, edisi 134 (Oktober 2008), mengangkat tema utama tentang “Kebangkitan Majapahit”. Berbeda dengan banyak orang Hindu, Majalah Hindu ini justru mengkritisi jargon-jargon dan semangat orang Hindu untuk kembali ke era Majapahit, sebab menganggap Kebesaran Majapahit adalah kebesaran agama Hindu. “Pemahaman yang menganggap kejayaan Majapahit sebagai kejayaan Hindu adalah suatu kesimpulan yang harus dikoreksi,” tulis majalah ini.
Lebih jauh, Majalah ini menulis:
“Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”
Dalam wawancara dengan Majalah Raditya tersebut, Guru besar sejarah, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gede Parimartha menyatakan, bahwa “Mengangung-agungkan Majapahit lebih banyak merugikan”. Dilihat dari system kehidupan yang dibawa Majapahit, tampak membawa pengaruh pada bentuk-bentuk ketimpangan sosial. Sistem kasta yang rumit sering menimbulkan konflik sesama masyarakat Bali.
Penjelasan Prof. S.M.Naquib al-Attas
Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak berpuluh tahun lalu sudah mengungkap adanya upaya untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Kata Prof. Al-Attas: ”Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.Namun begitu, baik dalam tulisan Hurgronje maupun dalam tulisan Van Leur, tidak terdapat hujjah-hujjah ilmiah yang mempertahankan pandangan demikian mengenai Islam dan peranan sejarahnya.” (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 36).
Al-Attas menekankan pentingnya melihat wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan peradaban Melayu, dengan menempatkan faktor Islam sebagai unsur yang dominan. Wilayah itu kini dihuni oleh lebih dari 200 juta kaum Muslim. Memang, banyak cendekiawan yang merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban (civilization). Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington juga menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut Christopher Dawson, “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.” Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu. (Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, hal. 47 ; Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993).
Peradaban-peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka. Marvin Perry mencatat: “Religion lay at the center of Mesopotamian life. Every human activity – political, military, social, legal, literary, artistic – was generally subordinated to an overriding religious purpose. Religion was the Mesopotamians’ frame of reference for understanding nature, society, and themselves; it dominated and inspired all other cultural expressions and human activities.” (Marvin Perry, Western Civilization A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), hal. 9).
Dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting : “Religion was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art, medicine, astronomy, literature, and government.” (Ibid, hal. 15).
Karena itulah, al-Attas menyebutkan bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah Nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 169-179. Angka 100 juta itu disebut al-Attas pada tahun 1969, saat ia menerbitkan bukunya Preliminary Statement on a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago. Tahun 2007, jumlah Muslim di kepulauan itu sudah lebih dari 200 juta jiwa. Penduduk Muslim Indonesia sahaja, ada sekitar 180 juta jiwa.)
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini :
“Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego” (Ibid, hal. 178).
Al-Attas mengkritik keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis:
“Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (S.M. Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal. 41).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. “… anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita.” (Ibid, hal. 40-41).
Paparan al-Attas tentang peran Islam dan bahasa Melayu dalam kebangkitan kesadaran nasional dipertajam lagi dengan hadirnya buku terbaru al-Attas yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011). Buku ini sangat fantastis, melihat ketajaman analisis dan kekayaan referensi yang digunakannya. Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai buku HFF ini sebagai salah satu karya besar dari al-Attas. Dengan karya ini, menurut Prof Wan Mohd Nor, al-Attas pantas disebut sebagai salah satu ahli falsafah sejarah di dunia Islam. Tokoh lain adalah Almarhum Malek Bennabi dari Aljazair (m. 1973). “Buku terbaru SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction (HFF), meneguhkan kembali kepeloporan dan kependekaran beliau dalam masalah sejarah, khususnya sejarah di alam Melayu, yang dipeganginya selama lebih 40 tahun secara penuh istiqamah,” tulis Prof. Wan Mohd Nor (Republika, 20 Oktober 2011).
Melalui buku ini, al-Attas berhasil membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan lain. Al-Attas, misalnya, memperjelas kembali gambaran bagaimana keberhasilan para pendakwah Islam (digunakan istilah “misionaris Islam”) dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara.
Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah di wilayah Nusantara ini. Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam, merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” HFF, hal.xvi).
Jadi, menurut al-Attas, disamping agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi, atau kaum Syiah, secara sambilan atau asal-asalan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para misionaris Islam yang hebat. Islamisasi di wilayah seluas ini bukanlah pekerjaan sambilan dan asal-asalan: “the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (HFF, hal. 32).
Seperti yang diungkapkan al-Attas, kaum orientalis Belanda telah lama berusaha mengecilkan peran Islam di wilayah ini. Snouck Hurgronje, misalnya. Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.”
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Snouck Hurgronje juga mendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi. Sebuah suratnya yang tertanggal: Leiden 28 Januari 1889 – beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia – isinya menunjukkan bahwa Snouck menyetujui pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha Kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah. (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke – 19. (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1984), hal. 241 – 242).
Hasil kajian Prof. Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (Prof. Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 106).
Sejarah juga menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kaum Kristen. J.D. Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.” Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara”. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009).
Identitas peradaban
Melalui buku terbarunya, Prof. Naquib al-Attas kembali menegaskan bahwa jati diri bangsa Melayu-Indonesia sejatinya adalah Muslim. Mereka adalah bangsa Muslim. Identitas dan jati diri Melayu-Islam itu seharusnya dimanfaatkan oleh bangsa Melayu-Indonesia untuk membangun negeri mereka secara sungguh-sungguh sehingga mampu tampil sebagai salah satu peradaban yang kuat di muka bumi.
Jika nilai-nilai Islam disingkirkan, dan “nilai-nilai di luar Islam” ditempatkan sebagai jati diri dan simbol-simbol kebangsaan Indonesia, maka Muslim Indonesia didorong untuk tidak memiliki perasaan memiliki terhadap negeri ini. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Itulah yang – misalnya – selama ini terjadi dalam kasus Pancasila. Banyak kaum Muslim dipaksa tidak merasa memiliki Pancasila karena Pancasila diajarkan di sekolah-sekolah dalam perspektif sekular dan peradaban lain untuk menggantikan Islam.
Tuhan Yang Maha Esa dalam Pancasila (dan Pembukaan UUD 1945) jelas-jelas bernama Allah SWT, dikaburkan makna dan nama-Nya, menjadi “Tuhan apa pun”. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan kaum Muslim. Satu-satu-Nya kitab suci di Indonesia yang sejak awal hingga kini memuat nama Tuhan bernama Allah, hanya al-Quran. Kaum Kristen di Indonesia kemudian meminjam kata Allah itu untuk menyebut Tuhan mereka dengan Allah. Tetapi, ‘Allah’ yang disebut kaum Kristen memiliki sifat yang sangat berbeda dengan Allah-nya orang Islam. Sebab, Allah dalam al-Quran tidak pernah mengangkat manusia menjadi Tuhan. Jadi, Tuhan yang resmi disebut nama-Nya dalam Konstitusi UUD 1945 adalah Allah SWT.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin (alm.), dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31).
“Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Upaya untuk memisahkan kaum Muslim dari identitas kenegaraan – selama ini – sudah gagal. Ketika Pancasila dipaksakan untuk menggusur agama – dijadikan sebagai worldview dan pedoman amal – maka Pancasila dipaksa untuk berbenturan dengan agama, khususnya Islam.
Tahun 1951, Buya Hamka, pernah menulis satu artikel berjudul “Urat Tunggang Pancasila”, yang ditutup dengan satu kesimpulan :
“Suatu kenyataan, adalah bahwa agama Islam dipeluk oleh golongan terbesar dari bangsa Indonesia. Pengaruh agama Islam berurat berakar pada Kebudayaannya dan adat istiadatnya. Boleh dikatakan bahwa orang tidak mengenal corak lain di Indonesia, kecuali Islam. Pancasila sebagai Filsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin, sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga agama menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya…Dan percubaan mencuri jalan air buat menjamin suburnya Pancasila di Indonesia adalah suatu Tahsisul ‘Umyan; laksana raba-rabaan orang buta, di malam gelap gulita. Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Maka untuk menjamin Pancasila marilah kita bangsa Indonesia yang mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan Muhammad sebagai Rasul, bersama-sama menghidupkan agama Islam dalam masyarakat kita.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, (Jakarta: Media Dakwah, 1985).
Wallahu a’lam bil-shawab. (Depok, 14 November 2011).
* Penulis adalah Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
sumber:
http://insistnet.com
http://en.wikipedia.org/wiki/BRIC
No comments :
Post a Comment