Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dibentuk Tim Pelacakan Sejarah oleh Panitia Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu
pada bulan Agustus 2007 dengan dua bidang tugas.
- Pertama, bertugas untuk menggali fakta dari literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno di perpustakan dan di masyarakat.
- Kedua, melalui wawancara langsung dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe.
Tim ini bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian
hasil penelitian ini telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3MU
September 2007 di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :
1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.
2. Mereka
berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan
Mindanau.
3. Hasil
Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat
terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.
4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.
5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.
A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M
Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas
(tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun
Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang
diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala
Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.
Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum
Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah
merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera
berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau
Jawa dan Semenanjung Malaka.
Maka para waliullah di daerah tersebut
dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M /
1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk
wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan
musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang
bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia
Tenggara.
Masih
menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa
melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.
B. Siapakah Syech Nurqodim al-Baharudin
Syech
Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri
Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu
Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga
adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang
tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.
Sewaktu
remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang
sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau
menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki
Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang
menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin).
Setelah bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga
dan sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah
yang direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.
Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-,
dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah
pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku
rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu
”Negara Demokrasi” pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi
”negara” itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850)
malawan kolonial Belanda.
Sebelum
ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu
zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian
tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum
berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara
Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk
mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16
orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin
dan beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam
musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara
Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan
alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit,
mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon dari 16
wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh orang yang
berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech Baharudin.
Syech
Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al
Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat
Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur)
ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung
Tua-ujung paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir
timur, yaitu daerah Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba
di Tanah Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe.
Disepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh
beliau selalu mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum
mengenal agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai
ajaran Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan
kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian
Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat
kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi
terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang
sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.
Di
tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat
sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek
perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan
penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain disekitar
Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak
[dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan.
Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan
sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta
pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih
puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga
tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih
seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum
jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.
Pola
hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu,
bukan hanya diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi ke
generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah
Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada
terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah
harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain
itu Marco Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or religion....’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]
Puyang
Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa
hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah
inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWT kepada nabi Muhammad SAW, untuk meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.
Akan
tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang
Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak
mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa
Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul Karimah].
C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati
Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.
Adalah
dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan
Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau
Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon
dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi
tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri
ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut
ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan
Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi
ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang” dan Pangeran
Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” serta diangkat sebagai pimpinannya.
Syaikh
Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut
untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada
Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa
Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal
juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya
diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang
putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.
Setelah
Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra
keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah
tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta
ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang
kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama
Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan
pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.
Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang.
Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk
pemerintahan putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”.
Dalam
perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina,
dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam.
Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang
berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya
sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi.
Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang
menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan
Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan
tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.
Keberangkatannya
ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung
Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat
lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa
adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damar atau Ario Abdillah
(nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat
sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah
ini adalah anak tiri dari Fatahillah.
Karena
kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung
Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian
Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian
Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”...seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati...”.
Dengan
bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil
membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya
dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya
cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera termasuklah
seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang
dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh
Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada
akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.
D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu
Setiap
ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa
menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula
analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim
al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan
dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan
beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di
contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok
mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat
yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau
tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun
masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan
’Ulama sebagai Ulil Amrinya.
Kemudian
dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika,
Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada
para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga
memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya
kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek
sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu
pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.
Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah Sumatera Selatan
akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya
peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara
di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami disintegrasi nilai-nilai
kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem
kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan
aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi
faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah
dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.
Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba
kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain
Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad.
Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para
’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.
E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu
Keberadaan
dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar.
Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang
bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka
agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim
untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh
Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para
penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari
perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah
Libagh.
Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :
1. Pembukaan
dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad
Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.
2. Pembaharuan
dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse
Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari
negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie
3. Pembukaan
Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang
dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh
Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru
Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di
Pardipe
4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).
5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu
6. Pembukaan
dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang,
Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung
dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..
Pendiri Adat Semende
1. a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).
b. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin
2. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.
3. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).
4. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).
5. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.
6. Puyang Agung Nyawe.
7. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.
8. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.
9. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.
10. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.
11. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.
12. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.
Mengenai
hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan
kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa
tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa
melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang
amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya
adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu
generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti
adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk
bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun
kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini.
Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan
lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.
Data
mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat
dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa
utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu
lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo;
para penghulu agama).
Demikianlah
sekelumit data yang diperoleh, setelah dilakukan eksplorasi data
literatur dan lapangan. Namun demikian segala sumber keterangan apabila
bukan bersumber selain alqur-an akan ditemua ikhtilaf
(perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah Annisa 82. Maka kami
pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi, mengkoreksi dan
meluruskan data sejarah ini.
sumber http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/103-sejarah-mudzakarah-ulama-abad-ke-17
sumber http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/103-sejarah-mudzakarah-ulama-abad-ke-17