Beberapa Catatan tentang Dunia Saudagar dan ‘Kesaudagaran’ Minangkabau
Oleh: Mestika Zed
Profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” mungkin terdapat dalam
hampir setiap kelompok etnik mana pun di dunia, bahkan sejak dahulu
kala. Namun dalam konteks Indonesia, gejala ini tampaknya lebih menonjol
di kalangan etnik Minangkabau. Para penulis ontologi ekonomi dan
kemasyarakatan cenderung mengakui bahwa salah satu identitas kultural
orang Minangkabau ialah keahlian dalam dunia niaga. Profesi saudagar dan
tradisi “kesaudagaran”, tak syak lagi, berkait-kulindan dengan
kehidupan sosio-kultural setempat. Dalam memperingati seratus tahun
kebangsaan (nasionalsime) ke-Indonesiaan tahun 2008 ini sepatutnya kita
memberikan perhatian pada tradisi “kesaudagaran” dan peran saudagar
Minang dalam membangun identitas kebangsaan di masa lalu.
Tulisan ini ingin
melacak tradisi ‘kesaudagaran’ Minang itu dengan membatasi uraian pada
tiga pokok persoalan berikut ini; (i) bagaimana menjelaskan bahwa
profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” bertalian erat dengan dunia
kehidupan (lebenwelt)
sosial-kultural budaya masyarakat Minangkabau; (ii) apa dan bagaimana
kontribusinya dalam pergerakan kebangsaan di masa lalu; dan (iii) ada
apa dengan profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” Minang dewasa ini
dan apa yang mungkin dapat dilakukan untuk merevitalisasi budaya
‘kesaudagaran’ Minang tersebut ke depan, sehingga ia perlu dipertahankan
sebagai warisan khazanah budaya lokal masih relevan untuk menjawab
tantangan zaman, khususnya dalam kerangka menyejahterakan masyarakat
bangsa di tingkat lokal mau pun nasional?
Akar Budaya ‘Kesaudagaran’ Orang Minang.
Budaya dagang orang Minang dapat dilihat dari profesi saudagar (marchant) yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lokalnya ialah ’menggalas’.[1]
Artinya melakukan kegiatan jual-beli atau tukar menukar dalam sistem
pasar lokal atau regional. Berkat keuletan dan kegigihan mereka dalam di
arena menggalas ini, membuat mereka mampu menyaingi pedagang Cina, yang
pada umumnya mendominasi kegiatan perdagangan di nusantara di zaman
kolonial (Furnivall 1939). Barangkali karena alasan-alasan inilah maka
istilah Minangkabau sering diplesetkan dengan ungkapan ”Minangkiau”.
Malahan ada juga solorohan sarkastik, yang mengatakan, ’begitu terjadi
migrasi penduduk ke bulan, saat itu sudah berdiri pula ’rumah makan
padang’ di sana. Memang dewasa ini ’rumah makan padang’ dan pelbagai
jenis jualan kaki lima di mana-mana di nusantara diidentikkan dengan
keahlian orang Minang. Sebaliknya, kalau kita pergi menjelajahi pelosok
Sumatera Barat, kampung asal orang Minangkabau, maka dapat dilihat bahwa
daerah ini termasuk salah satu dari sedikit daerah di mana ekonomi
rakyat dan perdagangan sampai ke pelosok pedalaman tetap dipegang oleh
penduduk setempat.[2]
"Manggaleh", Menggalas (bhs.Minang) berasal dari kata galeh/galah, yaitu bambu yang dipakai untuk pikulan barang dagangan. sumber gambar:www.kaskus.us/showthread.php?t=2300077
Tradisi
’menggalas’ pertama-tama berkaitan erat dengan institusi pasar dan orang
Minang sudah lama mengenal sistem pasarnya sendiri, bahkan sudah ada
jauh sebelum kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Istilah lokalnya ”pakan” [pekan]. Maka bagi para saudagar atau ”penggalas” Minang, tiada hari tanpa pasar. Pepatah adat mengatakan, adat badagang, duduak dagang, tagak dagang, bakato dagang sakali. Indak baban batu digaleh. Bukan
kebetulan kalau rotasi pasar tradisonal berjalan tiap hari dalam
sepekan (seminggu) menurut nama hari (dari bahasa Arab) seperti Pekan
Ahad, Senayan, Selasa dan seterusnya. Pada hari pekan itu banyak petani
yang membawa hasil pertaniannya ke pasar dan sebaliknya mereka membeli
barang-barang keperluan sehari-hari atau alat rumah tangga lainnya;
sebagian untuk dijual kembali di pasar-pasar yang lebih kecil atau di
lepau-lepau di nagari-nagari. Sebaliknya pedagang-pedagang yang lebih
besar menjual galasnya di pasar-pasar mingguan yang lebih besar lewat galeh babelok dan bahkan menjadi bagian yang penting dalam jaringan pedagang keliling (peddlers) nusantara seperti yang pernah dideintifikasi oleh Van Leur di masa lalu (1955: 53, 60ff).[3]
Pada
dasarnya makin teratur kehidupan masyarakat makin banyak pula ditemukan
perdagangan dan pasar. Pasar petani yang dihidupkan oleh para saudagar
lokal itu berkembang pesat, terutama sejak masuknya pengaruh Islam di
Nusantara. Islam dalam hubungan ini tidak hanya memperkenalkan pemahaman
konsep teologis (Tauhid) terhadap penganutnya, tetapi pengalaman
sejarah Islamisasi itu sendiri, yang berlangsung lewat perdagangan
justru memperkuat tradisi dagang orang Minangkabau. Di Minangkabau
perkawinan antara adat dan Islam melahirkan doktrin sosial (atau
filsafat) berbunyi adat besandi syara’, syara’ basandi Kitabullah
(ABS-SBK). Meskipun doktrin itu kini hanya tinggal wacana, orang
Minangkabau tetap sadar akan identitas khas mereka yang berdasarkan
adatnya itu dan menganggap kelompok mereka sebagai puak etnik yang
unggul.
Penerobosan
pengaruh dunia modern ke lingkingan kehidupan sehari-hari mereka, tidak
perlu menggoyahkan tradisi berfikir mereka yang menjujung tinggi rasa
percaya diri mereka (self-confidence) dan juga tidak pula mesti mengubah penghargaan mereka terhadap kemerdekaan [berfikir] individu. Ungkapan adat seperti ”alam takambang jadi guru”; mengambil contoh ke nan sudah; mengambil tuah ke nan menang,
tidak hanya bermakna mengandalkan kekuatan akal, tetapi juga
fleksibilitas budayanya. Ia juga berkaitan erat dengan watak orang
Minangkabau yang berorientasi outward looking. Watak kemerdekaan (independensi) dan outward looking orang Minang menemukan habitatnya dalam tradisi merantau dan profesi dagang. Salah
satu wujud paling nyata dari gejala ini terlihat dari pilihan profesi
berdagang kaki lima. Konsep kaki lima itu sendiri memiliki makna
simbolik, di mana si pedagang adalah orang yang merdeka, ’independen’
dari atasan dan bawahan karena ia sendiri adalah ‘manajer’ atas ’galas’
yang diurusnya. Sebaliknya ini sekaligus menjelaskan mengapa profesi
tentara (militer) kurang diminati orang Minang.
Visi adat
dan falsafah Minangkabau tentang kemerdekaan berfikir selanjutnya
menuntut warganya, untuk senantiasa mengontraskan atau membandingkan
antara dunia di sekitarnya dan daerah rantau. Sebab hanya dengan jalan
begitulah anak nagari akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang
buruk dari keduanya. Hal itu menuntut orang untuk berfikir kritis,
melakukan otokritik karena ada referensi yang bisa dipakai sebagai
pembanding. Alam tempat asal adalah referensi itu awal. Dari situ dapat
pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya cara berfikir dialektis
(tesis-antitesis dan sintesis itu) dilahirkan, sehingga kontradiksi atau
konflik dianggap sebagai hal yang wajar manakala ia dapat
disintesasiskan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis.
Keberhasilan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk terutama
bergantung pada akal, yaitu kemampuan berfikir secara rasionil. Kalau
begitu, visi itu mendorong juga orang Minang untuk berfikir secara
kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir demikian dengan sendirinya
menolak dogmatisme atau parokhialisme, sebab keduanya menghalangi
kemerdekaan berfikir.
Atas dasar pandangan ini, maka
pengertian rantau bukan lagi semata-mata mencari uang dan harta
kekayaan, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Jika ditarik lebih
jauh, maka merantau tidak melulu sekedar hijrah atau berpindah secara
fisik, tetapi juga secara mental (pemikiran). Yang pertama memperkuat
tradisi ‘menggalas’, yang kedua memperkuat tradisi intelektual.
Bukti-bukti tentang ini telah ditunjukkan dalam sumbangan parantau, baik
untuk kampung halamannya maupun untuk tanah dalam arti luas. Tentu saja
masih bisa dijelaskan kaitan struktural antara tradisi merantau – dan
dengan demikian juga budaya ”kesaudagaran” orang Minang – dengan sistem
sosialnya yang matrilineal. Karena sistem sosial matrilineal
Minangkabau pada dasarnya mengandung pengertian genealogis dan
kepemilikan, maka ada konsekuensinya yang tak terelakkan. Pertama
sistem matrilineal menjamin
eksisensi dan perlindungan terhadap perempuan, baik secara sosial mau
material dan kedua sebaliknya kurang memberi tempat pada anak laki-laki
atau pemuda. Karena itu oleh adat mereka dianjurkan pergi merantau.
Masih ada
satu lagi faktor budaya lokal yang perlu disebutkan dalam mendukung
budaya menggalas, yaitu keahlian orang Minang dalam berwacana lisan.
Keahlian ini dipupuk lewat tradisi pepatah-petitih, pidato adat atau
mamangan. Kepandaian bersilat lidah, mengolah kata memerlukan latihan
dan tradisi adat menyediakannya. Keahlian berwacana ini juga sangat
diperlukan dalam interaksi pasar, terutama untuk merebut hati pelanggan
di mana kegiatan tawar-menawar yang panjang adalah inheren dalam pasar
tardsional. Lebih-lebih lagi ketika alat komunikasi masih terbatas
secara lisan, maka kepandaian berbicara tidak hanya menunjukkan
kehalusan, melainkan juga sebuah manisfestasi kuasa via kata.[4]
Kendatipun
kehidupan di nagari-nagari di Minangkabau sejak dulu dan bahkan sampai
sekarang, masih bersifat agraris, tetapi ada yang membedakan petani
Minangkabau dengan kebanyakan petani di tempat lain. Salah satu ciri
khas petani Minangkabau dapat diibaratkan dengan ungkapan, ”orang yang
hidup dari bercocok tanam, di mana sebelah kakinya terbenam di sawah
atau di ladang dan sebelah yang lain berada di pasar.” Dengan kata lain,
petani murni dalam pengertian Wolf (1963), yaitu orang yang semata-mata
hidup bergantung pada bercocok tanam (tanah), dan tidak mengerti pasar,
jarang ditemukan di Minangkabau karena sistem pasar itu sendiri hampir
sama tuanya dengan tradisi pertanian mereka. Meskipun demikian, kita
harus berhati-hati untuk tidak menyamakan begitu saja antara sistem
pasar tradisional di mana terdapat interaksi perdagangan, jual beli pada
zaman kuno dengan yang ada dalam masyarakat modern.
Suasana pasar tradisional di kota Padang.Sumber gambar Nasbahry Couto
(2004)/ eksperimen fotografi digital.Pedagang sayur-mayur, dan jualan
kebutuhan sehari-hari umumnya adalah masyarakat sekitar kota Padang.
Pada
kebanyakan masyarakat petani, yang sudah mengenal sistem pasar sekali
pun, dorongan untuk berproduksi, pembagian kerja maupun distribusi hasil
produksi pada pada umumnya tidak ada hubungannya dengan proses pasar
atau perdagangan. Akan tetapi dalam masyarakat Minangkabau, ekonomi,
khususnya ekonomi pasar dalam pengertian tradisional, adalah bagian
integral dari sistem sosio-kulturalnya.[5] 5)
Beberapa simpul sosio-kultural Minangkabau sebagaimana disinggung di
atas telah memungkinkan tumbuh-nya tradisi ”kesaudagaran” orang Minang
tersebut.
Kontinuitas dan Perubahan Budaya ”Kesaudagaran” Orang Minang
Kapitalisme
dan negara-bangsa adalah dua kekuatan utama yang mengubah dan menentukan
struktur dunia modern. Keduanya merupakan kekuatan yang telah membentuk
semua masyarakat di dunia, tetapi tidak sepenuhnya mampu menembus
sektor-sektor tertentu dalam masyarakat. Masih ada ranah yang lebih luas
yang menghindari pengaruh langsung negara dan/atau pasar kapitalis,
terutama kegiatan ekonomi lokal di Dunia Ketiga dan di Minangkabau sejak
masa kolonial khususnya, tidak seberapa berpengaruh dan bahkan
sebaliknya memberi peluang berkembangnya pedagang-pedagang lokal. Sampai
setakat ini mustahil bagi kami untuk mengidentifikasi tipologi saudagar
Minang yang asli. Namun berdasarkan pengamatan sementara, di mana
sisa-sisa tipe saudagar lama masih dapat dilihat contour-nya sebagai berikut.
Pertama,
para saudagar – sejalan dengan semangat indivudalisme dalam dunia
’kesaudagaran’ Minangkabau – cenderung bekerja sendiri-sendiri. Gambaran
saudagar Minang di masa lalu agaknya dapat diungkapkan dengan meminjam
pepatah Belanda berikut: Eenden zwemmen in groepen, de adelaar vliegt alleen (Itik
berenang bergerombolan, garuda terbang sendiri-sendiri”). Para
’penggalas’ itu, bagaimanapun juga, adalah anggota dari masyarakatnya
dan memilik tanggung jawab sosial sekaligus, namun dalam urusan galasnya
mereka cenderung mandiri dan berjalan sendiri-sendiri.
Kedua,
jaringan saudagar tradisional umumnya bergerak dalam skala menengah ke
bawah, sebagain besar dalam usaha kecil-kecilan, baik modal maupun
jaringannya. Erat kaitannya dengan ini, jaringan hubungan-hubungan
’kesaudagaran’ umumnya bertumpu pada hubungan-hubungan keluarga. Sifat tanpa pandang pribadi (impersonal)
dalam pasar merupakan unsur penting dalam teori ekonomi modern dan
secara sosiologis-antropologis sulit diterapkan ke dalam tradisi
’kesdaudagaran’ Minang. Memang di sini ada kesimpangsiuran, sikap impersonal
dalam dunia dagang sering cenderung disamakan dengan rasionalitas serta
mencari keuntungan maksimal. Bila orang ingin bertindak secara rasional
(dalam arti ekonomi) dan mencari laba, maka seharusnya dia secara ideal
mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan perasaan yang menimbulkan
ikatan-ikatan dalam hubungan sosial yang dapat bertentangan dengan motif
mencari laba. Namun studi antropologis tentang pasar sebaliknya menukas
bahwa justru ikatan-ikatan pribadilah yang membuat sistem pasar itu
dapat berfungsi. Clifford
Geertz (1989), menunjukkan bahwa hubungan-hubungan di pasar Indonesia
umumnya secara konsekuen sesuai dengan keinginan mencari laba dan
rasionalitas. Dan
oleh karena itu dia menganggap hubungan-hubungan tersebut universal
bahkan dalam masyarakat Barat, bila orang mempergunakan dikotomi
personalisme/universalisme dari Talcot Parson. Meskipun demikian, dalam
konteks saudagar Minang, banyak pengamat berpendapat bahwa salah satu
kelemahan dari usahawan Minang, sejauh ini, justru karena mengandalkan
hubungan-hubungan keluarga itu; kompetisi menjadi lemah dan kurang
inovatif, sehingga riwayat keluarga kelas pedagang besar yang
berketerusan dari satu generasi ke generasi berikutnya jarang terjadi.
Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas, dorongan untuk mendapatkan
keuntungan yang maksimal tetap merupakan asumsi psikologis yang pokok
dan ini juga berlaku dalam lingkaran pasar pasar petani Minangkabau.
Petani berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin bagi hasil bumi mereka,
dan sebaliknya tengkulak menjual dengan harga yang paling tinggi pula.
Contoh-contoh ini dapat dijumpai dalam pasar petani kopi abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Studi saya dalam jaringan niaga kopi di abad ke-19
menunjukkan,[6]6)
bahwa petani kopi Minangkabau cenderung enggan menyetor komoditi kopi
mereka ke gudang-gudang kopi pemerintah yang ditetapkan harganya menurut
harga pasar pemerintah. Sebaliknya mereka membangun jaringan perniagaan
sendiri ke pantai timur dan selanjutnya ke Singapura dan Malaka. Tentu
saja dengan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan dari perdagangan
kopi memberi kesempatana bagi mereka untuk naik haji dan belajar di
Timur Tengah. Mereka ini kemudian pulang membawa gerakan pemabaharu di
bidang pendidikan Islam -- lebih dikenal dengan gerakan Kaum Muda yang
bertalian erat dengan gerakan nasionalis awal abad ke-20 (Deliar Nor,
1982)..
Akhirnya
beberapa ciri lain dari ’kesaudagaran’ orang Minang tentu masih mungkin
untuk diidentifikasi, baik permodalan, mekanisme kerja ’kesaudagaran’,
gaya-hidup dan jaringan-jariangan perdagangan antar pasar yang sambung
menyambung dari pedalaman ke kota-kota dan seterusnya ke dunia luar dan
sebaliknya. Jaringan informasi dan alat
pengangkutan sangat vital dalam pasar modern. Sebelum berkenalan dengan
alat transportasi modern, para petani pedagang di masa lalu biasanya
hanya mampu melakukan perdagangan jarak jauh dengan volume galas dalam skala terbatas. Mereka hanya mampu mempergunakan alat pengangkutan seadanya seperti pedati,
atau kapal bermuatan kecil untuk perdagangan di kawasan pantai dan
antar-pulau. Kondisi ini kemudian mengalami perubahan drastis dengan
setelah masuknya kekuatan kolonial Belanda dan kaum imigran Cina ke
daerah nusantara. Sebelumnya kebijaksanaan kolonial yang besar
pengaruhnya dan diteruskan setelah Indonesia merdeka terhadap
modernisasi ekonomi ialah menciptakan pasar yang belum ada sebelumnya
atau mengatur pasar yang telah ada. Di sini persaingan pasar pada
mulanya menyediakan tumbuhnya sentimen kelompok berdasarkan etnik,
kemudian agama dan lalu berdasarkan kebangsaan. Sejarah Indonesia
memberikan ilustrasi yang sangat jelas mengenai fenomena ini. Marilah
kita lihat dalam pembahasan berikut ini.
Saudagar dan Pergerakan Nasional di Masa Lalu
Percobaan
para sarjana untuk menganalogikan tesis Weber tentang ”etika Protestan
dan munculnya kapitalisme” di Eropa”, dengan kasus Islam di Indonesia
juga pernah dilakukan. Dikatakan bahwa tumbuhnya ’emporium’ (dunia
niaga) yang didominasi pedagang-pedagang muslim di kota-kota pantai
sebelum kedatangan Eropa, dan kebangkitan dunia usaha kelompok Islam
awal abad ke-20, boleh jadi, berkaitan erat dengan nilai-nilai etika
(ajaran) Islam itu sendiri, terutama ajaran mengenai ketaraturan,
kedisiplinan, ’kebersihan’ dan keterbukaan dalam menyerap tanda-tanda
kebesaran Tuhan di muka bumi.[7]
Sejarawan Australia M.C. Ricklefs (2005) memberikan perspektif baru
kepada kita tentang era modern Indonesia, menurutnya, harus mulai dari
proses Islamisasi abad ke 12 dan bukan sejak abad kedatangan bangsa
Barat abad ke-17/18 sebagaimana yang lazim dipahami selama ini.
Islamisasi sejak awal abad ke-12 tidak hanya mampu membangun jembatan
antar-pulau lewat jaringan-jaringan niaga mereka di nusantara,
melainkan juga menyemaikan sentimen anti-Barat berdasarkan nilai-nilai
keagamaan. Maka tidak heran jika sebagian besar pahlawan Islam sebelum
abad ke-20 berasal dari para pemimpin umat yang berperang melawan
kolonialisme Belanda.
Nasionalisme
modern abad ke-20 juga berasal dari kelompok saudagar yang tergabung
dalam perkumpulan Sarikat Islam (1912), partai pertama yang anggotanya
mencakup seluruh Hindia-Belanda (Indonesia). Di Minangkabau peran
kelompok dagang tidak hanya terbatas pada upaya membangun
sekolah-sekolah suasta di luar sistem pendidikan kolonial, melainkan
juga pendukung gerakan Kaum Muda yang menjadi basis pergerakan kelompok
nasionalis. Umumnya berpusat di padangpanjang. Pada tahun 1914, misalnya, sekelompok saudagar pribumi mendirikan organisasi usaha bernama Sarikat Usaha di
bawah pimpinan Muhammad Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran di
pelabuhan Padang. Ia adalah ‘seorang pekerja keras yang idealis’, yang
menjadikan Sarikat Usaha sebagai ‘tempat berkumpul bagi sejumlah
pemimpin dan intelektual di Padang’.[8]
.Anggota pengurus yang lain, Sutan Said Ali, adalah seorang guru
Sekolah Adabiah dan anggota Sarikat Islam. Said Ali kelak meninggalkan
Sarikat Usaha dan menjadi penggerak utama Partai Komunis.[9]
Organisasi ini
bergerak di berbagai bidang sosial — pendidikan, perniagaan,
penyelenggaraan pemakaman, kontraktor konstruksi, penerbit majalah
keagamaan dan buku, dan pengelolaan bioskop.[10] Organisasi ini juga memiliki tabloid empat halaman, Sjarikat Oesaha, yang
terbit dua kali seminggu. Sarikat Usaha mendirikan cabangnya di
kota-kota lain di Sumatra Barat, dan para pengusaha, baik yang menjadi
anggota maupun yang bukan anggota. Mereka tidak hanya mendanai
kegiatan-kegiatan perniagaan, tetapi juga kegiatan partai-partai
politik, organisasi-organisasi keagamaan, segala bentuk penerbitan,
sekolah-sekolah swasta, dan organisasi-organisasi pemuda. Salah seorang
saudagar Padang yang paling aktif adalah Abdullah Basa Bandaro. Ia
adalah orang yang ‘membina hubungan baik dengan pejabat-pejabat Belanda
di Padang’ dan bekerjasama erat dengan Abdullah Ahmad pendiri Sekolah
Adabiah di kota itu.[11]
11). Adalah Basa Bandaro pula yang membawa Sarikat Islam ke Sumatra
Barat, dan di awal tahun 1920-an dia menjadi penyandang dana utama koran
Djago-djago, Pemandangan Islam, dan koran-koran lain yang diterbitkan Sarikat Rakyat di Padangpanjang.
H. Abdullah Ahmad, pendiri Sekolah Adabiah di Padang adalah juga salah seorang pendiri Sarikat Usaha. Bersama
dua temannya yang lain, yakni Haji Rasul di Padang Panjang dan Syekh
Djamil Djambek di Bukittinggi – ia dikenal sebagai tokoh Kaum Muda.
Ketiganya sangat menentang komunisme di daerah ini dan oleh pejabat
Belanda ia dianggap bersikap moderat terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Hatta sangat menghormati Abdullah Ahmad dan Marah Sutan, dengan
mengungkapkan ‘bila Haji Abdullah Ahmad terkenal dalam gerakan
keagamaan, Taher Marah Sutan termasyhur dalam urusan sosial’. Paman
Hatta sendiri, yaitu Gaek Rais juga pedagang besar yang banyak
mempengaruhi sikap nasionalisme Hatta kecil.[12]
Dalam tahun 1930
didirikan Himpunan Saudagar Indonesia (HSI) di Padang dan di
Bukittinggi. Pendirian cabang HSI di Bukittinggi melambungkan nama
seorang saudagar Minangkabau lain yang kelak membawa dampak besar
terhadap aspek ekonomi dan politik pergerakan nasionalis di Sumatera
Barat sampai periode kemerdekaan. Dia adalah Anwar St. Saidi (lahir
1910) – ayah dari Rustan Anwar yang mewarisi tradisi pedagang dan
kepejuangan dari ayahnya, berasal dari Sungai Puar, sebuah kampung
perajin besi di lereng gunung Merapi. Meski berpendidikan rendah, Anwar
adalah seorang anak muda yang memiliki pandangan luas dan energi luar
biasa. Kesadaran politiknya tentulah terbentuk oleh kakaknya,
Djamaluddin Ibrahim, mantan guru perguruan Thawalib yang pada 1930
menjadi anggota terkemuka partai PARI. Perhatiannya terfokus pada
upaya-upaya pengembangan potensi dagang di daerah dataran tinggi
Sumatera Barat demi ‘kemajuan’ rakyat Minangkabau. Menyadari banyaknya
barang-barang yang dibuat di berbagai nagari di Agam yang lahan
pertaniannya terbatas -seperti,
kerajinan besi dan ukiran di Sungai Puar, pakaian di Ampat Angkat,
perabot di Kamang, dan kerajinan perak di Koto Gadang dan Guguk-
Anwar mengusulkan pembentukan asosiasi yang mampu mengkoordinasikan
pemasaran produk-produk ini di dalam dan ke luar Sumatera Barat. Ketika
gagasan ini dia sampaikan kepada Taher Marah Sutan, orang tua ini tidak
menyetujuinya dan mengatakan bahwa jaringan dagang di masing-masing
nagari, yang berakar pada hubungan sosial dan kultural setempat, tidak
dapat dan tidak mungkin tergantikan oleh asosiasi. Oleh karena itu, dia
menyarakan agar Anwar berkonsentrasi saja pada para saudagar di kota dan
segala kebutuhannya, yang paling mendesak di antaranya bagaimana
meningkatkan permodalan mereka.
Begitulah, dinamika
yang mewarnai pergerakan nasionalis di Minangkabau tidak terutama
bertumpu pada naluri modernisasi sempit dari kelompok elite birokrasi
yang berpendidikan Barat, melainkan lebih bersandar pada jalinan
kepentingan-kepentingan kalangan agama, pendidikan, dan pengusaha di
kawasan ini. Merekalah kelompok yang menjunjung tinggi idealisme
masyarakat saudagar Islam. Kepentingan-kepentingan ini disalurkan lewat
rangkaian hubungan yang tidak melalui jaringan kolonial Batavia,
Sumatera Barat, dan Negeri Belanda melainkan melalui jaringan hubungan
alternatif antara Sumatera dengan Malaya/ Singapura dan Kairo/Mekah,
sering via Bangkok dan India. [13]
Keandalan hubungan
timbal balik di bidang keagamaan, perniagaan, dan pendidikan dengan
kawasan-kawasan di luar koloni tercermin dalam cerita-cerita sastra
populer yang ditulis pada tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda,
terutama novel-novel yang diterbitkan di Medan dan Bukittinggi (Fort de Kock),
yang berkisah tentang kehebatan-kehebatan Pacar Merah Indonesia, Tan
Malaka. Tidak kurang dari lima novel yang terbit antara tahun 1938 dan
1940. bercerita tentang petualangan fantastis sang Pacar Merah
dan kemerad-kemeradnya (antara lain Yamin, Djamulin [Djamaluddin
Tamin], Alminsky [Alimin] dan Semaunov [Semaun], ketika mereka berjuang
melawan kelihaian dinas rahasia Belanda dan Inggris di kawasan dunia
yang membentang mulai dari Sumatera Barat hingga ke Selat Malaka dan
Semenanjung Malaya, dan dari sana terus ke Kairo dan Teheran serta
kota-kota lain di Timur Tengah.
Seperti yang dilakukan
sebelum tahun 1930-an komunitas perdagang tahun 1930-an dan sebelum
kejatuhan Belanda dan Jepang membantu berbagai organisasi pergerakan
nasionalis dengan dukungan dana dan sarana komunikasi antara Sumatera
Barat dan Jawa serta Semenanjung Malaya. Seperti tampak pada kasus
saudagar Abdullah Basa Bandaro, meskipun dia bendahara partai Permi yang
juga memiliki hubungan khusus dengan partai Sukarno (PNI) di Jawa.
Demikian juga teman-teman seperjuangannya yang lain. Kendati ada
rintangan dari pihak Belanda, saudagar Minangkabau tetap memelihara
hubungan yang kuat dengan dunia usaha di Semenanjung Malaya, dan
memiliki hubungan keluarga dengan para pemimpin dan anggota partai
radikal, seperti PARI yang bermarkas di sana. Kelompok ini jugalah yang
berjasa dalam membiayai perjuangan pada masa revolusi 1945-1949.
Penutup
Dunia
’kesaudagaran’ Minang adalah suatu jenis kewirausahaan khas Minang lebih
dekat padanan dengan konsep pedagang daripada sebagai pengusaha dalam
artian industri kapitalistik. Dengan kata lain, galas mereka sebagian
besar bergerak di tingkat menengah ke bawah, bukan menengah ke atas.
Orientasi mereka tidak terutama pada orientasi pemupukan modal dan
keuntungan maksimal, melainkan lebih pada orientasi cari makan dan
memenuhi tuntutan sosial yang berbagai macam itu. Dan yang lebih penting
kesadaran akan ide-ide ”kemajuan” yang paralel dengan nasionalisme
ke-Indonesiaan yang modern menempatkan diri mereka sekaligus sebagai the agent of change
dalam menjawab tantangna zamannya Barangkali citra ”small is
beautiful” masih lebih kuat dicirikan kepada mereka nyaman daripada
berpacu menjadi besar tetapi tergopoh-gopoh ketika diterpa angin global.
Dalam krisis finansial global dewasa ini agaknya penguatan terhadap
kelompok ini memerlukan dukungan dari pemerintah karena di tangan
merekalah denyut sektor riil berputar setiap hari.
Erat
kaitannya dengan ini, tema-tema diskusi mengenai ekonomi dan masyarakat
dewasa ini jarang sekali sampai mengundang reaksi dan kebingungan yang
melebihi reaksi dan kebingungan yang ditimbulkan oleh kebijakan
pemerintah terhadap masalah pedagang kaki lima. Padahal mereka adalah
soko-guru ekonomi rakyat yang penting di daerah ini dan mestinya
dilindungi dan difasilitasi usaha mereka oleh negara. Kapitalisme dan
negara bangsa cenderung memarginalkan mereka, sehingga mereka sering
dipostulatkan sebagai kekuatan ”ekonomi bayangan” atau ”sektor informal,
yang tidak tercatat dalam statistik resmi, dan oleh sebab itu tidak
tersentuh oleh ketentuan pemerintah dan kewajiban pajak. “Sektor
informal” khususnya yang meliputi unit-unit kecil dalam ekonomi bayangan
yang menghasilkan barang-barang dan jasa untuk dipasarkan sebenarnya
masih tetap relevan untuk kondisi lokal Sumatera Barat. Yang besar
biarlah untuk mereka yang bergerak pada tataran mancanegara.
Kepustakaan
Anas Navis. Pribahasa Minangkabau. Jakarta: Intermassa, 1996.
Chadir Nir Latief, Etnis dan Adat Minankabau. Permasalahan dan Masa Depannya. Bandung: Angkasa, 2002.
Evers, Hans-Dieter dan Heiko Schrader (ed.) The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Markets. London: Routledge, 1994.
Furnivall, J. S. Plural Societies, dalam: H. - D. Evers (ed.), Sociology of Southeast Asia: Readings on Social Change and Development, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1980.
_________ Netherland Indie, A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1939.
Geertz, Clifford, Penjaja dan Raja. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor, 1989.
Marsden, Wlliam, The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1996 [cetakan pertaam 1830].
’Mestika Zed, Melayu Kopidaun. Suatu Studi tentang Negara dan Petani di Masa Kolonial. Jakarta, 1983.
_________ Menggagas Zona Ekonomi Dunia Melayu. Beberapa Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”, Makalah untuk
Diskusi Panel Praseminar Internasional tentang “Telaah Kritis tentang
Kondisi Objektif Kebudayaan Melayu Hari ini dan Esok”, diselenggarakan
oleh Gerakan Masyarakat Peduli Kebudayaan Melayu (GMPKM), Padang, 27
Januari 2002.
Mohammad Hatta, Memoar. Jakarta: Tintamas, 1982.
Nurssyirwan Efendi, Pasar dan Fungsi Kebudayaan“. Dalam: Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, diedit oleh E.K.M. Masinambow. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor, 1997.
_________ “Minangkabau Rural Markets: Their System, Roles and Functions in the Market Community of West Sumatra, Indonesia’. Disertasi pada Faculty of Sociology, University of Bielefeld, Germany, 1999.
Ricklef, M.C. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Terjemahan. Jakarta: Serambi, 2005.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies. Selected Writings. Part One. The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Lt., 1955.
Taufik Abdullah. (ed.) Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974.
Catatan Akhir
[1] Kata
dasar ‘menggaleh” ialah “galeh” [galas], harfiah artinya tongkat atau
galah bambu untuk memikul beban, biasanya untuk membawa barang jualan ke
pasar. Galeh pada gilirannya berarti barang jualan, (atau merchandise). Anas Navis (1996: 130).
[3]
Catatan-catatan dari pelacong Barat seperti direkam William Marsden
(1980, cetakan pertama 1811), menginformasikan kepada kita bahwa Odandus
Barbosa (1519), penulis Portugis tentang Minangkabau, mencatat bahwa
emas Minangkabau dibawa oleh pedagang-pedagang Minang ke Malaka. De
Baros (1553) juga menyebut hal yang sama. Diego de Cauto (1600),
mengisahkan sebuah kapal yang terdampar di pantai Sumatera dekat
”Monancabo” pada tahun 1565. Enam
ratus orang turun ke pantai dan beberapa di antaranya adalah perempuan.
Salah seorang dari perempuan itu, Dona Francisca Sardinha, sangat
cantik sehingga penduduk setempat memutuskan untuk membawanya kepada
raja mereka. Mereka berhasil setelah bertempur yang mengakibatkan enam
puluh orang Eropa tewas. Pada masa ini hubungan antara Minangkabau dan
Malaka ramai sekali. Banyak kapal mundar-mandir ke sana tiap tahun.
Kapal-kapal tersebut membawa emas dan membeli bahan pakaian dari katun
India dan barang-barang dagangan lain. Di zaman purba kerajaan itu
diberiakan kaya akan emas yang diekspor dalam satu musim. Linschotten Jilid VSH. hal. ITS. 1601.
Argeola, (1609) mencatat “sebuah kapal bermuatan keris yang dibuat di
Minangkabau. Sejumlah besar artileri semacam mesin perang dikenal dan
dibuat di Sumatra bertahun-tahun sebelum diperkenalkan oleh orang-orang
Eropa." Best (1613) sejumlah pedagang yang sampai di Tlcod [Tiku?] dari
Minangkabau, dan membawa berita dari Jambee." Beaulieu, 1622, "Di tepi
samudera dekat Padang terletak Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan
Andripura [Indrapura]. Di Jambi terdapat perdagangan emas yang
berlangsung dengan Minangkabau. Lihat juga Schrieke (1955: 53, 55 ff).
[4] Lihat misalnya tulisan Janne Drakkar tentang Minangkabau di bawah judul “The Kingdom of the Words. Minangabau Sovereignty in Sumatra (1993).
[5] Nursyirwan Efendi (1997).
[6] Mestika Zed (1983).
[7] Lihat misalnya esei terjemahan kumpulan karangan tentang islam Indoensia, Taufik Abdullah (ed., 1974).
[12] Hatta, Memoir, hlm. 41-42.
[13] Ibid.
sumber: http://nasbahrygallery1.blogspot.com/2011/03/beberapa-catatan-tentang-dunia-saudagar.html
Profesi kesaudagaran memang sudah tradisi sejak masa dahulu.. kekuatan orang minang selain alim ulama, ninik mamak, cerdik pandai juga termasuk orang kaya dan dubalang pagar nagari.. sebetulnya bukan tigo tungku sajarangan tapi ada kontribusi saudagar dalam memajukan minangkabau masa dahulu plus para pandeka atau pendekar selaku dubalang.. Tapi dalam konteks sekarang abad ke 21, kalau bisa dirombak, orang minang harus memasukkan para teknokrat dan militer dalam struktur adat.. Teknologi perlu dikejar kalau orang minang tidak mau ketinggalan.. Mental industri tidak membudaya dalam alam bawah sadar orang minang.. kita hanya sebatas pedagang,bukan produsen. Ini abad 21,industri dan informatika tekhnologi akan menyingkirkan pedagang yang nunggu pembeli. E Marketing akan melibas pedagang cepat atau lambat.... Militer juga kurang diminati orang orang pintar minang padahal 2 orang nomer 1 RI adalah militer.. Cerdik cendekia anakmuda berintelektuil kuat harus didorong masuk dunia militer jangan hanya yang berfisik layak saja.. Ini sekedar pendapat silahkan ditanggapi kalau mau kembali menciptakan generasi emas Minang baik Saudagar juga politikus..
ReplyDelete