oleh
Abdul Majid
Pendahuluan
Semula, istilah teologi yang kemudian dihubungkan dengan Islam tidak dikenal dalam literatur Islam. Istilah yang populer di kalangan Islam hanyalah: Ushul al-Din, `Ilm al-`Aqaid, `Ilm Al-Kalam, `Ilm Tawhid.[1] Tetapi dalam perkembangannya, terutama ketika para ilmuwan Islam mulai bersentuhan dengan kaum intelektual dari Barat (Kristen), istilah teologi[2] lebih cenderung banyak atau populer dipakai ilmuwan bila dibandingkan dengan yang khas atau asli dari dunia pemikiran muslim itu sendiri. Tampaknya, dari segi sosiolinguistik, memang keduanya mengandung nuansa yang sama, yaitu pengetahuan yang membicarakan mengenai siapa Tuhan, dari mana Tuhan, dimana Tuhan, dan ruang lingkup kekuasaan-Nya.
Islam yang kita yakini, ketahui, dan tafsirkan selama ini adalah berasal dari Tuhan, Allah pencipta alam semesta, sejak kenabian Adam as sampai Muhammad saw. Apa saja yang dikehendaki oleh Tuhan selanjutnya disampaikan kepada makhluk-Nya yang berjenis manusia. Manusia diberi akal; melalui akalnya Allah berharap agar setiap manusia mampu menangkap, memahami, menghayati, serta mengamalkan kehendak tersebut. Kehendak dari Tuhan itu diberitahukan kepada manusia melalui para nabi/rasul-Nya agar mereka tidak keluar dari kehendak-Nya. Di sinilah terjadi pertemuan antara wahyu dengan akal. Hasil akal yang bila dioptimalkan penggunaannya tidak bertentangan dengan wahyu dari Allah, sebab akal adalah alat berpikir, sedangkan wahyu adalah tuntunan atau bimbingan dari Tuhan.
Akal yang diberikan Tuhan kepada manusia sangat strategis dan mempunyai kedudukan tinggi dalam ajaran Islam.[3] Dengan demikian, dalam perjalanan hidup ini, setiap manusia pada dasarnya memperoleh dua “pintu” pengetahuan, yaitu (1) wahyu, dan (2) akal. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah “pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, apakah melalui akal ataukah yang melalui wahyu?” Pertanyaan klasik ini sudah berumur dua ribu tahun lebih, tetapi terus menarik perhatian siapa pun dalam sejarah kehidupan umat manusia sebagai yang disebut oleh A.J. Arberry dalam bukunya, Revelation and Reason in Islam.[4]
Tuhan yang memberitahukan tentang kehendak itu bernama kalam atau wahyu. Kandungan kalam atau wahyu itulah yang kemudian kita kenal dengan ajaran Tuhan. Berdasarkan informasi kalam tersebut – sebagaimana yang termaktub di dalam Alquran – bernama Islam. Ini berarti bahwa Islam adalah nama bagi ajaran Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia agar selama menjalani kehidupannya di dunia tidak salah dalam arti lain, selamat. Seluruh kehendak atau kalam itu bersifat petunjuk atau pedoman kehidupan manusia yang kemudian kita sebut sebagai ajaran Islam.
Apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad pada awalnya tunggal, yakni diterima dan disampaikan oleh satu orang, yaitu Nabi Muhammad saw dan disampaikan serta dipraktikkan langsung oleh beliau semasa hidupnya. Maka, Nabi Muhammad saw saat itu adalah satu-satunya sumber yang menyampaikan Islam, menginterpretasikan wahyu yang diterima dari Allah, serta mempraktikkan bagaimana seharusnya ajaran Islam itu diamalkan. Beliau adalah tempat bertanya dan mengembalikan bagaimana solusi menurut ajaran Islam bila ada masalah yang timbul atau dihadapi oleh umat, baik dalam hubungannya dengan masalah keduniawian maupun masalah keakhiratan.
Sesuai dengan sunnatullah, Nabi Muhammad saw wafat, akal semakin banyak memikirkan berbagai sisi kehidupan, masalah hidup dan kehidupan semakin kompleks, teks wahyu yang termaktub di dalam kitab Alquran membuka peluang kepada siapa pun untuk menafsirkan sesuai dengan masalah kehidupan dan tanggung jawab moralnya, maka wahyu Tuhan tersebut melahirkan berbagai pandangan. Pandangan tersebut berasal dari para ahli agama Islam yang disebut ulama (bukan ahli fiqh saja) dalam upayanya membimbing umat manusia kepada jalan yang dikehendaki-Nya. Karena berbagai perbedaan yang melatarbelakangi seorang ulama, maka lahirlah kemudian istilah “aliran” atau biasa juga disebut “mazhab”.
Aliran atau mazhab pemikiran Islam itu tidak muncul dari ulama yang bersangkutan, melainkan muncul dari kalangan umat Islam yang menganggap pemikiran ulama tersebut sejalan atau minimal dapat dipahami jalan pikirannya oleh seseorang atau komunitas umat tertentu. Jadi, keterkaitan antara pemikiran seorang ulama dengan umat itu biasanya mengkristal menjadi suatu aliran, yang oleh umat nantinya aliran tersebut dinisbatkan atau dikaitkan dengan pribadi ulama tersebut.
Melalui bab ini, para pembaca akan diajak untuk menelusuri bagaimana latar belakang dan mengapa ada aliran-aliran itu, tak terkecuali dalam bidang teologi Islam; sejarah lahirnya; masalah-masalah apa saja yang menjadi obyek kajiannya; berbagai macam aliran teologi yang berkembang di kalangan umat Islam; implikasi-implikasi apa saja yang muncul di kalangan umat dengan adanya aliran-aliran teologi Islam itu; aliran teologi Islam apa yang relevan dengan dinamika umat.
Latar Belakang Lahirnya Aliran Teologi Islam
Dengan membaca berbagai literatur teologi Islam, maka kita akan memperoleh gambaran bahwa teologi Islam ini telah muncul embrionya ketika Nabi Muhammad sudah wafat. Itu artinya, rentang waktunya dengan kita sekarang sudah sekitar 1500 tahun. Jadi, teologi Islam ini adalah ilmu yang tertua sejalan dengan perkembangan umat Islam itu sendiri.
Wajar jika ada pertanyaan, kapan sebenarnya teologi Islam itu muncul di kalangan umat? Jawaban atas pertanyaan ini tidak gampang menjawabnya karena beberapa alasan: (a) tidak adanya kajian ilmiah yang mempelajari atau menerangkan masalah itu, (b) tidak diketahuinya secara persis mengenai bagaimana pemahaman Islam yang konkret dari seseorang atau suatu komunitas umat Islam, (c) tidak adanya kesepakatan dari para ahli yang menekuni kajian teologi Islam tentang awal dan penyebab munculnya teologi Islam, (d) kajian bidang teologi Islam yang dapat kita ketahui hingga sekarang ini telah masuk ke dalam wacana masing-masing tokoh, pemikir, atau pengikut aliran-aliran teologi Islam, dan (e) perlunya dilakukan upaya bagaimana agar kajian ini terhindar dari aliran-aliran teologi Islam yang ada.
Sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjut, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu beberapa terminologi yang dikemukakan oleh beberapa ahli terdahulu di antaranya: (1) Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, mendefisikan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela akidah-akidah imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid`ah yang dalam bidang akidah menyimpang dari mazhab salaf dan mazhab ahl al-sunnah, (2) Muhammad Abduh dalam bukunya Risalah al-Tawhid, mendefisikan ilmu tauhid sebagai ilmu yang membahas tentang Allah, sifat-sifat yang wajib, dan yang boleh ditetapkan bagi-Nya, serta apa yang wajib dinafikan (dinegasikan) dari-Nya, tentang para rasul untuk menetapkan missi mereka dan apa yang wajib dan apa yang boleh padanya dan apa yang boleh dinasabkan kepadanya, (3) Fuad al-Ahwani menyatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang memperkuat akidah-akidah agama dengan argumen-argumen rasional.
Berdasarkan definisi di atas, tampak bahwa ilmu kalam atau tauhid atau teologi Islam adalah ilmu yang penting dan kedudukannya memegang peranan utama dalam upaya memperkuat keyakinan seseorang akan kebenaran ajaran Islam, mempertebal semangat keagamaan untuk terus mengkaji dan menelaah berbagai aspek ajaran Islam sehingga seseorang yang melakukan dan membaca kajian tersebut semakin yakin bahwa apa yang diyakininya sudah benar. Sebaliknya, tidak benar jika ada orang yang berkata bahwa kalau mempelajari ilmu kalam atau tauhid, maka iman atau keyakinan bagi yang mempelajarinya kepada Tuhan semakin tipis, berkurang, bahkan jauh dari itu ada yang sampai tidak melakukan shalat lagi.
Dalam beberapa literatur teologi Islam[5] antara lain disebutkan bahwa ada beberapa sebab mengapa lahir aliran-aliran teologi di kalangan umat Islam. Pertama, karena situasi sosial pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Seperti yang masyhur kita ketahui bahwa pada saat Nabi Muhammad berada di Makkah, Allah mengarahkan rasul-Nya untuk membina dan membimbing mental atau akidah masyarakat di Makkah.
Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan mengapa aspek mental atau akidah yang didahulukan adalah: (a) karena masyarakat Makkah pada saat itu sudah menyimpang dari ajaran Allah, yang terbukti dengan menyembah patung berhala yang dipertuhankan, (b) pembinaan mental dan akidah adalah aspek yang paling utama dalam pembinaan dan pengarahan kehidupan manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Selanjutnya, ketika Nabi Muhammad berada di Yastrib (sekarang, Madinah alMunawwarah) Allah mengarahkan Rasul-Nya kepada pembinaan kehidupan duniawi. Perhatian pembinaan ke arah ini karena: (a) masyarakat di Madinah lebih pluralis, baik dari segi budaya, agama, maupun sosial, (b) kehidupan masyarakat sudah mulai lebih dinamis karena umat Islam pada saat itu telah berhadapan langsung dengan ragam kultur yang berbeda dengan situasi di Makkah.
Kedua, situasi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Adapun masalah utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah: (a) siapakah yang berhak untuk menggantikan posisi nabi, (b) apa kriteria yang dapat dipergunakan untuk menetapkan seseorang yang akan menggantikan posisi nabi, dan posisi apanya nabi yang dapat digantikan dan dilanjutkan, (c) bagaimana proses atau mekanisme untuk memilih atau menentukan pengganti nabi, dan (d) siapa yang memiliki otoritas untuk mencari dan menetapkan pengganti nabi.
Ketiga, implikasi dari penafsiran teks kitab suci dan hadist. Seperti yang kita ketahui bahwa sifat teks kedua sumber itu bersifat umum dan mendasar. Pada sisi lain para pemuka Islam mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan Islam kepada masyarakat. Dalam proses seperti itulah penafsiran dari para ulama terhadap teks tersebut sangat terbuka. Dengan keterbukaan seperti itu, maka akan berimplikasi terhadap adanya pelbagai pendapat serta mendatangkan sejumlah pengikut terhadap Sang Ulama yang bersangkutan.
Keempat, situasi politik di kalangan umat pasca pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ketika Usman bin Affan memegang tampuk pemerintahan sebagai khalifah ketiga. Usman bin Affan pada waktu itu dikuasai oleh keluarga besarnya termasuk sampai pada penggantian semua pejabat negara mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah. Dari tindakan penggantian para pejabat seperti itu menimbulkan mosi tidak percaya yang berakibat munculnya fitnah al-kubra yang berujung pada terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Peristiwa seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Sejarah Lahirnya Aliran-aliran Teologi Islam
Setiap peristiwa atau kejadian yang muncul dalam kehidupan manusia, maka pasti akan mempunyai sejarah tertentu. Perbedaannya hanyalah terletak pada seberapa jauh urgensi, kualitas dan pengaruh sejarah itu terhadap kehidupan, baik perseorangan maupun secara perkelompok. Demikian halnya dengan aliran-aliran teologi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam.
Catatan beberapa tulisan para ahli teologi atau sejarah Islam lahirnya aliran teologi di kalangan umat Islam sangat bervariasi. Misalnya, kita menemukan penyebabnya karena hal tersebut tidak sependapat dengan gurunya; perbedaan aliran politik.
Bab ini akan mengemukakan aliran-aliran teologi Islam yang dimaksud, yaitu: (1) Qadariyah, (2) Jabariyah, (3) Khawarij, (4) Asy`ariyah, (5) Mu`tazilah, (6) Syi`ah, (7) Salafiah, (8) Ahlussunnah, (9) Sunni, (10) Murji`ah, dan (11) Maturidiyah.
1. Qadariyah
Dengan memperhatikan secara cermat latar belakang sosial kehidupan masyarakat Arab yang serba mau dan hanya pasrah pada keadaan yang dialaminya tanpa adanya usaha untuk keluar dari masalah itulah yang menyebabkan para tokoh Qadariyah melahirkan paham ini. Masyarakat pada waktu itu kelihatannya malas, tidak ada keinginan untuk merubah kehidupannya. Termasuk dalam berpikir secara kritis dan rasional.
Menurut dugaan kuat para peneliti teologi Islam, orang yang mempelopori aliran Qadariyah adalah Ma`bad al-Juhani (Nasution, 1972: 32) dan Ghailan al-Dimasyqi. Paham ini dianut oleh keduanya karena dipengaruhi oleh seorang muslim di Irak, yang baru masuk Islam dan sebelumnya beragama Kristen.
Paham atau ajaran utama aliran teologi ini adalah manusia mempunyai kemerdekaan penuh dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
2. Jabariyah
Para tokoh aliran teologi ini mempunyai pandangan bahwa manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Tuhan dan diperoleh oleh manusia. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia semua itu karena kehendak semata dari Allah.
Manusia dalam pandangan aliran teologi Jabariyah adalah ibarat wayang yang menunjukkan perbuatannya dan segala perilakunya ditentukan oleh dalang yang memainkannya. Jadi, manusia tidak akan bisa melakukan sesuatu tanpa digerakkan oleh Tuhan. Tanpa adanya gerak dari Tuhan, seorang manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Aliran teologi Jabariyah ini dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar. Al-Najjar antara lain berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, apakah baik atau buruk?.
Paham atau ajaran utama aliran teologi ini adalah manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
3. Khawarij
Yang masuk dalam kelompok aliran teologi ini adalah orang-orang yang keluar dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka keluar karena mereka ingin lebih banyak mendekatkan dan mengorbankan diri karena Allah. Dalam perjalanan aliran teologi ini terbagi menjadi (1) al-Muhakkimah, (2),al-Azariqah, (3) al-Najdat, (4) al-`Ajaridah, (5) al-Sufriah, dan (6) al-Ibadah. Masing-masing sekte aliran teologi ini mempunyai tokoh tersendiri dan pandangan yang dianggap benar sendiri.
Golongan masyarakat yang masuk Khawarij adalah Arab Badwi yang hidup di gurun pasir luas dan tandus membentuk hidup dan kehidupan masyarakat di situ sederhana, praktis, merdeka, dan fanatik pada suatu paham.
Faktor ini rupanya yang membuat kaum Khawarij terpecah belah menjadi beberapa sekte.
Tokoh utama aliran teologi ini adalah: (1) Abdullah ibn Wahb al-Rasidi, (2) `Abd al-Rahman ibn Muljam, (3) Nafi` ibn al-Azraq, (4) Najdah ibn `Amir al-Hanafi, (5) Abu Fudaik, (6) Rasyid al-Tawil, (7) Atiah al-Hanafi, dan (8) Aba al-Karim ibn `Ajrad.
Adapun ajaran atau paham utama aliran teologi ini adalah: (1) orang yang tidak sepaham dengannya dianggap kafir, bahkan musyrik, (2) orang yang tidak sepaham dengan mereka kekal di dalam neraka, (3) orang yang berzina adalah kafir, (4) taqiah atau berpura-pura boleh dalam bentuk perkataan tapi tidak untuk perbuatan, (5) taqiah boleh untuk mempertahankan keselamatan diri dan keyakinan, (6) sanksi perbuatan dosa ada yang diberikan di dunia dan ada yang di akhirat, (7) Tuhan menimbulkan perbuatan manusia, (8) manusia tidak dapat menentang Tuhan, (9) anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh, (10) untuk keamanan diri, seorang wanita muslim boleh kawin dengan lelaki di luar Islam asal tidak berada di wilayah Islam, (11) kufr terbagi dua: bi al-nikmat dan rububiyah, (12) wilayah yang tidak sepaham dengan mereka tidak dikategorikan dar al-harb kecuali camp dan anak perempuan tidak boleh dibunuh, (13) harta rampasan perang hanya terbatas pada keperluan perang, selain itu, dikembalikan kepada pemiliknya, dan (13) surah Yusuf bukan merupakan bagian dari surah Alquran.
4. Asy`ariyah
Berdasarkan penelitian para ahli, ternyata nama aliran teologi ini dinisbahkan kepada tokoh utamanya yakni Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy`ari (260-324 H./873-935 M). Sebelum lahirnya aliran teologi ini, Asy`ari adalah pengikut Mu`tazilah. Asy`ari keluar dari Mu`tazilah karena konon ia pernah mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad dan memperoleh pesan dari nabi bahwa aliran Mu`tazilah adalah salah, tidak benar. Mimpinya itu diumumkan kepada publik dan dari sinilah kemudian ia mendeklarasikan aliran teologinya sendiri. Aliran teologi yang didirikan Asy`ari ini selain karena karena ketidaksepahaman dengan Mu`tazilah, juga karena faktor politis, di mana Mu`tazilah waktu itu sudah tidak memperoleh dukungan politik penguasa.
Adapun pendapat utama dari aliran teologi ini ialah manusia mempunyai daya yang kecil dan karenanya manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Karena itu, aliran teologi ini berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak itu semuanya ada dan bersumber dari Tuhan.
5. Mu`tazilah
Aliran teologi ini lahir dari sikap Wasil bin `Ata dalam suatu pertemuan pengajian antara pemuka agama dengan umat, di mana dalam pertemuan itu `Ata tiba-tiba menjawab pertanyaan yang muncul sebelum Hasan al-Basri menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu adalah “Apakah orang yang berbuat dosa besar masih beriman ataukah ia sudah menjadi kafir?” Jawaban yang diberikan `Ata waktu itu adalah “Orang tersebut bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir”.
Selain itu, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa Wasil bin `Ata sebenarnya adalah orang yang menghidupkan kembali paham mu`tazilah yang sudah ada sebelumnya, yakni dari Abu Hasyim Abdullah saudara cucu Rasulullah, Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[6]
Aliran ini sering dianggap sebagai biang keladi masuknya pemikiran rasional, teologi rasional dalam Islam dengan mendewa-dewakan akal serta menomorduakan fungsi, kedudukan dan peran wahyu dari Allah. Pada hal yang sebenarnya adalah tetap menjunjung tinggi dan menempatkan wahyu di atas segala-galanya. Adapun inti ajaran aliran teologi Mu`tazilah ada lima sehingga sering diistilahkan ajaran “Pancasila”-nya Mu`tazilah. Dari kelima ajarannya itu yang paling populer mengenai pelaku orang yang berbuat dosa besar berada pada posisi al-manzilu bain al-manzilatain (berada di dua posisi, surga dan neraka). Dengan pendapatnya yang seperti ini, mereka cenderung mendasarkan argumennya secara rasional bahwa pada hakekatnya semua itu haruslah logis atau dapat diterima oleh akal manusia.
6. Syi`ah
Setiap orang yang mendengarkan kata ini (Syi`ah), maka pikirannya segera tertuju kepada keluarga besar Nabi Muhammad, dengan tokoh utamanya adalah saudara sepupu nabi Muhammad yaitu `Ali bin Abi Thalib.
Yang menjadi tokoh sentral aliran teologi ini adalah khalifah `Ali bin Abi Thalib. `Ali adalah satu-satunya pewaris tunggal kepemimpinan dan risalah yang mulanya disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Kelompok aliran teologi ini menganggap bahwa khalifah Abu Bakr al-Shiddiq, `Umar bin Khattab, dan `Usman bin `Affan adalah orang yang tidak memiliki kualifikasi dan tidak kredibel menjadi pemimpin umat Islam. Yang paling layak untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad adalah `Ali bin Abi Thalib.
Salah satu sekte aliran teologi Syi`ah berpendapat bahwa sebenarnya malaikat Jibril salah memberikan wahyu-wahyu dari Allah (Alquran) kepada Muhammad bin `Abdullah bin `Abd al-Muthalib, melainkan kepada `Ali bin Abi Thalib bin `Abd al-Muthalib. Oleh sebab itu, yang berhak menjadi pemimpin di kalangan umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad dan khalifah `Ali bin Abi Thalib adalah keturunan beliau. Itulah yang disebut dengan ahl al-bayt. Yang banyak meyakini dan melanjutkan paham teologi ini adalah orang-orang Syi`i yang ada di Iran. Sistem kepemimpinan menurut teologi ini adalah imamah.
Aliran Teologi Masa Depan
Untuk menjawab pertanyaan, misalnya, aliran teologi apa yang cocok untuk umat di masa mendatang? Maka untuk menjawab, mengetahui, atau memprediksikan hal tersebut kira-kira corak atau aliran teologi Islam yang sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat Indonesia khususnya adalah susah. Tetapi, untuk memenuhi jawaban itu, ada beberapa segi yang perlu dijadikan standar umum untuk mencari kategori itu.
Pertama, ajaran Islam yang demikian luas dan cenderung untuk bisa “ditafsirkan” oleh siapa pun, maka bisa diduga bahwa paham dan pemikiran seseorang akan semakin dinamis, terbuka, dan moderat (dalam pengertian bisa memahami dan menerima pendapat orang lain). Suasana seperti itu memungkinkan antara lain karena implikasi langsung dari kemajuan sains dan teknologi yang terus berkembang secara dinamis dan inovatif.
Kedua, dampak dari pengetahuan dan pemahaman atau mungkin juga hasil bacaan pribadi seseorang sangat berpotensi menimbulkan intervensi dalam memahami teks-teks kitab suci (Alquran dan Al-Hadist) yang implikasinya mulai terasa di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita. Implikasi itu ada yang cenderung keras, lunak, dan netral atau moderat. Ketiga sikap umum yang disebutkan terakhir adalah juga tergambar dari paham atau isme yang pernah berkembang dan dikembangkan oleh para tokoh aliran teologi Islam sebagai yang disebutkan sebelumnya.
Ketiga, ada kecenderungan masyarakat kita sekarang ini untuk bersikap terbuka, tertutup, atau mengambil keduanya dalam menghadapi keadaan apa saja. Ketiga bentuk sikap tersebut kalau kita polakan ke dalam aliran aliran teologi sebelumnya, seperti kata Nasution,[7] adalah masuk kategori aliran: (1) tradisional, (2) liberal, dan (3) tradisional-liberal. Yang terakhir disebutkan adalah bahasa lain untuk tidak mengatakan secara langsung rasional. Mungkin yang dimaksud dengan tradisional adalah Jabariyah; liberal adalah Qadariyah; Tradisional-Liberal adalah Mu`tazilah.
Keempat, dalam beberapa kenyataan praktik keberagamaan dan paham keislaman yang berkembang dari para tokoh-tokoh Islam yang dianggap mempunyai pengaruh di kalangan umat Islam Indonesia, ternyata setelah diteliti oleh para akademisi di Perguruan Tinggi menunjukkan bahwa umumnya mereka berpaham rasional. Artinya, masyarakat muslim Indonesia itu dapat dikategorikan ke dalam corak teologi rasional.[8] Tetapi yang anehnya dalam sikap kesehariannya memperlihatkan sikap yang pasrah. Ini berarti dari segi paham keagamaan rasional, tetapi dalam menghadapi kehidupan sehari-hari bersikap irrasional (pasrah). Jadi, belum ada korelasi antara paham keagamaan dengan masalah hidup keseharian. Selain itu, ada juga kecenderungan masyarakat muslim Indonesia yang ingin menjustifikasi kehidupannya dengan paham atau corak teologi tertentu berdasarkan kasus per kasus. Sikap dan paham seperti ini disebut talfiq.[9]
Catatan Kaki
[1] Dalam tradisi lisan dan tulisan, masyarakat Islam Indonesia pada umumnya menulis kata atau kalimat yang berasal dari bahasa Arab memakai konsep pengucapan dan penulisan dari lafaz ke huruf. Maka, penulisan di atas belum populer, meski secara ilmiah hal seperti di atas itulah yang benar. Yang umum kita ketahui. penulisannya adalah Ushuluddin, Ilmu Aqaid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Tauhid. Yang lebih tidak tepat lagi adalah penulisan yang bersumber dari lafaz masyarakat umum. Sebagai contoh antara lain dikemukakan bahwa penulisan yang benar adalah Dar al-Tawhid, tetapi ditulis Daarut Tauhiid, dan sejenisnya.
Adapun penggunaan istilah yang berbeda-beda disebabkan oleh karena penekanan kajiannya. Dinamai Ushul al-Din karena kajiannya menekankan pada dasar-dasar agama; `Ilm al-`Aqaid karena kajiannya menekankan pada masalah keyakinan; `Ilm al-Kalam karena kajiannya menekankan pada masalah-masalah wahyu Allah sebagai yang termaktub di dalam Alquran; `Ilm Tawhid karena menekankan kajiannya pada masalah-masalah ke-Esa-an Allah swt.
Menurut Harun Nasution di dalam bukunya, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986, h.ix-xiii, bahwa yang banyak dipakai oleh umat Islam di Indonesia adalah Ilmu Tauhid karena ilmu tersebut membahas tentang keesaan Tuhan. Meski di dalam ilmu ini hanya berdasarkan pada aliran teologi Asy’ ariyah. Itu sebabnya ilmu ini sempit dan bisa menyempitkan pemikiran umat.
[2] Seluruh kepercayaan yang dianut masyarakat selama ini hanya berhubungan dengan masalah ke-Tuhan-an, maka istilah teologi terus dipakai. Tidak heran bila kita jumpai pula kata: Teologi Kristen, Teologi Katholik, Teologi Hindu, dan sejenisnya. Bahkan gerakan-gerakan masyarakat yang agak bergerak bebas di luar bidang keagamaan yang kemudian dijastifikasi dan melahirkan istilah, misalnya, Teologi Pembebasan. Lihat misalnya, Michael Lewy, Teologi Pembebasan, (diterjemahankan oleh Roem Topatimasang), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
[3] Lihat selanjutnya buku Harun Nasution, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jakarta, Idayu, 1982. Prof. Dr. Harun Nasution (1919-2000) adalah orang pertama Indonesia yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang Islamic Studies di McGill University Montreal, Canada pada tahun 1968, mantan Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (LAIN) Syarif Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri, disingkat UIN) Jakarta, dianggap oleh sebahagian pihak orang pertama yang giat mempelopori adanya pemikiran teologi rasional di Indonesia. Lihat misalnya buku, Richard C. Martin, et. al. Post Mu`tazilah, Yogyakarta, IRCiSoD, 2002. Dalam buku ini, Martin sudah membakukan usaha Nasution itu melalui paham tersendiri lewat istilah Harunisme. Mungkin ini terlihat dari buku-bukunya yang menjadi bacaan wajib mahasiswa IAIN seluruh Indonesia dan para mahasiswanya yang kuliah di Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini banyak menjadi Magister dan Doktor.
[4] Lihat selanjutnya buku ini pada hal. 7 dan 14.
[5] Untuk kepentingan masyarakat Islam di Indonesia saat ini, dapat membaca buku-buku yang membahas teologi Islam, di antaranya: (1) Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, UI Press, 1986, (2) Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, Jakarta, Paramadina, 1999, (3) Harun Nasution, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jakarta, Idayu, 1982, (4) Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995, (5) Richard C. Martin, et. al., Post Mu`tazilah, Yogyakarta, IRCiSoD, 2002, (6) Hamdani, Pendidikan Ketuhanan Dalam Islam, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001, (7) Amin Abdullah, Studi Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, (8) Abdul Azis Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam: Pemikiran Teologis, Jakarta, Beunebi Cipta, 1987, (8) Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Jakarta, Bulan Bintang, 1969, (9) Muhammad Taib Tahir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1966, (10) Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1976.
[6] Untuk mengetahui lebih lengkap riwayat ini, lihat bukunya Nasysyar sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1966.
[7] Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga: tradisional, liberal, tradisional-liberal. Lihat selanjutnya Pendahuluan bukunya, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, Jakarta, UI Press, h. x.
[8] Dalam hubungan ini misalnya, bisa dikemukakan satu di antara sekian banyak bukti ilmiah bahwa HAMKA sebagai ulama, sastrawan yang terkenal, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pertama, yang terkenal lewat salah satu karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar, ternyata corak pemikiran kalamnya rasional. Lihat selanjutnya disertasi (yang telah diterbitkan menjadi buku) M. Yunan Nasution, Corak Pemikiran Teologi Tafsir Al Azhar, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
[9] Dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Majid terhadap sejumlah mahasiswa aktivis masjid kampus di Kota Bandung ternyata ada yang seperti itu. Lihat selanjutnya, Abdul Majid, Corak Pemikiran Teologi Mahasiswa Aktivis Masjid Kampus (disertasi, tidak diterbitkan), PPS IAIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta, 1997.
sumber