Roestam Effendi:
Menyuarakan Indonesia Merdeka
di Parlemen Belanda
Roestam Effendi, orang Indonesia yang pernah menjadi anggota parlemen di negeri Belanda.
Pahlawan, kata Howard Zinn, tak mesti harus tercatat dalam sejarah. Begitu pula dengan pahlawan yang satu ini: Roestam Effendi.
Bung Hatta menyebut Roestam sebagai pesuruh CPN–Communistische Partij van Nederland. Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) menganggap Roestam sebagai pengkhianat. Tetapi, bagi pengikut Murba, Roestam adalah seorang guru sekaligus pejuang.
Tapi, terlepas dari perbedaan politik di masa itu, kontribusi Roestam dalam perjuangan kemerdekaan tidak bisa diremehkan. Ketika menjadi anggota parlemen di Negeri Belanda, ia lantang menyuarakan “Indonesia Merdeka” dan mengutuk berbagai praktek busuk kolonialisme di Indonesia.
Menjadi Pemuda Radikal
Roestam Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, tahun 1903. Ia tumbuh besar dan menamatkan sekolah dasar di Kota Padang. Karena minatnya ingin menjadi guru, ia melanjutkan belajarnya di HIK (Holandsche Indische Kweekschool).
Dan, setamatnya dari HIK, Roestam merantau ke pulau Jawa. Tepatnya di Bandung, Jawa Barat. Di sana ia melanjutkan sekolah di HKS (Hoogere Kweek School). Di kota inilah Roestam bersentuhan dengan politik radikal.
Ayah Roestam adalah seorang propagandis untuk NIP (Nasional Indies Party), organisasi politik yang didirikan oleh tiga serangkai—Douwes Dekker (DD), Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangukusumo. Ayahnya, Sulaiman Effendi, sering membawanya bertamu di rumah DD atau Tjipto.
Di bandung, Roestam juga bertemu dengan Soekarno, yang saat itu bersekolah di Sekolah Teknik Bandung. Keduanya menjadi akrab. “Setiap kami bertengkar, Soekarno mengakhirinya dengan ajakan makan sate,” kenang Roestam.
Tamat dari HKS, Roestam kembali ke Padang. Di sana ia menjadi anggota JSB (Jong Sumatranen Bond). Namun, meski tergabung di organisasi kedaerahan, pendirian politik Roestam menjadi “non-koperasi”. Ia pun menolak jabatan sebagai guru kepala di sekolah HIS di Siak, Indrapura.
Tahun 1927, meletus pemberontakan PKI di Silungkang, Sumatera Barat. Sebetulnya Roestam tidak terlibat dalam pemberontakan it. Namun, PID (intelijen Belanda) berusaha memasukkan nama Roestam dalam pemberontakan itu. Ia pun menjadi target penangkapan.
Tak ada pilihan selain menyingkir. Akhirnya, atas keinginan ayahnya, Roestam berangkat ke Negeri Belanda. Namun, bukannya fokus untuk belajar, Roestam kembali ke gelanggang perjuangan. Ia bergabung dengan organisasi pemuda radikal kala itu: Perhimpunan Indonesia (PI).
Awalnya, Roestam sangat dekat dengan Bung Hatta. “Dari Bung Hatta saya banyak memperoleh bimbingan politik. Saya diperbantukan pada pengurusan Redaksi dan Administrasi majalah PI,” kenang Roestam.
Dalam kerangka memperluas front anti-kolonialisme, PI saat itu bergabung dalam Liga Anti Imperialisme. Roestam ditugaskan sebagai tenaga penghubung antara PI dengan organisasi-organisasi yang tergabung dalam seksi Liga Anti Imperialisme di Belanda, seperti Sosialis kiri, Anti militaris, Anarcho Syndikalis, Partai Pasifis, Komunis dan lain-lain.
Roestam pun beranjak menjadi propagandis. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai koran kiri, seperti Socialist, De Opbouws, De Anti Militarist, De Branding, dan lain-lain. Di koran-koran itu ia berpropaganda tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1929, mulai terjadi keretakan di tubuh Liga Anti Imperialisme. Bung Hatta menuding Liga makin dikontrol oleh Komintern—organisasi komunis Internasional. “Kami tidak mau jadi kuda penarik kereta Moskow,” tulis Bung Hatta di koran PI.
Selain mendapat reaksi dari kelompok komunis, tulisan itu juga menjadi polemik di tubuh PI. Sejumlah anggota PI, termasuk Roestam, tidak setuju jika PI menjauh dari Liga. “Kalau kita memusuhi Moskow di kala itu, kita di Medan Internasional tidak akan mendapat sokongan positif dari pihak mereka,” ujar Roestam memberi alasan.
Tahun 1930, Bung Hatta dipecat dari Liga karena tuduhan “reformis-nasional”. Namun, begitu ia keluar, PI pun didorong keluar dari Liga. Tindakan ini mendapat perlawanan dari faksi radikal di tubuh PI: Roestam Effendi-Setiadjid. Akhirya, setelah melalui perdebatan sengit, kelompok Roestam-Setiadjid berhasil menumbangkan kelompok Hatta-Sjahrir. Sejak itu PI kembali ke dalam Liga dan mengikuti garis Moskow.
Menjadi Anggota Parlemen Belanda
Seiring dengan aktivitas PI di Liga, Roestam dan kawan-kawan pun akrab dengan ide-ide marxisme. Ia sempat melakukan kunjungan ke Moskow dan menimbah ilmu. Bersamaan dengan itu, kedekatannya dengan Partai Komunis Belanda (CPN) makin rapat.
Pada tahun 1933, Roestam sudah menjadi anggota CPN. Tahun itu juga CPN mengajukan sejumlah orang Indonesia, yakni Darsono, Boedisoetjitro, Alimin, dan Roestam Effendi, sebagai kandidat parlemen. Boedisoetjitro menolak pengajuan dirinya. Sardjono menerima tawaran itu, namun dirinya sedang menjalani pembuangan di Boven Digul (Papua). Sementara Alimin kehilangan hak karena sudah meninggalkan Belanda dan tinggal di Moskow. Jadi, hanya Roestam Effendi yang maju dan terpilih.
Saat itu, Roestam baru berusia 30 tahun. Ia merupakan anggota parlemen termuda kala itu. Dia juga merupakan orang Indonesia pertama yang duduk di parlemen Belanda mewakili partai CPN. Sebetulnya, pada tahun 1922, Tan Malaka pernah diusung menjadi anggota parlemen. Sayang, usia Tan Malaka saat itu dianggap masih terlalu muda, yakni 24 tahun, sehingga proses pencalonannya gagal.
Roestam menyebut aksi parlementer-nya sebagai realisasi dari taktik front persatuan antara golongan ‘putih’ dan ‘sawo matang’. Dalam tulisan berjudul “Kenapa Orang Indonesia Duduk di Majelis Belanda?”, Roestam menjelaskan, “masuknya orang Indonesia ke dalam Parlemen Belanda merupakan dasar bagi kerjasama antara kelas-kelas yang terhisap di Indonesia dengan saudaranya di negeri Belanda.”
Roestam menjadi parlemen Belanda sebagai pengeras suara untuk menyampaikan perjuangan rakyat Indonesia. Ia juga tak segan-segan meniup terompet “Indonesia Merdeka” di parlemen Belanda. Ketika terjadi pemberontakan Kapal Tujuh (Zeven Provincien) di negerinya, Indonesia, ia menggalang aksi besar-besaran di Negeri Belanda dan menyokong penuh pemberontakan itu. Ketika di Indonesia marak penangkapan terhadap kaum pergerakan, termasuk penangkapan kawan seperjuangannya, Bung Karno, Roestam melancarkan gugatan di parlemen Belanda.
Roestam terpilih kembali sebagai anggota parlemen di pemilu 1937. Di sini, Roestam makin radikal. Prosesi pembukaan parlemen Belanda selalu disertai dengan sambutan Ratu Wilhelmina. Dan sudah menjadi kebiasaan, begitu Ratu Wilhelmina menyampaikan ucapan pembukaan, maka hadirin akan bersorak setia: “Leve Oranye”. Roestam mengetahui hal itu. Karenanya, ketika Ratu Wilhelmina baru berbicara, Roestam berteriak, “Indonesia Merdeka!“. Hadirin pun panik. Roestam pun babak belur karena dihajar ramai-ramai oleh polisi Belanda.
Tahun 1940, Fasisme Jerman menginvasi Belanda. Saat itu, seusai dengan garis Dimitrov, yaitu front persatuan yang luas dalam melawan kebangkitan fasisme, Roestam mengajak Belanda sama-sama melawan fasisme. Tetapi seruan itu kurang bergema. Sementara CPN bergerak di bawah tanah melawan fasisme Jepang.
Membela Kemerdekaan Indonesia
CPN mulai terorganisasi kembali sebagai partai tahun 1944. De Groot tampil kembali memimpin CPN. De Groot punya pandangan moderat, bahkan oportunis, terkait kemerdekaan Indonesia.
De Groot kekeuh mengusung solusi “Uni Indonesia Belanda”. Ia tidak setuju dengan kemerdekaan 100%. De Groot beralasan, kalau Indonesia merdeka 100%, maka dalam sekejap Indonesia akan dimangsa Inggris.
Lebih parah lagi, De Groot tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno. Bagi De Groot, Bung Karno adalah kolaborator fasisme Jepang.
Roestam tak setuju dengan garis De Groot itu. “saya tidak membenarkan serangan-serangan mereka menentang Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta,” kata Roestam Effendi dalam catatan singkat berjudul “Menyusuri Kenang-Kenangan Perjuangan Masa Mudaku.”
Menurut Roestam, kita menghormati kedaulatan sesuatu bangsa, maka kita harus pula mengakui tiap-tiap pimpinan negara itu, yang ditentukan oleh rakyatnya sendiri. Roestam juga membela politik Soekarno dalam bekerja secara legal dengan penguasa Jepang. “Kami bekerjasama dengan Jepang hanya karena mengkonsolidasikan kekuatan kami dan tidak karena kami pro-Jepang,” tegasnya.
Pemikiran Roestam Effendi ini tidak diterima De Groot. Akhirnya, pada Januari 1946, CPN resmi memecat Roestam Effendi. Ia dianggap tiduk tunduk pada kebijakan partainya atas persoalan Indonesia.
Kembali Ke Indonesia Sebagai “Trotskys”
Setelah dipecat dari CPN tahun 1946, Roestam dan keluarganya pulang ke Indonesia. Menariknya, di atas kapal, ia bertemu dengan tokoh Indische Partij, Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi.
Mereka langsung ke Jogjakarta, yang saat itu berfungsi sebagai Ibukota Republik. Kedatangan Roestam Effendi dan Douwes Dekker disambut oleh Bung Karno.
Pada Januari 1947, PKI melangsungkan kongres di Solo, Jawa Tengah. Roestam Effendi dan sejumlah tokoh PKI lama– Djamaludin Tamin, Nurut, Ongko D, Wiro S, dll—datang ke acara Kongres. Sayang, kehadiran mereka ditolak. Roestam dianggap sudah dipecat oleh CPN dan, dengan demikian, PKI harus mengikuti keputusan tersebut.
Sejak itulah Roestam dicap sebagai pengikut Tan Malaka atau Trotskis. Roestam menganggap tuduhan itu sangat sembrono dan tidak berdasar. Dalam tulisan berjudul “Sedikit Penjelasan tentang Soal-Soal Trotskisme”, Roestam membahas kesesuaian dan perbedaan antara leninisme dan trotskisme dalam teori dan praktek politiknya.
Roestam juga menyatakan ketidaksetujuannya atas politik kompromisme yang dijalankan oleh Sjahrir-Amir Sjarifuddin. “Reformisme Amir Sjarifuddin dan Sutan Sjahrir telah kandas. Percaya kepada itikad baik belanda merupakan struisvogel en zelfmoordpolitiek (politik burung unta dan politik bunuh diri), sekarang saatnya Amir dan Sjahrir harus menjawab,” ujar Roestam.
Roestam sendiri makin merapat ke barisan Tan Malaka. Ia menyokong penuh politik Persatuan Perjuangan—front persatuan yang digagas dan dibentuk oleh Tan Malaka untuk memperjuangkan kemerdekaan 100%. Roestam aktif memberi kursus politik di organisasi pro Tan Malaka, seperti Barisan Banteng, Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, Partai Buruh Merdeka, Laskar Rakyat Djelata, Partai Wanita Rakyat, Laskar Rakyat Djawa Barat, AKOMA, dan lain-lain.
Pada tahun 1948, kelompok Tan Malaka membentuk Partai Murba. Roestam Effendi masuk jajaran pimpinan Partai Murba. Ia juga aktif dalam perang gerilya di daerah Jawa Timur.
Pada saat itu, ia tetap rajin menulis. Lahir karya-karyanya, seperti “Negara Demokrasi dan Diktator Proletariat”, “Revolusi Nasional (1947)”, “Soal-Soal Di Sekitar Krisis Kapitalisme (1947)”, “Soal-Soal Mengenai Sistim Kapitalisme (1947)”, “Demokrasi dan Demokrasi (1949)”, dan “Strategi Taktik (1950)”.
Hingga terjadi peristiwa “G.30.S” pada tahun 1965, Roestam masih bergiat di partai Murba. Ia juga kadang mengisi waktunya dengan mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Pajajaran bersama Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Semaun.
Tahun 1979, Roestam Effendi tutup usia.
Timur Subangun, kontributor tetap Berdikari Online
sumber http://m.berdikarionline.com/tokoh/20130224/roestam-effendi-menyuarakan-indonesia-merdeka-di-parlemen-belanda.html
No comments:
Post a Comment