Saturday, September 07, 2013

Saudagar Minang dan Dakwah

SAUDAGAR MINANG DAN DAKWAH
Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin

Menjadi saudagar, bagi orang Minang, dalam adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah, adalah suatu pekerjaan mulia.
Saudagar Minang, yang umumnya beragama Islam, mengambil contoh kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang diutus menjadi Rasul, sejak usia muda sudah berkecimpung di bidang perdagangan, berjualan, dan merantau jauh melintas batas negerinya.
Adat budaya Minang, menyebutkan, ka ratau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau buyuang dahulu, di rumah paguno balun. Badagang bagi orang Minang sudah dikenal sejak lama.
Bagi orang Minang, badagang adalah suatu kebaikan dan idaman. Dalam kaedah hidup di Ranah Minang mengadatkan, ”Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuek mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja.”

 
Nilai utama yang dituntut berpendir­ian teguh dengan sifat‑sifat mulia,lembut hati, penyabar, penyayang sesama, dan teguh iman melaksanakan suruhan Allah.
Di Minangkabau kata‑kata “dagang” menyimpan banyak makna. Terkandung fasafah hidup yang luas.
Dalam suasana badagang itu, “iyu beli, belanak beli, ikan panjang beli dahulu. Ibu dicari, dunsanak dicari, induk semang cari dahulu”. Ada nilai yang wajib dijaga, yakni kekerabatan dan jiwa wiraswasta. Artinya pandai menghormati orang‑tua di mana saja.
SENTENG BABILAI, SINGKEK BA‑ULEH, BATUKA BA‑ANJAK, BARUBAH BASAPO. Sama‑sama bekerja mencapai tujuan, bekerja sama mengangkat beban, saling mau perbaikan jika terlihat satu kesilapan.
Lebih dari itu, induk semang yang erat kaitan­ dengan badagang jo manggaleh, perlu dicari lebih dahulu. ANGGANG JO KEKEK CARI MAKAN, TABANG KA‑PANTAI KADUO‑NYO, PANJANG JO SINGKEK PA‑ULEH‑KAN, MAKO‑NYO SAMPAI NAN DI CITO.
Semua potensi yang ada, digali dan dipertemukan, untuk mencapai sukses, dengan menjaga persaudaraan, dan menghargai existensi bermasyarakat dalam kaedah‑kaedah pergaulan yang nyaman, seperti ADAIK HIDUIK TOLONG MANOLONG, ADAIK MATI JANGUAK MANJANGUAK, ADAIK LAI BARI MAMBARI, ADAIK TIDAK SALING MANYALANG (BA‑SELANG‑TENGGANG).
Di ranah Minang, anak dagang tidak dianggap orang buangan. Penilaian orang Minang terhadap anak dagang, tergantung kepada baik perilaku di ranah, serta hasil karyanya, dan kemudian didudukkan sama rendah tegak sama tinggi dalam ikatan andan pasumandan, dan dipercaya memikul tugas‑tugas di dalam “negeri”.
Dari ungkapan ini, tergambar betapa eratnya hubungan antara saudagar dengan dakwah.
Orang Minang suka badagang, di antara pekerjaan itu adalah berniaga, dagang babelok, berkedai, berjual beli, tukar‑menukar, bertoko, dan manggaleh yang terkait dengan seluruh transaksi yang mencakup “rugi‑laba”, dan selalu bermodal kehati-hatian.
INGEK SABALUN KANAI, KALIMEK SABALUN ABIH, INGEK‑INGEK NAN KA‑PAI, AGAK‑AGAK NAN KATINGGA.
Jeli dan jelimet dengan perhitungan matang tentang manfaat dan mudharat, dengan sebuah kompas yang jarumnya diarahkan “DIMA BUMI DIPIJAK, DI SINAN LANGIK DIJUNJUNG”, artinya penyesuaian, situasional dan kondi­sional. Karena ini, mereka maju dan berkiprah di segala bidang.
Sebuah mental‑climate yang benar‑benar indah, sesuai dengan “agama” dan adatnya. Syara’ mamutuih, adat mangato.
Badagang jo Manggaleh, bagi putra-putri Minangkabau sejak dahulu, dimulai dengan apa yang ada. Yang ada itu, ialah alam takambang jadi guru, dan potensi‑manusiawi.
Sejak awal ditanamkan percaya diri, dengan modal sederhana, tulang delapan karat dan moralitas dengan panduan agama dan adat, membentuk watak produktif, menolong diri sendiri, kemudian berkiprah saling membantu orang keliling, sebagai kekuatan dakwah di manapun mereka berada.
Telah dibuktikan, di manapun saudagar Minang itu berada, maka surau, mushalla dan masjid akan berdiri dan ramai dikunjungi.
Kerjasama di antaranya terjalin rapi, dengan memungsikan semua potensi yang riil.
TUKANG NAN TIDAK MAMBUANG KAYU, NAN BUNGKUAK KA‑SINGKA BAJAK, NAN LURUIH KA TANGKAI SAPU, SATAMPOK KAPAPAN TUAI, NAN KETEK PA PASAK SUNTIANG”.
 
Tidak jarang, saudagar Minang sejak masa lalu itu, adalah orang-orang yang piawai di bidangnya, seperti Muhammad Latif yang berdagang ke Aceh sambil belajar agama, atau Syekh Gapuak saudagar sarung bugis, yang mendirikan Masjid Gantiang Padang dan pamannya Syekh DR.Abdullah Ahmad, Rahman Tamin yang mewakafkan rumah dan tanahnya di Kramat Raya Jakarta untuk markas Dakwah Islam sampai sekarang, dan banyak lagi yang lainnya, seperti Djohan Djohor, Dasaat, Abdul Latif, Hasyim Ning, Rusli Wat dan kawan-kawan lima serangkai saudagar Pasar Raya Padang yang memelopori pembuatan Masjid Taqwa Padang, Haji Syamsuddin Pasar Mudiek, Haji Lamid saudagar rempah di Pasar Hilir, Buya Muhammad Yatim dan Anwar Sutan Saidi yang mendirikan abuan saudagar dan akhirnya menjadi Bank Nasional dan Inkorba di Bukittinggi.
Dan ratusan nama lainnya, yang tak cukup kertas untuk mencatatnya. Mereka adalah saudagar piawai, yang berdagang dan berdakwah dalam satu tarikan nafas.
Jelaslah sudah, bahwa badagang jo manggaleh bagi orang Minang, punya falsafah mendalam, dan berurat berakar dalam memilih secara teliti penerapan kiat manaje­men yang tengah berkembang.
Akhir dari keberhasilan seorang saudagar yang badagang atau manggaleh adalah kesediaannya membantu orang lain (kampung halaman dan karib kerabat) dengan cara ikhlas (ihsan) tanpa memerlukan balasan apa‑apa, sesuai dengan Firman Allah, “Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah (yang menciptakan manusia) telah memberikan segala bentuk kebaikan kepada kamu, (yakni berbuat selfless‑help, membantu tanpa mengharapkan balasan). Dan Ingatlah, jangan sekali‑kali kamu menjadi penabur bencana dipermukaan bumi; (Q.S. XXVIII Al‑Qashash, ayat 77).
Alhamdulillah, orang Minang sampai kini, masih memi­liki “piala” yang belum berpindah ke tangan orang lain, yaitu orang Minang masih “pandai hidup”, “ALAH BAKARIH SAMPORONO, BINGKISAN RAJO MAJO‑PAIK, TUAH BASARAB BAKARA­NO, DEK PANDAI BATENGGANG DI NAN RUMIK”.
Kuncinya, pertajam observasi, tingkat­kan daya‑fikir, dinamiskan daya‑gerak, perhalus raso pareso, perkembang daya‑cipta, dan bangkitlah kembali kemauan. “MAMUTIAH CANDO RIAK DANAU, TAMPAK NAN DARI MUKO‑MUKO, BATAHUN‑TAHUN DI DALAM LUNAO, NAMUN NAN INTAN BACAYO JUO”.
Insya Allah, “Innallaha ma’ana”, Allah akan selalu menyertai kita.
Amin.

sumber: http://dewandakwah.wordpress.com/category/saudagar-minangkabau/

No comments:

Post a Comment