Sejarah Agama Minakhaba :
"Benang Merah Matrilineal Minangkabau"
Ditulis ulang : Muhammad Ilham
Agama Minakhaba mulanya dikembangkan oleh seorang pengembara dari Kerala, sebuah kota di Kerajaan Pandya (India) , bernama Chetteri Vilanj satu setengah abad sebelum Masehi. Pengembara dari kasta Chetteri (setingkat ksatria) ini meninggalkan kampung halamannya untuk menyebarkan ajaran Minakhaba. Kerajaan Pandya sudah ada sejak beberapa abad sebelum Masehi, ibukotanya bernama Korkai. Pandya merupakan kerajaan besar yang maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan Romawi, Arab, Mesir dan Parsi.
Chetteri Vilanj dari Pandya yang kemudian dikenal sebagai Ceteri Bilang Pandai lahir dari etnis Kurician dan Bnei Menashe . Bnei Menashe adalah keturunan Mennaseh yang dikecilkan oleh pengikut Ezra dan Nehemiah di Palestina. Karena terdesak pengikut Menaseh meninggalkan Palestina dan menetap di Pandya.
Agama Minakhaba mulanya dikembangkan oleh seorang pengembara dari Kerala, sebuah kota di Kerajaan Pandya (India) , bernama Chetteri Vilanj satu setengah abad sebelum Masehi. Pengembara dari kasta Chetteri (setingkat ksatria) ini meninggalkan kampung halamannya untuk menyebarkan ajaran Minakhaba. Kerajaan Pandya sudah ada sejak beberapa abad sebelum Masehi, ibukotanya bernama Korkai. Pandya merupakan kerajaan besar yang maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan Romawi, Arab, Mesir dan Parsi.
Chetteri Vilanj dari Pandya yang kemudian dikenal sebagai Ceteri Bilang Pandai lahir dari etnis Kurician dan Bnei Menashe . Bnei Menashe adalah keturunan Mennaseh yang dikecilkan oleh pengikut Ezra dan Nehemiah di Palestina. Karena terdesak pengikut Menaseh meninggalkan Palestina dan menetap di Pandya.
Setelah beberapa tahun berada di Koto Batu, Ceteri Bilang kawin dengan
Indojulito yang sudah melahirkan Datuak Mangguang dari suaminya
terdahulu, Maharajodirajo, raja kerajaan Koto Batu. Maharajodirajo
adalah seorang penganut agama Budha. Perkawinan Ceteri Bilang dengan
Indojulito melahirkan si Jatang yang setelah dewasa bergelar Datuak
Parpatiah Sabatang.
Datuak Mangguang kemudian diangkat sebagai raja Koto
Batu menggantikan ayahnya, sekaligus sebagai seorang penghulu tinggi
agama Minakhaba. Karena fungsinya sebagai penghulu tinggi Minakhaba,
Datuak Mangguang lebih sering berada di Dusun Tuah (kemudian dikenal
dengan nama Dusun Tuoh, lalu jadi Dusun Tuo) yang menjadi markas besar
agama Minakhaba.
Agama Minakhaba yang dibawa Ceteri Bilang adalah agama yang menyembah satu tuhan yang disebut Nabhana atau Nan Bhana. Mulanya agama monoteis yang dibawa Nabi Musa ini dibawa oleh orang-orang Kanaan keturunan Menashe dari Babilonia ke Pandya, kerajaan kuno India sekitar 400 tahun sebelum kelahiran Isa.
Keturunan Menashe, berbeda dengan prinsip keagamaan yang dianut oleh pengikut Ezra dan Nahemiah, memiliki sikap toleran terhadap bangsa lain. Karena itu penganut agama yang disebut orang Pandya sebagai “orang Ya” atau “pengikut Musa” ini tidak bermasalah hidup di kalangan penganut Hindu di Pandya. Lagipula, orang Menaseh dapat meyakinkan orang Hindu yang menganggap dirinya keturunan Manu bahwa Musa juga keturunan Manu.
Agama Minakhaba yang dibawa Ceteri Bilang adalah agama yang menyembah satu tuhan yang disebut Nabhana atau Nan Bhana. Mulanya agama monoteis yang dibawa Nabi Musa ini dibawa oleh orang-orang Kanaan keturunan Menashe dari Babilonia ke Pandya, kerajaan kuno India sekitar 400 tahun sebelum kelahiran Isa.
Keturunan Menashe, berbeda dengan prinsip keagamaan yang dianut oleh pengikut Ezra dan Nahemiah, memiliki sikap toleran terhadap bangsa lain. Karena itu penganut agama yang disebut orang Pandya sebagai “orang Ya” atau “pengikut Musa” ini tidak bermasalah hidup di kalangan penganut Hindu di Pandya. Lagipula, orang Menaseh dapat meyakinkan orang Hindu yang menganggap dirinya keturunan Manu bahwa Musa juga keturunan Manu.
Menurut Kitab Veda, orang-orang Hindu merupakan cucu Manu yang selamat
ketika terjadi banjir besar ribuan tahun lalu. Kapal Manu beserta
sejumlah pengikutnya yang setia berlabuh di Puncak Himalaya, kemudian
anak cucunya bertebaran ke seluruh penjuru dunia dan membangun peradaban
di Harappa dan Mahenjo-Daro. Salah satu cucu Manu, Yadu dianggap
sebagai nenek moyang orang-orang Yovana dan Ya di Palestina. Musa adalah
salah satu diantara keturunan Yadu.
Alikasudaro (Iskandar Agung), raja
Yovana yang membangun kerajaan Balkh (Bactria) di barat India juga
keturunan Manu. Meskipun demikian pengikut Menaseh tetap mempunyai
aturan: kawin dengan penganut Hindu atau Budha tidak dilarang, tapi
pasangan itu harus meninggalkan agamanya. Cateri Bilang dibesarkan
sebagai penganut agama Ya yang taat. Tapi ketika melihat kepatuhan
pengikut Ya kepada agamanya makin lama makin menipis, dan pengaruh Hindu
makin kuat terhadap penganut Ya, Cateri Bilang mengembangkan ajarannya
sendiri, yaitu Minakhabaya atau Ajaran Baru Ya, yang disingkat jadi
Minakhaba saja.
Kitab suci Minakhaba tetap sama dengan yang dipercaya
penganut agama Ya, yaitu Tuah atau Patatah. Kitab itu berbentuk gulungan
(scroll) yang hanya dimiliki oleh para penghulu tertentu, tidak boleh
dibaca sembarang orang. Gulungan Tuah dipandang sangat suci dan demikian
berharga, tapi “boleh” digadaikan kalau ada anak perempuan yang tidak
kunjung bersuami. Artinya, kalau ada anak perempuan tidak bersuami dalam
sebuah keluarga, harga diri keluarga itu sudah hancur.
Selain
membaca gulungan Tuah para penghulu tertentu, yang senior, juga membaca
kitab Tamu yang ditulis oleh para penganut agama Ya di Kanaan atau
Palestina dalam bahasa dan tulisan Aramaik. Kitab Tamu berisi
interpretasi terhadap Tuah, juga sejumlah riwayat para pewaris Hukum
Musa. Karena kesulitan membaca tulisan aslinya, kebanyakan para penghulu
menerima ajaran secara lisan dari penghulu tinggi yang paham bahasa
asing.
Datuak Parpatiah Sabatang adalah salah seorang penghulu tinggi
yang mampu membaca tulisan Aramaik dan pernah mengembara ke India, Parsi
dan Kanaan bersama saudaranya Datuak Mangguang. Kedua datuak itu
menulis sendiri buku Tamu mereka dalam aksara Aramaik. Namun kemudian
terjadi perpecahan antara kedua bersaudara itu. Datuak Parpatiah
Sabatang yang sejak kecil sudah terbiasa hidup di luar istana (karena
dekat dengan ayahnya yang bukan bangsawan) mengembangkan ajaran baru
yang ia sebut Bodi-Caniago. Penganut ajaran Bodi-Caniago dibagi ke dalam
dua komunitas berdasarkan garis keturunan ibu.
Seperti halnya pada
kelompok Koto dan Piliang, kelompok-kelompok itu juga disebut adat. Oleh
sebab itu ada istilah adat Bodi dan adat Caniago, yang intinya
sama-sama menganut ajaran agama Minakhaba. Datuak Parpatiah Sabatang
mengakui ia terpengaruh oleh prilaku Sidharta Gautama yang mengembara
dan melepaskan atribut kerajaan dari dirinya. Namun Datuak Parpatiah
tidak melepas Hukum Musa atau tetap beragama Minakhaba.
Orang Minakhaba adalah campuran antara pribumi dengan keturunan orang
Kurician yang tinggal di India Selatan. Kurician adalah etnis minoritas
di India selatan yang kurang dikenal. Nenek moyang orang Kurician
berimigrasi sekitar lima abad sebelum kedatangan Ceteri Bilang (masih
dalam zaman Neoliticum).
Imigran Kurician yang menganut matrilineal itu
meneruskan pekerjaan nenek moyang mereka di India, yaitu sebagi petani.
Mereka mengajari orang pribumi bercocok tanam, membuat sawah dan
membangun sistem irigasi. Mereka juga membuat mejen dari batu-batu besar
(menhir). Dalam waktu dua abad populasi orang Kurician makin
meningkat. Mereka menyebar kemana-mana, kawin-mawin dengan penduduk
asli. Matrilineal akhirnya jadi sistem yang diterima oleh penduduk
pribumi. Agama orang Kurician mulanya agama asli Tamil (pra-Hindu), tapi
karena putus hubungan dengan India dan tidak dapat membangun
kelembagaan agama mereka mulai melupakan agama mereka dan beralih ke
animisme, seperti anutan orang pribumi.
Dua abad setelah kedatangan
imigran Kurician datang lagi satu rombongan imigran dari India yang
berasal dari Palibothra atau Pataliputra, ibukota Kerajaan Sunga di
utara India. Imigrasi ini disebabkan orang-orang Budha ditidas oleh
penguasa Sunga yang beragama Hindu. Kuil-kuil Budha di Nalanda,
Bodhgaya, Sarnath dan Mathura dibakari, penganut Budha dibunuhi dengan
kejam. Akibat kekejaman yang berlangsung selama lima tahun itu banyak
penganut Budha menyelamatkan diri keluar kerajaan Sunga.
Orang-orang
Pataliputra sering juga disebut orang-orang Batalidarah atau satu
keturunan. Rombongan yang berimigrasi ini berdarah campuran
Yunani-India (disebut Yobana India. Yobana dari Yovana=Yunani
(Sanskrit)) dan mengatakan diri mereka sebagai keturunan Alikasudaro
(Iskandar Zulkarnain).
Mulanya mereka hidup di kerajaan Mauriya yang
tenang. Tapi 185 SM Pusyamitra Sunga, seorang panglima perang kerajaan
Maurya membunuh rajanya: Baradrata. Mauriya runtuh, berganti menjadi
kerajaan Sunga. Raja Pusyamitra Sunga yang beragama Hindu berusaha
menghapus agama Budha dengan melakukan kekejaman.
Imigran dari Pataliputra itu tidak langsung berbaur dengan masyarakat, tapi membangun pemukiman di lereng gunung Marapi. Setelah berpuluh tahun mereka turun gunung dan membangun kerajaan yang dinamakan Kerajaan Koto Batu.
Rajanya yang diberi gelar Maharajodirajo kawin dengan Indojulito yang nenek moyangnya keturunan Kurician. Peninggalan penting kerajaan Koto Batu adalah pola pendidikan anak laki-laki yang dikonsentrasikan di sebuah tempat (surau). Pola ini diilhami oleh pola pendidikan di Yunani kuno, negeri nenek moyang orang-orang Batalidarah.
Orang Kurician dan pribumi umumnya berkulit gelap atau coklat tua. Sedang rombongan Maharajodirajo yang datang kemudian berkulit putih. Percampuran antara kedua etnis berbeda kulit inilah yang menentukan warna kulit orang Minakhaba kemudian hari. Ceteri Bilang yang datang ke Koto Batu mulanya dikenal sebagai maharishi (dalam lidah lokal jadi marasai, karena badannya kurus dan terlihat tidak terurus, tapi orang tahu ia sangat sakti). Ia lalu diangkat sebagai penasehat oleh Maharajodirajo.
Ceteri Bilang sama-sama keturunan Kurician dengan Indojulito. Karena itu anak mereka, si Jatang yang kemudian bergelar Datuak Parpatiah Sabatang berkulit lebih gelap dibandingkan kakak lain ayahnya, Datuak Mangguang. Ketika agama Minakhaba dikembangkan oleh Datuak Mangguang dan Datuak Parpatiah Sabatang tradisi matrilineal tidak dihapuskan. Mereka merasa ada kesesuaian antara adat Kurician dengan ajaran Minakhaba yang memuliakan ibu. Karena itu keduanya sepakat menjadikan matrilineal sebagai sistem resmi agama Minakhaba.
(c) Emmeraldi Chatra (salah seorang dosen favorit saya ketika kuliah S1 di FISIP Unand Padang 1993-1998). Artikel ini dikirimkan kepada saya via Mail-E/15 Februari 2010
sumber
No comments:
Post a Comment