REORIENTASI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
pokok-pokok pemikiran tentang etika keilmuan
Bahan Diskusi Etika Keilmuan LIPI, 1 Juli 2002
oleh Armahedi Mahzar
Kita kini berada di awal abad ke-21 milenium III dihadapkan pada sejumlah perkembangan revolusioner yang berpangkal pada keterjalinan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat erat. Di satu pihak perkembangan ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi, di lain pihak kemajuan teknologi mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Hubungan timbal-balik yang saling mendukung itu juga terdapat antara teknologi dan ekonomi. Oleh karena itu kita dihadapkan pada perkembangan super-eksponensial teknologi menuju sebuah titik singularitas di mana kendali manusia pada lingkungan teknologinya bisa terlepas sementara teknologi telah mencapai tingkat penetrasi yang sangat dalam pada proses kehidupan kita yaitu pada taraf biologis.
Titik singularitas teknologi itu sendiri diramalkan oleh para pakar robotika terjadi pada dasawarsa-dasawarsa menjelang berakhirnya pertengahan abad ini, ketika kapasitas penyimpanan dan pengolahan informasi chip IC mencapai kapasitas otak manusia. Hal itu diramalkan berdasarkan hukum Moore yang meramalkan pelipat-duaan kapasitas mikroprosesor setiap delapan belas bulan. Dengan perkembangan sepesat itu, kira-kira tahun 2020 manusia telah dapat menciptakan robot dengan kecerdasan setara dengan kecerdasan manusia, dan setiap tahun berikutnya kecerdasan robot-robot itu meningkat sesuai dengan hukum Moore. Bahkan pakar komputer Artificial Intelligence Ray Kurzweil meramalkan pada akhir abad ini kecerdasan manusia akan menjadi sepermilyar kecerdasan mesin.
Tentu saja kita bisa berdebat panjang lebar untuk membantah ramalan teknolog yang monolitik itu dengan mengatakan bahwa peningkatan kemampuan informasi mesin secara fisik, belum berarti kemampuan intelektualnya yang non-fisik juga meningkat secara proporsional. Di lain pihak dari sudut keagamaan kita bisa juga berargumen bahwa kemampuan intelektual manusia bersumber pada rohnya yang bersifat immaterial, bukan pada otaknya. Namun merupakan sebuah kenyataan bahwa dengan percepatan peningkatan kemampuan teknologi itu, upaya peramalan manusia secara proyektif tentang selesainya pemetaan genom manusia ternyata selalu meleset karena terlalu lambat. Penggandaan sistematis kapasitas komputer yang digunakan dalam usaha ini merupakan faktor terpenting menyebabkan melesetnya ramalan futuristik tersebut.
Sementara itu suksesnya Proyek Genom Manusia, sebagai upaya manusia untuk mengetahui blueprint kode genetik biologi manusia, hanyalah merupakan awal untuk melakukan rekayasa genetik total terhadap manusia pada khususnya dan makhluk hidup pada umumnya. Dengan demikian pada awal milenium ini kita menghadapi titik kritis di mana untuk pertama kalinya manusia bisa merekayasa evolusi, mempercepatnya dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan-tujuan manusia. Apakah tujuan-tujuan itu memang bisa tercapai tentu merupakan hal yang lain, karena kompleksitas dan non-linieritas proses-proses biologis kemungkinan besar membelokkan hasil rekayasa itu ke arah yang tak mungkin diramalkan oleh kecerdasan setingkat manusia.
Bagaimanapun, potensi intervensi teknologi pada evolusi biologi memberikan tanggung jawab yang sangat berat pada para ilmuwan dan rekayasawan se dunia di manapun dia berada. Oleh karena, mereka harus melakukan introspeksi intelektual, memeriksa kembali sosok ilmu pengetahuan sebagai produk dari komunitas ilmuwan melalui proses penelitian dengan metoda keilmuan. Metoda keilmuan itu biasanya dijalankan berdasarkan sejumalah asumsi filosofis yang implisit di dalamnya yaitu paradigma ilmu pengetahuan. Membuat asumsi-asumsi itu menjadi eksplisit mungkin akan menolong kita untuk membuat paradigma baru dan menyusun etika keilmuan baru yang antisipatif akan perubahan-perubahan radikal yang dibawa oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya.
Untuk itu marilah kita periksa terlebih dahulu masalah-masalah apa yang dibawa oleh perkembangan dan pemaanfaatan ilmu pengetahuan selama ini.
Problem Ilmu Pengetahuan:
Dampak-dampak Negatif
Masih terbayang di benak kita bahwa, di paruh kedua abad ke-20 yang lalu, kita dihantui oleh ancaman terjadinya perang nuklir yang akan menghancurkan planet bumi ini. Bahkan jika semua hulu-ledak nuklir dalam semua rudal yang dibangun selama perang dingin itu secara sekaligus, maka bumi akan hancur puluhan kali. Ledakan itu akan membuat ledakan bom atom sekutu di Hiroshima dan Nagasaki pada akhir pewrang dunia kedua bagaikan mercon anak-anak. Dan semua itu bersumber pada surat rahasia ilmuwan Albert Einstein pada presiden Amerika Serikat untuk membuat bom atom, mengingat Nazi Jerman pada waktu itu diketahui sedang mengusahakan bom yang sama.
Sejarah mencatat bahwa surat itu mencetuskan Proyek Manhattan yang berhasil membuat bom atom pertama di dunia. Eskalasi perlombaan senjata nuklir pasca Perang Dunia II merupakan konsekuensi politik militer global dari aplikasi fisika nuklir di akhir Perang Dunia II itu. Inilah dampak negatif ilmu pengetahuan yang pertama: pemanfaatannya untuk keperluan senjata pemusnah masal. Kini masalah perang nuklir itu mungkin sudah mereda dengan runtuhnya Blok Timur yang dipimpin oleh negara adikuasa Uni Soviet Rusia. Namun, senjata pemusnah masal yang berdasarkan ilmu kimia dan biologi terus dikembangkan di berbagai negara. Aplikasi ilmu pengetahuan untuk pemusnahan masal masih merupakan dampak negatif yang harus dipertimbangkan.
Para ilmuwan biasanya berlindung terhadap kritik dari luar terhadap ilmu pengetahuan yang berdasarkan penggunaan ilmu pengetahuan menjadi senjata pemusnah dengan mengatakan ilmu pengetahuan itu netral, begitu juga teknologi yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan. Teknologi itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun bencana kebocoran radiasi dari reaktor-reaktor nuklir, seperti di Chernobyl misalnya, membuat kritikus memperluas wilayah serangannya: polusi.
Polusi radiasi nuklir yang berasal dari reaktor nuklir hanyalah sebagian dari polusi industri yang berbahaya terhadap lingkungan hidup. Pada umumnya industri merupakan penerapan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia, akan tetapi limbah beracun industri menembus rantai kehidupan dan menumpuk secara perlahan-lahan sehingga pada suatu waktu daya peracunnya menjadi efektif. Jika waktu itu tiba, maka akan banyak spesies makhluk akan musnah, dan pada suatu waktu manusia akan mendapat gilirannya.
Namun perusakan lingkungan hidup, bukan hanya melalui rantai makanan ekologis, tetapi juga melalui melalui lingkungan fisik secara langsung. Perusakan lingkungan hidup oleh percobaan nulir, pertambangan yang menggaruk permukaan bumi adalah kenyataan sehari-hari masyarakat industri. Sementara itu akumulasi molekul CO2 di atmosfer akibat penggunaan bahan bakar fosil berjalan sangat cepat sehingga melampaui daya serap lautan dan hutan-hutan membuat pemanasan global melalui efek rumah kaca. Sebagai akibatnya, sebagian es dari kutub utara dan selatan mencair secara perlahan menambah tinggi permukaan laut.
Efek yang lain dari pemanasan global adalah penguapan metan yang selama ini membeku di tundra di Kanada dan Rusia. Padahal peningkatan kuantitas gas metan di atmosfer hanya akan meningkatkan efek rumah kaca sehingga timbul lingkaran umpan-balik positif yang tak terkendali.
Lingkaran umpan balik positif ini bukan hanya berlaku untuk gas metan, tetapi juga untuk uap air yang meningkat karena pemanasan air laut secara global. Peningkatan kadar uap air udara juga merupakan penyebab efek rumah kaca menjadi-jadi. Pemanasan laut, terutama di daerah tropis menyebabkan bertambahnya jumlah dan kuatnya badai sehingga terjadi perubahan cuaca yang tak teramalkan. El Nino dan La Nina mengacak-acak pola tanam para petani dan produktivitas pangan dunia. Bencana alam kemarau panjang di khatulistiwa dan kebekuan di daerah subtropis menjadi tak teramalkan.
Namun kesengsaraan lingkungan hidup bukan hanya berasal dari pembuangan gas karbon dioksida saja, akan tetapi juga oleh pembuangan gas karbonfluorokhlorida atau CFC yang bersumber pada gas freon alat pendingin untuk lemari es dan AC, di rumah-rumah dan dikendaraan. Molekul-molekul CFC merusak lapisan ozon di stratosfer yang selama ini berfungsi sebagai pelindung kehidupan bumi dari sinar ultraviolet yang berlebihan. Perluasan lobang ozon dikutub utara dan selatan secara cepat merupakan bahaya lain yang mengancam kehidupan di bumi.
Efek sinar ultraviolet pada kulit dan mata manusia merupakan ancaman yang menyakitkan, namun efek pada makhluk-makhluk hidup lain sangat memprihatinkan. Lebah-lebah yang matanya rusak akan merupakan polinator tanaman yang tidak efektif. Sementara itu efek sinar ultraviolet pada ujung tunas tumbuh-tumbuhan sungguh mengenaskan. Tunas tanaman tidak akan mencapai kematangannya sehingga tidak bisa membiak. Begitu juga efeknya pada fitoplankton di laut juga luar biasa, karena mereka tidak memiliki kulit pelindung. Kehancuran mereka akan mengakibatkan pemotongan lingkaran makanan ekologis bumi.
Tampaknya dampak-dampak yang menyakitkan ini tidak seharusnya dituduhkan pada ilmu pengetahuan itu sendiri kecuali pada teknologi yang merupakan penerapannya, namun seharusnya pada proses industrialisasi yang bersumber pada keserakahan manusia sebagai produsen dan konsumen. Ilmu pengetahuan justru dapat menyumbangkan penelitiannya untuk mencari bahan-bahan substitusi bagi bahan bakar dan bahan pendingin industri. Namun ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dua komponen yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi masyarakat. Loloh balik positip antara teknologi dan ilmu pengetahuan di satu pihak di samping hal sama antara teknologi dan ekonomi merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah. Karena itu para ilmuwan harus ikut bertanggung jawab atas bencana lingkungan yang dibawa oleh kemajuan teknologi dan ekonomi.
Akan tetapi bencana lingkungan hidup biologis bukanlah satu-satunya dampak negatif tak langsung dari perkembangan ilmu pengetahuan. Belakangan banyak kritikus ilmu pengetahuan memusatkan perhatiannya pada aspek-aspek sosial yang dirusak oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi. Industrialisasi telah mendorong urbanisasi yang mengundang penduduk desa untuk berbodong-bondong pindah ke kota.
Urbanisasi itu sendiri bukanlah hal yang negatif, namun tak dapat dibantah bahwa urbanisasi menimbulkan sejumlah masalah. Individualisasi yang dipicu oleh tata pemukiman dan pola kerja manusia urban, membuat masyarakat menjadi terfragmentasi dan teralienasi. Fragmentasi dan alienasi di keluarga di satu pihak, dan kompetisi yang berat di lain pihak. menimbulkan ketegangan psikologis yang sering berujung pada penyalah-gunaan obat-obatan yang dibuat oleh industri kimia.
Penyalahgunaan obat-obatan narkotik dan psikotropik, tentunya tak dapat dituduhkan pada pembuat obat-obatan itu sendiri, karena hal itu dipicu oleh tuntutan psikologi para pemakai dan tutuntan ekonomis para pengedarnya. Namun kenyataan bahwa kedua tuntutan itu bersumber pada industrialisasi yang pada gilirannya bersumber pada kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, membuat para kritikus ilmu pengetahuan menjadi lebih kritis terhadap ilmu pengetahuan dan membuat para ilmuwan yang prihatin mulai mempertanyakan: apa yang salah pada ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pada abad yang lalu kritikus-kritikus ilmu pengetahuan dari kalangan ideologis mulai menguliti ilmu pengetahuan untuk mendapatkan intisari ilmu pengetahuan yang dianggap buruk atau jahat. Kita tak dapat bersikap acuh-tak-acuh pada mereka dan menghindarinya. Menara gading para ilmuwan telah runtuh dihajar badai teknologi informasi, kini kita berada ditengah mereka. Karena itu marilah kita sendiri memeriksa ilmu pengetahuan secara rasional sebelum menghadapi mereka. Mungkin filsafat merupakan alat yang berguna untuk itu.
Filsafat Ilmu Pengetahuan:
Sebuah Introspeksi
Menurut sejarah, ilmu pengetahuan modern bermula dengan lahirnya mekanika Newton yang kemudian menjadi model untuk cabang-cabang ilmu lainnya. Pada awalnya ilmu pengetahuan alam adalah cabang filsafat dan disebut filsafat alam. Judul buku Isaac Newton yang berisi teorinya tentang gerak benda-benda berjudul Principia Mathematica Philosophiae Naturalis atau Prinsip Matematis Filsafat Alam.
Sebelum terbitnya buku itu terjadi perdebatan filosofis di abad XVII antara aliran empirisme Francis Bacon dan aliran Rasionalisme Rene Descartes. Bacon mengatakan bahwea ilmu pengetahuan modern harus bermula pada fakta-fakta empiris yang bisa diamati, sedangkan teori dibuat berdasarkan generalisasi dari fakta-fakta tersebut. Sementara itu Descartes mengatakan ilmu pengetahuan harus dibangun seperti geometri Euklides yang terbentuk dari sejumlah aksioma, definisi dan penurunan teorema-teorema secara deduktif dengan menggunakan logika.
Ketika menulis bukunya, Newton mengikuti contoh metoda matematik yang diberikan Descartes. Apa yang dilakukan Newton adalah menambahkan aksioma-aksioma tentang gerak yang dianggapnya melengkapi aksioma-aksioma geometri Euklides. Namun, berbeda dengan Descartes, Newton tidak menganggap aksiomanya sebagai pernyataan yang harus diterima benar dengan sendirinya seperti aksioma-aksioma geometri Euklides.
Aksioma-aksioma baru itu, bagi Newton, adalah hipotesa-hipotesa sementara yang konsekuensi-konsekuensinya harus bisa sesuai dengan pengamatan-pengamatan empiris. Dengan demikian, dia menyelesaian pertikaian fikosofis antara empirisme Francis Bacon dan rasionalisme Rene Descartes dengan mengajukan metoda hipotetiko-deduktif yang dikawinkan dengan metoda eksperimental-induktif. Artinya ilmu pengetahuan modern bukan sekedar rasional ataupun empiris saja. Hakekat ilmu pengetahuan adalah pengetahuan rasional empiris atau pengetahuan rasional obyektif.
Tujuan ilmu pengetahuan modern yang rasional obyektif itu adalah untuk pemanfaatan alam bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Ia bersifat rasional karena ilmu pengetahuan memiliki komponen pengetahuan teoritis dan sifatnya obyektif menunjukkan bahwa komponen lainnya adalah pengetahuan faktual yang diperoleh melalui eksperimen terhadap obyek-obyeknya.
Pengetahuan faktual terdiri dari dua komponen. Yang pertama adalah metoda eksperimen kuantitatif yang reprodusibel sehingga menjamin obyektivitas data-datanya. Yang kedua adalah fakta-fakta eksperimental yang diperoleh melalui analisis statistik data-data yang diperoleh dari eksperimen. Fakta-fakta itulah yang mencerminkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta
Pengetahuan teoritis terdiri dua komponen. Yang pertama adalah perumusan hukum-hukum alam yang diasumsikan ada pada gejala-gejala alam. Yang kedua terdiri dari prinsip-prinsip logis matematis yang harus dipenuhi oleh hukum-hukum alam itu. Gabungan antara kedua komponen itu membentuk teori mengenai gejala-gejala alam yang direpresentasikan oleh pengetahuan faktual.
Keempat komponen pengetahuan ilmiah menjadi satu ketika terjadi kesesuaian antara ramalan-ramalan teoritis fakta-fakta eksperimental. Proses pengujian kebenaran pengetahuan teoritis melalui hasil-hasil eksperimen disebut proses verifikasi teori. Proses penemuan kesalahan suatu teori melalui percobaan-percobaan eksperimental disebut proses falsifikasi.
Ilmu pengetahuan tumbuh dengan semakin luasnya pengetahuan faktual yang memverivikasinya. Ilmu pengetahuan berkembang setelah terjadi pembangunan kembali teori yang difalsifikasi oleh pengamatan-pengamatan eksperimental. Teori berkembang jika digantikan oleh teori baru yang menjadikan teori lama sebagai hal khusus dari teori yang baru tersebut. Jadi ilmu pengetahuan tumbuh kembang melalui benturan antara pengetahuan teoritis yang rasional dan pengetahuan eksperimental yang obyektif.
Kedua komponen besar pengetahuan ilmiah mempunyai fungsinya masing-masing. Pengetahuan teoritis berfungsi untuk melukiskan menjelaskan dan menfasirkan pengetahuan faktual. Sedangkan pengetahuan faktual berfungsi untuk mengamati dan melukiskan semua fenomena alam yang obyektif.
Keempat fungsi pengetahuan ilmiah tersebut memungkinkan manusia melakukan prakiraan-prakiraan terhadap apa yangterjadi jika manusia mengintervensi gejala-gejala alam. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan dan mengaturnya sehingga mencapai tujuan-tujuan yang menguntungkan manusia. Hal inilah yang dilakukan oleh teknologi sebagai penerapan ilmu pengetahuan.
Begitulah. Tujuan, hakekat, struktur, metoda, proses dan fungsi ilmu pengetahuan yang diuraikan di atas itulah yang secara informal diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Semuanya tak ada yang aneh, sampai pada paruh kedua abad yang lalu muncul berbagai kritik dari berbagai pihak di luar kalangan ilmuwan yang bersumber pada keresahan akan dampak-dampak negatif penerapan ilmu pengetahuan yang mulai merebak di paruh kedua abad yang lalu.
Kritik Eksternal Terhadap Ilmu Pengetahuan:
Agama, Filsafat dan Ideologi
Kita dapat mengelompokkan kritik-kritik itu berdasarkan pandangan dunia yang mereka yakini. Mereka itu terdiri dari para agamawan, para filsuf dan para ideolog. Karena itu kritik-kritik mereka kita kelompokkan menjadi kritik teologis, kritik filosofis dan kritik ideologis. Marilah kita periksa kritik-kritik mereka itu satu persatu. Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan yang pada dasarnya bertujuan baik itu dianggap sebagai sumber semua dampak negatif teknologi. Kita mulai dengan kritik teologis.
Para agamawan melihat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai sebuah kesalahan besar. Dampak-dampak negatif itu muncul karena kesalahan ini. Kesalahan ini adalah pengabaian realitas-realitas spiritual dari pembahasan pengetahuan ilmiah. Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur itu dibuang dari wacana ilmu pengetahuan kealaman dan kemasyarakatan. Begitu juga alam gaib dan roh manusia sama sekali tidak diperhatikan. Dengan perkataan lain ilmu pengetahuan itu bersifat materialistis. Singkatnya, landasan filsafat ilmu pengetahuan adalah materialisme yang atheistik.
Para filosof juga mempunyai kritik mereka sendiri. Para fenomenolog yang diikuti oleh para eksistensialis, melihat ilmu pengetahuan sebagai sumber petaka sosial karena pandangan reduksionisme yang menyamaratakan manusia dengan benda-benda alam lainnya. Padahal, menurut mereka, pengetahuan manusia mengenai dirinya bersifat langsung dan kaya yang menjadi miskin ketika direduksi menjadi sekumpulan pembacaan angka-angka hasil pengamatan eksperimental. Jadi tidak mengherankan jika kesengsaraan manusia timbul begitu ilmu pengetahuan diterapkan menjadi teknologi.
Tentu saja kritik para filosof itu bersifat akademis dan jarang didengar oleh ilmuwan secara langsung, namun kritik para ideolog adalah suara lantang di tengah masyarakat. Kaum ideolog adalah mereka yang menjadikan filsafat tertentu menjadi dasar untuk melakukan gerakan sosial. Kritik-kritik mereka lebih sulit ditangkis ketimbang kritik-kritik para teolog dan para filsuf. Mereka itu dapat kita kelompokan menjadi kaum neomarxis, kaum ekologis, kaum feminis dan kaum etnoreligius.
Kaum neo-marxis melihat ilmu pengetahuan yang dikatakan rasional itu sebagai sebuah kekeliruan, karena ilmu pengetahuan itu tidak seluruhnya rasional. Rasionalitas ilmu pengetahuan bersifat terbatas karena rasionalitas ilmu pengetahuan hanya bersifat instrumental. Rasionalitas instrumental ilmu pengetahuan cenderung untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh teknologi yang pada gilirannya diarahakan oleh kepentingan-kepentingan politik ekonomi kapitalisme. Padahal disamping rasionalitas instrumental terdapat rasionalitas komunikatif yang diperlukan proses demokrasi dalam rangka melihat realitas sosial kemanusiaan secara lebih utuh menyeluruh.
Kritik kaum neomarxis ini diperkuat oleh kritik kaum feminis. Kaum feminis juga membongkar asumsi-asumsi dibalik asumsi-asumsi ilmu pengetahuan. Kesalahan ilmu pengetahuan bukan hanya pada rasionalitas yang terbatas, tetapi pada rasionalitas itu sendiri. Penekanan pada rasionalitas itu sendiri merupakan bias patriarki yang melandasi kapitalisme yang diabdi oleh teknologi sebagai penerapan ilmu pengetahuan. Rasionalisme yang bersifat analitis dan reduksionis itu mengabaikan fakultas pengetahuan manusia yang bisanya lebih banyak dimiliki oleh kaum perempuan yaitu intuisi. Intuisi yang relasional dan holistik itu telah ditinggalkan oleh para ilmuwan. Tak heran jika kecendrungan dominatif patriarki membayang-bayangi setiap gerak langkah ilmu pengetahuan.
Demikianlah, gerak langkah kapitalisme yang patriarkis itu melihat alam sebagai obyek yang harus ditaklukkan. Tak heran jika suku primitif Indian Amerika melihat gerak langkah ekono-teknologis kaum kapitalis barat sebagai pemerkosaan terhadap alam atau bumi. Tak mengherankan pula jika kerusakan lingkungan merupakan dampak yang tak dapat dihindarkan dari ilmu pengetahuan modern. Sejumlah spesies makhluk hidup musnah sebagai akibat perambahan hutan, gunung dan laut. Dari fakta ini kaum pencinta lingkungan hidup melihat sumber filosofis dari kegagalan ilmu pengetahuan untuk sepenuhnya mencapai tujtuannya. Kaum ekologis melihat bahwa ilmu pengetahuan bukan saja bersifat rasional yang merupakan ciri manusia sebagai makhluk hidup tertinggi, tetapi ilmu pengetahuan itu bersifat antroposentris seperti terlihat dari definisi tujuannya. Netralisme ilmu pengetahuan adalah sebuah ilusi belaka.
Jadi antroposentrisme rasionalistis para kapitalis yang patriarkis itulah yang tersembunyi dalam praktek sehari-hari ilmu pengetahuan seperti yang ditemukan oleh kaum neomarxis, feminis dan ekologis. Penemuan mereka ini dipertajam oleh kaum etnoreligius yang menggabungkan kritik-kritik ideologis tersebut dengan kritik teologis dan filosofis. Antroposentrisme rasionalis dan kapitalisme patriarkis itu merupakan ciri dominan peradaban barat modern sekularistik yang merupakan ibu kandung ilmu pengetahuan modern yang meninggalkan agama dari kehidupan budaya sehari-hari. Oleh karena itu ilmu pengetahuan Barat yang disebut sebagai ilmu pengetahuan modern itu harus diganti oleh ilmu-ilmu pengetahuan etnoreligius tradisional seperti ilmu pengetahuan Cina, ilmu pengetahuan Hindu, ilmu pengetahuan Islam dan lain sebagainya.
Re-orientasi Paradigma Ilmu pengetahuan:
Sintesa Holisme sebagai Solusi
Tentu saja kritik-kritik dari luar kalangan ilmu pengetahuan pada rasionalitas dan obyektivitas sebagai jantung ilmu pengetahuan modern tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasionalisme dan empirisme itu merupakan asumsi filosofis di bidang pengetahuan atau epistemologi. Filsafat yang lebih menyeluruh melibatkan ontologi, yaitu filsafat wujud mengenai obyek-obyek pengetahuan dan aksiologi, yaitu filsafat nilai-nilai yang dianut oleh manusia yang mengetahui sebagai subyek.
Sebenarnya di dasar ilmu pengetahuan modern, sebagai salah satu cabang dari peradaban, terdapat seperangkat asumsi-asumsi filosofis lain, juga implisit, yang mendampingi asumsi-asumsi epistemologis ilmu pengetahuan. Keseluruhan asumsi-asumsi filosofis itulah yang disebut sebagai paradigma. Dengan demikian, sesuai dengan struktur filsafat secara umumnya, paradigma ilmu pengetahuan mempunyai tiga aspek, yaitu aspek-aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Aspek epistemologis itulah yang telah kita periksa dalam introspeksi yang kita lakukan pada awal pembahasan. Aspek-aspek ontologis dan aksiologis baru muncul ke permukaan setelah kita membaca kritikus-kritikus ilmu pengetahuan dari luar kalangan ilmuwan. Bagi para ilmuwan yang tak terlatih berfikir mendasar, mengakar dan menyeluruh, kritik-kritik seperti itu cenderung dipandang sebagai serangan terhadap eksistensi ilmu pengetahuan
Itulah sebabnya, kenapa sebagian besar dari ilmuwan cenderung untuk bersikap reaktif terhadap kritik-kritik radikal itu. Pada dasarnya mereka yang konservatif itu akan menyangkal semua tuduhan itu sebagai suatu yang tak berdasar yang diada-adakan. Untungnya tidak semua ilmuwan berpikiran seperti itu. Sebagian kecil dari mereka mencari solusi yang mengakomodasi kritik-kritik tersebut. Mereka itu adalah kaum ilmuwan holistik.
Kaum ilmuwan holistik misalnya, melihat bahwa kritik kaum teologis itu ada benarnya. Ilmu pengetahuan telah mengabaikan aspek-aspek nonmaterial dalam studinya yaitu informasi dan nilai-nilai. Padahal, aliran dan tumpukan informasi adalah aspek non-fisik dari materi telah cenderung menjadi lebih besar dan kompleks dalam evolusi jagatraya. Evolusi kosmologi memang hanya menyangkut restrukturisasi dan resirkulasi materi dan energi.
Akan tetapi, dalam evolusi biologi, sebagai kelanjutan evolusi kosmologi, proses restrukturasi dan resirkulasi informasi menjadi dominan. Dalam evolusi antropologi yang kultural, kelanjutan evolusi biologi, peran proses-proses informasi menjadi dominan dan mulai melibatkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu berkembang dari yang partikularistik menuju yang universal. Jadi wawasan evolusioner yang sistemik bisa menggantikan materialisme mekanistik sebagai komponen ontologis paradigma baru ilmu pengetahuan. Wawasan evolusi semesta yang sistemik kreatif juga juga bisa menggantikan prinsip atomisme reduksionistik dalam paradigma ontologis ilmu pengetahuan modern.
Begitu diterimanya paradigma evolusioner sistemik yang holistik ini, paradigma epistemologis yang lama itupun harus ditinggalkan. Semakin kompleks suatu sistem semakin sulit untuk direduksi menjadi sesuatu yang material dan energetik belaka. Evolusi antropologi kultural pada dasarnya merupakan proses peningkatan kesadaran manusia mengiringi perkembangan kompleksitas institusional masyarakat mengikuti evolusi teknologi sebagai organ-organ eksosomatis manusia yang semakin lama semakin kompleks.
Kesadaran manusia, seperti kata kritikus fenomenolog eksistensialis, hanya bisa diketahui secara langsung oleh kesadaran itu sendiri. Oleh karena itu, pengalaman mistikus dan para nabi di seluruh penjuru dunia, sebagai puncak kesadaran kemanusiaan, dapat digunakan sebagai model, untuk menyusun ilmu pengetahuan tentang manusia yang lebih utuh dan menyeluruh, mengantikan perilaku organisme-organisme subhuman, apa lagi mesin-mesin inorganik. Dengan demikian pengetahuan intuitif eksperiensial manusia dapat ditambahkan sebagai pelengkap pengetahuan rasional empiris manusia. Dengan demikian didapat penyempurnaan paradigma epistemologi ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan kaum feminis dan para kritikus filsafat eksistensialisme fenomenologis.
Lebih dari itu, bentuk intuisi tertinggi manusia adalah pengalaman mistik yang menangkap Kesatuan Realitas di balik segala bentuk benda dan kehidupan yang sebenarnya merupakan manifestasi Kehidupan Sadar yang Tunggal. Dengan demikian dimensi keagamaan seperti itu dapat dikembalikan ke dalam komponen aksiologis paradigma ilmu pengetahuan, di mana antroposentrisme digantikan biosentrisme yang lebih meluas berdasarkan suatu teosentrisme yang lebih mendalam. Oleh karenanya nilai-nilai universal, yang diajarkan semua nabi dan mistikus sepanjang zaman di seluruh dunia, dapat diintegrasikan kedalam paradigma aksiologis ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tak perlu dilakukan pemunduran paradigma sains modern ke sains tradisional yang religius seperti yang diharapkan oleh kritikus etnoreligius.
Disamping itu peradaban manusia, dalam pandangan holistik evolusioner, merupakan bentuk kehidupan yang lebih tinggi di mana ilmu pengaetahuan adalah bagian dari kesadaran kolektifnya dan teknologi adalah organ kehidupan transhuman baginya. Oleh karena itu terkandung didalamnya tanggung jawab yang besar untuk menunjang keanekaragaman dan kesalingbergantungan bentuk-bentuk kehidupan di muka bumi sebagai bagian dari keberlangsungan sistem kehidupan planet bumi yang menyatu. Ilmu pengetahuan merupakan bagian kesadaran kolektif planeter bumi. Dengan demikian loyalitas implisit ilmuwan pada sistem kapitalisme global, seperti yang diungkapkan oleh para kritikus neomarxis, dapat digantikan dengan loyalitas pada sistem kehidupan planeter bumi yang lebih menyeluruh.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan sekarang bahwa, untuk menghadapi tantangan-tantangan multidimensional multiskala dengan peningkatan kecepatan, kompleksitas dan daya jangkau teknologi di masa depan ini, paradigma sains modern lama yang biasanya dihayati para ilmuwan secara implisit itu perlu diperluas dan diperdalam dan dihayati secara eksplisit.
Paradigma sistemik evolusioner kreatif holistik, yang sedang tumbuh kembang di kalangan ilmuwan mancanegara, mungkin dapat diberi kesempatan menjadi paradigma alternatif yang tentunya masih harus disempurnakan lebih lanjut. Salah satu bentuk implementasinya adalah merumuskan etika ilmu pengetahuan yang lebih utuh menyeluruh sebagai penegas dan pengarah tanggung jawab profesional ilmuwan, rekayasawan dan akademisi Indonesia.
Menuju Ilmu Pengetahuan Baru di Milenium Baru:
Etika Ilmu Pengetahuan sebagai Implementasi Solusi
Etika pada dasarnya adalah filsafat moral yang membicarakan apa yang dianggap sebagai kebaikan atau kebenaran moral dan keburukan atau kesalahan moral. Biasanya yang diberi predikat moral itu adalah perbuatan.
Umumnya sesuatu perbuatan baik jika tujuannya baik. Namun tujuan baik tidak selalu dicapai dengan perbuatan yang baik. Soalnya, ada kriteria lain yang menentukan baik-buruknya suatu perbuatan yaitu caranya. Tujuan baik harus dicapai dengan cara yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik. Yang jadi persoalan, kriteria apa yang menentukan cara yang baik. Cara yang baik adalah cara yang tidak menghasilkan dampak atau hasil samping yang tidak baik.
Jadi ada beberapa parameter yang menentukan kebaikan suatu perbuatan: tujuan, cara, hasil dan dampak. Namun timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan baik atau buruk? Secara normatif, kebaikan keburukan diukur dari kesesuaiannya dengan sejumlah prinsip moral atau moralitas. Moralitas adalah prinsip-prinsip yang menentukan nilai kebaikan dari tujuan, cara, hasil dan dampak suatu perbuatan.
Prinsip-prinsip moral sangat banyak namun semuanya berkaitan dengan hak dan kewajiban individu dan kelompok, karena itu etika pada umumnya bersifat sosial atau interpersonal. Akan tetapi dalam beberapa agama besar etika sosial itu diperluas menjadi etika universal yang memperhitungkan semua makhluk hidup dan etika transendental yang menyangkut Tuhan Yang Maha Pencipta.
Semua prinsip-peinsip itu dapat dikelompokkan menjadi:
- Prinsip moralitas pribadi
- Prinsip moralitas antarpribadi
- Prinsip moralitas masyarakat
- Prinsip moralitas semesta
- Prinsip moralitas adisemesta
Jika kelima prinsip itu dilihat dari sudut pandangan sistemik holistik evolusioner, ketiga prinsip yang disebut terdahulu bersifat antroposentrik, yang keempat bersifat biosentrik dan yang keempat bersifat teosentrik. Maka dapatlah kita simpulkan sebenarnya terdapat tiga prinsip moral yaitu antroposentrisme, biosentrisme dan teosentrisme atau prinsip kemanusiaan, prinsip kehidupan dan prinsip ketuhanan.
Prinsip-prinsip moralitas itu bersifat sangat umum, oleh karenanya perlu dijabarkan menjadi kode etik atau aturan tatalaku sesuai dengan institusi sosial yang bersangkutan dengan lingkungan kerja manusia. Institusi-institusi sosial dalam pandangan sistemik evolusioner adalah organ eksosomatik sosial manusia disamping organ eksosomatik material berupa sistem-sistem teknologi. Dalam sejarahnya, kedua organ eksosomatik itu telah berevolusi secara beriringan dalam suatu ko-evolusi sosio-teknologi.
Ko-evolusi sosio-teknologi telah menghantarkan manusia pada suatu peradaban global yang terjalin melalui pertukaran ekonomi, teknologi dan budaya global yang berbasiskan informasi dan pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai cabang dari pengetahuan yang lebih menyeluruh mempunyai peranan penting sebagai mata bagi superorganisme sosial peradaban yang terus berevolusi menuju peradaban global yang lebih adil, damai dan bersatu. Taraf akhir perkembangan evolusioner manusia bersifat intensif yang meliputi ketersambungan (connection), keterhubungan (communication) dan kesadaran (comprehension).
Dalam perspektif evolusioner holistik ini maka kini dapatlah disimpulkan bahwa kode etik keilmuan hendaknya meliputi prinsip-prinsip kemanusiaan, kehidupan dan ketuhanan. Seperangkat kriteria metaetis telah dirumuskan oleh sejumlah ilmuwan yang berkumpul pada tahun 1994 di Toronto. Dengan reorganisasi dan reformulasi seperlunya maka kita peroleh pedoman perumusan kode etik keilmuan sebagai berikut:
DASAR-DASAR METAETIS
- Kode etik keilmuan hendaknya mencantumkan secara jelas semua landasan pemikiran di balik setiap pedoman tatalaku dan prinsip-prinsipnya
- Kode etik keilmuan hendaknya menunjukkan secara tegas upaya-upaya yang perlu dilakukan agar ditaati oleh semua pelaku yang terlibat kode etik keilmuan hendaknya cukup luas sehingga mencakup semua karya ilmiah dan penelitian dasar, terapan dan teknologi serta semua tindakan para pelaku yang terlibat dalam berbagai disiplin dan profesi keilmuan dan keteknikan.
PRINSIP MORALITAS PRIBADI
- Kode etik keilmuan hendaknya menentang semua prasangka kemanusiaan berdasarkan jenis kelamin, agama, kebangsaan dan kesukuan atauan cacat fisik atau mental.
- Kode etik keilmuan hendaknya melarang penelitian yang diarahkan pada pengembangan dan penggunaan metoda penyiksaan dan perlsatan dan teknik yang mengancam dan melanggar hak-hak asasi manusia secara individual maupun kolektif.
PRINSIP MORALITAS ANTARPRIBADI
- Kode etik keilmuan hendaknya mengarahkan kegiatan akademis dan keilmuan kepada penyelesaian damai konflik antar manusia dan pelucutan senjata secara umum;
PRINSIP MORALITAS MASYARAKAT
- Kode etik keilmuan hendaknya mewajibkan, bagaimanapun sulitnya meramalkan semua konsekuensi sebuah penelitian, para ilmuwan, peneliti dan rekayawan untuk bertanggungjawab, secara pribadi maupun bersama, untuk berupaya memperkirakan dan senantiasa memperhatikan dampak penerapan karya-karya mereka
- Kode etik keilmuan hendaknya mewajibkan para ilmuwan dan rekayasawan untuk memilih, mengarahkan dan mengoreksi pengembangan dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mereka tekuni sesuai dengan pengetahuan mereka tentang dampak-dampak tersebut.
PRINSIP MORALITAS SEMESTA
- Kode etik keilmuan hendaknya mengingatkan para ilmuwan akan potensi kemiliteran penelitian mereka dan berupaya menyelesaikan masalah etis yang berkaitan dengannya, dan mendorong pemanfaatannya untuk kesejahteraan manusia bukan untuk merusak planet dan isinya dalam persiapan dan pelaksanaan perang.
- Kode etik keilmuan hendaknya menyadarkan para ilmuwan dan rekayasawan bahwa tindakan-tindakan yang dirancang hanya dengan mempertimbangkan kepentingan manusia mempunyai kemungkinan mengancam kelangsungan hidup semua spesies, karena ekosistem merupakan jala-jala kehidupan tak bertepi.
PRINSIP MORALITAS ADISEMESTA
- Kode etik keilmuan hendaknya menyadarkan para ilmuwan dan rekayasawan bahwa tindakan-tindakan yang dirancang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yang diajarkan oleh agama-agama besar dunia.
REGULASI
- Kode etik keilmuan hendaknya mendorong para ilmuwan untuk mentaati prosedur baku peninjauan etis sesama rekan untuk penerbitan hasil karyanya.
- Kode etik keilmuan hendaknya mendorong para ilmuwan untuk mengungkapkan semua hasil penelitiannya seluas-luasnya kepada publik.
- Kode etik keilmuan hendaknya mendorong para ilmuwan untuk saling mengawasi dan melaporkan setiap pelangaran butir-butir etika keilmuan kepada majelis kehormatan profesi keilmuan dan keteknikan
- Kode etik keilmuan hendaknya menjamin perlindungan terhadap rekan sesamanya dari hukuman yang salah dari sesama ilmuwan, perhimpunan-perhimpunan keilmuan atau kepakaran dan badan-badan hukum.
REPLIKASI
- Kode etik keilmuan hendaknya mewajibkan penyebaran dan pemasyarakatan kode etik keilmuan itu melalui kurikulum sekolah dan universitas untuk calon-calon ilmuwan dan forum-forum diskusi terbuka bagi para akademisi dan ilmuwan
DAFTAR PUSTAKA
Armahedi Mahzar, Integralisme: sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Pustaka Salman Bandung 1983
Armahedi Mahzar, Menyingkap Koevolusi Sosioteknologi, Menembus Paradoks teknologi, MISYKAT prosiding LPI, YPM Salman ITB Bandung, Juni 1983
Fritjof Capra,
The Web of Life: A New Synthesis of Mind and Matter, Flamingo Harper-Collins, London 1997
Fritjof Capra,
The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture, Bantam New Age Book, New York 1983
Irvin Laszlo, Milenium ke-3 Tantangan dan Visi: Klub Budapest Laporan mengenai Jalur Kreatif Evolusi Manusia, Penerbit Abdi Tandur, Jakarta 1999
Irivin Laszlo, Human Evolution in the Third Millenium, dapat diperoleh di
sciencedirect.com
Irvin Laszlo, An Ecological Ethics for the 21-st Century, dapat diperoleh di internet sebagai file eco_ethics.pdf
---, “Ethics in Science and Scholarship: the Toronto Resolution” dalam Accountability in Research, vol 3 (1994) 69-72, e-version ada di internet sebagai
http://www.math.yorku.ca/sfp/sfp2.html