Masa Kecil
Dia diberi
nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan nama itu
mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu. Cobalah
renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan Ismail.
Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya yang
gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama seperti
nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras disandang
oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya telah di
persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera sejati,
artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di
tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih
dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan Bapaknya
bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya telah
dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang, segala
sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.
Tetapi pada tahun 1882, sewaktu itu masih
berumur 8 tahun, dia telah merantau meninggalkan Koto Gadang dan
menurutkan mamaknya ke Suliki. Disanalah dia bersekolah setahun lamanya,
kemudian nasib membawanya pindah kebeberapa sekolah di tempat yang
berbeda, pada tahun 1883 dia ke Pasar Gadang di Padang, tahun 1885 ke
sekolah Privaat di Bukit Tinggi. Di sini sebenarnya dia memiliki peluang
mengambil ujian di Sekolah Raja, namun dilarang oleh mamaknya Lanjadin
Khatib Besar yang bergelar Datuk Kayo, ketika itu Pakhuismeester (Kepala
Gudang) kopi di Baso, dengan alasan yang sederhana saja. Mamaknya takut
melepas kemenakannya itu, kalau sudah tamat pada sekolah guru, pergi
pula merantau ke negeri lain yang jauh. Ini tidak berarti mamaknya tidak
menyenangi Yahya bersekolah tetapi ada niat tersembunyi dalam hatinya,
bahwa suatu hari Yahya diharapkan bisa menjadi pemimpin di negerinya
kelak. Karena itu tidak boleh jauh-jauh dari kampungnya Koto Gadang.
Selama tinggal dengan mamaknya di Baso, dia bekerja magang membantu
mamaknya di gudang kopi, kadang-kadang pekerjaan mamaknya digantikannya.
Baru ketika usianya itu menginjak 14 tahun, pada tahun 1888 Yahya diajar
magang pada Kantor Tuan Residen Padang Darat guna lebih banyak mengenal
dari dekat bagaimana birokrasi pemerintah bekerja.
Jadi Tuanku Laras IV Koto
Seperti
telah diceritakan terdahulu, karena suatu hal Janaid Dt Dinegeri,
Kepala Laras IV Koto, berhenti memerintah setelah 19 tahun. Setelah
melalui tahap proses pemilihan Kepala Laras, Pemerintah Hindia Belanda
mengangkat mamaknya Lanjadin Khatib Besar gelar Datuk Kayo di tahun 1892
menjadi Kepala laras di IV Koto, yang ke-7. Sewaktu itu Yahya telah
menjadi Jurutulis magang (Leerlingschrijver) di kantor Kontrolir Agam
Tua.
Perhimpunan Julius 1906
Hanya
tiga tahun memerintah, tahun 1895 berpulanglah mamaknya Lanjadin Khatib
Besar gelar Datuk Kayo kerahmatullah, Yahya kemudian diangkat oleh
kaumnya menjadi penghulu bergelar Datuk Kayo. Jabatan Kepala Laras di
IV Koto kini terbukalah untuk dipilih2. Dia masuk pula menjadi seorang
kandidat untuk jabatan Kepala Laras. Taktik jitu mamaknya terdahulu,
yang mengusahakan dia magang di kantor Residen dan kantor Kontrolir,
membuat posisinya kuat untuk terpilih. Yahya Datuk Kayo telah melalui
proses pemilihan, lalu terpilih, kemudian disetujui pula, maka dengan
Besluit Gubernur Sumatra Barat 11 Mei 1895 resmilah diangkat menjadi
Tuanku Laras IV Koto. Waktu itu dia masih berumur berumur 20 tahun 9
bulan, masih muda sekali3.
Situasi sosial, ekonomi, politik dan keamanan dalam negeri Koto Gadang
waktu itu, bahkan juga di seluruh Agam Tua tidaklah menguntungkan
baginya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan baik.
Persoalan Pajak perorangan4 dan Plakat Panjang dahulu kembali menjadi
pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Tanam Paksa Kopi sudah tidak
memberi arti lagi bagi kas
pemerintah, dan ini harus diganti dengan pajak. Hampir tiga perempat
abad lalu pajak sudah pula ditentang masyarakat di Minangkabau. Plakat
Panjang yang berisi janji bahwa pemerintah tidak akan lagi memungut
pajak uang, diumumkan tahun 1833 untuk mengambil hati masyarakat, tetapi
kini oleh pemerintah Belanda tak di indahkan lagi.
Fort de Cock
Tugas memberi
pengertian kepada masyarakat bahwa pajak itu mau tidak mau harus
dilaksanakan, sebagai pengganti serba paksa kopi, amat berat dan jelas
bertentangan dengan keinginan rakyat. Kehidupan rakyat yang berat sekali
dimasa itu adalah suatu kenyataan pula. Di sinilah risiko seorang
pejabat, walaupun bergaji besar dan pangkat terhormat tetapi bayarannya
juga tinggi yaitu tidak akan disenangi rakyatnya sendiri.
Bagaikan api dalam sekam, dimana-mana ada demonstrasi, termasuk di Koto
Gadang. Rumah Kepala Laras di Koto Gadang sempat dilempari batu oleh
para demonstran5, sesudah Jaksa Kepala di Bukittinggi, menangkap para
penghulu yang menghajar seorang penghulu lain. Penghulu lain yang
dihajar itu adalah yang tak mau bekerjasama menjadi penantang
pemerintah. Keadaan dapat dikuasai pemerintah, namun diikuti dengan
banyak orang yang ditangkap.
Kisah sebuah kejadian yang menyedihkan terjadi pada 2 Juli 1908 dimasa
pemerintahan Tuanku Laras Yahya Datuk Kayo. Kejadian ini ditulis oleh
Yahya Datuk Kayo tahun 1919 seperti tersebut di bawah ini6:
Pada hari Kamis kira-kira jam 10 pagi, tanggal dan bulannya tak ingat
lagi tahun 1908 (menurut Rusli Amran 2 juli 1908), saya di panggil oleh
tuan Westenenk kekantornya. Waktu itu tuan Westenenk menjadi kontrolir
di Bukittinggi dan saya menjadi tuanku laras di IV Koto.
Menurut tuan kontrolir bahwa militer telah pergi ke Malalak dikepalai
oleh seorang kapten dan dua letnan akan menangkap Pakih Jali yang
menjadi guru, pengajar kuat kebal tahan besi di sebuah surau di kampung
Talago Paladangan.
Saya bertanya mengapa tidak tuan beritahu saya supaya saya selesaikan
sendiri saja sebab tidaklah mungkin orang Malalak akan berani melawan
Kompeni.
Jawab Kontrolir “Ya. Eindhoven Asisten Residen Pariaman sudah
melaporkan kejawatan militer karena negeri kita sudah ditangan
militer.”
Kata saya ”baiklah saya pergi bersama militer supaya jangan teraniaya
anak buah saya karena hari ini Penghulu Kepala Malalak menerima
belasting dari anak buah, tentu banyak orang berkumpul”.
Kata tuan kontrolir ”Perlu sekali tidak, tetapi kalau Tuanku suka
pergilah, bawalah surat saya kepada tuan Kapten yang mengepalai serdadu
itu”. Dalam surat itu diterangkan siapa saya dan akan turut serta ke
Malalak dan Paladangan.
Saya lantas pulang ke Koto Gadang dan mengejar rombongan militer, di
sekitar Koto Tuo bertemulah rombongan itu. Maka saya berikan surat
kepada tuan Kapten yang mengepalai serdadu.
Tuan Kapten berkata kepada saya ” Apa orang Paladangan Malalak mau melawan kompeni tidak mau bayar belasting?”
Jawab saya “ Tidak, hari ini orang banyak bayar belasting kepada Penghulu Kepala”.
Tuan kapten berkata lagi “ kalau kami sampai di situ dan orang lari melihat kompeni lantas kami suruh pasang (=tembak).
Saya tidak menjawab. Kira-kira satu jam berjalan saya ceritakanlah
kepada tuan kapten bagaimana kebodohan orang Paladangan yang takut sama
orang putih. Saya ceritakan pada suatu hari saya berkunjung di
Paladangan dengan memakai topi ”putih lawas” dan berlilit kaki seperti
tuan-tuan tukang ukur berjalan. Setelah mereka itu melihat saya mereka
lari kerumah dan terus tangga di tarik ke atas rumah. Disangkanya saya
orang putih tetapi setelah saya dekat dilihatnya dari balik dinding
bahwa saya Tuanku Larasnya barulah mereka berani datang.
Sesudah tuan itu mendengar cerita saya dia tertawa, bertanya kepada
saya ”Bagaimana nanti kalau mereka itu melihat kompeni lari lantas di
pasang”.
Jawab saya ”Kalau kira-kira setengah pal lagi akan sampai di Pasar
Malalak lantas saya bersama serdadu berkuda jalan duluan. Saya beri
tahukan kepada orang-orang kalau melihat kompeni jangan lari.”
Kata tuan kapten, ”Baiklah”.
Kira-kira setengah pal menjelang Pasar Malalak saya bersama serdadu
berkuda berpacu terus ke Pasar Malalak. Kebetulan orang banyak mau bayar
belasting dan saya katakan kepada Penghulu Kepala dan anak buah
sebentar lagi serdadu datang tetapi jangan lari kalau melihat serdadu.
Tidak berapa lama sampailah tuan Kapten dan serdadu bertanya ”Apa kamu orang tidak mau bayar belasting”.
Jawab orang itu ”Ampun tuan, kami suka bayar belasting.”
Kira-kira pukul 6 sore kami menuju ke Paladangan berjalan bersama tuan
Kapten dan serdadu, berjalan lambat-lambat. Kira-kira pukul 2 kami
sampai di Paladangan dan berhenti di situ. Tuan Kapten memerintahkan
seorang letnan dan beberapa serdadu pergi kerumah isteri Pakih Jali
dengan perantaraan dua orang penghulu yang saya tidak ingat gelarnya,
boleh jadi Datuk Maharajo (Limo Badak) Datuk Indo Marajo (Limo Badak)
dan Datuk Tanmangindo wakil penghulu suku Paladangan dan Penghulu Kepala
Malalak sekarang Datuk Tanputih.
Saya bersama tuan Kapten dan serdadu terus kekampung Talago. Kira-kira
pukul 4 pagi kami sampai di surau itu. Sebenarnya itu bukan surau
melainkan sebuah rumah persinggahan kalau orang rantau akan pergi ke
Agam/Maninjau atau sebaliknya mesti bermalam di situ. Biasanya jatuh
pada petang Kamis.
Tuan Kapten memerintahkan mengepung rumah itu dengan dua baris serdadu
tetapi meskipun dua baris dijaga kalau orang keluar di mana-mana pasti
terlihat. Kira-kira setengah jam sesudah itu orang yang tidur di atas
surau itu bangun akan pergi sembahyang subuh.
Setelah dilihatnya banyak serdadu lantas ditutupnya pintu serta berteriak ”Ampun kami tuan, kami sudah bayar belasting”.
Tuan kapten bertanya dimana Pakih Jali? Jawab separo orang itu
mengatakan Pakih Jali sudah berjalan kerumahnya. Separonya lagi
mengatakan Pakih Jali pergi ke Mudik Padang. Rupanya tuan Kapten
mendengar jawaban itu kurang percaya boleh jadi Pakih Jali ada dalam
rumah.
Tuan kapten menyuruh saya menanyakan apa betul orang yang ada di situ
sudah bayar belasting. Lantas saya tanya, orang itu mau turun dan
memperlihatkan surat pajak. Saya mau berjalan ke pintu mau memeriksa
satu-satu.
Berkata tuan Kapten ”Hati-hati Tuanku, kalau orang melawan kami pasang,
jangan-jangan Tuanku yang kena. Lebih baik kita tunggu sampai hari
terang benar-benar dan ingatkan jangan orang-orang lari, tinggal diam
saja, kalau lari nanti di pasang”
Hari hampir siang, 1 atau 2 orang yang dalam surau itu mau lari melompat
dari atap kebelakang. Hal ini di diketahui oleh tuan Kapten,
lantas memerintahkan suruh pasang. Setelah hari siang tuan kapten
membuka pintu dan naik memeriksa. Ada 13 orang yang mati dan ada
kira-kira 6 orang yang luka. Diantara orang-orang itu kalau saya tidak
salah hanya seorang saja orang Paladangan dapat luka atau mati selainnya
orang Pakandangan, Mudik Padang, Manggung bagian Pariaman dan orang
Padang Luar-Pakan Sinayan (Agam) 3 orang.
Saya waktu itu ada di halaman dan saya dipanggil oleh tuan Kapten supaya
naik ke atas surau karena ada seorang yang luka tidak mau berdiri dan
mau menikam serdadu. Dan saya naik dan bertanya sama orang itu apa sebab
tidak mau berdiri. Jawabnya tidak bisa berdiri karena luka. Tidak bisa
bergerak. Saya terangkan hal itu kepada tuan Kapten dan memeriksa orang
itu apa betul tidak bisa berdiri.
Tuan kapten memerintahkan supaya orang yang mati dikuburkan dan yang
sakit dibawa ke bivak tempat perhentian kami. Maka saya perintahkan
Datuk Tan Mangindo (penghulu suku Paladangan) supaya mayat dikubur
tetapi waktu itu susah dapat orang yang akan menggali kubur, orang
semuanya lari ke rimba meninggalkan rumah tangganya. Begitu juga Datuk
Penghulu Dirajo dan Angku Sanang tidak ada di situ, disuruh cari tidak
bertemu.
Copy beslit merangkap Laras Banuhampu 1913
Saya
bersama kompeni bermalam satu malam di Paladangan. Hari Sabtu saya
bersama kompeni dan orang yang luka jalan pergi ke Sicicncin dari sana
naik kereta api terus ke Bukittinggi, Begitu Juga Pakih Jali yang
ditangkap di rumah isterinya dibawa bersama.
Sampai di Bukittinggi saya datang menghadap tuan kontrolir Westenenk dan
menceritakan hal yang kejadian di Paladangan itu kurang adil serta saya
minta supaya diizinkan membuat verslag bagaimana sebenarnya yang
terjadi. Tuan Kontrolir melarang saya membuat verslag sebab kata tuan
Kontrolir “ indak katalawan dek tuanku tuan Kapiten bersoal jawab nanti.
Cukuplah kalau hal itu sudah diceritakan kepada kami”.
Tahun 1919 Yahya Datuk Kayo menulis sebuah laporan kepada atasannya.
”Dengan hiba hati saya terangkan bahwa menurut keterangan tersebut dalam
proses verbal Sutan Raja Amas, Asisten Demang IV Koto dalam hal
penembakan militer di Paladangan 1908, saya dituduh Rachman Datuk
Penghulu Dirajo dan Angku Sanang karena ajakan sayalah, membawa militer
dan menyuruh membunuhi manusia. Padahal kalau saya tidak ikut waktu itu boleh jadi kampung Malalak menjadi rusak
dan orang banyak mati karena melihat ganasnya militer waktu itu.
Dakwaan yang ditimpakan kepada saya ini sekali-kali saya tidak percaya
terbit dihati nurani orang Paladangan. Mengingat bagaimana sayangnya dan
cintanya anak negeri Paladangan selama ini kepada saya dan kepada ninik
saya. Orang Paladangan dahulunya orang rantau di bawah pemerintahan
Pariaman. Kira-kira dalam tahun 1865 orang Paladangan di masukan dalam
pemerintahan laras IV Koto atas permintaannya sendiri disebabkan mereka
itu tertangkap menyabung ayam dan Tuanku Larasnya tidak suka meminta
ampunkan kepada tuan Asisten Residen Pariaman. Waktu itu ninik sayalah
bernama Ismail Datuk Kayo yang memintakan ampun ke Pariaman”.
Memang tragis, Sutan Raja Amas, Asisten Demang IV Koto yang membuat
proses verbal adalah bekas bawahannya dahulu semasa menjadi Demang
Bukittinggi yaitu yang jadi Asisten Demang Sungai Puar.
Membangun Negeri
engan
latar belakang demikianlah sewaktu itu dia mulai duduk memerintah.
Cita-citanya yang selama ini ingin memperbaiki keadaan, adat, ekonomi
dan pedidikan anak negeri mulailah digerakkannya dan dikerjakannya,
secara “demokratis”.
Kantor Kepala Laras kebetulan berada di Koto Gadang. Yahya Datuk Kayo
tampaknya ingin membuat ”ibukota” Kelarasan IV Koto itu semacam ”Fort de
Kock-nya” Keresidenan Agam. Fort de Kock itu langsung di bawah pimpinan
Residen Agam, karena statusnya yang khusus. Karena itu fokus perhatian
kepada Koto Gadang juga diperlukan.
Pada waktu itu kehidupan ekonomi anak negeri susah. Disamping karena
efek dari sistem tanaman paksa kopi yang berakibat sawah kurang terurus
dan pelaksanaan adat yang sangat royalnya. Adat di Koto Gadang ini
memang terkenal sangatlah kerasnya. Barang sesuatu yang akan dikerjakan
hendaklah mengisi adat dahulu, seperti dalam perkawinan, membawa turun
ának mandi, menyunat-rasulkan anak dan adat menjenguk ketika kematian,
dilaksanakan dengan sangat berlebih¬lebihan sekali. Pola hidup royal ”
takut taimpik” hidup subur di tengah masyarakat. Ketika perhelatan kawin
sampai menyembelih 5 ekor kerbau atau jawi, baik pihak perempuan,
maupun pihak laki-laki. Semula sewaktu keadaan perekonomian baik,
tidaklah menjadi masalah, karena penghasilan sehari-hari masih mampu
menutupi pembiayaan mengadakan jamuan yang berlebihan. Tetapi kemudian
mulailah orang menggadai, menjual harta-tua dan sawah untuk memenuhi
adat-adat itu. Harta pusaka yang merupakan titipan nenek moyang dahulu
mulai terusik keadaannya.
Praktek demikian berakibat banyaklah sawah-sawah anak negeri Koto
Gadang yang pindah ketangan orang dari negeri lain, antara lain orang
Sianok yang terkenal pula kayanya. Tentunya setiap tahun hasil padi
untuk anak negeri makin berkurang juga karena orang lain itu datang
menyabit dan mengirik ke Koto Gadang, kemudian membawa pulang hasilnya.
Merupakan hal biasa orang menyabit dan mengirik beramai-ramai dengan
bersorak sorai, tetapi mengusik perasaan orang Koto Gadang yang
berperasaan halus. Dengan penuh kesabaran dan kerja keras, dia yakinkan
kaum sepesukuannya dan anak negeri Koto Gadang bahwa keadaan yang sulit
dan serba salah ini akan bisa di atasi asal ada kebersamaan seluruh
eksponen anak negeri.
Oleh sebab itu diangsurlah oleh Yahya Datuk Kayo memelopori perbaikan
dengan membuang pelaksanaan adat yang merusakkan ini. Diadakannya
kerapatan dengan ninik mamak dalam negeri untuk merobah keadaan.
Mula-mula dicobakan atau diperaktekkannya dilingkungan kaumnya sendiri.
Kharisma selaku Tuanku Laras kalau perlu sekali-sekali ikut berbicara.
Ketika berhelat kawin tidak boleh lagi membantai lebih dari seekor jawi
atau kerbau. “Alat janguk” (acara adat menjenguk waktu kematian)
disederhananya pula. Membawa anak turun mandi dilarangnya pula.
Demikianlah ketika bersunat Rasul, berjago-jago namanya dihentikannya
pula. Melakukan perobahan ini tiada mudah.
Mengapa Yahya Datuk Kayo sampai mencampuri Kerapatan Negeri sejauh itu?
Pada tahun 1937, dia menjelaskan rahasianya, pertama, ”Semuanya saya
usahakan dengan tidak mengingat akan kepentingan diri saya sendiri,
melainkan saya teringat akan keperluan anak negeri Koto Gadang selalu.
Sebab saya sebagai seorang pemimpinnya, seorang kepalanya, sebagai
Kepala laras, seorang penghulu, sebagai mamak, maka kepada saya terpikul
akan keselamatan dan kesentosaaan penduduk serta negeri. Jadi adalah
satu kewajiban bagi saya memajukan negeri itu dan membimbing
penduduknya”. Kedua, bagi Yahya Datuk Kayo bahwa adat itu yang tidak
lapuk dihujan, tidak lekang dipanas, jika diartikan adat itu tetap
selama-lamnya dan tidak berobah-obah, dia kurang sesuai. Pendapatnya
kalau adat itu tidak berobah-obah artinya adat itu bersifat mati.
“Pendapat saya adat itu bersifat hidup; tiap-tiap yang bersifat hidup tak dapat tidak berobah-obah. Umpamanya sepohon atau
sebatang jambu yang hidup, ada masanya mengadakan bunga, ada masanya
mengadakan putik, buah muda dan buah masak yang mendatangkan hasil
kepada dunia. Tetapi pohon jambu yang mati sifatnya tidak berobah-obah
dan tidak memberi basil kepada dunia.” Itulah pandangan Yahya Datuk
Kayo.
Perobahan dilakukan secara simultan terhadap aspek dasar kehidupan
penduduk. Inilah ”perobahan yang demokratis” ala Datuk Kayo, yang
kadang-kadang dirasakan oleh Rohana Kudus kurang demokratis. Sawahnya
terpotong, pandam pekuburan nenek moyangnya terusik. Memang dia sering
merantau, karenanya kurang mendapat informasi tentang kebijaksanaan dan
perubahan di kampung
Guna mengantisipasi keadaan sawah yang sudah banyak tergadai jatuh
ketangan orang asing, didirikannyalah bersama-sama dengan Hitam gelar
Sutan Rumah Panjang pada tahun 1901 yaitu satu Perkumpulan Perusahaan
Tanah. Perkumpulan ini bermaksud untuk mengumpulkan uang diantara anak
negeri Koto Gadang, baik yang di rantau maupun di kampung sekalian dan
dengan uang itu ditebuslah segala sawah-sawah yang telah tergadai
ketangan orang asing itu. Untuk memperkuat dan menarik hati supaya anak
negeri suka bersawah dia sendiri memberi contoh, turut serta pergi
kesawah. Kalau tiba waktu manjaja ikut pula dia manjaja dan di waktu
bersiang dia sendiri serta bekerja bersiang disawah. Pekerjaan ini
bertahun-tahun dikerjakannya. Satu sifat yang mulia sekali padanya,
yaitu ”tiada hendak kaya seorang dan tiada hendak pandai seorang”.
Barang sesuatunya diperkongsikannya, seperti Perusahaan Tanah, Pekerjaan
bertukang mas dan perak, berkebun tembakau dan lain-lain.
Demikianlah pula pada tahun 1903 dibuatnya kongsi untuk mengerjakan
sawah-sawah terlantar di Ngarai, yang saluran irigasinya ketika itu
telah runtuh. Bertujuh orang turut dalam kongsi ini. yaitu untuk
memperbaiki saluran irigasi sawah di Ngarai itu. Sawah ini mendatangkan
keuntungan besar kepada kongsi dan setelah lima tahun lamanya dikerjakan
kongsi, dikembalikanlah sawah kepada pemilik masing-masing. Setelah 7
tahun pula lamanya dikerjakan oleh pemiliknya, kemudian runtuhlah lagi
saluran ngarai ini dan sewaktu itu Datuk Kayo telah menjadi Tuanku
Demang di Payakumbuh.
Ke Jawa dan membenahi Pendidikan
arena
di nilai atasannya Westenenk berprestasi, pada tahun 1906 dia terpilih
bersama Jaar Datuk Batuah Kepala Laras Tilatang, Marzuki Datuk Bandaro
Panjang Kepala Laras Banuhampu dan seorang Mantri Kopi Pawiro namanya
dari Kamang, untuk bersama-sama meninjau pembangunan di Pulau Jawa guna
menambah dan mempertinggi kemajuan anak negeri. Banyaklah pemandangan
baru yang dibawanya dari Jawa yang penting bagi kemajuan negeri.
Dari hasil kunjungan tersebut mulai dia berfikir tentang suatu hal yang
strategis yaitu bidang pendidikan. Dibanding dengan yang di lihatnya di
Pulau Jawa, rupanya negeri Koto Gadang masih jauh tertinggalnya. Soal
inilah yang sangat diutamakan sepulang dari Jawa. Dengan bantuan
Pemerintah dapatlah dia modal f 5000 dari lotere. Uang ini di
pergunakannya untuk membuat rumah sekolah di Sungai Jaring, Jambak,
Guguk, Koto Tuo dan Koto Gadang. Kindervereeniging Julius telah pula
berdiri di Koto Gadang tahun 1906.
Atas inisatif Yahya Datuk Kayo berdirilah Studiefonds Koto Gadang tahun
1909. Program jangka pendek dari Studiefonds adalah mendapatkan guru.
Mengingat karena susah ketika itu untuk mendapat guru Belanda untuk
mengajarkan bahasa Belanda dikirimlah dua orang pemuda Kahar Masyhur dan
Rustam, keduanya keluaran Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Tujuannya ke
Negeri Belanda, untuk mendapat diploma guru Belanda. Pemuda ini kelak
diharapkan akan bekerja menyebarkan ilmu pengetahuannya di Koto Gadang.
Kedua Pemuda ini belajar dengan ongkos Studiefonds Koto Gadang,
mendapat asuransi dan menanda tangani kontrak.
Sebenarnya mengirim kedua pemuda ini adalah dengan risiko pribadinya
sendiri. Studiefonds Koto Gadang yang baru berumur setengah tahun dan
belum mempunyai uang, tetapi telah memberanikan diri pula untuk mengirim
kedua pemuda ke negeri Belanda.
Gempa Padang Panjang Tahun 1926
Suatu ketika Gubernur Sumatera Barat masa itu berpendapat bahwa
pekerjaan Studiefonds ini tergesa-gesa dan sia-sia saja. ”Siapa yang
akan menjamin agar kedua pemuda itu tidak terlantar?” kata Gubernur.
Konon ketika itu tampillah kemuka engku Datuk Kayo dengan
kawan¬kawanuya yang lain bahwa kalau kedua pemuda ini terlantar
hidupnya di negeri Belanda, maka Datuk Kayo lah serta kawan-kawannya
akan menjamin mengembalikan pulang yaitu dengan gajinya yang akan
dipotong kelak oleh pemerintah.
Pekerjaan mulia itu akhirnya dapat dorongan pemerintah juga dan anak
negeri, maka ditahun 1910 berangkatlah kedua pemuda itu ke negeri
Belanda bersama tuan Asisten Residen Westenenk yang sedang cuti ke sana.
Karena tidak pernah di negeri dingin dan ditahun 1912 hanya seorang
kembali dengan hasil jang baik membawa hulp acte yaitu Kahar Masyhur,
yang seorang lagi Rustam gagal, telah pulang lebih awal karena sakit,
kemudian meninggal.
Di tahun itu juga berdirilah sekolah Belanda, HIS, dibalai Cumano
sekolah milik Studiefonds Koto Gadang. Sekolah ini berjalan
bertahun-tahun lamanya memberi banyak pengaruh kepada negeri, tetapi
perjalanannya banyak pula duka daripada sukanya. Banyak akal
diikhtiarkan oleh engku Datuk Kayo untuk mempertahankan sekolah agar
HIS tetap berdiri.
Dalam setiap ada kesempatan untuk membela sekolah Studieifonds itu
dipergunakannya. Demikian pula sewaktu pada tahun 1927, dia terpilih
menjadi anggota Volksraad wakil Minangkabau, tiada pula dibiarkannya
jalan sendiri Studiefonds itu. Dengan usaha dan ikhtiarnya sekolah
tersebut oleh pemerintah ditahun 1929 diberi status menjadi sekolah HIS
Gubernemen. (Hollands Inlandsche School Gouvernement.)
Di sidang Volkraad dia berpidato tentang status sekolah HIS Koto Gadang
yang di tahun 1929 sudah menjadi HIS Gubernement dengan susah payahnya.
Sekolah itu terancamlah oleh bahaya yang hebat sekali, yaitu statusnya
sekolah itu ditahun 1934 berubah menjadi Sekolah Standar karena sekolah
tersebut tiada dapat memenuhi syarat yang dikehendaki pemerintah ketika
itu. Berulang-ulang Datuk Kayo mendesak Pemerintah untuk mengembalikan
status sekolah ini. Dia medengungkan juga sampai ke luar gedung
Volksraad, sehingga banyak orang yang memberi kritik atas perbuatannnya,
tetapi segala kritik orang itu tiadalah dihiraukan. Karena tiada
bosan-bosannya meminta kepada pemerintah, maka permintaannya itu
dikabulkan juga, sehingga sekolah yang hampir lenyap dari dunia Koto
Gadang itu pada tanggal 2 Augustus 1937 diresmikan kembali menjadi
sekolah HIS Gubernemen. ”Sekolah yang masih di rusuk rumah kita” kata
Yahya Datuk Kayo.
Dari Tuanku Laras sampai Anggota Volksraad dan Minangkabauraad
ngku
Datuk Kayo ini adalah seorang amtenar yang banyak berusaha bagi negeri
dan usahanya itu dihargakan pula oleh Pamerintah dengan memberinya pula
bintang perak dan bintang mas. Ditahun 1913 menjelang pangkat Laras
ditiadakan oleh Pemerintah dan dia diangkat juga merangkap Kepala Laras
Banuhampu (wilayahnya meliputi bekas kelarasan Kurai dan Banuhampu)
kemudian menjadi Demang Bukittinggi (1914-1915) dengan berkedudukan di
Bukittinggi. Pada tahun itu juga, oleh karena kecakapan dan
keberhasilannya dia diberi Pemerintah semacam hadiah sejumlah f 600.
Kalau Kepala Laras relatif lama memerintah di suatu tempat, lain pula
halnya Demang. Di tahun 1915 dia dipindah menjadi Demang Payakumbuh (
1915- 1919).
Yahya Datuk Kayo menulis mengapa dia minta pindah ke Payakumbuh7.
”Bulan September 1915 saya dipindah ke Payakumbuh karena tuan Asisten
Residen James sudah menulis dalam rapor bahwa saya terlampau lunak
memerintah, tidak suka menghukum orang dan jalan¬jalan dalam Distrik
saya tidak sebagus dalam Distrik Tilatang. Begitu juga saya slordig
dalam surat-surat yang berharga. Ini dibicarakan oleh Tuan Besar Ballot
di muka Tuan Besar Lafebre dan tuan James. Memang saya tidak bisa cocok
dengan gayanya tuan James memerintah karena tuan James pendorong apa
maunya mesti jadi, tidak mengingat
kesusahanan orang kecil. Misalnya ada dalam ingatan tuan James oleh
karena acap kali kebakaran soalnya bermula dari dapur, maka tuan James
memerintahkan supaya segala dapur-dapur dibuka dan diganti dengan beton,
atap rumah yang buruk diganti dengan seng, ini perintah mesti di
jalankan tidak saja dikota melainkan juga dikampung. Kampung mesti
bersih kalau tidak bersih orang-orang lantas dihukum dan lain-lain. Acap
kali perintah serupa ini saya jawab dan beri keterangan tetapi
kebanyakan manusia berfikir kalau keterangan dari bawahan salah. Oleh
karena itu saya sembahkan kepada Tuan Besar kalau tuan James tidak suka
bekerja sama dengan saya biarlah saya dipindahkan”.
Kemudian setelah beberapa tahun menjadi Demang Padang Panjang
(1919-1927) dan terakhir diangkat menjadi Demang di Air Bangis 1927
(turun kelas?). Pada tahun 1927 terpilihlah dia menjadi wakil
Minangkabau di Volksraad periode 1927-1931.
Ditahun 1931 setelah berdinas selama 36 tahun maka dia mendapat pensiun
yaitu pensiunan Demang, lalu menetaplah dia di Bogor menyekolahkan
anak-anaknya.
Pensiun jadi amtenar tidak membuat dia bisa istirahat saja. Pada tahun
1935 terpilih pulalah dia untuk duduk kedua kalinya sebagai anggota
volksraad sebagai wakil Minangkabau periode 1935-1939.
Pada bulan Juli 1939 Minangkabauraad mulai bersidang. Terpilihlah
mewakili Oud Agam di Minangkabauraad, adalah Jahja gelar Datuk Kajo,
gepensioneerd Districtshoofd, lid Volksraad dan Marahasan gelar Datuk
Batuah, Onderdistrictshoofd van Sarik Bukit Tinggi. Minangkabauraad itu
terdiri dari 49 anggota. Dari djumlah ini 9 orang penduduk bangsa
Belanda, 38 orang anak negeri dan 2 orang penduduk bangsa asing yang
bukan Belanda.
Mendapat Anugerah Balai Adat.
Dari riwayat yang pendek itu dapatlah kita, menarik kesimpulan, bahwa
jasa Yahya Datuk Kayo bukan sedikit untuk negeri dan penduduknya.
Ekonomi tiang penghidupan dimajukannya, kesehatan yang utama untuk hidup
dalam dunia ini diperbaikinya, demikian juga perguruan, onderwijs untuk
menambah pengetahuan dan meringankan perjuangan hidup untuk anak negeri
diusahakannya. Jadi nama Datuk Kayo dengan kemajuan, keselamatan,
kasentosaan negeri dan isinya tiadalah bercerai setapak juga ” kata Dr
Gulam.
Gempa Padang Panjang 1926 telah meluluhlantakkan derah sekitar Gunung
Merapi Singgalang. Banyak bangunan ambruk. Mesjid Jamik Koto Gadang juga
jadi korban, Rumah gadang keluarga Rohana Kudus juga dan lain-lainnya.
Dengan pimpinan dan usahanya dibangun kembali mesjid Jamik dalam negeri
yang diruntuhkan gempa di tahun itu, sehingga mesjid dengan biaya
ribuan rupiah itu terbangun kembali dan lebih bagus.
Dr Gulam tahun 1937 atas nama anak negeri berkata ”Beruntung benarlah
negeri Koto Gadang mempunyai putera yang serupa ini. Tidak hanya dia
menjadi Lieder dalam segala hal, malahan bersedia membantu segala
sesuatu dengan budi dan uang. Dianya pembawa obor, suluh yang benderang
dalam negeri. Sifat-sifat yang mulia ada padanya, suka
menolong dan membantu orang, penyayang kepada yang berkekurangan. Dia
bercita-cita supaya sekalian penduduk negeri Koto Gadang sama-sama
pandai dan sama-sama kaya supaya negeri boleh sejahtera.” Nada serupa
disampaikan juga oleh Datuk Besar pada sambutan Hari Raya Idul Fitri di
Betawi 1933.
Oleh
karena sifat-sifat tersebut penduduk negeri sama-sama memuliakan dan
menyegani beliau. Ketika negeri berulang-ulang melihat dan mengecap budi
baik yang telah ditanamnya kepada negeri dan penduduk, maka
seia-sekatalah negeri untuk menghargai jasa Yahya Datuk Kayo.
Dan pekerjaan ini mendapat tunjangan dan sokongan yang penuh dari anak
negeri pada umumnya, baik yang di rantau dan di kampung, sehingga
pekerjaan Komite menjadi mudah dan dapat dikerjakan dengan segera. Hanya
amat sulit sekali, bagaimana cara dan bentuk menunjukkan rasa terima
kasih akan jasa-jasa engku Datuk Kayo itu, oleh karena segala jasa yang
telah terlimpah ke negeri itu tiada ternilai dengan uang dan benda.
Mengingat beliau ini selalu berusaha memperkuat dan memporkokoh adat
lama pusako usang dengan membawakannya menurut zaman dan masa sehingga
tiadalah yang sebaik-baiknya pemberian dari negeri kepadanya dalam
bentuk menghadiahkan Balai Adat. Karena selagi adat Miuangkabau
diperkalang dalam negeri dan setiap kali mengadakan rapat di atas balai
ini kelak, tentu akan teringat juga oleh negeri akan jasa putranya yang
telah banyak menanam budi baik untuk kepentingan bersama. Untuk
menghargai dan memuliakan putra negeri yang berjasa tersebut,
dipasanglah batu yang bertulis di atas marmer. Peletakan batu pertama
dilakukan 5 Desember 1937.
Pidato Yahya Datuk Kayo menerima anugerah.
Komite
Pembangunan Balai Adat ini dipimpin oleh Dr Gulam dengan anggota Yasin
dan Balan Abdul Muzeir. Pada tanggal 12 November 1939, diresmikanlah
pemakaian Balai Adat Negeri Koto Gadang dengan memakan biaya f 2000 an.
Menyambut penyerahan Balai Adat untuk dirinya berkata Yahya Datuk Kayo
”Sekarang saya terimalah pemberian anak negeri Koto Gedang yang maha
besar dan mulia ini … Sekarang pemberian dan hadiah negeri itu
tiadalah akan saya lulur (= telan) seorang saja, melainkan di hari ini
juga, saya serahkan hadiah balairung sari ini kepada ninik mamak
penghulu nan 24 dengan harapan dan doa saya supaya balai adat ini akan
dipergunakan untuk mencari keselamatan dan kemajuan negeri. Jadi dari
saat ini balairung ini menjadi hak milik negerilah seterusnya ….”.
Itulah ucapan Yahya Datuk Kayo dalam skenario yang mengharukan anak
negeri Koto Gadang. Amatlah sayang kalau kita tidak membaca saduran
selengkapnya sambutan Yahya Datuk Kayo tersebut. Komiteleden dari Balai
Adat Koto Gedang Engku ninik mamak penghulu Nan 24 dan Putera-putera
Koto Gadang yang hadir!
Sesungguhnya sangatlah besar sekali hati saya pada hari ini. Pertama
sekali karena kita orang muslimin, di hari yang semulia-mulianya bagi
kita dihadapan Allah. Kedua karena pada hari ini saya dianugerahi
pemberian yang sangat besar artinya. Nama saya terukir pada batu marmer
dan diletakkan pada gerbang balai adat. Balai adat didirikan untuk
memperingati segala pengalaman dan jasa saya di hari yang lewat terhadap
negari Koto Gadang serta penduduknya.
Ini adalah sebesar-besar kemuliaan sanjungan bagi saya. Komite telah
berusaha menjalankan keputusan yang diambil, setelah melihat menyelidiki
dengan seksama akan buah tangan, atau hasil pekerjaan yang saya
usahakan dimasa lampau.
Sesunguhnya segala usaha atas pekerjaan itu tiadalah melebihi dari
kekuatan saya yang ada. Semuanya saya usahakan dengan tidak mengingat
akan kepentingan diri saya sendiri, melainkan saya teringat selalu akan
keperluan anak negeri Koto Gadang. Sebab saya sebagai seorang kepalanya
(leider): sebagai Kepala Laras, seorang penghulu, sebagai mamak, maka
kepada saya tertanggung keselamatan dan kesentosaaan penduduk serta
negeri. Jadi adalah satu kewajiban bagi saya memajukan negeri dan
membimbing penduduknya.
Seperti di bahagian pertanian, bersawah, berkebun, berladang saya
usahakan dan turun sendiri kesawah guna memberikan penerangan bagaimana
cara bersawah itu yang baik. Kalau perekonomian anak negeri baik tentu
anak negeri akan memiliki kesenangan hidup. Begitu pula dengan soal
pendidikan. Saya dirikan sedapatnya rumah rumah sekolah, supaya kita
sekalian dapat mengecap buah pendidian yang amat lezat itu.
Saya bercita-cita lain benar dari orang banyak. Saya mau kalau dapat isi
negeri kita ini semuanya berbahagia. Kalau kaya hendaknya sama¬sama
kaya begitu pula didalam ilmu pengetahuan, kalau boieh sama¬sama pandai
dan pintar. Itulah sebab yang pertama maka saya keras dan mau betul
mendirikan sekolah di negeri kita ini yang semata-mata teruntuk bagi
anak kamanakan kita sendiri. Betul banyak sekolah dekat kampung kita,
seperti di Bukittinggi dan dilain tempat, Tetapi kalau azas keadilan di
pakai orang ketika menerima murid, barang tentu sama¬sama banyaknya atau
procentnya, sebab semuanya berhak pula untuk masuk, bukan? Lihatlah
contoh yang mudah saja, kalau di onderafdeeling Oud Agam ada 50 buah
negeri, semua penduduk meminta masuk sekolah, kalau bilangan murid yang
akan diterima 100 orang, secara adilnya tentu hanya dua orang setiap
negeri diambil. Tetapi kalau sekolah itu sudah di kampung kita tentu
anak kemenakan kita yang akan diterima masuk lebih dahulu. Ini tentu
satu kemenangan kepada kita. Saya percaya pula bahwa sekolah di negeri
kita ini dapat hidup subur, asal anak negeri kita kaya miskin mau
menyekolahkan anaknya
Boleh dikatakan bahwa dalam negeri kita tak ada lagi yang buta huruf,
walaupun undang-undang wajib belajar (leerplichtwet) belum kita kenal.
Carilah dimana seorang ibu yang menyekolahkan anaknya dengan mata
penjahitan? Hanya di Koto Gadanglah hal ini terdapat. Demikian benarlah
suka dan gemarnya kita akan sekolah. Kini sekolah sudah ada di negeri
kita, maka kepada kitalah, kepada negeri, kepada ninik mamak terserah
penjagaan sekolah ini selanjutnya. Kita semua bertanggung jawab akan
maju mundurnya sekolah ini. Kita harus memperhatikan sebab sekolah ini
adalah mustika kemala negeri, sumbernya ilmu pengetahuan dunia. Betul
ada guru yang menjaga anak-anak itu diwaktu sekolah. Kita mesti pula
turut membantu di luar sekolah sebab anak itu lebih panjang dalam
penjagaan dan pengawasan kita sehari-hari. Kalau kita sama-sama
mengerjakannya, maka barang tentu lebih besar lagi hasilnya untuk
sekolah dan untuk kita. Inipun akan menambah harumnya nama seolah dan
negeri juga.
Akan pidato dokter Gulam, bahwa saya senantiasa bergiat hendak berbuat
baik didalam negeri ini, segalanya hendak saya usahakan dan perbaiki.
Saya hendak menyamakan negeri ini dalam arti yang baik dengan kota-kota
besar dan indah.
Gagasan berwaterleiding (ber air minum) saya lahirkan untuk memperbaiki
aspek kesehatan umum. Sebetulnya dari dahulu memang sudah ada gagasan
dan ikhtiar hendak mengalirkan air dengan pembuluh dari betung atau
besi, tetapi tidak berhasil, sebab itu maka saya anjurkan agar membuat
yang baik benar dengan dana yang besar. Oleh karena saya insyaf bahwa
soal air minum ini penting bagi keselamatan hidup sehingga sampailah
kita kepada maksud itu. Setelah gagasan dilaksamakan mulai dari tahun
1918, baru ditahun 1932 kita mendapatkan hasilnya.
Dalam hal ini saya menasehatkan, karena waterleiding itu didapat dengan
begitu susah payah, hendaknya bersama-samalah menjaganya, agar tahan
lama. Oleh sebab itu yang marilah kita serahkan seterusya mengurus
kepada yang ahlinya. Dikalangan kita sendiri sudah cukup banyak orang
yang mempunyai keahlian, seperti kalau sakit ada dokter kita dan kalau
akan sekolah ada pula kaum pendidik kita demikian pula untuk
waterleiding ada pula ahli teknik (opzichter) kita dan kepadanyalah kita
serahkan urusan air itu.
Negeri Koto Gadang ini amat subur bagi segala ide baru, begitu pula
dengan pemikir dan pekerja. Sebab itu barang sesuatu yang dibawa ke sini
baik cangkokan sekalipun, akan dapat hidup, asalkan barang yang elok,
mulia dan sehat. Sangatlah mudah meresapnya pada pikiran orang kita,
sebab orang kita pandai berpikir dan tahu pada yang elok bagi negeri.
Lihatlah berapa macam perkumpulan yang pernah ada di negeri kita ini,
rasanya tidak kurang dari negeri orang, baik bagian pendidikannya, baik
bagian agamanya, baik bagian ekonominya yang akan memajukan mata
pencaharian dan kenikmatan anak negeri. Semuanya itu berdasar kekuatan
sendiri yaitu seperti modal dan dana diperoleh dari saku-saku anak
kamanakan kita sendiri. Dan pekerjaan ini hidup dengan suburnya sampai
ada diantara perkumpulan¬perkumpulan itu berusia berpuluh tahun. Itu
menyatakan bahwa perkumpulan itu bermanfaat dan berfaedah bagi negeri .
Lihatlah perkumpulan yang tidak lurus jalannya, hanya setahun umurnya
dan ini memberi kesan kepada kita bahwa yang berbahaya dan busuk itu
tidak dapat berkembangbiak di Koto Gadang. Begitu juga orang yg tidak
lurus hatinya terhadap negeri, tidaklah akan berbahagia dan tidak
beruntung dalam hidupnya. Apapun yang diusahakannya untuk mendapat
perhatian anak negeri tidak akan mendapat tempat di hati anak negeri.
Oleh
sebab itu tiada bosan-bosannya saya menasehatkan kapada penduduk Koto
Gadang, dari yang kecil, tua muda, hendaklah berbuat baik tarhadap
negeri supaya hati kita mulia dan ternama. Kalau tabungan kita sudah
berbuah mas, penduduknya sudah turut bertuah dan mulia, orang
berkeliling pemandangannya bertambah pada negeri kita. Jadi segala usaha
dapat sokongan dan berhasil. Di situlah datangnya nama itu yaitu tuah
kalau sepakat, celaka kalau bersilang. Lebih jauh, bahwa kita di Koto
Gadang boleh dikatakan saling berkarib. Sekalian kita jika saling
menolong atau memajukan negeri, berarti kita menolong dunsanak kita
juga.
Marilah kita berdoa kepada Allah mudah-mudahan mulai saat ini kedepan,
dapatlah kita bersama-sama membuat kebaikan untuk negeri dan janganlah
memikirkan diri sendiri saja, kalau kita ada berkeadaan baik dalam
kepandaian atau pengetahuan, hendaklah pengetahuan dan kepandaian itu
kita pergunakan juga buat sesama manusia terutama bagi negeri Koto
Gadang. Inilah cita-cita yang di kehendaki Islam dan adat Mnangkabau.
Kini saya kembalikan pembicaraan kepada dokter Gulam dan kawan-kawan dalam Komite Balai Adat.
Dokter Gulam tadi menyerahkan kepada saya balai ini yang diperbuat dan
didirikan oleh anak negeri Koto Gadang, yang di rantau atau di kampung
karena semuaya turut memikul beban yaitu menurut keadaannya mana yang
gadang kayu gadang dahannya dan ketek kayu ketek dahannya, Maka segala
pemberian itu telah ada dan bertampan dan sudah kita saksikan
sekaliannya di sini. Seperti saya sebutkan tadi sungguh girang dan
hangat sekali hati saya dapat dan menerima hadiah yang indah dan rancak
ini yang terletak di tengah negeri. Didirikan untuk memperingati
jasa-jasa saya dalam Studiefonds, Waterleiding, serta negeri Koto
Gadang.
Kini saya ulang juga sekali lagi bahwa segala-segalanya itu saya
kerjakan bermula sekali-sekali tidak hendak dapat tuah, hanya hendak
berbakti dan berbuat baik kepada sesama kita senegeri, karena kemuliaan
negeri itu adalah kemulian diri saya dan kalau seseorang Koto Gadang beruntung dan mulia, maka besar hati saya, karena bertambah pula tuah dan semarak kampung kita.
Dokter Gulam, sekarang saya terima pemberian anak negeri Koto Gadang
yang maha besar dan mulia ini dan yang telah menghargakan dan mengenang
akan segala jasa-jasa saya dengan mendirikan Balai Adat ini saya ucapkan
banyak terima kasih. Begitu juga kepada anggota Komite dari Balai
adat yang telah mengusahakan dan menguruskan pekerjaan ini tidak kurang
pulalah terima kasih saya. Bagaimana susahnya pekerjaan engku-engku
Komite, terbayanglah pada saya, sebab selain dari bantuan yang
membesarkan hati tidak kurang pula ejekkan dan kritik yang didengar dan
diperoleh, tetapi itu janganlah engku-engku indahkan karena makin susah
dan payah mendapat kemenangan itu, tentu makin manis pula hasilnya.
Engku-engku Dr. Gulam, Yasin dan Balan Abdul Muzeir, telah memenuhi
keputusan negeri. Demikianlah nama yang bertiga telah lekat pada Balai
Adat ini, sebab selagi balai adat ini berdiri dan terpakai, namanya akan
terus diingat dan dikenang oleh orang banyak dan negeri, sebab balai
ini adalah sebuah hasil usaha dimasa sedang berada dan bertugas di Koto
Gadang. Engku bertiga telah melahirkan niat saya selama ini, supaya
pemuda Koto Gadang yang bersekolah akan memberikan tenaganya untuk
kebaikan tempat tumpah darahnya, Usaha ini saya hargakan benar dan saya
ucapkan terima kasih.
Sekarang karena dr. Gulam akan pindah meninggalkan Koto Gadang pula,
maka kalau sampai ditempat engku yang baru bolehlah dibanggakan kepada
orang-orang kita disana nanti bahwa selama engku di kampung ada
berpartisipasi bekerja ikut memperindah dan memperbaiki negeri, Ajak
pulalah kawan-kawan engku nanti akan bekerja sedemikian. Sesungguhnya
kepindahan engku ini mencanggungkan kami juga, oleh sebab itu kami
doakan sajalah, mudah-mudahan lekas engku balik kembali ke Minangkabau
ini, kalau boleh ke Bukittinggi juga hendaknya supaya negeri dapat lagi
memakai tenaga engku seterusnya. Besar sekali hati saya melihat para
pemuda¬pemuda Koto Gadang sekarang sudah suka bekerja mencari kebaikan
untuk negeri. Dan dengan hal yang demi kian saya berkeyakinan bahasa
kemajuan negeri akan bertambah-tambah.
Sekarang saya tujukan pembicaraan. saya kepada ninik mamak penghulu nan
24, imam khatib serta tuanku, yang dua tiga yang hadir dalam acara ini.
Saya mengucapkan syukur kepada Illahi, karena Tuhan telah menurunkan
rahmatnya kepada kita sekalian. Hari ini saya telah memperoleh pemberian
anak kemenakan, baik yang di rantau dan yang di Koto Gadang.
Persembahan mana tidak ternilailah harganya bagi saya, indah sekali.
Pemberian ini tidak termiliki oleh saya seorang karena besarnya bagi
saya dan bagi kita bersama. Rasanya tiadalah akan terjagai oleh saya,
tambahan pula di hari yang berbahagia ini saya bekerja tidaklah seorang
saja, melainkan bersama-sama dengan ninik¬mamak dalam negeri,
sekaliannya tolong menolong membantu usaha saya sehingga berhasil dan
berbuah dapat dilihat dengan mata.
Kalau boleh dipinjam dengan kata ibarat, kini makanan yang selezat ini
tidak termakan oleh saya seorang. Ibarat bidal kita, hati gajah sama
dilacah dan hati tungau sama dicacah. Inilah berupa pemberian anak
kemenakan kepada saya sebuah Balai Adat yang bertingkat dua.
Tingkat yang di bawah adalah untuk
tempat anak muda-muda bermusyawarah kalau-kalau ada perasaannya dapat
dibulatkannya dan kemudian jika sesuai akan disampaikan kepada ninik
mamak yang bertempat di tingkat atas . Jadi nampak anak kemenakannya
mendapat dorongan mamaknya. Tingkat nan di atas adalah tempat ninik
mamak berapat dan bermufakat mencari kata yang benar untuk kemajuan
negeri serta penduduknya.
Sekarang pemberian dan hadiah negeri itu tiadalah akan saya makan
seorang saja, melainkan di hari ini juga, saya serahkan kembali hadiah
balairung sari ini kepada ninik mamak penghulu nan 24 dengan harapan dan
doa saya supaya Balai Adat ini akan dipergunakan mencari keselamatan
dan kemajuan negeri. Jadi dari saat ini balairung ini menjadi hak milik
negerilah seterusnya.
Koto Gadang; Azizah Etek, Mursjid A.M, Arfan B.
for more photo
click here
sumber
http://sma94papa.blogspot.com/2011/02/yahya-datuak-kayo-jahja-datoek-kajo.html