Satunya Logika:
Dasarnya 1 Jua
Dasarnya 1 Jua
Armahedi Mahzar (c) 2014
Bagi saya, orang fisika, kesederhanaan adalah sebuah keindahan.
Misalnya, ketika kita ingin melukiskan gerak semua benda, di bumi atau
pun di langit, kita cukup menggunakan tiga hukum Newton saja + satu
hukum gravitasi. Bagi saya ini sama indahnya dengan kenyataan bahwa
untuk menerangkan begitu banyak fakta geometris, kita hanya butuh enam
aksioma saja. Keindahan geometri ini saya dapatkan ketika di SMP masih
diajarkan aksiomatika ilmu ukur sebagai mata pelajaran.
Di abad ke 19 ketika George Boole akhirnya merumuskan logika sebagai sebuah aljabar berdasarkan sebuah aritmetika yang sangat sederhana yang hanya berbasis dua bilangan yaitu 0 dan 1. Dengan formulasi baru ini silogisme dalam logika verbal Aristoteles menjadi sekedar sebuah hal khusus. Namun saya masih bertanya-tanya: berapa aksioma aljabar logika.
Persoalannya, apakah yang menjadi hukum dasar logika dan berapakah jumlahnya? Hukum dasar dalam matematika disebut aksioma. Misalnya geometri Euklides dibangun atas dasar enam buah aksioma. Itulah sebabnya di masa mahasiswa, ketika mengetahui bahwa kalkulus proposisi Whitehead-Russe ll, dalam bukunya Principia Mathematica, dibangun di atas lima aksioma dan satu kaidah inferensi, saya jadi terkagum-kagum.
Akan tetapi, ternyata kekaguman itu belumlah apa-apa. Dia hanyalah
langkah awal dalam perjalanan menuju kekaguman tertinggi nanti di masa
purnabakti.
Ketika saya jadi dosen di tahun 70an abad lalu, di perpustakaan British Council Bandung menemukan sebuah buku berjudul "Laws of Form", karangan George Spencer Brown
, yang dipuji oleh Russell sebagai penemuan terbesar di bidang matematika saya pun sangat tertarik. Tetapi kemudian sangat kecewa, karena tidak bisa memahami rumus-rumus aneh yang tercantum dalam buku itu. Sayangnya, kemudian buku itu hilang dari rak buku perpustakaan sehingga tak pernah bisa saya baca lagi.
Untunglah, ketika saya bisa terhubung ke internet pada tahun 2000, ketika saya pensiun, saya menemukan buku elektronik berjudul sama "Laws of Form" karangan Louis Kauffman . Dari buku itu, saya tahu bahwa rumus-rumus aneh dalam buku kertas tahun 70-an sebenarnya adalah rumus-rumus aljabar logika Boole dalam notasi inkonvensional.
Yang paling menggembirakan saya adalah kenyataan bahwa Spencer-Brown berhasil memangkas jumlah aksioma Russel-Whitehea d
menjadi cukup dua. Bagi saya, ini berarti logika secara matematika,
lebih indah daripada geometri. Inilah yang mengagumkan saya. Aljabar
Boole ternyata hanya bersandar pada sepasang aksioma. Di akhir tulisan
ini akan saya tunjukkan bahwa dasar aksioma aljabar logika bukanlah dua,
tetapi satu yaitu 1. Silahkan ikuti perjalanan saya menuju kebenaran
itu.
Di abad ke 19 ketika George Boole akhirnya merumuskan logika sebagai sebuah aljabar berdasarkan sebuah aritmetika yang sangat sederhana yang hanya berbasis dua bilangan yaitu 0 dan 1. Dengan formulasi baru ini silogisme dalam logika verbal Aristoteles menjadi sekedar sebuah hal khusus. Namun saya masih bertanya-tanya:
Persoalannya, apakah yang menjadi hukum dasar logika dan berapakah jumlahnya? Hukum dasar dalam matematika disebut aksioma. Misalnya geometri Euklides dibangun atas dasar enam buah aksioma. Itulah sebabnya di masa mahasiswa, ketika mengetahui bahwa kalkulus proposisi Whitehead-Russe
Ketika saya jadi dosen di tahun 70an abad lalu, di perpustakaan British Council Bandung menemukan sebuah buku berjudul "Laws of Form", karangan George Spencer Brown
, yang dipuji oleh Russell sebagai penemuan terbesar di bidang matematika saya pun sangat tertarik. Tetapi kemudian sangat kecewa, karena tidak bisa memahami rumus-rumus aneh yang tercantum dalam buku itu. Sayangnya, kemudian buku itu hilang dari rak buku perpustakaan sehingga tak pernah bisa saya baca lagi.
Untunglah, ketika saya bisa terhubung ke internet pada tahun 2000, ketika saya pensiun, saya menemukan buku elektronik berjudul sama "Laws of Form" karangan Louis Kauffman . Dari buku itu, saya tahu bahwa rumus-rumus aneh dalam buku kertas tahun 70-an sebenarnya adalah rumus-rumus aljabar logika Boole dalam notasi inkonvensional.
Yang paling menggembirakan saya adalah kenyataan bahwa Spencer-Brown berhasil memangkas jumlah aksioma Russel-Whitehea
1. Kesatuan aksiomatik logika
Ketika saya menemukan bahwa ada fondasi ganda ruang logika saya pun
bertanya: apakah hanya sampai ke situ keindahan logika? Puji Allah,
logika ternyata jauh lebih indah. Soalnya, saya temukan kemudian, Louis
Kauffman berhasil memotong jumlah aksioma aljabar logika: hanya butuh
sebuah aksioma tunggal. Namun sayangnya, aksioma itu ketika saya baca
pertama sangatlah tidak intuitif. Syukurlah dalam bukunya, Kauffman
menyatakan bahwa rumus-rumus Brown yang aneh itu dapat dibaca dengan
dua kerangka makna yang berbeda: yang disjungtif dan yang konjungtif.
Dalam kerangka makna disjunktif, seperti yang dianut Spencer-Brown, penjajaran dua huruf, yang melambangkan dua pernyataan, dianggap sebagai penggabungan keduanya melalui ATAU. Dalam kerangka konjungtif, seperti yang di anut Charles Sanders Peirce , penjajaran itu dibaca sebagai penggabungan kedua pernyataan melalui DAN. Dalam penggabungan disjungtif, KOSONG dibaca sebagai simbol bagi SALAH, sedangkan pada penggabungan konjungtif, KOSONG adalah lambang dari BENAR.
Ketika saya membaca aksioma tunggal Kauffman secara konjungtif, maka saya segera melihat bahwa sang aksioma tunggal itu sebenarnya tak lain tak bukan dari pada pernyataan matematis dari sebuah prinsip kuno, pra-Aristoteles , Contradictio ad Absurdum. Prinsip itu menyatakan bahwa sebuah pernyataan benar jika dan hanya jika penyangkalannya kontradiktif. Ini sangat intuitif, karena prinsip itu berarti: A ITU BENAR JIKA DAN HANYA JIKA TIDAK A ITU TIDAK BENAR.
Bisa dibayangkan betapa bahagianya saya, ketika menemukan bahwa aljabar logika Boole yang modern itu ternyata landasannya tak lain tak bukan adalah sebuah prinsip Logika kuno yang sudah dikenal jauh sebelum Aristoteles menyusun ilmu logika. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dasar logika itu hanya satu dan yang satu ini ternyata sangat intuitif. Bagi saya inilah kesederhanaan ultima yang menunjukkan keindahan ultima dari logika.
Dalam kerangka makna disjunktif, seperti yang dianut Spencer-Brown, penjajaran dua huruf, yang melambangkan dua pernyataan, dianggap sebagai penggabungan keduanya melalui ATAU. Dalam kerangka konjungtif, seperti yang di anut Charles Sanders Peirce , penjajaran itu dibaca sebagai penggabungan kedua pernyataan melalui DAN. Dalam penggabungan disjungtif, KOSONG dibaca sebagai simbol bagi SALAH, sedangkan pada penggabungan konjungtif, KOSONG adalah lambang dari BENAR.
Ketika saya membaca aksioma tunggal Kauffman secara konjungtif, maka saya segera melihat bahwa sang aksioma tunggal itu sebenarnya tak lain tak bukan dari pada pernyataan matematis dari sebuah prinsip kuno, pra-Aristoteles
Bisa dibayangkan betapa bahagianya saya, ketika menemukan bahwa aljabar logika Boole yang modern itu ternyata landasannya tak lain tak bukan adalah sebuah prinsip Logika kuno yang sudah dikenal jauh sebelum Aristoteles menyusun ilmu logika. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dasar logika itu hanya satu dan yang satu ini ternyata sangat intuitif. Bagi saya inilah kesederhanaan ultima yang menunjukkan keindahan ultima dari logika.
2. Kesatuan silogistik
Namun, kebahagiaan saya itu tercemar karena saya tak sanggup menurunkan
silogisme Aristoteles dari aljabar Boole. Penjelasan Boole di bukunya
yang terkenal itu "Laws of Thought" mengenai cara membuktikan silogisme
Aristoteles benar- benar diluar kemampuan pemahaman saya karena begitu
kompleksnya. Namun, dalam apendiks buku "Laws of Form" Spencer Brown
memaparkan pembuktian keabsahan satu silogisme Aristoteles yaitu Barbara
dari aljabar dengan menggunakan notasi anehnya tersebut.
Spencer-Brown bahkan menyatakan bahwa keseluruhan 24 ragam silogisme absah bisa dibuktikan dengan cara yang sama. Saya tidak tahu, apa saja ke 24 ragam silogisme itu. Untungnya, saya akhirkan menemukannya dalam artikel Wikipedia tentang silogisme. Bertahun-tahun saya gagal mencoba untuk membuktikan pernyataan Brown itu. Untuk itu, untunglah, saya ditolong oleh notasi piktorial Kauffman yang melambangkan operasi TIDAK dengan pengurungan dalam suatu KOTAK.
Untuk memudahkan visualisasi. saya mengganti huruf-huruf dalam aljabar Kotak Kauffman dengan bola-bola warna-warni. Aljabar piktorial yang baru itu saya sebut sebagai Logika obyek. Alhamdulillah, dengan membaca aljabar kotak Kauffman sebagai permainan hapus-hapusan gambar, akhirnya saya bisa membuktikan keabsahan ke 24 silogisme Aristoteles-Lei bniz itu.
Bahkan pada ujungnya, saya bisa membuktikan ke 24 silogisme absah itu ekivalen satu sama lainnya. Kenyataan yang saya sebut sebagai kesatuan silogistik ini membuat hati saya lebih bahagia lagi. Soalnya, saya menemukan apa yang belum pernah diungkap oleh orang lain sepanjang pencarian saya di Internet lewat mesin pencari Google. Penemuan saya itu saya laporkan dalam rangkaian blog yang kemudian saya satukan dalam sebuah bukel: Syllogistic Unity.
Spencer-Brown bahkan menyatakan bahwa keseluruhan 24 ragam silogisme absah bisa dibuktikan dengan cara yang sama. Saya tidak tahu, apa saja ke 24 ragam silogisme itu. Untungnya, saya akhirkan menemukannya dalam artikel Wikipedia tentang silogisme. Bertahun-tahun saya gagal mencoba untuk membuktikan pernyataan Brown itu. Untuk itu, untunglah, saya ditolong oleh notasi piktorial Kauffman yang melambangkan operasi TIDAK dengan pengurungan dalam suatu KOTAK.
Untuk memudahkan visualisasi. saya mengganti huruf-huruf dalam aljabar Kotak Kauffman dengan bola-bola warna-warni. Aljabar piktorial yang baru itu saya sebut sebagai Logika obyek. Alhamdulillah, dengan membaca aljabar kotak Kauffman sebagai permainan hapus-hapusan gambar, akhirnya saya bisa membuktikan keabsahan ke 24 silogisme Aristoteles-Lei
Bahkan pada ujungnya, saya bisa membuktikan ke 24 silogisme absah itu ekivalen satu sama lainnya. Kenyataan yang saya sebut sebagai kesatuan silogistik ini membuat hati saya lebih bahagia lagi. Soalnya, saya menemukan apa yang belum pernah diungkap oleh orang lain sepanjang pencarian saya di Internet lewat mesin pencari Google. Penemuan saya itu saya laporkan dalam rangkaian blog yang kemudian saya satukan dalam sebuah bukel: Syllogistic Unity.
3. Kesatuan Tautologis Kebenaran
Akan tetapi, kegembiraan itu tidaklah berlangsung lama, ketika kemudian
menyadari bahwa hal itu trivial, karena jika sebuah silogisme absah
berarti dia ekivalen dengan 1 atau BENAR. Karena semuanya sama dengan
satu harga, maka dengan sendirinya semua silogisme absah itu ekivalen
satu sama lainnya. Namun, penemuan ini justru menunjukkan bahwa semua
identitas logika atau tautologi Boole sebenarnya juga ekivalen satu sama
lainnya. Soalnya setiap silogisme yang absah sebenarnya hanyalah sebuah
tautologi.
Penemuan kesatuan tautologis yang lebih besar ini, sebenarnya, sangat mengejutkan saya. Soalnya, setiap sistem aksiomatik aljabar logika adalah lengkap karena bisa membuktikan semua tautologi atau kebenaran logis yang ada. Hebatnya, semua tautologi logika itu, nyatanya, bisa diturunkan dari aksioma dengan hanya menggunakan kaidah-kaidah substitusi aljabar. Artinya kesatuan tautologis kebenaran-keben aran logika itu bersifat aljabaris atau matematis.
Kesatuan tautologis ini menunjukkan bahwa keabsahan silogisme itu sebagai sebuah tautologi, sebenarnya bisa diturunkan dari Principia ad Absurdum juga. Inilah pembuktian itu: sebuah silogisme benar, jika dan hanya jika penyangkalannya salah.
Penyangkalan sebuah silogisme disebut Christine Ladd-Franklin , mahasiswanya Peirce yang kemudian jadi Doktor wanita pertama Amerika Serikat di bidang ilmu kealaman, sebagai antilogisme. Jadi silogisme absah sama saja dengan antilogismenya salah. Artinya memang silogisme absah bisa diturunkan dari aksioma tunggal Kauffman: Contradictio ad Absurdum. Fakta ini menggembirakan hati saya.
Penemuan kesatuan tautologis yang lebih besar ini, sebenarnya, sangat mengejutkan saya. Soalnya, setiap sistem aksiomatik aljabar logika adalah lengkap karena bisa membuktikan semua tautologi atau kebenaran logis yang ada. Hebatnya, semua tautologi logika itu, nyatanya, bisa diturunkan dari aksioma dengan hanya menggunakan kaidah-kaidah substitusi aljabar. Artinya kesatuan tautologis kebenaran-keben
Kesatuan tautologis ini menunjukkan bahwa keabsahan silogisme itu sebagai sebuah tautologi, sebenarnya bisa diturunkan dari Principia ad Absurdum juga. Inilah pembuktian itu: sebuah silogisme benar, jika dan hanya jika penyangkalannya
Penyangkalan sebuah silogisme disebut Christine Ladd-Franklin , mahasiswanya Peirce yang kemudian jadi Doktor wanita pertama Amerika Serikat di bidang ilmu kealaman, sebagai antilogisme. Jadi silogisme absah sama saja dengan antilogismenya salah. Artinya memang silogisme absah bisa diturunkan dari aksioma tunggal Kauffman: Contradictio ad Absurdum. Fakta ini menggembirakan hati saya.
4.Dasar kesatuan: 1
Namun, berawal dari rujukan Kauffman, akhirnya saya menemukan bahwa
Charles Sanders Peirce sebenarnya telah membangun sistem logika, yaitu
sistem graf eksistensial, dengan hanya satu aksioma juga, tetapi
aksiomanya jauh lebih sederhana dari prinsip Contradictio ad Absurdum
yang rumusnya a JIKA DAN HANYA JIKA(JIKA TIDAK a MAKA b) DAN (JIKA TIDAK a
MAKA TIDAK b). Aksiomanya hanyalah 1 atau BENAR yang dilambangkan
dengan KOSONG dalam sistem graf eksistensial. Principia Contradictio
ad Absurdum atau aksioma tunggal Kauffman hanyalah sebuah teorema dalam
sistem aksioma Graf Eksistensial Peirce
Peirce
membuktikan ini dengan 5 kaidah inferensi yang mungkin sulit untuk
diingat. Saya akan membuktikannya secara matematis dengan notasinya
Boole TIDAK(x)=1-x, x DAN y = x-1+y dan JIKA x MAKA y = x->y =
1-x+y sebagai berikut
1 = (1-a) -1 +(1+a) {karena 1-1=0 dan a-a=0}
= (1-a-a + a)-1+(1-a + a+a) {karena a-a=0}
= (a+a->a) DAN (a+a
= (a+a = a) {karena definisi x=y}
= ((a+b)-1+(a+1-b
= ((1-(1-a)+ b)-1+(1-(1-a)+1
= ((TIDAK(a)->b)D
= (JIKA TIDAK(a) MAKA b) DAN (JIKA TIDAK(a) MAKA TIDAK(b)) = a {penjabaran -> dalam kata-kata}
Karena BENAR adalah 1, maka aksioma tunggal Kauffman (JIKA TIDAK(a)
MAKA b) DAN (JIKA TIDAK(a) MAKA TIDAK(b)) = a yang dirumuskan dalam
Aljabar KOTAK Kauffman sebagai sebagai [[a]b][[a][b]]= a adalah BENAR.
No comments:
Post a Comment