Tuesday, March 10, 2015

Ahmad Sadali: Pelukis Abstrak Islami

Ahmad Sadali:
Pelukis Abstrak Islami


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX2S_-8SMBLFa82d1wvZkOjrhUEmpXgkQLKuZGo-VvYXOKsF6jL9Scu7rE-jA8_NZWKbF-qtyC8hk_1lZhhLHNIOPrekmye8pWBbJLDZohQLYIPnyrbWXNA2qkFVyKV0UPdZcY/s640/Achmad+Sadali+1.jpg

Wajahnya terlihat sejuk dengan kumis lebatnya yang mirip dengan Fauzi Bowo, namun berbeda dengan Fauzi, Sadali kumisnya sudah berwarna perak, walaupun usianya belum tua benar kala itu. Dia meninggal pada usia 63 tahun (1924-1987). Usia yang masih terbilang muda untuk ukuran zaman sekarang. Saya juga cukup shock saat itu, mengingat baru 1 tahun saya selesai kuliah di ITB, belum sempat punya cukup uang untuk mengoleksi karya-karyanya. Saya suka mampir ke rumah dinasnya di bilangan Dago Utara untuk pura-pura berdiskusi mengenai kegiatan masjid Salman, sesuatu yang menjadi fokus perhatiannya. Padahal tujuan utama saya adalah untuk memandangi lukisan-lukisannya yang bertebaran di rumahnya yang asri.

Sadali adalah seorang yang religius. Baginya cuma ada segitiga Tuhan – Alam – Manusia yang mendasari perputaran dunia ini. Bahwa Tuhan adalah sesuatu yang diatas yang menciptakan alam ini, manusia adalah makhluk cerdas ciptaan Tuhan yang harus mengolah alam dalam rangka mengabdi kepada Tuhan. Sehingga dalam proses pengolahan alam tersebut, manusia harus tunduk pada hukum Tuhan, yang diistilahkan sebagai Sunatullah.

Sunatullah adalah hukum Tuhan yang mengatur perputaran bumi terhadap matahari, bulan mengelilingi bumi, elektron mengelilingi inti atom, gunung menyemburkan magma, melepaskan mineral untuk menyuburkan tanah, dan seterusnya. Berbeda dengan aturan yang diberikan Tuhan untuk manusia, dalam bentuk kitab-kitab yang diturunkan melalui para Nabi. Berisi ajaran moral dan aturan sosial yang berlaku pada zamannya. Sunatullah adalah aturan alam yang harus digali sendiri melalui kecerdasan manusia yang diberikan Tuhan, dalam bentuk hukum fisika dan matematika.

Dari kesadaran bahwa alam adalah pemberian Tuhan untuk diolah oleh manusia sesuai dengan Sunatullah, maka manusia harus mengelola alam tersebut secara benar dan bijaksana. Sehingga dalam upaya pengolahan alam, manusia tidak akan merusak keindahan alam tersebut, apalagi membahayakan jiwa manusia itu sendiri. Hubungan manusia dengan alam haruslah harmonis, sesuai dengan motto Institusi dimana Sadali mengajar : In Harmonia Progressio (maju secara harmonis).

Demikian pula hubungan manusia dengan manusia lainnya, harus saling menghormati dalam dialog yang setara. Juga hubungan antar manusia dalam agama yang berbeda, harus saling memahami satu dengan lainnya sehingga perbedaan agama tidak menimbulkan semangat saling menyerang tetapi sebaliknya hubungan harus dibuat harmonis sehingga tercipta suasana damai di alam ini.

Karena manusia yang sempurna itu - yang dalam istilah Islam disebut sebagai ulil albab - adalah manusia yang menggunakan sarana dan potensinya sebaik-baiknya secara seimbang dan tidak terlepas dari tanggung jawab terhadap Maha Penciptanya.


                                                  *****
Pemikiran seperti itulah yang selalu diulang-ulang dalam ceramah-ceramah Ahmad Sadali, yang saat itu memangku dua peran : tokoh senirupa yang mempelopori seni lukis abstrak di Indonesia dan juga pemuka agama Islam yang sering memberikan ceramah di masjid. Sadali menuangkan idea tersebut dalam seri gunungan. Segitiga gunungan menguasai komposisi kanvas Sadali sejak tahun 1971 sampai akhir hayatnya. Kabupaten Garut tempat Sadali dilahirkan, dikelilingi oleh gunung-gunung. Kalau timbul sketsa komposisi segitiga, maka itulah suatu refleksi gunung dalam batin Sadali. Segitiga bermakna tiga unsur : Tuhan disebelah atas (puncak), sudut manusia di kiri-kanan dan sudut alam disebelah bawahnya.

Istilah Gunungan muncul dari dunia pewayangan. Dari sekian banyak boneka dalam satu kotak wayang kulit purwa, kita mengenal gunungan atau kayon. Gunungan bentuknya meruncing mirip gunung. Gunungan juga disebut kayon karena salah satu unsur pokok yang terdapat di dalamnya berupa kayu (pohon). Gambar pohon dalam gunungan melambangkan pohon kehidupan atau sumber ilmu pengetahuan.

Bagi orang Jawa, Gunungan menjadi lambang hidup dan penghidupan. Di dalamnya berisi filsafat sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup), anasir makrokosmos dan mikrokosmos yakni jagad gede, alam semesta beserta isinya dan jagad cilik, pribadi manusia serta tatanan atau tingkatan kehidupan manusia.

Filsafat pewayangan membuat orang merenungkan hakekat, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan sangkan paraning dumadi (kembali ke asal) yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh sang dalang pada akhir pagelaran.

Konon kata kayon berasal dari bahasa Arab “khayyu” yang berarti hidup. Kayon atau Gunungan adalah pembuka dan penutup pagelaran wayang kulit. Pembukaan ditandai dengan pencabutan kayon. Dan kayon juga digunakan sebagai pembatas tiap-tiap adegan atau sebagai tanda pergantian waktu. Sebelum wayang gunungan ditancapkan ditengah pakeliran, wayang-wayang yang lain belum hidup, bahkan peletakannya di dalam kotak pun menempati posisi paling atas.

Pengertian lain adalah, bentuk gunungan seperti tumpeng. Gunungan menjadi lambang hidup atau penghidupan. Karena orang Jawa senang berkumpul, melakukan pekerjaan bersama-sama secara gotong royong. Demikian pula apabila berhasil dalam mengerjakan sesuatu, maka orang Jawa melakukan upacara pesta dalam bentuk syukuran dengan cara memotong tumpeng, nasi yang susunannya dibuat mengerucut seperti gunung.

Nilai-nilai itulah yang dalam masyarakat Jawa berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan manusia dalam rangka menjaga keteraturan sosial masyarakat. Sesuatu yang baik, sesuatu yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku sosial orang yang memiliki nilai tersebut. 

                                                *****
Sadali menerjemahkan gunungan dalam kanvasnya yang disilang diagonal dari ujung satu ke sudut kanvas lainnya, membentuk  tanda “X” yang memisahkan 4 bidang dimana masing-masing bidang mempunyai arti yang tersendiri. Bidang bawah menggambarkan alam, bidang atas adalah Tuhan. Dua bidang disamping kiri dan kanan adalah manusia. Manusia harus hidup harmonis, karenanya diletakkan dalam bidang yang sejajar di kiri dan kanan.

Segitiga gunungan bisa juga mempunyai makna lain, Sadali kadang-kadang memaknai sebagai hubungan keluarga. Tuhan di puncak, Sadali di bawah, Atika istrinya dan Ravi putranya di kiri-kanan. Ravi adalah satu-satunya putra beliau. Posisi atas dalam kanvas-kanvas Sadali adalah porsi yang diberikan untuk Tuhan. Lihatlah karya “Lelehan emas pada bidang keriput” disamping ini. Horizon abu-abu pada bagian atas menggambarkan langit, dimana karunia Tuhan tercurah ke bumi dalam bentuk lelehan emas. Bidang keriput menggambarkan waktu yang panjangnya relatif, besarnya waktu adalah mulur-mungkret sesuai dengan filosofi Einstein. Waktu diukur berdasarkan bagaimana manusia merasakannya. Kalau dalam kondisi enak, manusia merasakannya sebagai sebentar sekali, sementara di dalam kondisi yang tidak nyaman, manusia memperceive waktu sebagai “lama sekali”. Tanda silang kecil dibagian kiri dan kanan atas adalah simbol dari persilangan hidup, tanda silang seperti itu akan banyak terdapat dalam karya-karya Sadali selanjutnya. Ini merupakan jejak pengaruh dari seniman Spanyol, Antoni Tapies. Suatu sisi menarik dari kehidupan Sadali, yang kita akan bahas pada bagian akhir tulisan ini.


Hidup diyakini Sadali sebagai ibadah dalam rangka mencari keridlaan Illahi. Bila seni ada dalam hidup, maka seni mestinya juga ibadah, yaitu penyerahan diri kepada Allah. Manusia pada dasarnya mendambakan tiga jalan kebenaran : kebenaran yang dicapai melalui akal dan ilmu pengetahuan, keinginan untuk mendapatkan keindahan melalui seni, dan keinginan untuk mendapatkan kebaikan dan keadilan yang diperolehnya melalui agama. Ketiga hal tersebut, menurut Sadali, merupakan segitiga yang tidak dapat dipisah-pisahkan. 


                                                 *****



Sadali masuk sekolah Senirupa ITB pada tahun 1948. Sekolah tersebut baru didirikan oleh dua guru gambar Belanda, Simon Admiraal dan Ries Mulder pada tahun 1947. Jadi dia adalah angkatan pertama pada sekolah tersebut. Ries Mulder mengadaptasi  pendidikan seni yang berlaku di dunia pada saat itu. Waktu itu konsep Modern Art abad 20 yang bertolak belakang dengan seni abad 19, sedang merajalela di seluruh dunia setelah Perang Dunia II.



Di sekolah ini - yang kemudian kritikus seni sering menyebut sebagai Bandung School – tidak ada lagi xenophobia dan semangat anti Barat melatari pemikiran para mahasiswanya. Sehingga pembahasan dibiarkan bebas terbuka dengan dilandasi pada pemikiran Modern Art, tercermin pada karya-karya yang muncul di Bandung dalam kurun waktu tersebut. Mereka percaya bahwa Art adalah fenomena universal, tidak dibatasi pada kotak nasionalisme yang sempit. Dan dikemudian hari sekolah Bandung dicap sebagai anti Nasionalisme dan kebarat-baratan.


Pertama kali pelukis-pelukis Bandung tersebut memperkenalkan diri kepada dunia luar adalah di Balai Budaya, Jakarta, tahun 1954. Pameran itu dikritik oleh kritikus seni Trisno Sumardjo (1917-1969) dalam suatu tulisannya yang terkenal, “Bandung mengabdi laboratorium Barat”. Sitor Situmorang juga menyerang dengan sama kerasnya, menurutnya seni Modern itu tidak mengandung arti, tidak mempunyai pesan dan tidak memiliki gambaran dunia.

Pengaruh Ries Mulder kepada  murid-muridnya menjelma dalam bentuk-bentuk geometrik abstrak yang disusun secara mosaik. Ries Mulder sendiri juga terpengaruh pada pelukis Perancis, Jacques Villon (1875-1963).  Penggunaan teknik warna subdued pastel hues dapat diperhatikan dalam hasil karya Sadali, Mochtar Apin, AD Pirous, dan But Muchtar, yang diciptakan pada tahun 1950-an, merupakan representasi aliran Bandung di masa itu.

Dimulai dengan Sadali pada tahun 1953, para seniman Bandung merombak bentuk obyek menjadi motif yang datar, yang terjadi oleh perpotongan sejumlah garis lurus dan lengkung. Seluruh lukisan terjadi oleh garis yang membagi-bagi permukaan kanvas, serta warna-warni yang rata dengan mengisi bidang-bidang geometris yang terbentuk oleh perpotongan garis. Dengan demikian yang segera nampak pada lukisan, atau yang menguasai pengelihatan, ialah suatu susunan garis dan bidang geometris berwarna-warni, bentuk obyeknya tenggelam dalam jaringan itu. 

Sadali kemudian dikirim ke Amerika pada tahun 1956 untuk mengambil post graduate di Iowa University, Colombia, dan New York University  pada tahun 1957. Di saat itu abstract expressionism sedang marak disana. Kita melihat karya-karya Sadali mulai begeser setelah itu. Adalah seorang seniman abstract expressionist yang mempengaruhi Sadali setelah kembali dari Amerika, yaitu Mark Rothko.

sumber

Achmad Noe'man arsitek 1000 masjid

Achmad Noe’man
Arsitek Seribu Masjid

Achmad Nieman 
 
Achmad Noe’man (88) mendedikasikan hidupnya untuk membangun masjid sehingga ia dijuluki ”Arsitek Seribu Masjid”. Ide besarnya, antara lain, masjid tidak harus berkubah karena sering kali malah menambah beban masjid dan tidak fungsional.
Tempo bicaranya pelan dengan suara bergetar, tetapi terstruktur. Pendengarannya masih sangat jernih. Masih tajam pula ia mengingat-ingat detail peristiwa dalam hidupnya.
Karya Noe’man, antara lain, adalah Masjid Salman di Kampus Institut Teknologi Bandung, Masjid Asy-Syifa di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Masjid Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Masjid Agung Al Akbar, Surabaya, dan Masjid Indonesia di Sarajevo, Bosnia. Salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia itu lalu bercerita tentang masjid-masjid rancangannya.

Anda dikenal sebagai arsitek seribu masjid. Bagaimana ceritanya?
Saat menjadi asisten dosen Prof Van Roemondt (dosen arsitektur Islam), saya mengusulkan agar dibangun masjid di ITB. Ide ini sebenarnya sudah lama, sudah sejak saya mahasiswa karena terlalu jauh kalau hendak ke masjid. Harus jalan kaki ke Masjid Jalan Cipaganti (sekitar 2,5 kilometer dari ITB) atau Masjid Raya di Alun-alun. Waktu itu masjid masih jarang.
Saya dan kakak saya, Achmad Sadeli pelukis kaligrafi yang juga dosen di ITB, berpikir untuk membangun masjid sendiri. Dia menyarankan agar saya membuat desainnya sebelum kami usulkan kepada rektor yang waktu itu dijabat Prof Ir RO Kokasih. Modal kami kertas, pencil, dan niat. Setelah gambar selesai, rupanya Rektor ITB tidak menyetujui dengan alasan khawatir mahasiswa atau dosen dari agama lain mengusulkan pembangunan rumah ibadah. Pemerintah Kota Madya Bandung juga menolak usulan itu.

Lalu, apa langkah selanjutnya?
Kebetulan ada mahasiswa saya, Ajat Sudrajat, yang mempunyai paman seorang tentara. Namanya Mayor Sobur. Dia bertugas sebagai anggota Pasukan Tjakrabirawa yang menjaga Presiden Soekarno. Melalui Mayor Sobur, Ajat menyampaikan rencana kami membangun masjid di ITB. Saat itu Soekarno kan sangat tertarik dengan Islam. Dia menjadi alah satu dari tokoh empat serangkai bersama Hatta, Mas Mansoer, dan Ki Hadjar Dewantoro.
Saya dan kakak saya menemui Presiden Soekarno di Istana sambil sarapan didampingi menteri agama. Saya lalu beberkan gambar yang sudah saya gambar sejak dua tahun itu dan Presiden Soekarno menyetujuinya. Dia malah mengusulkan nama masjid itu Salman.
Tanpa kubah Salman diambil dari nama Salman Al Farisi, panglima perang yang cerdas pada masa Nabi Muhammad. Dia yang mengusulkan pembangunan parit di sekeliling tenda untuk menghalangi pasukan musuh menyerang. Perang ini disebut Perang Khandak yang berarti parit.
Masjid Salman dibangun tahun 1964 dan diresmikan pada 1972. Masjid Salman dirancang tanpa kubah dan tiang penyangga. Atap masjid berbentuk melengkung mirip dua telapak tangan menengadah berdoa. Kala itu, bahkan sampai sekarang, model bangunan masjid tanpa kubah belum lumrah.

Mengapa tanpa kubah?
Apakah harus berkubah? Di dalam Al Quran tidak diwajibkan harus berkubah. Ini sikap seorang Muslim harus ada ilmunya. Tidak mengubah sesuatu tanpa dasar ilmu. Harus menguasai ilmu struktur. Membuat sesuatu yang kuat harus ada fondasi. Saya beranikan diri mengajukan gambar masjid tanpa kubah berdasarkan Al Quran. Silakan buka Surat Al-Baqarah Ayat 170.
Kubah itu berat. Bobotnya bisa sampai berton-ton sehingga harus disangga dengan tiang. Tiang di dalam masjid itu menghalangi shaf (barisan orang shalat), sedangkan shaf tidak boleh terputus. Jemaah juga terhalangi untuk melihat khatib seperti di Masjid Istiqlal. Masjid-masjid yang saya bangun tidak menggunakan tiang karena menghalangi orang shalat.
Terinspirasi ayah
Noe’man lahir di Garut, Jawa Barat, pada 10 Oktober 1924. Dia tumbuh di bawah didikan ayahnya, Muhammad Jamhari, saudagar yang menjadi salah seorang pengurus Muhammadiyah. Untuk mengembangkan organisasi, Jamhari kerap mendapat tugas membangun sekolah, rumah warga, dan masjid. Dia merancang setiap bangunan itu. Noe’man sering ikut ayahnya menjalankan tugas.
Noe’man kecil terpesona dengan cara kerja ayahnya. Dia berpikir, betapa mulianya pekerjaan ayahnya yang dapat membantu orang membangun rumah, anak-anak belajar di gedung sekolah, ataupun warga beribadah. Pelan-pelan, terpaku di hati Noe’man ingin seperti ayahnya. ”Dari pengalaman itu, saya tertarik arsitektur,” kata Noe’man.
Lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) Adam Bachtiar di Jakarta, Noe’man melanjutkan kuliah di ITB yang saat itu masih bernama Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Oleh karena belum ada jurusan arsitek, Noe’man masuk ke jurusan teknik sipil. Alasan utamanya, di teknik sipil terdapat pelajaran fondasi.
”Ini belum begitu sesuai dengan minat saya, tapi ada pelajaran fondasi di sipil. Lumayanlah. Untuk membuat arsitektur yang bagus, kan, butuh fondasi yang kuat,” kata Noe’man.
Kuliah Noe’man tidak lancar lantaran terjadi agresi militer Belanda dan dia diwajibkan bergabung bersama tentara Indonesia. Ia tidak mahir menenteng senjata. Tugas utamanya adalah sebagai penerjemah bahasa Belanda ke Indonesia dalam setiap pertemuan diplomasi. Noe’man belajar bahasa Belanda selama duduk di sekolah menengah (Middelbaar Uitgebreid Lagere Onderwijs/Mulo) di Yogyakarta dan AMS di Jakarta. Tugas sebagai tentara dia emban hingga tahun 1950.
Selama menjadi tentara, bagaimana dengan cita-cita sebagai arsitek?
Saya terus membina hubungan dengan mahasiswa ITB. Tahun 1950, ada teman saya di ITB, Hasan Purbo, memberi kabar bahwa kampus akan membuka bagian Arsitek. Keinginan saya untuk kuliah arsitek semakin menguat. Lalu tahun 1952 saya minta izin kepada Kolonel AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam VI/Siliwangi.
Izin ini cukup mudah karena saya berteman baik dengan Gondo Kusumo, teman basket. Gondo Kusumo ini adik dari istri Pak Nasution. ”Tapi kamu punya tugas sebagai B1 atau intel,” itu pesan Pak Nasution. Saya kuliah tahun 1952 dan lulus tahun 1958.

Apa kegiatan setelah lulus kuliah?
Saya ditawari menjadi pegawai negeri sipil dan mengajar di ITB. Saya tolak. Kalau masuk PNS harus Golkar, sementara tokoh-tokoh Golkar tidak adil kepada rakyat. Saya tetap mengajar, tetapi sebagai dosen luar biasa di Interior Seni Rupa ITB sambil membuka jasa konsultasi arsitektur, PT Biro Arsitektur Achmad Noe’man (PT Binaro). Ini menjadi langkah membanggakan karena saya dapat melanjutkan keinginan ayah saya. Semoga ini menjadi amal baik dan bermanfaat.
Alhamdulillah, ada anak ketiga saya yang bersedia meneruskan, Fauzan Noe’man. Dia juga sangat tertarik dengan arsitektur dan lulusan Rhode Island School of Design Amerika. Setelah lulus, saya minta pulang dan melanjutkan bekerja di PT Binaro. Hari-hari ini dia sibuk mengurusi rencana pembangunan Kampus Universitas Muhammadiyah, Bandung.
Saya ingin agar pekerjaan kami lebih barokah. Makanya, saya menyarankan agar PT Binaro tidak ikut-ikut tender proyek pemerintah. Dulu kami sering menang tender, tapi ternyata itu membuat perusahaan pesaing jadi kehilangan peluang. Rasanya kami ini menutup rezeki orang. Jadi kami menjadi pekerjaan swasta saja yang tidak pakai tender.
Anak saya empat. Yang pertama, Irfan Noe’man, bekerja di Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Juga sebagai dosen keliling Singapura, Malaysia, Brunei, dan Bangkok. Adiknya, Nazar Noe’man, pengelola penyiaran di Radio KLCBS . Anak terakhir saya, Irma Noe’man, lulusan desain grafis dari universitas di Chicago.
Pada usia 88 tahun, Ahmad Noe’man tampak sehat. Di masa muda, ia hobi bermain bola.
”Alhamdulillah, saya tidak pernah dikasih Allah asam urat, jantung, atau kolesterol. Jadi tetap sehat sampai sekarang. Saya menghindari makanan dan minuman yang dilarang agama. Mungkin itu yang membuat saya tetap sehat. Ini kira-kira saya saja,” kata Noe”man.
Oleh: Mohammad Hilmi Faiq