A. Pendahuluan
Dengan Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), dan juga Pase (1522),
banyaklah pedagang yang mencari pangkalan baru di Aceh. Kemudian
timbullah suatu kerajaan di Aceh. Aceh mewakili pusat dunia Islam di
Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan
penyebaran agama Islam ke Seluruh wilayah Asia Tenggara.
Karena itulah
Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Pada pertengahan abad ke XII.M Kerajaan Indra Purba (Lamuri) mendapat
serangan dari dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh “Puteri
Nian Nio Liang Khi” (Putroe Neng), yang memerintah masa itu adalah
Maharaja Indra Sakti.
Dalam suasana peperangan inilah datang rombongan
Syah Hudan (Syekh Abdullah Kan’an) yang terdiri dari 300 umat Islam yang
datang bersama keluarganya, Termasuk Meurah Johan. Mereka datang dari
Perlak. Pasukan Putroe Neng berhasil dikalahkan oleh mereka. Dan
kemudian Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyat Indra Purba masuk
Islam.
Maharaja Indra Sakti menikahkan putrinya dengan Meurah Johan.
Sehingga setelah raja wafat kedudukannya diambil alih oleh Meurah
Jauhan, dan mendirikan negara dengan nama “Kerajaan Darussalam” pada
hari Jum’at bulan Ramadhan, tahun 601.H/1205.M.
Ali Mughayat Syah mempunyai pikiran untuk menyatukan kerajaan-kerajaan
kecil dibawah satu kekuasaan, menjadi besar dan disegani lawan. Oleh
karenanya Dia meminta ayahnya menyerahkan jabatan pimpinan negara
kepadanya. Setelah ia menjadi raja, ia berhasil mewujudkan keinginannya,
dan juga berhasil mengusir Portugis dari Samudra Pasai.
Pada hari
Kamis, 20 Februari 1511 diproklamirkanlah berdirinya Kerajaan Aceh
Darussalam. Ali Mughayat Syah meninggal pada 12 Zulhijjah 936 (17
Agustus 1530) dan di makamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasannya (The Golden Year)
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah pemerintahannya
Aceh menjadi sangat besar, kuat, aman, dan makmur, maju dan kaya.
Mengenai Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda sudah ditulis oleh
beberapa ahli, diantaranya: Denys Lombard, dengan bukunya yang berjudul
“Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, buku ini
menceritakan secara mendetail mengenai tokoh Iskandar Muda dan keadaan
Sosial, ekonomi dan politik pada masa itu.
Ali Hasjmy, dengan bukunya
yang berjudul “Iskandar Muda Meukuta Alam”, yang merupakan sebuah
biografi Iskandar Muda. dan Rusdi Sufi dengan bukunya yang berjudul
“Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda”, yang menuliskan mengenai tokoh
Iskandar Muda, mencakup segala hal mengnainya, dan hal-hal yang
dicapainya selama memerintah, dan lain sebagainya.
1. Rumusan Masalah
Siapakah Iskandar Muda?
Bagaimana cara Iskandar Muda mendapatkan tahta kerajaan?
Bagaimanakah sistem peradilan pada masa Iskandar Muda?
2. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui
siapa itu tokoh Iskandar Muda, benarkah cerita-cerita rakyat mengenai
tokoh ini, dan untuk mengungkapkan bagaimana kehidupan Iskandar Muda
semasa sebelum menjadi Sultan, latar belakang dirinya, dan juga untuk
mengungkapkan bagaimana peradilan pada masa itu.
3. Argumen
Selama ini banyak cerita-cerita yang beredar luas dalam masyarakat Aceh
mengenai tokoh Iskandar Muda dan kebesarannya. Banyak cerita-cerita ini
mulai tidak logis dan terlalu dibesar-besarkan oleh masyarkat. Bahkan
mengenai asal-usul Iskandar Muda sering dilebih-lebihkan, seperti dalam
Hikayat Aceh yang menguraikan sejarah bermitos sebelum Iskandar Muda.
Pada awalnya dikatakan ada seorang pangeran dari Lamri yang bernama
Munawar Syah, keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Dari seorang putri
“berdarah putih”, perikahyangan. Sultan Munawar Syah menurut Hikayat
Aceh ini adalah moyangnya Sultan Iskandar Muda.
Bahkan nama Iskandar Muda sendiri bukanlah Iskandar Muda, tidak ada teks
baik dari Aceh maupun dari Eropa yang menyatakan nama ini. Menurut
kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran
diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya.
Tampaknya mengenai
gelar Iskandar Muda ini merupakan pengaruh dari mitos Iskandar
Zulkarnain. Seperti yang diungkapkan oleh Lombard dalam bukunya yang
berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ia
mengatakan bahwa suatu hal yang pasti¬ ¬— dan yang sudah tentu lebih
penting dari hanya sekedar gelar saja — ialah pengaruh mitos Iskandar
Zulkarnain.
B. Aceh Sebelum Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Aceh Darussalam berawal dari kerajaan Lamuri, dengan raja
pertamanya adalah Sultan Alaiddin Jauhan Syah. Namun nama kerajaan saat
itu adalah Kerajaan Darussalam. Aceh baru menjadi Kerajaan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, dialah yang
mempersatukan kerajaan Aceh di bawah satu negara. Ia mempersatukan
negeri Pidir, daya, dan Samudra Pasai dibawah kekuasaannya.
Kerajaan Aceh Darussalam mengukuhkan kekuatannya pada masa Sultan
Alaidin Ri’ayah Syah Al-Qahar, pada masanya ia berhasil mengusir
Portugis yang mendarat di Ujung Sudeuen. Dia juga Melakukan
ekspansi-ekspansi ke banyak Kerajaan, seperti Barus, Batak dan Aru.
Untuk mejaga keutuhan kerajaan ini Dia menempatkan orang-orang
kepercayaannya di daerah-daerah pengaruh kesultanan Aceh. Selain itu
usaha yang berhasil dilakukannya adalah mengembangkan kekuatan angkatan
perang, yaitu dengan meminta bantuan dari Turki Usmani Dalam menghadapi
Portugis , mengembangkan perdagangan, yaitu dengan membuka 4 pelabuhan,
yakni Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai.
Dalam Bandar-bandar dan
pekan-pekan didapati pedagang-pedagang asing dari pelbagai kebangsaan,
seperti Arab Cina, dan Persi. Perdagangan Lada sangat maju, sehingga
Sultan memperhebat penanaman Lada dengan membuka kebun-kebun Lada
Selain itu, Sultan juga mengadakan hubungan internasional dengan
kerajaan Islam yang ada di Timur Tengah, seperti Turki, dan Mesir.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat kerajaan yang masih
tersimpan di dokumen Turki, yang dapat ditemukan di rekaman Mühimme yang
dikeluarkan oleh Divan-i Humayun .
Sultan Aceh yang cukup terkenal selanjutnya adalah Ali Ri’ayat Syah
dengan gelar Saidil Mukammil, beliau adalah kakek dari Sultan Iskandar
Muda.
Pada masanya Belanda pertama kali datang ke Aceh yang dipimpin
oleh de Houtman bersaudara. Pada kedatangan yang pertama ini mereka
disambut dengan baik dengan Sultan, namun, Karena adanya kesalah pahaman
terjadilah pertempuran yang menewaskan Cornelis de Houtman sedangkan
saudaranya ditahan bersama dengan sisa-sisa awak kapalnya.
Namun, Pada
tahun 1602 Belanda kembali datang ke Aceh untuk berdamai, dengan
membawa sepucuk Surat dari Prints Maurits. Hal ini disambut baik oleh
pihak Aceh. Sultan mengirimkan 3 orang utusan ke Belanda
Selanjutnya kekuasaan jatuh ke tangan Sultan Ali Ri’ayat Syah yang
merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri, akibatnya terjadilah peperangan
antara ia dan Raja Hussain Syah.
Pertempuran ini menewaskan Raja Hussain
Syah, dan Sultan Iskandar Muda yang membantu Raja Hussain ditawan.
Keadaan Aceh sebelum naiknya Iskandar tidak terlalu baik, kerajaan Aceh
pada masa sebelumnya merupakan kancah perampokan dan pembunuhan dan
ketidak aturan yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya pemerintahan
berjalan dengan tidak memuaskan rakyat.
C. Tokoh Iskandar Muda
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar keturunan Raja Darul Kamal, dan dari
pihak leluhur ayah keturunan keluarga Raja Makota Alam. Aceh Darussalam
sendiri adalah gabungan dari kedua kerajaan ini, sehingga Iskandar Muda
berhak sepenuhnya menuntut tahta. Ayah Iskandar Muda bernama Mansyur
Syah bin Abdul Djalil bin Al-Kahar. Dengan demikian, beliau termasuk
dalam pertalian keluarga dengan sultan Aceh sebelumnya. Dari pihak
ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa binti Sultan ‘Alaiddin Ri’ayat Syah
Saidi al-Mukammil.
Menurut Denys Lombard, Iskandar Muda lahir sekitar
tahun 1583. Pernyataan ini berdasarkan pada keterangan dari Hikayat Aceh
mengenai Perkawinan antara Mansyur Syah dan istrinya. Dan juga
berdasarkan keterangan dari Best yang menyatakan pada tahun 1613
menyatakan bahwa umurnya 32 tahun. Sedangkan menurut A. Hasjmy,
Iskandar Muda Lahir pada malam menjelang subuh tanggal 22 Rajab 1001
H/1593 M.
Ketika lahir awalnya Iskandar Muda dinamakan Raja Sulaiman.
Menurut Hikayat Aceh setelah usia tiga tahun, kakeknya memberi nama
kepada cucunya dengan nama Abangta Raja Munawar Syah, kemudian Tun
Pangkat Darma Wangsa, kemudian dalam usia yang masih muda bermacam nama
sesuai dengan kehebatannya, seperti Pancagah dan lain-lain.
Sedangkan
mengenai nama Iskandar Muda menurut kronik yang diterjemahkan oleh
Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada
hari penobatannya.
Iskandar Muda telah menjadi piatu semenjak usianya dua tahun. Ayahnya
wafat dalam pertempuran di Laut Aru antara Armada Portugis dengan Armada
Aceh. Didalam pergaulan taman kanak-kanak, ia selalu bbermain bersama
sesarnanya yang diperhatlikan diatas balairong dan ditempat-tempat
perjamuan. Selelah selesai mengaji mereka suka mengadakan satu permainan
yang dinamakan "MEURADJA RADJA" (beraja-raja).
Naskah Hikayat Aceh
mengkisahkan tentang pertumbuhannya Sultan Iskandar Muda. Disebutkan
bahwa ketika umurnya 4 tahun, kakeknya yang menyayanginya secara khusus,
memberinya "gajah emas dan kuda untuk permainannya". Selain itu juga
sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu
gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5
tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah bernama Indra Jaya sebagai
teman bermain. Pada umur 6 tahun, anak itu sudah berburu gajah Har, pada
umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang.
Peperangan dengan meriam-meriaman kecil.
Pada umur 9 tahun ia membagi
perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertanahan kecil, pada
umur 12 tahun ia berburu kerbau Har waktu mencapai umur 13 tahun ia
mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh
membuatkan 30 batu tulis dari logam mulai bagi cucunya dan
teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al-Qur'an. Lalu seorang guru
pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang.
Mengenai sifat Sultan Iskandar Muda banyak berita yang bertentangan satu
sama lain. Misalnya sumber-sumber Aceh seperti Bustanul Salatin,
memberikan pujian-pujian sifat Sultan ini. Antara lain menyebutkan:
"Ialah yang Johan pahlawan lagi perkasa, dan kebijaksanan pada segala
barang perkataannya, dan pada segala kelakuannya, dan telah elok
sikapnya". Sebaliknya sumber-sumber Barat seperti laporan perjalanan
Augustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada tahun 1621 menyebutkan
sifat-sifat kekejaman Sultan Iskandar Muda.
D. Penobatan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sultan Muda merebut kekuasaan
dari ayahnya, yang mengakibatkan ia berperang dengan Raja Hussain. Raja
Hussain wafat dalam peperangan ini dan Iskandar ditawan. Dalam
masa-masa ini lagi-lagi Portugis datang menyerang Aceh pada tahun 1606.
Pasukan mereka dipimpin oleh Alfonso de Castro Ketika Iskandar mendengar
adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada Sultan agar dia
diperkenankan ikut berperang melawan Portugis. Dan permohonan ini
dikabulkan oleh Sultan Aceh.
Kemudian dia dan tentara Aceh melakukan
penyerangan terhadap Portugis. Tentara Aceh menang dan berhasil mengusir
Portugis dari Aceh. Malam itu juga si Paman dinyatakan meninggal, dan
pahlawan hari itu dinyatakan sebagai Sultan menurut Bustan us-Salatin
Iskandar dinyatakan sebagai Sultan pada 6 Zulhijah 1015 H (awal April
1607).
Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 Desember
1636. Mungkin kematiannya ini disebabkan karena kena racun yang
diberikan oleh para wanita Makasar kepadanya atas perintah orang-orang
Portugis. Hal ini dapat diketahui dari laporan Gubernur Jendral Kompeni
Belanda di Batavia, yakni Antonio van Diemen. Pada tanggal 9 Desember
1636.
E. Peradilan
Mengikuti Bustan us-Salatin Iskandar Muda telah melaksanakan
undang-undang Islam di Aceh, seperti melaksanakan hukuman hudud bagi
pencuri dan penzina. Juga dikatakan dia telah memerintahkan rakyat untuk
mengerjakan dengan taan rukun Islam, terutama dalam bidang sembahyang
dan puasa.
Dia juga mengharamkan meminum arak dan bermain judi.
Undang-undang yang digunakan pada masa ini dikenal dengan nama Qanun
Meukuta Alam al-Asyi yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’
Ulama, dan Qiyas. Qanun ini menetapkan empat jenis hukum, yaitu:
a.
Kekuasaan Hukum, yang dipegang oleh Kadil Malikul Adil.
b. kekuasaan
Adat, yang dipehgang oleh Sultan Malikul Adil.
c. kekuasaan Qanun, yang
dipegang oleh Majlis Mahkamah Rakyat.
d. kekuasaan Reusam, yang dipegang
oleh penguasa tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu
negara dalam keadaan perang.
Dalam Qanun Meukuta Alam ini juga disebutkan bahwa dalam memerintah
kerajaan, Sultan tunduk kepada Qanun. Sedangkan kadli Malikul Adil,
Mufti Empat Besar, Keurukon Katibul Muluk dan Perdana Menteri serta
sekalian Menteri Kerajaan Aceh, tunduk kepada Sultan dan juga Qanun.
Menurut Augustin de Bealieu pada masa ini ada empat macam lembaga
pengadilan di Aceh, yitu perdata, pidana, agama, dan niaga.
Pengkhususan yang begitu konkret ini menunjukkan betapa pada masa itu
Aceh sudah sangat maju dalam hal peradaban.
Pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali pada hari Jum'at di
sebuah balai (Bali) besar dekat mesjid utama. Yang mengetuainya salah
seorang dari orang kaya yang paling berada. Kegiatan pengadilan perdata
ini misalnya dalam hal perkawinan bagaimana pengadilan telah bertindak
dengan memberikan surat pengakuan.
Pengadilan pidana terdapat dibalai lainnya ke arah gerbang istana. Yang
menjadi ketuanya adalah sejumlah orang kaya paling penting. Mereka
bergantian dalam memimpin jalannya peradilan.
Pengadilan ini menangani
persengketaan yang muncul di kota seperti pembunuhan atau pencurian.
Beaulieu mengungkapkan kekagumannya mengenai ketika seorang penjahat
ditangkap karena berkelakuan buruk, bahkan oleh gadis muda atau anak
kecil sekalipun, ia tidak berani melarikan diri melainkan tetap diam
seperti patung.
Mengenai undang-undang yang diterapkan tidak diketahui
apa-apa, tetapi cara-cara pemeriksaan dan hukuman yang dijatuhkan cukup
keras. "Ujian Tuhan".
Hukuman yang paling lazim ialah pukulan rotan yang "bisa dihindari
dengan uang mas", artinya dengan membayar denda dan dengan menyogok
algojo.
Jika kesalahannya lebih besar, maka orang yang dihukum akan
kehilangan sebagian dari tubuhnya: mata dicungkil, hidung, telinga
bahkan anggota badan dipancung atau dipenggal. Dalam hal yang belakangan
ini, yang dipenggal kaki atau tangan, lalu buntungnya segera dicelupkan
ke dalam air dingin dan dibalut dengan "kantung kulit" yang
menghentikan perdarahan.
Ketika Bealieu sedang menunggu chappe (cap)
dib alai ia melihat seorang laki-laki yang terperkara akibat mengintip
istri tetangganya mandi, ia dikenakan hukuman 30 kali cambukan. Tetapi
si penjahat bernegoisasi dengan si algojo, ia menawarkan 20 mas dan
langsung dibayar ditempat sehingga ia hanya menerima 29 kali cambukan
rotan dalam keadaan tetap berpakaian.
Jika kejahatan dihukum mati, maka si terhukum disulakan, ini berlaku
untuk orang kecil, karena orang terkemuka menjalani hukuman mati dengan
cara yang lebih "sopan".
Mereka ditempatkan di ladang luas yang
tertutup, diberi semacam sabit besar sebagai senjata dan dengan demikian
harus membela diri seorang diri melawan segerombolan penyerang — yang
pada umumnya terdiri atas sanak saudara keluarga yang dirugikan
(terutama dalam hal zina). Maka mereka masih mempunyai harapan.
Dicatat bahwa keempat "merinyu atau sersan mayor" yang tugasnya menjaga
ketertiban di keempat daerah kota masing-masing tidak selalu membawa si
tertuduh ke pengadilan, tetapi dapat menghukum penjahat, pelaku
pencurian kecil-kecilan yang tertangkap basah hingga diikat pada tiang
hukuman dan dikenakan denda.
Pengadilan agama dipimpin oleh Kadi. Ia memiliki kekuasaan atas mereka
yang dianggap melanggar hukum agama. Mungkin kekuasaan pengadilan itu
diperkuat oleh Sultan yang ingin agar dipatuhi aturan-aturan akhlak dan
perilaku keagamaan yang baik, yang menurut Bustan us-Salatin ditegakkan
olehnya.
Pengadilan niaga berada di dekat pelabuhan, di “Alfandegue” ada "balai
tempat diselesaikan segala perselisihan antara pedagang, baik yang asing
maupun yang pribumi". Pengadilan ini diketuai "orang kaya Laksamana
yang boleh dianggap sama dengan wali kota". Sejumlah besar sida-sida
sibuk melaksanakan perintahnya.
Kesimpulan
Iskandar Muda adalah anak dari Mansyur Syah Aceh sebelumnya. Dari pihak
ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa. Ia adalah cucu dari Sultan Alaiddin
Riayat Syah. Walaupun ia telah menjadi Yatim sejak usia dua tahun ia
hidup bahagia dan mendapatkan keahlian yang cukup memadai bagi seorang
Sultan dikarenakan ia merupakan cucu kesayangan Sultan Saydil
al-Mukamil.
Ketika berumur sekitar 24 tahun ia menjadi Sultan Aceh, dan
mengantarkan Aceh ke puncak kejayaannya. Ia membuat Aceh menjadi sangat
aman dan damai dengan diterapkannya Qanun meukuta Alam. Dari
undang-undang yang dibuatnya dan lembaga peradilan yang ada pada masa
itu telah menunjukkan kepada kita secara garis besar bagaimana majunya
Aceh. Dan betapa hak setiap orang harus dihargai semasa itu.
Bahkan
orang-orang barat terheran-heran bagaimana setiap orang mematuhi hukum
dan tidak mencoba melarikan diri sewaktu ditangkap.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa memang benar Aceh pernah mencapai
zaman keemasan, bukan hanya sekedar cerita rakyat saja. Dan tokoh
Iskandar Muda merupakan raja yang sanggat cerdas sehingga mampu
mengantarkan Aceh ke zaman keemasannya.
DAFTAR REFERENSI
Amin, Samsul Munir . 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Chaidar, Al. 1999.
Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan
Negara Islam. Jawa Barat: Madani Press.
Djamil, M. Junus. 1968.
Tawarich Radja-Radja Keradjaan Atjeh. Banda
Aceh: Adjdam-I/Iskandarmuda.
Halimi, Ahmad Jelani. 2008.
Sejarah dan Tamaddun Bangsa Melayu. Kuala
Lumpur: Unipress Printer SDN BHD.
Hasjmy, Ali . 1975.
Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kurdi, Muliadi. 2009.
Aceh di Mata Sejarawan. Banda Aceh: LKAS.
Lombard, Denys. 2008.
Kerajaan Aceh Zaman Sulthan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muljana,Slamet. 2005.
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008.
Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Reid, Anthony dkk. 2011.
Memetakan Masa Lalu Aceh. Bali: Pustaka
Larasan.
Reid, Anthony. 2010.
Sumatra Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan
Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.
Said, Mohammad. 2009.
Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada Medan.
Soekomo, R. 1981.
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta:
Kansius.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.
NAD: Badan Perpustakaan Nangroe Aceh Darussalam.
Sufi, Rusdi dkk. 2008.
Aceh Tanah Rencong. NAD: Pemerintah Nangroe Aceh
Darussalam.
Sufi, Rusdi. 1995.
Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda. Jakarta: CV
Dwi Jaya Karya.
Zainuddin, H.M. 1957.
Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Zainuddin, H.M. 1961.
Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka
Iskandar Muda.