Saturday, September 07, 2013

Wiraswastawan Minangkabau 1910-1950-an

Bisnis dan Dimensi Sosial: Catatan Awal Tentang Kiprah Wiraswastawan Minangkabau di Ranah dan Rantau 1910-1950-an

oleh Irvan Sjafari

13666084701953528252
suasana sebuah pasar di kota Padang tempo dulu (kredit foto: rockylesmana.blogspot.com)
Tulisan ini adalah lanjutan pengamatan saya tentang sejarah dunia wiraswasta di Indonesia setelah tulisan ini dan juga tulisan lain . Kalau waktu memungkinkan saya mencoba mengungkapkan kasus lain di beberapa kota di Indonesia terutama kurun waktu 1910-1950-an.
Bagi saya mempelajari para wiraswastawan ini menarik karena memberikan inspirasi bagi masa depan bangsa ini. Pengembangan UKM dan juga UMKM bisa bercermin pada sejarah sambil tentunya juga melihat perkembangan global. Minangkabau dalam dunia wirausaha punya mitos sebagai pedagang yang ulet di luar para pedagang etnis Tionghoa. Lalu bagaimana realitasnya? Ternyata mereka punya sejarah yang cukup panjang di bidang perdagangan.
Seorang peneliti Indonesia asal Jepang, Tskuyoshi Kato dalam artikelnya “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX” dalam buku Akira Nagazumi (editor) Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan sosial-Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986 mengakui bahwa orang Minang termasuk di antara sedikit etnis Indonesia yang tidak kalah dalam keahlian berdagang dengan etnis Tionghoa.
Artikel ini menyebutkan tentang kisah sukses Muhammad Saleh, seorang pengusaha Minang asal Pariaman yang sukses pada abad ke 19. Kelahiran 1841 desa Pasir Baru, Pariaman dari pasangan Peto Rajo asal Pariaman dan ibu bernama Tarus asal Guguk Empat Kota dekat Bukit Tinggi. Darah saudagar mengalir dalam tubuh Saleh. Darah saudagar memang mengalir dalam tubuhnya karena Pato Rajo menjadi pengusaha berawal dari modal hanya dua ringgit meriam (satu ringgit meriam sama dengan terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, seperti ayam, telur dan beras).
Dengan modal itu Pato Raja berdagang kebutuhan bahan pokok dengan pasar orang-orang Belanda yang tinggal di Pariaman. Karena kejujurannya, Pato raja mendapat kepercayaan dari orang-orang Belanda hingga dia dilibatkan dalam perdagangan garam (yang maasa itu dimonopoli orang Belanda). Selain itu Pato Raja juga berdagang kulit kerbau dan kayu manis. Pergaulan dengan orang Belanda membuatnya bisa membaca dan menulis.
Pada puncak kejayaannya Pato Raja mempunyai kekayaan hingga 100.000 Rial (Satu rial waktu itu sama dengan 2 florin Spanyol). Florin dalam berapa literatur juga bisa berarti gulden. Pada waktu itu jumlah kekayaan sebesar itu sudah tergolong orang kaya. Sayangnya Sang Ayah suka berfoya-foya,
sehingga akhirnya kekayaannya merosot.
Putranya, Muhamad Saleh mengikuti jejaknya pada usia belia. Dia mencari uang menyeret pukat mendapatkan upah 25 sen per hari. Dari jumlah itu ia punya tabungan 2F yang dipakainya sebagai modal menjajakan ikan kering. Dia juga belajar dari seorang saudagar kaya. Berkat keuletannya dia berhasil menabung F10 per bulan dan akhirnya mempunyai tabungan F500. Pada usia 14 tahun Saleh magang dengan seorang nahkoda dengan tujuan Sibolga.
Dari pekerjaan itu Saleh membeli rumah sederhana seharga F200 dan seekor kerbau dengan pedati. Dia kemudian beralih usaha menjadi kontraktor garam dari Madura dan mempunyai izin untuk itu. Kemudian Saleh bisa membeli banyak perahu berikut galangan di Pariaman dan Padang Panjang. Pada 1914 pada usia 73 tahun ketika Saleh menerbitkan biografinya kepada anak dan cucunya, Saleh sudah memiliki sebuah rumah bertaman di Pariaman seharga F1400 dan sebuah toko di Padang Panjang senilai F6000.
Sebuah buku menarik yang ditulis oleh Azizah Etek,Mursjid A.M dan Arfan B.R berjudul Koto Gadang Masa Kolonial yang diterbitkan LKis, Yogyakarta pada 2007 pada halaman 142-145 memberikan informasi tentang seorang saudagar Minang lainnya pada abad ke 19. Haji AbdulGani Rajo Mangkuto adik seorang jaksa kepala di Fort de Kock (diperkirakan lahir 1817 tetapi di makamnya ditulis angka 1830) ini disebutkan pernah membantu Asisten Residen Steinmetz mendirikan sekolah guru pada 1856.
Namun pada 1857 ia mengundurkan diri dan memilih menjadi pakus kopi (berasal dari pakhuis =gudang). Ceritanya pada 1857-1858 pemerintah meminta tanah kepada panghulu nagari yang mengusai pasar Bukittinggi untuk mendirikan sebuah gudang kopi. Gudang ini dikepalai oleh Abdul Gani. Dia menjadi orang kepercayaan Steimetz dan dengan cepat mengumpulkan kekayaan. Kemudian Abdul Gani merupakan pribumi pertama yang berhasil menang tender menjadi pemegang monopoli pengangkutan kopi dan produk lain-lain milik negara untuk trayek tertentu. Dia mempunyai kekuatan yang membuatnya mampu bersaing dengan pengusaha bangsa Cina maupun Indo.
Kira-kira 1875-an Abdul Gani tidak tergoyahkan melalui usaha pengakutannya. Melalui usaha pengangkutannya dia meluaskan sayap sampai ke Padang dan kemudian merambat ke usaha pengakutan calon Haji ke Mekah. Menjelang akhir abad ke 19 dia menjadi entrepreneurship pribumi yang sudah meluaskan sayapnya ke bidang pertanian pangan dan sekaligus menjadi orang terkaya di ranah Minang.
Elizabeth E. Graves dalam bukunya Asal-usul Elite Minangkabau: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX Jakarta: Yayasan Obor, 2007 menyebutkan bahwa sekolah-sekolah sudah muncul di kota-kota daerag pertanian di dataran tinggi Sumatera Barat sejak 1840-an, yaitu di Batusangkar, Bukittinggi, Payakumbuh dan Solok. Banyak orang Minangkabau dari nagari sekitarnya merantau ke sini sebagai suadagar, pengrajin, tukang catut, pelayan industri dan jasa lainnya. Khususnya Bukittinggi adalah pusat perantauan lewat para pelajar di mana 15 % di antaranya datang dari kalangan saudagar dan 13% dari kalangan pengrajin (halaman 182). Dari penuturan Graves bahwa pada abad ke 19 sudah muncul golongan pengusaha pribumi.
Munculnya saudagar-saudagar pada abad ke 19 sekalipun tidak secara spesifik juga disinggung dalam buku Sedjarah Minangkabau yang ditulis oleh Drs. M.D.Mansyoer dan kawan-kawannya, diterbitkan Bhratara di Jakarta pada 1970 halaman 173. Sejak permulaan abad ke 20 hingga Zaman Pendudukan Jepang terjadi perubahan sosial politik di Minangkabau. Masyarakat yang tadinya hidup dalam suasana splendid isolation dan zelfvoldaan (terkurung dan puas), mengalami gempuran modernisasi teru-menerus dalam hampir segala bidang hidup dan penghidupan.
Petani-petani yang menghasilkan cash crops untuk pasaran bebas guna memperoleh uang kontan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mengakibatkan timbul golongan saudagar-saudagar kecil dan menengah. Mereka berperan sebagai penghubung dan distributor antara produsen dan konsumen. Kota-kota besar dan kecil muncul sebagai pusat perniagaan, kerajinan dan pendidikan Barat.
Kiprah Pengusaha Tenun dan Kerajinan Perempuan
Ada referensi lain, yaitu sebuah artikel yang berkaitan dengan dunia wirausaha di Minangkabau zaman Hindia Belanda yang diungkap dalam buku tersebut di atas ditulis oleh Akira Oki “Catatan Mengenai Industri Tekstil di Sumatera Barat” juga dalam buku Akira Nagazumi . Menurut Akira Oki sekalipun dampak dari Perang Padri (1821-1837) melenyapkan industri tekstil termasuk pemintalan dan penenunan di Sumatera Barat sebagai bagian dari ekonomi swasembada pada 1830-an, namun ada dua daerah yang mencoba survival pada abad ke 20.
Keduanya adalah kawasan Kubang yang hanya tinggal membatasi diri pada produk-produk tradisional saja seperti kain sarung yang mendapat saingan keras dari produk sejenis dari Jawa. Kedua adalah Silungkang yang mampu membuat diversifikasi produk seperti kain tirai, taplak meja, serbet dan sebagainya. Hasilnya para wirausaha dari kawasan Silungkang mampu bertahan. Pembuatan renda juga menguntungkan pengerajin tenun Silungkang. Para isteri pejabat Belanda memperkenalkan pembuatan renda pada perempuan Minangkabau.
Mereka meminta residen agar membuka sekolah kursus membuat renda. Pada 1910 sebanyak 539 gadis Minangkabau mendaftarkan diri pada 18 sekolah. Berkat pendidikan ini kemampuan gadis-gadis Minangkabau maju pesat. Beberapa potong renda dikirim ke sebuah pameran di Brusel. Salah satu di antaranya mendapat medali. Sayangnya Perang Dunia I membuat produksi renda Sumatera Barat merosot, karena sulit mendapatkan benang bermutu tinggi dari Eropa.
Sayangnya menurut Akira Oki kerajinan renda di Sumatera Barat pada 1910-an terhalang oleh budaya matrineal. Pada 1910-an gadis yang sudah berusia 12 tahun (akil balik) tidak diperkenankan lagi mengunjungi sekolah renda. Akibatnya hanya gadis di bawah 12 tahun yang terlalu muda untuk mempelajari keterampilan itu. Perempuan Minang sesudah menikah sibuk bekerja di sawah dan tidak banyak yang mempunyai waktu untuk membuat renda.
Lanjut Akira Oki pada 1934 industri tenun Sumatera Barat bangkit kembali ketika Pemerintah Hindia Belanda membatasi pabrik tenun yang mempunyai 14 alat tenun di Jawa. Pada 1930-an ada 3 jenis alat tenun yang dipakai. Pertama, alat tenun tradisional kampung. Kedua, alat tenun kampung yang sudah ditingkatkan kemampuannya. Ketiga, alat tenun TIB (Textual Inrichting Bandung). Alat tenun TIB ini 5 hingga 6 kali lebih efesien dibandingkan alat tenun kampung.
Pada 1930-an Kubang mampu memproduksi sebanyak 10.000 kain sarung per bulan dengan nilai F16.000. dan mengusai pasar di Lima Puluh kota. Produksi kain sarung ini dikirim sampai ke Indragiri, Pantai Timur Sumatera, Jambi dan juga Aceh. Namun produk dari Subang ini mendapat tantangan dari sarung-sarung Jawa yang dijual dengan harga lebih murah.
Sementara industri tenun Silungkang secara tradisional menghasilkan pakaian-pakaian mewah untuk upacara. Mereka juga diuntungkan dengan penemuan batu bara di Sawahlunto, diikuti pembuatan jalan kereta api dan jalan raya melalui Silungkang sejak 1890-an. Produk Silungkang mendapatkan tempat di kalangan orang-orang Eropa yang bekerja di pertambangan batu bara dan para istri mereka. Selain itu produk Silungkang juga ekspansi pasar ke Pulau Jawa.
13666086081059382649
seorang perempuan menenun di Silungkang (kredit foto: munirthaer.wordpress.com)

Ahli Indonesia dari Amerika Audrey Kahin dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Jakarta, Yayasan Obor, 2009 agaknya senada dengan Akira Oki soal kekuatan saudagar dari Silungkang ini. Sekitar 1912 beberapa saudagar dari Silungkang bermukim di dekat pertambangan Ombilin di Sawahlunto. Mereka melayani para pejabat pemerintah mendirikan usaha baru dan membuka toko yang menjual tekstil dan barang-barang kelotong lainnya. Para perempuan dari Silungkang ini menenun kain sarung, pakaian adat dan pakaian sulaman yang terkenal ke seluruh Hindia Belanda. Para petenun ini mendirikan koperasi menyalurkan hasil produksi mereka di Pameran Dagang Brussel pada 1918.
Penelusuran saya pada beberapa harian yang terbit di Jawa menunjukkan hal itu. Harian Tjahaja Timoer edisi 1 November 1920 membuat berbagai advertensi sejumlah pengusaha. Di antara terdapat nama Siti Asnah, yang berpartner dengan Mohamad Saleh yang menyebutkan mereka punya toko di Sawah Lunto, Lorong Dorijan sejak 1912. Sarung Corak Samarinda dijual F8,5 hingga F25. Sarung Corak Palembang dijual F6 hingga F15. Sarung perempuan memakai kembang dijual F6,50 hingga F15.
Lainnya adalah Datuk S. Chatib yang mengaku mempunyai Siloengkang N.W.F.Handel and Tenoen Fabriek di Silungkang. Pengusaha ini membandroll sarung corak Samarinda dengan harga F8,50 hingga F15, sarung corak Bugis hitam dibandrol F7,75 hingga hingga F15, serta corak palekat dijual F5 hingga F10. Tjahaja Timoer edisi 8 November 1920 juga menyebutkan nama M.H.D Saliman dan Siti Zainab juga pengusaha dari Silungkang menjual sejumblah produk seperti sarung Samarinda F8,50 hingga F20,50 dan selendang sutera lenen F4,35 hingga F10,75. Pengusaha lain yang disebutkan namanya adalah Soetan nan Kajo Radjo Mangkoeto di Sawahlunto. Produk dijual juga kain sarung corak Samarinda F8,50 dan F10, sarung corak Palembang seharga sama dan kain baju untuk perempuan F3,50 hinga F4.
Saya juga menelusuri surat kabar yang terbit di Sumatera Barat pada era yang sama untuk mencari siapa saja pengusaha tenun Silungkang ini. Yang saya telusuri adalah surat kabar Oetoesan Melajoe. Pada edisi 3 Januari 1922 pengusaha bernama Chatib.S. Moedjo memasang iklan menyebutkan lokasi usahanya di Kampung Jawa Padang Huis No.31. Berpartner dengan Mohammad Salim, Chatib menjual berbagai produk seperti taplak meja (masa itu disebut tutup meja) segi empat memakai benang mas dijual F12,50 hingga F15. Produk lainnya sarung bantal memakai pinggiran dijual F2,50 hingga F3,50 dan syal untuk perempuan dijual F9,50 hingga F11,50.
Nama lain adalah Aboel Asawat menjual sarung corak Samarinda dengan harga F10 hingga F16, sarung corak Palembang dengan harga F9,50 hingga F16. Pengusaha perempuan juga bermunculan, misalnya Siti Halimah dengan partnernya Soelaiman menjual sarung corak Samarinda F7 hingga F12,50, sarung corak Palembang F4,75 hingga F12. Dia juga melakukan diversifikasi produk seperti tutup teko dibandroll F2 hingga F4, kain penggendong anak dari F1,60 hingga F3, serbet dari benang lenen F3,75 hingga F5,25 per lusinnya, hingga sorban buat orang Haji F4 hingga F7.
Oetoesan Melajoe edisi 10 Januari 1922 juga memuat iklan dari pengusaha perempuan lainnya Siti Saijah yang bermitra dengan Boejoeng. Dia menjual produk Sarung Samarinda F7.50 hingga F18,50 per potong, sarung berintik kembang F2,50 hingga F5,50, kain mandi dari benang F0,75 hingga F1, tasch sutera buat perempuan F1,50 hingga F3,75. Dia juga menjual serbet dari benang lenen F3,75 hingga F5,25 per lusin dan dompet dari kulit kambung F2 hingga F2,50 per buah.
Surat kabar Ooetoesan Melajoe ini dikelola juga oleh seorang Saudagar bernama Sutan Maharadja. Dia mempunyai toko dan percetakan di Pasar Gedang, Padang. Surat kabar ini terbit setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Terbit sejak 1911 hingga 1920-an. Dari pemberitaannya yang saya pernah baca ada penulis cenderung jalan lebih kooperatif seperti Hassan Noel Arifin yang menentang kemerdekaan Hindia Belanda (edisi 17 Januari 1922), tetapi di sisi lain ia mengkritisi perbedaan gaji antara orang belanda dan Bumi Putera yang bekerja dalam kantor yang sama (edisi 26 Januari 192).
Penulis lain Mohamad Arif gelar Bandaharo Kajo dalam Oetoesan Melajoe edisi 7 Februari 1922 mengeluhkan jatuhnya harga barang perniagaan di Hindia Belanda hingga sejumlah usaha pailit, tutupnya sejumlah onderneming mengakibatkan banyak pengangguran. Selain itu kondisi ini diikuri naiknya biaya sekolah untuk anak-anak buruh. Cukup menarik dalam edisi yang sama, surat kabar itu memuat berita tentang pembukaan Kweekschool di Bandung. Rupanya sekolah guru itu membuka jalan bagi perempuan di Ranah Minang untuk bersekolah dan memajukan kaum perempuan.
Sejak awal memang Oetoesan Melajoe menunjukkan perhatiannya. Seorang bernama Dati Telaloe dengan tulisan berjudul “Anak Perempoean” dalam Oetoesan Melajoe edisi 6 Januari 1915 mengkritisi bahwa masih orang yang memandang anak perempuan inlander (pribumi) yang dipelihara seperti memelihara binatang. Dia menyorot perempuan hanya boleh tahu bekerja seperti kuda buta, tetapi tidak melihat jalan yang dilalulinya.
Begitu juga headline surat kabar tersebut pada edisi 5 Januari 1915 ada artikel “Bilakah Anak Negeri Hindia ini akan Madjoe?” yang ditulis aktifis Jong Sumatran menyerukan bahwa perempuan ahrus terpelajar agar kelak melahirkan orang-orang terpelajar. Pandangan-pandangan ini tampaknya diakomodir oleh Sutan Maharaja yang terkesan bersikap progresif terhadap kemajuan perempuan. Tak mengherankan jasa dia dan Oetoesan Melajoe yang paling besar ialah melahirkan seorang jurnalis perempuan pertama di Indonesia kelak.
Jurnalis itu adalah seorang perempuan di Koto Gadang bernama Rohana Koedoes juga memberikan konstribusi yang membuat dunia tekstil di ranah Minang survival. Pada 11 Februari 1911 Rohana dibantu Ratna Puti, isteri seorang jaksa mengadakan pertemuan di kota ini yang dihadiri sekitar 60 perempuan yang terdiri dari atas isteri pemuka adat, pejabat lokal yang kerap disebut sebagai Bundo Kandung. Pertemuan itu membahas perlunya sebuah sekolah kepandaian perempuan yang juga mengajarkan pengetahuan umum. Hasil pertemuan itu berdirinya Perkumpulan Kerajinan Amal Setia (KAS).
Menurut buku yang ditulis Fitri Yanti, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Koedoes, Jakarta, 2005 Sekolah ini mengajarkan bagaimana memperhalus hasil kerajinan tangan, menggali motif lama yang sudah terlupakan agar tidak punah. Hasilnya anyaman khas Kota Gadang seperti Ajung Surek, Siamang Bagayut (siamang itu monyet hitam), kijang bakaya, urat baringin, bunga kundur (bunga labu), gunting radin, cukit ulat, mangis hadir kembali. Begitu juga dengan kain tenun motif sarung bagademek, selendang balik, selendang barantai,kain semburan, yang tadinya kasar diperhalus dengan bebang halus oleh Rohana. Hasilnya produk dari KAS ini diminati orang-orang Belanda.
Salah satu orang yang tertarik pada produk KAS Muniek, Asisten Residen Sawahlunto sengaja datang ke Kota Gadang membeli hasil karya murid KAS. Rohana akhirnya-atas anjuran Muniek-membeli bebang dalam jumlah besar ke Toko Au Bon Marche, Maison Artiside di Paris pada 17 Juni 1912. Benang-benang itu akhirnya bisa dibeli dengan mencicil dengan dukungan sebuah bank. Sayangnya Rohana Koedoes hanya memimpin KAS hingga 1916 karena salah seorang mantan muridnya menjatuhkannya sebagai Direktris sekolah itu. Rohana tak pernah berhenti berjuang untuk kaummnya di bidang pendidikan, ia kemudian mendirikan sekolah kepandaian perempuan lainnya di Bukittinggi. Yang menarik sekolah itu untuk pertama kalinya memperkenalkan penggunaan mesin jahit Singer pada perempuan Minang.
KAS sendiri juga mengalami perkembangan setidaknya dilaporkan bulletin Berita Koto Gadang edisi Agustus dan November 1935. Menurut bulletin itu, KAS yang dahulunya hanya rumah tiga bilik , termasuk tiga untuk ruang tamu. Sementara bilik di kanan dan kirinya tempat murid bekerja hanya dilapisi lapak. Pada 1930-an ruangan-ruangan itu sudah mempunyai bangku,meja dan kursi untuk tempat belajar. Ada juga ruangan untuk mencuci, dapur untuk memasak. Namun KAS mengalami kesulitan keuangan hingga meminta derma pada orang-orang Koto Gadang di tanah rantau.
Karena taraf pendidikannya cukup tinggi dan cukup banyak yang suskes baik di ranah sendiri maupun rantau, sebagai pandai emas maupun pegawai, orang Kota Gadang mempunyai perhatian menyisihkan sebagian rejekinya untuk pembangunan infrastruktur air ledeng, hingga studie found (beasiswa) bagi anak-anak Kota Gadang. Begitu juga derma untuk meneruskan KAS juga beredar di Jakarta, Bandung,Bogor tempat rantau orang-orang Koto Gadang.
Dalam dimensi sosial ini bukan hanya orang Koto Gadang. Buku Republik Indonesia: Sumatera Tengah yang diterbitkan Departemen Penerangan, 1953 memberikan dana menarik tentang dunia saudagar di Sumatera Barat. Pada 1916 berdiri apa yang disebut sebagai Saudagar Vereeniging yang dipelopori oleh Injik Basa Bandaro dengan ketua pertama Nurdin Saleh. Dalam 1929 namanya menjadi Himpunan Saudagar Indonesia dengan ketuanya Taher Marah Sutan.
Selama 1916-1930 para saudagar ini mempelopori apa yang disebut Studie Fonds Minangkabau di antaranya memberikan beasiswa bagi pelajar yang melanjutkan pelajaran ke sekolah tinggi dan mendirikan serikat usaha menampung ana-anak yang tidak bisa diterima di HIS dengan mendirikan Sekolah Rakyat yang disebut Abadiah. Dari pemaparan buku itu jelaslah bahwa para pedagang memang memainkan peran sosial yang cukup besar.
Nama Taher Marah Sutan ini juga disebutkan Audrey Kahin. Disebutkan pengusaha pelayaran (shipping) ini sudah merintis liga pengusaha (Syarikat Usaha) pada 1914. Tujuannya mirip dengan Sarekat Islam di Jawa untuk melindungi saudagar pribumi dari dominasi pedagang Belanda dan Cina. Taher Marah ini merupakan sahabat dekat dari Mohammad Hatta dan banyak berperan dalam pergerakan nasional di daerahnya.
Anwar Abbas dalam bukunya Bung Hatta dan Ekonomi Islam yang diterbitkan Buku Kompas, 20120 pada halaman 40 menyebutkan bahwa Hatta ketika di Padang kerap datang ke kantor Taher Marah Sutan, ketika dia masih bersekolah di MULO (sekitar 1918). Di sana ia mendapatkan informasi soal seluk beluk perdagangan bumi putera yang berhadapan dengan Belanda dan Cina. Hatta menjadi tahu permasalahan masyarakat jajahan. Hatta juga membaca surat kabar Oetoesan Hindia yang dipimpin Cokroaminoto.
Selain Taher Marah Sutan, dalam buku karya Audrey Kahin yang saya sebutkan di atas nama Sulaiman Labai juga menonjol. Di dunia niaga berekspansi lewat Sulaiman Labai & Zoon dia melakukan kampanye iklan secara agresif dari kantor mereka di Silungkang, mengirim katalog-katalog ke seluruh Hindia Belanda, bahkan pengirimannya sampai ke negara-negara Asia dan Eropa. Surat kabar Oetoesan Melajoe yang saya baca juga pernah memasang iklan di Oetoesan Melajoe edisi 24 Januari 1922 sebagai saudagar (handelaar) kain tenunan Silungkang. Dia juga berdagang (agen dari pabrik) dompet kulit yang dijualnya per kodi mulai F30 hingga F45.
Dalam buku Kahin disebutkan kiprah Sulaiman Labai bukan hanya di dunia perdagangan tetapi juga di politik. Dia mendirikan Sarekat Islam lokal di Silungkang pada 1915. Saudagar ini mempunyai kepekaan sosial terhadap warganya. Misalnya saja pada 1918 ketika warga Silungkang menderita kelaparan, Sulaiman Labai dan sejumlah pengikutnya menghentikan kereta api yang mengangkut beras dan memaksa Kepala stasiunnya dipaksa menyerahkan dua gerbong beras dan membagikannya kepada warga yang lapar. Suatu tindakan heroik, namun dia bertindak tidak serampangan.
Sulaiman Labai mempelajari dahulu Undang-undang Darurat sebelum melakukan aksinya. Pemerintah kolonial hanya bisa menahannya beberapa hari dan melepaskannya setelah diberi peringatan. Pasalnya Sulaiman Labai sebelum mengambil beras dari gerbong kereta api itu, dia juga membuat tanda terima dan berjanji membayar beras yang dibagikan kemudian hari. Tindakan ini membuatnya populer dan kemudian membuat gerakan Sarekat Islam di Silungkang mendapat banyak pengikut.
Pada 1924 Sarekat Islam Silungkang bergerak ke kiri dan Sulaiman Labai mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat. Banyak anggota Sarekat Islam Silungkang mengikuti jejaknya. Aktifitasnya membuatnya ditangkap Belanda pada 13 Desember 1926 di Silungkang sebelum meletusnya sebuah pemberontakan pada Januari tahun berikutnya. Nasib Sulaiman Labai sendiri sudah tidak jelas saat itu.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Anwar Sirin, Perang Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927 yang dilansir oleh Timur Subangun dalam Berdikari Online, 2 April 2012 menceritakan bahwa pada Maret 1928 Sulaiman Labai dan sejumlah pejuang rakyat Silungkang di pindahkan ke penjara di Pulau Jawa. Dia merupakan orang yang keras terhadap penjajahan, ketika Jepang datang ia tetap bersikukuh berada dalam penjara karena menganggap Jepang sama saja. Dia meninggal 15 Agustus 1945, dua hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Ekspansi hingga Luar Negeri
Masih menurut catatan buku Republik Indonesia: Sumatera Tengah, Departemen Penerangan, 1953 sepanjang 1935-1943 persatuan saudagar ini berhasil mengusahakan surat izin import buat pemasukan dari Singapura via Pekanbaru bagi pedagang Indonesia atas pertolongan Muhammad Yamin, Handel Mij Boemipoetera. Organisasi juga berhasil membatasi pengusaha asing masuk ke Pasar Gedang dan dasar mempertahankan Pasar Gedang buat pedagang nasional.
Pengusaha lain yang disebutkan dalam buku itu adalah Rahman Tamin promotor dari organisasi Gabungan Importir Indonesia (GINDU). Pada 1951 Rahman mendirikan Gabungan Pembelian Importir Indonesia. Bisnisnya antara lain dipayungi perusahaan yang disebut Firman Rahman Tamin. Pengusaha lainnya ialah Abdul Aziz Latif, pada 1950 dia adalah Presiden Direktur Banking & Trading Coorporation yang bergerak di bidang pembuatan kapal laut. Dia juga pengusaha tekstil dan mempunyai brain-trust NV Hadji Abdul Latif.
Peneliti Indonesia asal Australia, Richard Robinson dalam bukunya Indonesia: The Rise of Capital, North Sidney: Allen & Unwin, 1986) memberikan perhatian terhadap Rahman Tamin. Sejarah Ekspansi Tamin group dimulai di Bukitinggi pada 1914 ketika Haji Tamin, ayahnya membuka kantor kecil di Bukittinggi. Bisnisnya distributor produksi petani kecil antara Bukittinggi dan Padang. Hal ini diikuti oleh kantor di Padang sendiri pada tahun 1928 dan pada tahun 1929 bisnis yang sedang dijalankan oleh Agoes dan Rahman Tamin yang telah menjalin hubungan perdagangan dengan perusahaan-perusahaan Cina di Singapura (hal 53).
Tamin kemudian bergerak di ke luar daerahnya di Sumatera Barat dan mereka terlibat dalam jaringan yang didominasi oleh pedagang Cina. Kelompok Tamin mampu mendirikan kantor mereka di Pintu Kecil, Pusat kegiatan komersial Cina di Jakarta. Adanya akses ke jaringan ini Cina dan kredit Cina adalah yang sangat penting untuk pedagang Sumatera. Menurut Robinson beberapa di antara para pedagang dari daerah itu ternyata mampu memperluas luar sektor perdagangan kecil menjadi impor dan ekspor di tingkat nasional dan internasional (hall 22).
Dari perdagangan komoditas pertanian, mereka menembus jaringan impor Cina, terutama dalam impor kapas dan kain tenun untuk Jawa dan industri percetakan. Pada 1950-an mereka sudah ambil bagian dalam distribusi barang-barang produk luar negeri. Selain Rahman Tamin, terdapat nama Djohan Soetan Soelaman dan Djohor Soetan Perpatih, Agoes Dasaad yang merupakan dua bersaudara. Mereka juga memulai bisnis pada 1920-an dan 1930-an. Agoes Dasaad ini mendirikan Dasaad Concern. Cabang perusahaan nya tersebar di Surabaya, Semarang, Cirebon dan Bandung. Dia satu-satunya pengusaha nasional pribumi sebelum kemerdekaan yang bergerak di sektor industri.
P. Swantoro dalam bukunya Sambung Menyambung Menjadi Satu yang diterbitkan kepustakaan Gramedia, 2002 (hal.53) menyebutkan dua bersaudara ini sudah mempunyai toko di Pasar Senen pada 1930-an. Mereka pernah membantu Mohammad Hatta ketika pulang dari Rotterdam pada 1932 membawa 16 peti buku dengan meminjamkan truk mereka. Di masa itu Djohan Djohor dan Toko Padang banyak disebut orang karena aksinya menurunkan harga barang. Tak sedikit toko-toko kepunyaan orang Cina di Pasar Senen, Pasar Baru dan Kramat akhirnya menurunkan harga barangnya juga. Semboyan dua bersaudara ini ialah “Untung Sedikit, Penjualan Banyak, Rakyat Tertolong”.
Majalah Merdeka 25 Oktober 1952 memuat satu artikel tentang pendirian apotik oleh seorang pengusaha perempuan bernama Roekmini Zainal Abidin. Pada waktu itu perempuan kelahiran Padang itu berusia 28 tahun belum lama membuka Apotik Tunggal di Salemba, Jakarta. Disebutkan pada 1950-an hanya ada 70 apotik seluruh Indonesia, hanya 7 buah kepunyaan orang Indonesia. Roekmini adalah putri seorang saudagar batik yang berasal dari Bukittinggi.
Roekmini beruntung memiliki orangtua yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada anak-anaknya menempuh pendidikan. Roekmini menamatkan HIS dan MULO di Pekalongan. Dia meneruskan pelajaran ke AMS di Jakarta, namun penyerbuan Jepang membuat pelajarannya tidak bisa diteruskan. Sesudah menamatkan SMT, dia meneruskan pelajaran ke Ika Dai Gakko Jaku Bu bagian farmasi yang menarik perhatiannya.
Pecahnya revolusi menjadikan sekolahnya terhenti. Dia kemudian melanjutkan pelajaran ke Klaten yang kemudian dipindahkan ke Solo. Aksi militer kedua menutup seluruh sekolah. Namun akhirnya Roekmini berhasil mendapat C2 dan ijazah asisten apoteker. Dia pernah bekerja di rumah sakit CBZ sebelum direbut Belanda. Selama bekerja di CBZ ia bertemu dengan suaminya Zainal Abidin yang bekerja di laboratorium.
Atas batuan suaminya, Roekmini mendirikan perusahaan kecil di bidang pemasukan obat-obatan. Dia bersaing dengan importir-importir besar yang telah berurat-berakar. Dia juga mencari jaringan untuk mendapatkan obat-obatan. Setelah bekerja keras selama dua tahun baru ia bisa mendirikan Apotik Tunggal. Menurut Roekmini niatnya terjun ke bidang ini karena masa itu Indonesia memiliki banyak dokter tetapi lapangan obat-obatan masih kosong.
Richard Robinson dalam Indonesia: Rise of Capital dan Yahya A.Muhaimin dalam bukunya Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1990 menyebutkan seorang pengusaha asal Minang lain yang muncul pada 1950-an. Namanya Masagoes Nor Mohammad Hasyim Ning lahir pada 1916 dari keluarga pedagang kecil yang bergerak di bidang karet, teh dan lada. Sebelum perang ia bekerja di perusahaan keluarganya dan beberapa perusahaan Belanda.
Di antara perusahaan Belanda tempatnya bekerja adalah NV Velodrome Motors yang bergerak di bidang importir mobil. Hasyim Ning kemudian memilih menjadi tentara pada masa revolusi, di antaranya menjadi asisten pribadi bidang keamanan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta dan dia juga perwira penghubung dari Perdana Menetri Syahrir. Pengalamana bekerja di militer menjadi bekal bagi Hasyim menjalin relasi dan jaringan kelak.
Dia kemudian pensiun dari dinas militer pada September 1951 dan pada tahun beriktunya Hasyim Ning diangkat menjadi Presiden Direktur Indonesia Service Company (ISC), sebuah perusahaan milik Bank Indonesia dan CV Putera. Perusahaan ini mengimport dan merakit truk mereka Dodge dan Jip Willys untuk keperluan militer. Dia juga mengambil alih NV Veledrome Motors tempatnya bekerja dulu dan mengubah namanya menjadi Djakarta Motors Company.
Hasyim Ning bersama-sama Agoes Muchsin Dasaad kemudian mendirikan PT Daha Motors (singkatan Dasaad-Hasyim). Perusahaan ini kemudian menjadi agen tunggaluntuk mengimport dan merakit mobil Fiat. Menyimak buku Robinson dan Yahya Muhaimin tampaknya kemunculan Hasyim Ning merupakan era baru sejarah kewirswastawan Indonesia umumnya di mana patronase politik memainkan perannya. Saya akan membahasnya dalam tulisan lain.
Yang kerap jadi pertanyaan saya, mengapa tidak banyak wiraswastawan Minang yang usahanya berlanjut sampai beberapa generasi seperti halnya perusahaan milik orang Tionghoa. Hal ini juga terjadi pada businessman muslim di Malang, yang pernah saya tulis. Sekalipun untuk kasus Minang, wiraswastwan punya kharakteristik yang berbeda, seperti diungkapkan beberapa peniliti yang ulasannya pernah saya baca.
Seorang peneliti asal Minang, Mohctar Naim dalam tulisannya “Perantau Masyarakat Minang dan Kaitannya dengan Masalah Kewiraswastawanan” dalam Prisma No9, 1978 mengakui kuatnya peran para pengusaha Minangkabau bila dilihat dari dimensi sosial. Desa-desa di Sumatera Barat yang mempunyai banyak perantau yang menjadi pedagang berbeda dengan para perantau yang menjadi pegawai seperti Kota Gadang memberikan kontribusi berbeda. Para pedagang membangun rumah-rumah bagus di kampung halamannya, sementara para pegawai lebih suka membangun rumah di kota tempat mereka merantau karena ingin menetap di sana. Sementara para pedagang tampaknya ingin melewatkan hari tuanya di kampung halaman.
Menurut Mochtar Naim perbedaan orientasi kewirausahaan orang Hoa Kiau dengan orang Minang adalah kalau orang Hoa Kiau orientasinya hanya ekonomi, sementara orang Minang selain ekonomi dibebani kewajiban-kewajiban sosial (seperti yang saya urai berdasarkan sejumlah literatur di atas). Orang Minang kehidupannya terbelah antara kewajiban terhadap keponakan (karena budaya ninik-mamak) dan kepentingan isteri dan anak di sisi lain. Konflik built- in berdampak pada usahanya.
Selain itu orang Tionghoa menurunkan kepandaian berusahanya kepadanya melalui latihan-latihan sejak kecil, misalnya menolong di kedai. Sementara (kebanyakan) pedagang Minang tak memperlihatkan kewajibaan itu. Mereka lebih suka anak-anak mereka masuk sekolah dan hidup bagai priyayi. Mereka tak ingin anak-anak mereka bersakit-sakit dahulu, seperti orangtuanya ketika merintis usaha.
Hal senada juga diungkapkan penulis lainnya Alfian Arbie dalam artikelnya “Bisnis Keluarga Suku Batak dan Minang dalam Polarisasi Konvensional” yang dimuat dalam Persepsi Minangkabau Minangrantau, diterbitkan di Medan oleh penerbit Maju pada 1984 (halaman 163). Pengusaha Minang cenderung untuk berorientasi ke kampung halaman mereka dengan cara mengirim dana yang tidak sedikit. Hanya saja Alfian menyebutkan bahwa pengusaha Minang menggunakan sistem bagi hasil dalam dunia usaha atau sistem anak semang dan induk semang dalam pola bisnis mereka.

sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bisnis-dan-dimensi-sosial-catatan-awal-tentang-kiprah-wiraswastawan-minangkabau-di-ranah-dan-rantau-1910-1950-an-549158.html

No comments:

Post a Comment