Kesultanan Peurlak,
Kerajaan Islam yang Pertama di Asia Tenggara
Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan,
kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan
bangsa Iran cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran,
setelah menerima agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua
bidang ilmu keislaman, yang tidak satu pun dari bangsa lainnya yang
sampai kepada derajat tersebut.
Secara khusus, kecintaan bangsa Iran kepada Ahlulbait tidak ada
bandingannya. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut
menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya, dan karena itulah kebudayaan
Iran pun dikenal. Mengenai Ahlubait, orang-orang Iran memiliki cara
khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain as pada bulan
Muharram. Peristiwa ini, atau yang dikenal sebagai tragedi Karbala,
adalah sebuah pentas kepahlawanan dunia, yang telah mempengaruhi
kebudayaan bangsa-bangsa non-Muslim.
Kisah kepahlawanan ini sudah berabad-abad selalu menjadi inspirasi
dan tema penting bagi para penyair dan pemikir Iran. Ia juga merupakan
episode sejarah yang penting dalam khzanah ajaran Syi’ah dan Sunah, dan
bahkan kesusastraan dunia.
Dalam syi’ah, kecintaan kepada Ahlulbait merupakan kecenderungan yang
abadi. Tanpa kecintaan ini, agama akan kosong dari ruh cinta. Bahkan,
sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila tidak memiliki rasa cinta
kepada Ahlulbait, maka seseorang telah keluar dari Islam. Budaya cinta
kepada Ahlulbait, yang merupakan bagian dari pemikiran dan tradisi
bangsa Iran, telah membekas diseluruh negeri Islam. Hal ini terkadang
juga disebut sebagai pengaruh mazhab Syi’ah yang tampak pada kebudayaan
Indonesia dan kaum Muslim dunia.
Kebudayaan Iran memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap
kebudayaan Indonesia. Hal itu menunjukan bahwa sejak dahulu telah
terjalin hubungan antara Iran dan Indonesia sehingga berpengaruh sangat
kuat terhadap kebudayaan, tasawuf, dan kesusastraan. Meskipun mayoritas
Muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, penelitian menunjukan bahwa
kecintaan Muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh orang-orang
Iran.
Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakannya tampak dalam bentuk
kebudayaan dan kesusastraan. Sejarah mencatat bahwa, di samping
orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari India, orng-orang Iran
memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dan
negeri-negeri Timur Jauh lainnya. Ada dugaan bahwa sebagian besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah.
Dimungkinkan pada masa awal perkembangan Islam disini, fikih Syi’ah-lah
yang berlaku.
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh
Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat
Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad
Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah
dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini
lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan
sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan
dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.
Untuk menggenapi informasi maklah ini , saya membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri. Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sangat menentang aliran Syi’ah yang
dipimpin oleh keturunan Ali bin Abu Thalib yang juga menantu Rasulullah
SAW. Oleh karena itu, tidak mengherankan aliran Syi’ah pada era dua
dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya
minoritas, banyak penganut Syi’ah terpaksa harus menyingkir dan wilayah
yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Kesultanan Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Asia
Tenggara yang berdiri pada tanggal 1 Muharam 225 H atau 804 M.
Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh
Darussalam, Indonesia.
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Asia Tenggara yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.
Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhanniaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari ArabdanPersia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Ada banyak kerajaan Islam di Indonesia. Tentu ini adalah salah satu
faktor yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dari
sekian banyak kerajaan, kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah
Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh Timur, daerah Perlak di Aceh
sekarang. Ada sedikit yang ganjal di sini. Dalam buku-buku teks
pelajaran di sekolah, disebutkan kerajaan Islam pertama di Indonesia
adalah Kerajaan Samudera Pasai.
Kesultanan Perlak adalah kerajaan islam pertama di Nusantara,
kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292 Masehi di sekitar
wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut masuk dalam wilayah
Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga, perlak sering disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat, malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena singgahannya kapal-kapal asing itulah masyarakat islam berkembang, melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga, perlak sering disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat, malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena singgahannya kapal-kapal asing itulah masyarakat islam berkembang, melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu
Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau
para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke
sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar
niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran
antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah
perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam
Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara.
.
Fakta menyebutkan Perlak lebih dulu ada daripada Samudera Pasai.
Kerajaan Perlak muncul mulai tahu 840 M sampai tahun 1292 M. Bandingkan
dengan kerajaan Samudera Pasai yang sama-sama mengambil lokasi di Aceh.
Berdiri tahun 1267, Kerajaan ini akhirnya lenyap tahun 1521. Entah
mengapa dalam buku-buku pelajaran, tertulis secara jelas kerajaan
Samudera Pasai-lah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Sebuah
kesengajaan….
Telah menjadi catatan para ahli sejarah dan ilmuan terutama Abu Ishak
Al-Makarany Pasy bahwa kerajaan Islam-I-Asia Tenggara adalah telah
didirikan di Peureulak dengan Ibukotanya, Bandar Khalifah.
Menurut penelitian para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum
datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia
Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun
SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang
Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan,
Persia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Letak geografis daerah Aceh sangat strategis di ujung barat pulau
Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan persinggahan
yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik pelayaran
berikutnya dari Cina menuju Persia ataupun Arab dengan menempuh samudra
luas. Salah satu kota perdagangan pada jalur tersebut adalah Jeumpa
dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat
dan kegunaan
.
Jeumpa Aceh adalah sebuah wilayah yang keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana penguasa Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Jeumpa Aceh adalah sebuah wilayah yang keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana penguasa Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang
terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada
sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot
Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke “Pintou Rayeuk” (pintu
besar)
.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
SEBELUM ISLAM, ACEH BERADA DALAM KEKUASAAN ORANG ORANG
HiNDU DARi GUJARAT, BEGiTU JUGA MEURAH PERLAK (YANG TiDAK PUNYA
KETURUNAN) JUGA BERAGAMA HINDU
Adapun catatan-catatan berkaitan menyebut Maharaja Salman datang ke
Aceh atau lebih tepat ke wilayah Jeumpa dianggarkan pada tahun 777
Masihi. Kedatangan rombongan 100 orang pendakwah ke Perlak yang diketuai
Nakhoda Khalifah pula dikatakan berlaku sekitar 804 Masihi. Catatan
turut menyebut Maharaja Salman telah berkahwin dengan Puteri Mayang
Seludang daripada Jeumpa.
datanglah rombongan dakwah dari Persia yang salah satu anggotanya
adalah pemuda tampan yang dikenal dengan Maharaj Syahriar Salman
al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut dalam
Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan
Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao.
Seorang Putra dari Dinasti Sasanit Pangeran Salman meninggalkan Tanah
Airnya menuju timur jauh dengan dan Asia Tenggara untuk berniaga dan
berdakwah dengan kapal dagangnya. Maharaja Salman dikatakan mendapat 4 orang putera – Syahir Nuwi,
Syahir Tanwi, Syahir Pauli, Syahir Dauli – dan seorang puteri, Tansyir
Dewi juga dikenali sebagai Makhdum Tansyuri. Puteri inilah yang kemudian
berkahwin dengan Ali bin Muhammad daripada rombongan Nakhhoda Khalifah.
Anak dari hasil perkahwinan ini diangkat menjadi Sultan Sayyid Maulana
Abdul Aziz yang diisytiharkan sebagai Sultan pertama kerajaan Islam
Perlak pada tahun sekitar 840 Masihi.
Ada pihak membuat telahan bahawa Maharaja Salman adalah seorang Ahlul
Bait dari keturunan Saidina Hussein AS, cucu lelaki kedua Nabi Muhammad
SAW. Alasan yang digunakan adalah kerana anak-anak Salman memakai
gelaran Syahir atau Syahri di pangkal nama dan ini bersamaan dengan
gelaran Syahri yang ada pada Puteri Syahribanun, isteri Saidina Hussein,
puteri raja terakhir empayar Parsi (dimasukkan ke dalam wilayah jajahan
Islam selepas dikalahkan oleh angkatan tentera yang dikirim oleh
Saidina Umar). Ini tidak mustahil memandangkan pada tahun 777 Masihi,
sudah ada 4 generasi keturunan Saidina Hussein. Ketika itu sudah hidup
seorang Ahlul Bait terkenal, Imam Muza al-Khazim bin Ja’afar as Sadiq
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Saidina Hussein sebagai
bandingan. Namun menyatakan seseorang itu sebagai Ahlul Bait hanya
berdasarkan pangkal nama Syahir atau Syahri terasa begitu dangkal.
Lagipun ia memang satu gelaran kebesaran yang digunakan bangsawan
berketurunan Parsi sejak turun-temurun.
Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan
keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw
yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun.
Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang
telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di dunia Islam,
termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei
sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.
Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang
Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu
Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman …
Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya
antara 224 – 651 Masehi.
Saat pertama adalah tiba dan berlabuh di Bandar Jeumpa (Aceh Jeumpa)
sekarang. Setelah kapal kembali pulang, Pangeran tidak ikut pulang dan
terakhir terpikat dan kawin dengan Putri Jeumpa bernama Putri Mayang
Seuleudang, Puteri dari penguasa jeumpa.
Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman
kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama
Mayang Seludang.. Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh,
Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna
Keumala adalah istri dari pangeran Salman, anak Meurah Jeumpa yang
cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang
telah mendukung karir dan perjuangan suaminya
.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya
telah mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat
menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang
kepercayaan kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan
tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri
penguasa jeumpa.
Salman beserta rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk
menuju ke Selat Malaka, namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman
singgah di negeri Jeumpa dan akhirnya menikah dengan puteri Istana
Jeumpa yang bernama Mayang Seludang. Pangeran Salman pun tidak
meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat Malaka, malah
sebaliknya ia hijrah ke Perlak setelah mendapat izin dari mertuanya
Meurah Jeumpa.
Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut
rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan
ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan
kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak.
Tiada berapa lama, atas restu Meurah Jeumpa, Pangeran Salman dan
Puteri Mayang Seuleudang berangkat ke Negeri Peureulak, kedatangannya
adalah diterima oleh Meurah Peureulak. Setelah baginda Meurah Peureulak
berpulang ke rahmatullah, Baginda tidak mempunyai anak laki-laki.
Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin
baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, wilayah
Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai penguasa
Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang
Seludang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir
Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi.
Atas mufakat Pembesar-pembesar Negeri Peureulak serta rakyat,
diangkatlah Pangeran Salman menjadi penguasa Peureulak yang baru. Dalam
masa Baginda menjadi penguasa Peureulak, negeri menjadi makmur-rakyat
sejahtera, ekonomi maju pesat karena hubungan perdagangan dan
kapal-kapal asing ramai berdagang ke negeri Peureulak, terutama membeli
hasil bumi dan rempah-rempah.
Rombongan dakwah yang terdiri dari pedagang dan keturunan raja raja
Sasanid yang berdakwah datang dari Persia meneruskan perjalanan mereka
ke Selat Malaka, akan tetapi seorang anggota rombongan bernama
MAHARAJ SYAHRiAR SALMAN yang menikahi puteri PENGUASA JEUMPA
yaitu Mayang Seludang memilih menetap di Perlak …
Pangeran Salman dan Puteri Mayang Seuleudang mempunyai 4 orang putra dan 1 putri, masing-masing adalah :
- Syahir Nuwi, kemudian menggantikan ayahnya jadi penguasa Peureulak.
- Syahir Tanwi (Puri), kemudian pulang ke negeri Ibunya Jeumpa dan diangkat menjadi penguasa Jeumpa, menggantikan kakeknya yang telah meninggal dunia.
- Syahir Puli, merantau ke Barat (Pidie, sekarang) kemudian di negeri itu diangkat menjadi penguasa Negeri Sama Indra (Pidie)
- Sayhir Duli, setelah dewasa merantau ke daerah negeri barat paling ujung (Banda Aceh, sekarang), karena kecakapannya diangkat menjadi penguasa Negeri Indra Pura (Aceh Besar, sekarang).
- Putri Maghdum Tansyuri
Mayang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya
tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik yang baik bagi
anak-anaknya yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah ajaran
Islam. Ratu dikaruniai beberapa putra putri yang dikemudian hari menjadi
tokoh yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan
Islam di Asia Tenggara.
Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak
lain adalah Putro Mayang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi
Ratna Keumala, anakpenguasa Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan
berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan
perjuangan suaminya sehingga keturunan nya berhasil mengembangkan sebuah
Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya telah
melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Tidak semua Puteri Raja menjadi pendukung keberhasilan suaminya,
bahkan ada yang menjadi penyebab kehancurannya. Ingatlah
sosok Cleopatra, Sang Maha Ratu Mesir yang penuh intrik dan telah
menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius Caesar. Karena Yulius menikahi
Cleopatra, maka karirnya sebagai Penguasa Agung atau Kaisar Agung
Romawi hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan pemujanya, bahkan
rakyatnya sendiri melecehkannya karena membawa Cleopatra ke Romawi.
Akhirnya Yulius yang diagungkan dipecat senat Romawi bahkan dibantai
oleh anggota Senat dihadapan dewan terhormat tersebut tanpa pembelaaan.
Demikian pula yang telah menimpa Anthony, pengganti Yulius karena nekad
menikahi Cleopatra, karirnya hancur dan bunuh diri di Mesir akibat
intrik Cleopatra yang penuh tipu daya.
Putro Manyang Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya. Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari wilayah Poli
yang selanjutnya berkembang menjadi wilayah Pidier di wilayah Pidie
sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri
Tanti mengembangkan kerajaan yang selanjutnya menjadi cikal bakal
berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan
mengembangkan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi penguasa dan pendiri dari
wilayah Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu dari
Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang
diangkat pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa yang diwariskan kepada
keturunannya menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa
penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak
diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi
perjuangan para gadis dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Puteri-puteri
Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para wanita Islam di
istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun.
———————————————————
Pangeran Salman dan puteri Mayang Selundang dianugerahi empat orang putera dan seorang puteri. Mereka adalah Syahir Nuwi (Meurah Fu) yang menggantikan ayahnya menjadi penguasa Perlak dengan gelar Meurah Syahir Nuwi, kemudian Syahir Dauli pergi merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), sedangkan Syahir Pauli menrantau ke negeri Samaindera (Pidie) dan Syahir Tanwi kembali
ke negeri ibunya di Jeumpa dan kemudian di angkat menjadi Meurah
Negeri Jeumpa menggantikan kakeknya. Keempat putera Maharaj Syahrian
Salman sering dikenal dengan kaum imam empat (kawom imum peuet) atau
penguasa empat.
Sementara puteri mereka Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali al-Muktabar.. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Saat Sayid Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi
Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak dengan gelarnya Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang silsilahnya sebagai berikut seperti
yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi: Sultan Alaiddin Sayid
Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali al-Muktabar bin Sayid Muhammad
Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Sayidina
Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Sayidina
Ali bin Abu Thalib.
Sayid Ali Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan
salah satu keturunan dari Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar
al-Shadiq adalah imam Syiah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah
SAW melalui anaknya Nabi bernama Siti Fatimah yang memegang
pemerintahan pusat di Baghdad. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah
yaitu: Muhammad bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali
Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Fatimah binti
Muhammad Rasulullah SAW.
——————————————————–
Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi
dengan wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta
membuat sejarah kegemilangannya masing-masing yang tidak pernah dicapai
oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri Arab
sekalipun.
Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putro Jeumpa Mayang
Seuludong telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya, dan telah
melahirkan wanita-wanita agung yang sangat berpengaruh dan memiliki
kharisma serta kecantikan. Di antaranya adalah “ratu” Perlak bernama
Makhdum Tansyuri (ibunda Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak
pertama), Maha Ratu Kerajaan Pasai bernamaNahrishah, Maha Ratu Darwati
(Dhawarawati) yang menjadi Maha Ratu Majapahit (ibunda Raden Fatah,
Sultan Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa bernama Demak), Maha Ratu
Tajul Alam Safiatuddin yang menjadi Maha Ratu Kerajaan Aceh Darussalam.
Di samping itu ada yang menjadi panglima agung yang ditakuti musuh,
seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut Meutia dan
lain-lainnya.
Sepatutnya wanita-wanita agung inilah yang menjadi teladan bagi
mereka yang memperjuangkan emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa
kenyataannya, sebelum Barat melaungkan emansipasi, wanita-wanita Aceh
telah menikmati kesetaraannya secara maksimal
saudaraku….
Sebelumnya, dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah
yang dipimpin oleh Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti tersebut tidak mendapatkan tempat yang aman dan selalu di
ditindas karena jumlah minoritas, sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut. Pada
masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219H/813-833 M)
Dicatat dalam sejarah, pada awal abad ke 9 Masihi telah datang
rombongan 100 orang pendakwah dari Timur Tengah berlabuh di Perlak,
diketuai seseorang yang dikenali sebagai Nakhoda Khalifah. Mereka ini
dikatakan telah melarikan diri daripada buruan kerajaan selepas gagal
dalam percubaan menggulingkan pemerintahan Bani Abbasiyah.
Ahli rombongan ini dikatakan terdiri daripada keturunan Rasulullah
SAW melalui puteri baginda Fatimah az-Zahrah dan suaminya, Saidina Ali
bin Abi Talib Karamallahuwajha, juga para penyokong yang mahukan
kepimpinan anak cucu Nabi. Termasuk di kalangan mereka adalah seseorang
bernama Ali bin Muhammad bin Jaafar Al-Sadiq.
Ada catatan lama menyebut Merah Syahir Nuwi berasal dari keturunan
seorang bangsawan Parsi bernama Salman yang telah berhijrah ke bumi
Serambi Mekah beberapa kurun terdahulu. Pelabuhan Perlak pula dikenali
sebagai Bandar Khalifah sejak kedatangan rombongan 100 orang pendakwah
itu, sempena nama ketua mereka Nakhoda Khalifah.
Ketika itu, Perlak sedang diperintah raja berketurunan Parsi, Merah
Syahir Nuwi. Raja dan rakyat Perlak tertarik dengan akhlak ahli
rombongan lalu menganut Islam, Rombongan itu dimuliakan dan Ali
dikahwinkan dengan adik perempuan penguasa Perlak yang bernama Makhdum
Tansyuri.
Atas dasar itulah, sebuah Armada Angkatan Dakwah beranggotakan 100
orang dibawah pimpinan Nahkoda Khalifah (turunan Qatar) memasuki Bandar
Peureulak.
maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah
yang di kemudian hari dikenal di Aceh dengan Nahkoda Khalifah dengan
misi menyebarkan Islam. Salah satu anggota dan Nahkoda Khalifah itu
adalah Sayid Ali al- Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar
al-Shadiq.
Dari hijrah tersebut, berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan
angkatan dakwah termasuk di dalamnya Sayid Ali Muktabar. Bandar Perlak
disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang
terdiri dari orang-orang Arab suku Qurasy, Palestina, Persia dan India
dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar menjadi pedagang. Rombongan
Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan penguasa negeri Perlak
yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi.
Mereka merapat di pelabuhan Perlak sebagai akibat dan kekalahan
golongan Syi’ah oleh dinasti Abbasiyah. Dinasi Abbasiyah yang pada saat
itu dipimpin Khalifah Al-Makmun (813-833) sehingga rombongan kaum Syi’ah
yang berhijrah itu itu adalah rombongan Nahkoda Khalifah.
Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang
dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi .
Syahir Nuwi penguasa Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia
bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di
Negeri Indra Purba (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi
Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi
kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya.
Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa
yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka
dikuasai oleh darah keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti
Sassanid Persia dan bercampur dengan darah pribumi Jeumpa (sekarang
Bireuen).
kemudian datanglah rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh
Nakhoda Khalifah. Tujuan mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah
menyebarkan agama Islam di Perlak. Pemimpin dan para penduduk Negeri
Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama mereka untuk berpindah ke
agama Islam
Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih
100 orang da’i yang terdiri dan orang-orang Arab dan suku Quraish.
Palestina. Persia, dan India di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah sambil
berdagang sekaligus berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan
khusus terutama di bidang pertanian, kesehatan. pemerintahan, strategi,
dan taktik perang serta keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai di Perlak, rombongan Nahkoda Khalifah disambut dengan
damai oleh penduduk dan penguasa Perlak yang berkuasa saat itu yakni
Meurah Syahir Nuwi.. .Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih
berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa
Syahr Nuwi
Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah yang
menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya
setelah Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam ”pemberantakan” kaun
Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja’far Ashhadiq.
Berikut Silsilah Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang
dikutip dan Silsilah Raja-raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan
Raja-raja Islam di Nusantara yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi.
“Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali Al
Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja ‘far Asshadiq bin Imam
Muhammad Al Baqir bin Saiyidina Ali Muhammad Zainal Abidin bin Saidina
Hussin Assysyahid bin Saidina Ali bin Abi Thalib
Sebagian dan anggota rombongan itu menikah dengan penduduk
lokal termasuk Sayid Ali al-Muktabar kemudian menikah dengan adik Syahir
Nuwi yang bernama Puteri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar
ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini setelah dewasa dinobatkan menjadi
Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak
Adik bungsu Syahir Nuwi yaitu Putri Tansyir Dewi, menikah
dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang
tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah.
Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang.
Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan
India.. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali
al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid
Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak
Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra
dari Sayid Muhammad Diba’i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6)
anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina
Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen,
putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah,
putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah:
Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana
Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin
Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin
Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan
Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw).
Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad
bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir
Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana
Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah
ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan
istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo,
Perlak, Aceh Timur.
Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang
beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para
pedagang dari Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan
Perlak
Kerajaan Perlak berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama,
Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah
ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah
Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul
Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan
pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya
pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi, saat kerajaan Mataram
Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan
mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari bandar
Perlak menjadi Banda Khalifah.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz
Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan
setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840
M).
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiahdan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M).
Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi,
kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Kini jelaslah kepada kita bahwa – Kerajaan Islam –I – Asia Tenggara
(Peureulak) dimulai pada 840 M sampai dengan Sulthan Maghdum Alaiddin
Malik Abdul Aziz Shah Johan berdaulat adalah terakhir tahun 1292 M.
Artinya, Dinasti Islamiyah di Peureulak telah Berjaya selama 452 tahun
lamanya.
Disini dapat kita simpulkan bahwa ada dua tokoh penyebar Islam ke Aceh yang berasal dari tanah Persia :
1. Maharaj Syahriar Salman : seorang pangeran keturunan Dinasti Sasanid Persia
2. Sayid Maulana Ali al-Muktabar keturunan Rasulullah SAW
————————————————————————————————–
Daftar Sultan Perlak
Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah
ada penguasanya, yaitu Maharaj Syahriar Salman dan Syahir Nuwi.
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888 – 913)
…Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa
pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah.
Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara
antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi
tanpa pemimpin
Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan
Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian
memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika
pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan
Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Perlak sempat memiliki dua sultan pada masa ini dengan Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah berkuasa di Perlak Pesisir hingga 988….
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi
gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah
sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat
meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni
selama kurang lebih empat tahun.
Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian
dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah
(986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)……
Pada tahun 362 H (956 M),
setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul
Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih
empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan
pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
- Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986– 988)
- Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijayamenyerang
Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan
perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Namun Islam Syi’ah tidak berkembang karena Perlak Syi’ah dihancurkan
Sriwijaya dalam suatu serangan tahun 986, bahkan Sultan Alaiddin Syed
Maulana Shah juga mangkat dalam usaha mempertahankan kerajaannya.
Kerajaan Perlak Sunni selamat karena Sriwijaya terpaksa harus
menarik mundur pasukkannya dan Perlak sebab mendapat ancaman dan Dharma
Bangsa dan Jawa.
Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali
kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak
Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan
Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-8 berpaham aliran Sunni
Islam Sunni terus berkembang bahkan menyatukan kedua wilayah Perlak tersebut dalam satu bendera Perlak
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti,
yaitu dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat,
yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
Wilayah Kekuasaan
Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan
Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini,
kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya
berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam,
Indonesia.
Struktur Pemerintahan
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan
letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai
penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat
kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat,
Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para
pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan
ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya
masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak
mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad
ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai
konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat
pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi
dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu
saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap
perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
- Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah(Parameswara).
- Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292).
Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai
di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al
Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah
II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri
tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala
dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah
(Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292.
Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di
bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu,
Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik
al-Saleh
Berita dari marcopolo menyebutkan, pada saat persinggahannya di Pasai
pada tahun 692 H atau 1292 M, telah banyak ulama arab yang menyebarkan
Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batuttah, Pengembara Muslim dari
Maghribi (sekarang maroko). Ketika Singgah di aceh pada tahun 746 H atau
1345 M, ibnu Batuttah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah
tersebar Mazhab Syafi’i.
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas. Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan politik persahabatan. Jalan yang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas. Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan politik persahabatan. Jalan yang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh
.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultan yang terakhir. Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultan yang terakhir. Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Saleh.
Namun, dengan berkembangnya mazhab Syafi’i, mazhab Syi’ah
mulai terkikis dan sekarang ini pengaruh fikih Syi’ah di Indonesia tidak
terlihat lagi. Azan di Indonesia sedikit berbeda dengan azan di Iran
(yang terdengar melalui media elektronik). Shalat Jumat di Indonesia
dilakukan disetiap mesjid tetapi di Iran shalat Jumat hanya dilakukan di
satu tempat di setiap kota.
Model bangunan makam-makam para wali di Indonesia berbeda
dengan makam-makam para imam dan keturunan imam di Indonesia, bahkan
bisa dikatakan sangat sederhana. Adapun pengaruh Iran yang penting setelah revolusi Islam
terlihat pada kelompok Syi’ah di Indonesia. Di kepulauan Indonesia,
sebagian besar sayid Alawi berasal dari wilayah Hadramaut, Yaman, yang
sangat berperan besar dalam dakwah Islam.
Sayid bermakna ’pemimpin atau petunjuk’. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, Dan
mereka berkata, wahai Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan
orang-orang terhormat di antara kami, dan mereka telah menyesatkan kami
dari jalan yang benar.[1]
Rasulullah, Muhammad saw, tentang Fatimah as bersabda, “Fatimah adalah penghulu wanita seluruh alam.”[2]
Kemudian, tentang cucunya, Imam Husain as, Nabi saw bersabda, “Al-Husain adalah penghulu para pemuda surga.”[3]
Berdasarkan pandangan ini,, dikatakan bahwa para sayid adalah anak keturunan Rasulullah saw serta pemimpin kabilah dan kaum, misalnya al-Ishfahani mengatakan, “Makna sayid adalah penguasa atau pemimpin keluarga, sebagaimana Ustman bin Affan sebagai sayid keluarganya.”[4]
Kemudian, tentang cucunya, Imam Husain as, Nabi saw bersabda, “Al-Husain adalah penghulu para pemuda surga.”[3]
Berdasarkan pandangan ini,, dikatakan bahwa para sayid adalah anak keturunan Rasulullah saw serta pemimpin kabilah dan kaum, misalnya al-Ishfahani mengatakan, “Makna sayid adalah penguasa atau pemimpin keluarga, sebagaimana Ustman bin Affan sebagai sayid keluarganya.”[4]
Sayid pun digunakan untuk julukan bagi ahli tasawuf dan para wali[5]. Pada abad ke-8 H, kelompok Syi’ah Dua Belas Imam, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, juga disebut dengan sayid[6].
Pada abad ke-8 H, terdapat seseorang bernama Naqib Ahlulbait, Abu
Barakat bin Ali al-Husaini dikenal dengan julukan as-Sayid asy-Syarif.[7]
Umumnya, julukan “syarif” adalah gelar bagi anak keturunan
Hasan bin Ali as, yang kebanyakan hidup di Madinah. Sementara itu, gelar
“sayid” digunakan bagi anak keturunan Husain bin Ali as, yang
kebanyakan tinggal di Hadramaut, Yaman.[8]
Komunitas para sayid Hadramaut juga dijuluki dengan habib (haba’ib), yang artinya adalah anggota Ahlulbait. Sejumlah besar sayid dari Hadramaut telah berhijrah ke kepulauan Indonesia.
Dikatakan bahwa wilayah Hadramaut di Yaman memiliki
pohon-pohon kurma yang kuat, pepohonan yang indah, dan padang-padang
berpasir dengan Laut Merah, dan juga memiliki sejarah dan peradaban
kuno. Pada abad ke-5 dan 6 M, negeri indah Yaman adalah sumber sengketa
antara kekasaisaran Romawi dan Persia. Pada awal abad ke-7 M, negeri ini
menjadi bagian dari pemerintahan Islam yang berpusat di Madinah.[9]
Pada masa kejatuhan Irak ke tangan Islam, Muslim Hadramaut
memiliki peran besar dalam peperangan antara pasukan Islam dan pasukan
kerajaan Sasani. Setelah itu, sejumlah besar masyarakat Hadramaut hijrah
ke Irak, secara khusus pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab.
Kemudian, pada zaman ‘Ali bin Abi Thaib as, pasukan Hadramaut yang
berada di Irak menjadi pendukung Khalifah Ali as dalam peperangan Jamal
dan Shiffin dan sejumlah besar dari mereka menerima mazhab Syi’ah.[10]
Gerakan politik mazhab Syi’ah bertambah besar pada zaman
kekuasaan Bani Umayah. Seorang Khalifah Bani Umayah, Hisyam, pada 122
H/740 M, berhasil memenangkan peperangan dan membunuh pemimpin terakhir
kaum Syi’ah, Zaid bin Ali, cucu Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib as.
Pada zaman ini pula, 129 H/747 M, di Hadramaut muncul gerakan
kelompok Ibadiah dari kalangan Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah bin
Yahya, yang berjulukanThalibulhaq. Ia terbunuh pada zaman
kekuasaan Khalifah Umayah, Marwan bin Muhammad. Pada zaman ini, pengaruh
khawarij di Hadramaut menjadi kuat dan Ahmad bin Isa adalah pemimpin
terpenting bagi kaum Sayid Hadramaut.
Pada zaman Khalifah al-Mu’tamad (156-276 H/870-892 M), kakek
dari Ahmad bin Isa, yaitu Muhammad an-Naqib bin Ali bin Jafar ash-Shadiq
bersama putranya bernama Isa, hijrah dari Madinah ke Basrah, Irak.
Disanalah, Isa menikah den lahirlah putranya yang bernama Ahmad.
Ahmad dan putranya Abdullah, pada 317 H/929 M hijrah dari
Irak ke Hadramaut, Yaman. Ia hijrah karena, di Basrah, kelompok-kelompok
Qaramitah dan Zanj (dari Sudan) melakukan kerusakan-kerusakan dan
pemerintahan Abasiyah, di masa Khalifah al-Muqtadir (295-320 H/908-932
M), selalu melakukan kezaliman dan penganiayaan terhadap anak keturunan
Ali as.[11]
Berkenaan dengan hijrah tersebut, Ahmad bin Isa disebut dengan Muhajir ilallah (yang berhijrah kepda Allah). Ahmad bin Isa dan para pengikutnya secara bertahap berhasil menghentikan pengaruh Khawarij di Hadramaut. Mazhab suni Syafi’i pun berkembang di sana.[12] Dua abad kemudian, pada 521 H/1127 M, sejumlah orang dari Alawi al-Qasim, hijrah ke daerah Tharum, di Selatan Hadramaut. Tharum pernah terkenal sebagai pusat agama dan ilmu, dan di sana para sayid Alawi Hadramaut sangat dimuliakan.
Berkenaan dengan hijrah tersebut, Ahmad bin Isa disebut dengan Muhajir ilallah (yang berhijrah kepda Allah). Ahmad bin Isa dan para pengikutnya secara bertahap berhasil menghentikan pengaruh Khawarij di Hadramaut. Mazhab suni Syafi’i pun berkembang di sana.[12] Dua abad kemudian, pada 521 H/1127 M, sejumlah orang dari Alawi al-Qasim, hijrah ke daerah Tharum, di Selatan Hadramaut. Tharum pernah terkenal sebagai pusat agama dan ilmu, dan di sana para sayid Alawi Hadramaut sangat dimuliakan.
Di sana para sayid mendirikan suatu pergerakan yang diberi nama Ba’alawi, sebagai sarana mengenal para sayid Alawi.[13] Para
sayid menyakini bahwa diri mereka berasal dari keluarga Rasulullah saw,
dari anak keturunan imam Husain as. Sejumlah besar sayid Hadramaut
(para sayid Alawi) telah berhijrah ke Jawa, Indonesia, dan ke Asia
Tenggara.[14]
Imam husain as pada tahun 61H/681M, dalam usia 56 tahun,
syahid di Karbala. Putranya, Imam Ali Zainal Abidin as, berasal dari
istri imam Husain yang merupakan putri Yazgard, raja Iran yang
terkenal. [15]
Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa para Sayid Alawi
hadramaut berasal dari keturunan Ali al-Qasim bil Bashrah, yakni cucu
ketiga dari imam Husain as. Dapat dikatakan bahwa para sayid Hadramaut,
dari anak keturunan Ahmad bin Isa, sangat terkenal serta memiliki
hubungan yang kuat dengan para sayid di Maroko, Hijaz, dan India, dan
selalu mendapatkan bantuan keuangan dari mereka.
Secara umum para sayid menguasai bidang ilmu agama dan tasawuf.[16] Ibnu
Khaldun menulis bahwa pada zaman Abasiyah, setelah terjadinya berbagai
perubahan, ajaran kelompok Rafidhiah (julukan tendensius para penentang
Syi’ah. Rafidhiah berasal dari kata rafadha yang berarti “menolak”,
yakni menolak tiga khalifah pertama- peny.) sangat berpengaruh besar
terhadap tasawuf dan bermunculanlah para tokoh sufi terkenal, misalnya
Qushairi dan Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali.
Setelah abad ke-4 H atau abad ke-11 M, tasawuf tampil secara
sempurna sebagai sebuah cabang ilmu. Di dunia Islam, lahir berbagai
kelompok tarekat, yang semuanya bersumber pada ajaran al-Quran. Setiap
tarekat memiliki cara khusus dalam berzikir kepada alllah Swt.[17] Tarekat
Alawi (tarekat yang didirikan oleh sebagian besar sayid di yaman
Selatan) terbagi menjadi dua cabang, batiniah dan zahiriah. Zahiriah
mengikuti Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali sedangkan batiniah adalah
pengikut tarekat Syadziliyah.[18]
Kebanyakan sufi terekat Alawi memiliki karamah dan menyandang
sejumlah julukan, misalnya syekh, naqib danquthb, serta mereka
mewariskan sejumlah kitab tentang zikir. Dalam kitab-kitab zikir
disebutkan sejumlah tokoh terkenal dari kalangan para sayid, seperti
Muhammad bin Ali Ba’lawi, Syekh Alin bin Abdullah Baras, Abdurrahman
Assegaf dan al-Qutub Umar bin Abdurrahman al-Attas.
Dikatakan bahwa para waliyullah memiliki kemampuan untuk memecahkan batu-batu besar dan menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Masyarakat setempat sangat menghormati mereka dan mendapatkan kesembuhan dengan keberkahan doa mereka.[19]
Para
sayid Alawi sangat menguasai pelayaran dan perdagangan. Mereka sangat
aktif mulai dari Semenanjung Arab hingga ke Teluk Persia, tepatnya di
sejumlah pelabuhan misalnya Siraf, Kish dan Ubullah (Bushers).
Sejak Irak jatuh ketangan orang-orang Mongolia, pada 1258 M, pusat perdagangan Arab berpindah ke Eden, di Yaman. Serombongan pedagang, tokoh-tokoh agama, dan ulama dari berbagai penjuru Semenanjung Arab pernah pergi ke sejumlah negeri di Timur Jauh, seperti Cina dan Semenanjung Melayu, yang sebagian dari mereka adalah ahli tasawuf dan agama.[20]
Islam yang diterima di Indonesia merupakan hasil usaha
mubalig dari Iran . Pengaruh tasawuf di sana pun sangat mencolok. Buku
Hikayat Raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu juga mencatat fenomena
tersebut.
Setelah berhasil memperkenalkan tasawuf dan tarekat di
Malaka, Maulana Abu Bakar pergi ke berbagai wilayah di Indonesia. Di
Brunei dan Ceh (Filipina), Ia pun sempat memperkenalkan ajaran Islam.
Kebanyakan para mubalig yang datang ke Tanah Melayu menyandang sejumlah
julukan, misalnya Syekh, sayid dan syarif. [25]
Sejumlah besar sayid datang dan pergi ke Asia Tenggara, yaitu
Jawa, Sumatra dan Semenanjung Melayu hingga masa penjajahan Belanda.[26]
Pada abad ke-16 M, seorang Mubalig Arab bernama Syarif
Muhammad bersama beberapa pengikutnya, tiba di Mindanao, di selatan
Filipina dari Malaysia untuk menyebarkan Islam. Disebutkan bahwa ia
adalah putra dari seorang Arab bernama Syarif Ali Zainal Abidin, dari
kalangan para sayid Alawi Hadramaut. [27]
Para sayid Alawi, dalam jumlah besar, datang ke kepulauan
Nusantara melalaui jalur India, misalnya Sayid Usman bin Shahab yang
memerintah kerajaan Siak dan Sayid Husain al-Qadri yang menjadi sultan
di kerajaan Pontianak, di Kalimantan.[28]
Hijrahnya para sayid dari Hadramaut ke Asia Tenggara antara
abad ke-17 hingga 20 H, berlangsung dalam beberapa tahapan. Mereka
datang ke kepulauan nusantara dari India dan Indo-Cina. Para sayid Alawi
berada di India sejak abad ke-7 H atau abad ke-13 H. Kemudian, sejak
abad ke-10 H M, mereka sering datang-pergi ke daerah Pahang, di
Malaysia.
Di kampung Pematang Pasir, di jazirah Tambun Pekan, di kota
Pahang, Malaysia, terdapat sebuah makam orang Arab yang meninggal pada
tanggal 14 Rabiul Awwal 419 H atau tahun 999 M.
Menurut sejumlah penulis seperti Nuwairi dan al-Maqrizi,
sejak zaman kekuasan Bani Ummayah, beberpa keluarga kelompok Alawi atau
Syi’ah telah berada di Jazirah Sila (Korea) dan Cina. Sangat mungkin,
kepergian mereka ke sana karena lari dari kezaliman dan kejahatan Bani
Umayah.
Demikian pula, terdapat kampung Leran, di Jawa Timur, yang
nama kampung tersebut diambil dari kaum Lor, yakni orang-orang Iran yang
pernah hijrah ke Jawa. Di kampung itu, terdapat makam seorang wanita
Muslimah bernama Fatimah binti Maimun. Ia wafat pada 475 H/1082-1083 M.
Semua keterangan di atas menjelaskan bahwa hubungan negeri
Arab dan Teluk Persia dengan Cina dan kepulauan Nusantara sudah ada
sejak dahulu kala. Para sayid Alawi Hadramaut yang pernah berhijrah ke
Asia Tenggara umumnya berasal dari beberapa marga, misalnya; al-Habsyi,
al-Yahya (bin Aqil), Khirid, Hiduwan, as-Segaf, al-Attas, al-Jufri,
al-Idrus, al-Haddad, asy-Syihab, dan yang lainnya.[29]
Menurut seorang peneliti dan ahli sejarah, Aboebakar Atjeh,
di antara para mubalig yang pernah memperkenalkan ajaran Islam di
Indonesia adalah keturuanan Ahlulbait. Aceh adalah wilayah pertama yang
didatangi para mubalig dari Arab, Iran, dan India. Sementara itu, mazhab
yang pertama kali berkembang di Aceh adalah Syi’ah dan Syafi’i.
Ia juga adalah wilayah yang menjadi tempat pemberhentian dan
wilayah transit para pedagang sebelum pergi ke sejumlah pelabuhan,
seperti Malaka, kepulauan Nusantara, dan Cina.
Orang Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji kerap
melintasi Aceh, dengan menggunakan kapal-kapal Aceh atau internasional.
Aceh adalah wilayah yang dikenal sebagaiSerambi Mekkah. Aboebakar Atjeh
juga menulis bahwa dua orang ahli sejarah Iran, Sayid Mustafa
Thabathaba’i dan Sayid Dhiya’ Shahab, dalam buku Hawla al-Alaqah ats
Tsaqafiyah bayna Iran wa Indunizi (Tentang Hubungan Kebudayaan antara
Iran dan Indonesia) menunjukan bahwa makam Maulana Malik Ibrahim Kasyani
(wafat 822 H/1419 M) berada di Gresik, Jawa Timur, dan makamnya Sayid
Syarif Qahhar bin Amir Ali Astarabadi (wafat 833 H) dan Hisamuddin Naini
berada di Aceh.[30]
Sayid Mustafa juga melihat makam lainnya, yang pada papan
makamnya tertulis beberapa baris ayat al-Qur’an dan syair tentang
keagungan Imam Ali as, yang terjemahannya kira-kira sebagai berikut;
Pemuka Para Pemberani, Singa Tuhan,
Kekuatan Tuhan
Tidak ada pemuda kecuali Ali,
Tidak ada pedang kecuali Zulfikar.[31]
Masuknya ajaran Islam ke Sumatra umunya melalui usaha para
sayid Alawi. Dalam kitab-kitab Arab kuno, kepulauan Nusantara tertulis
denga nama Syarq al-Hind (Hindia Timur), Srilanka dengan nama Sarandip,
kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama Sribaza, Kedah di Malaysia
dengan nama Kalah, Jawa dengan nama Zabij, dan Kalimantan dengan nama
Ranj.
Para mubalig yang pertama kali datang ke Brunai adalah para
sayid dan syarif, dan masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga
sultan-sultan di Brunai dan Fhilipina.
Sejarah Serawak, Malaysia, menunjukan bahwa raja Brunei,
Sultan Barakat adalah anak keturunan Imam Husain bin Ali as. Demikian
pula, para sultan di Mindanao, dan Sulu, di Fhilipina, adalah anak
keturunan para sayid. Di Pontianak, Kalimanan, Indonesia, para sultan
berasal dari kabilah Qadri. Dikatakan bahwa para sultan Brunei dan
sultan Mindanao sama-sama berasal dari anak keturunan Imam Ali Zainal
Abidin bin Husain as.
Para leluhur mereka berasal dari Hadramaut yang kemudian
hijrah ke Johor, Malaysia. Para sultan Aceh pun berasal dari kalangan
para sayid. Di Daerah Talang Sura, Palembang, Sumatra, terdapat makam
Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad,
dari keturunan Imam Husain as. Begitu pula dengan Walisongo
atau ’Sembilan Wali Jawa’ dan sultan-sultan di Jawa, semuanya berasal
dari kalangan para sayid.[32]
————————————————————————
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq hijrah ke kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.
Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali
Imam Syi’ah Dua Belas Imam
Imam Syi’ah Dua Belas Imam
- Ali bin Abi Thalib : Dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang Khawarijdi Kufah, Irak. Imam Ali ra. ditusuk dengan pisau beracun.. Dimakamkan di Masjid Imam Ali, Najaf, Irak
- Hasan al-Mujtaba : Diracuni oleh istrinya di Madinah, Arab Saudi atas perintah dari Muawiyah I.Dimakamkan di Pemakaman Baqi.
- Husain asy-Syahid : Dibunuh dan dipenggal kepalanya di Karbala..Dimakamkan di Makam Imam Husain di Karbala, Irak
- Ali Zainal Abidin : Menurut kebanyakan ilmuwan Syi’ah, Ali bin Husain diyakini wafat karena diracuni oleh orang suruhan Khalifah al-Walid di Madinah, Arab Saudi.. Dimakamkan di Pemakaman Baqi
- Muhammad al-Baqir : Menurut sejumlah ilmuwan Syi’ah, diyakini bahwa Muhammad al-Baqir diracuni oleh Ibrahim bin Walid diMadinah, Arab Saudi, atas perintah Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Dimakamkan di Pemakaman Baqi.
- Ja’far ash-Shadiq : Menurut sumber-sumber Syi’ah, beliau diracuni atas perintah Khalifah al-Mansur di Madinah, Arab Saudi.Dimakamkan di Pemakaman Baqi
- Musa al-Kadzim : Dipenjara dan diracuni oleh Harun ar-Rashiddi Baghdad, Irak. Dimakamkan di Baghdad, Irak
- Ali ar-Ridha : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni oleh Khalifah al-Ma’mundi Mashhad, Iran. Dimakamkan di Makam Imam Reza,Mashhad, Iran
- Muhammad al-Jawad : Diracuni oleh istrinya, anak dari al-Ma’mun di Baghdad, Irak atas perintah Khalifah al-Mu’tashim. Dimakamkan di Makam Kazmain di Baghdad
- Ali al-Hadi : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di Samarra atas perintah Khalifah al-Mu’tazz.[36] Dimakamkan di Masjid Al-Askari di Samarra, Ir
- Hasan al-Askari : Menurut sumber Syi’ah, beliau diracuni di Samarra, Irakatas perintah Khalifah al-Mu’tamid. Ia dimakamkan di Masjid Al-Askari, Samarra
- Muhammad al-Mahdi : Menurut keyakinan Syi’ah, beliau sekarang berada di dalam persembunyian dan akan muncul selama Allah mengizinkannya
wassalam
Catatan Kaki
1. Q.S. al-Ahzab :67
2. Ibnu Saad, Tabaqat, Leiden, 1940, Vol. VII, p.17.
3. C.V.Avendonk. Art, Sharif, Encyclopedia of Islam, M. TH.
Houtsma, A.J Wensink. (eds), Vol. IV S-Z, J. Britll Ltd, Leiden, 1934,
p.326.
4. Isfahani, Kitab al-Aghani, Math’ah Bulak, Cairo, 1285 A.H Vol. XVII, p.105-6.
5. Sharji, Thabaqat al-Khawawas, Cairo, 1321 AH, p. 2,3, 195.
6. Dhahabi, Tharikh al-islam, Manuscript, Leiden, 1721, Vol. 65A.
7. Nurwairi, Nihayat al-Arab, Wizarah al-Thaqafah wa
al-Isryad al-Gawmi (ed). Dar al Kutub, Cairo, 1955, Vol. II, p.277.
Hanya pada zaman kerajaan Fatimiah Mesir, keturunan Imam Hasan dan Imam
Husain di juluki “syarif”, silahkan merujuk Mawardi,al-Ahkam
as-Sulthaniyah, Enger, (ed), Bonn, 1853 AD, p. 277.
8. Ibnu al-Faqih, Mukhtasar Kitab al Buldan, MJ, de Goeje (ed) Leiden, Brill, 1885, p.33.
9. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1984, p.3.
10. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, ibid. p.4.
11. Shalli, Kitab al-Mashra ar-Rawwi fi Manaqib as-Sadah
al-Kiram al-Abi Alawi, al-Matba’ah al-Amiriah al-Sharafiyyah, Cairo,
1319 H/1901 M, Vol. I, p. 121.
12. Shalli, Kitab al-Mashra, loc. Cit.
13. Shalli, Kitab al-Mashra, ibid, p.129.
14. R.B.Serjeant, “Historians and Historiography of Hadramaut”, Buletin of SOAS, XXV, No.2, Londom 1962, p.245.
15. Ya’kubi, Tarikh, Mathba’ah al-Ghurri, Najaf, 1358 H, Vol. II, p.219.
16. R.B. Serjenant, The Sayids of Hadramaut, School of
Oriental and African Studies, University of London, Luzan and Co,
London, 1957, p.3. Lihat Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas
(Arabic). Mathba’ah al-Madani, Cairo, 1968, Second Edition, Vol.2.pp.
45-46. Lihat juga al-Idrus bin Umar al-Habsyi, Iqd al-Yawaqit
al-Jawahiriah, Cairo, 1317 H, Vol. I, p. 127.
17. Ibnu kHldun, Muqaddimah, Wazarat al-Thaqafah wa al-Irsyad
al-Qawmi, Cairo, 1960, pp. 261-262. Lihat H.A. R.Gibb and Kramers
(eds), Shorter Encycopeadia of Islam, E.J.Brill, Leiden, 1953, p.573.
Lihat juga H.A. R Gibb, Mohammedanism, Oxford University Press, London,
1969, p.104.
18. Sayid Alawi b. Tahir al-Haddad, Uqud al- Almas, op.cit, pp.82-87.
19. Sayid Muhammad b. Salim al-Attas, Aziz al-Manal wa Fath
al- Wisal, Malaysia Press, Berhad, Singapura, 1974. Lihat juga Mahyudin
Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op.cit, p.16.
20. S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, Sociological Reseach Institute, Ltd, Singapore, 1960, p.94.
21. A.H. Hill (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No 33, Part 2, 1960, p.32-33.
22. Buzani, “Pengaruh Kebudayaan dan Bahasa Persia Terhdap
Kesusastraan Indonesia”, Majalah Fakultas Sastra, Universitas Tehran no
I, Tahun ke-14, 1345 Sh, p.6.
23. A.H. Hill, (ed), Hikayat Raja-raja Pasai, JMBRAS, No.3, Part 2 1960, pp.32-33, 117-120.
24. S.R. Winstedt (ed), The Sejarah Melayu (Malay Annals), JMPRAS, XXVI, Pt I, 1938, pp. 170-172.
25. A. Hasjmi (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, P.T. Al-Maarif, Jakarta, 1981, p.375. Lihat juga Mhayudin
Haji Yahya, Sejarah Orang Syed di Pahang, op, cit, p.23.
26. R.B. Serjeant, The Sayids of Haramaut, op, cit, pp.24-25.
27. Alawi b. Thahir al-Haddad, Uqud al-Almas, op, cit, p.131.
28. Mahayudin Haji Yahya, Sejarah Orang Syed, op, cit., p.25.
29. Shahabudin Ahmad bin Abdul Wahab an-Numairi, Nihayat
al-Arab fi Funun al-Adab, Wizarat ath-Thaqafah wa al-Irsyad al-Qawmi,
Cairo, 1932, Vol. I, p. 230. Lihat juga Ahmad b. Ali al-
Maqrizi, Khitat, Mathbaah Bulak, Cairo, 1279 H, Vol I. lihat juga Haji
Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Panitia Seminar,
Medan, 1963, pp. 109-110, 123. Lihat juga Mahayudi Haji Yahya, Sejarah
Orang Syed, ibid, pp. 33,37.
30. Aboebakar Atjeh, Aliran Syiah di Nusantara, Islamic
Reseach Institute, Jakarta, 1977, p.31-32. Lihat juga Sayid Musthafa
A-Thabataba’i and Dhiya Shahab, Hawla al-Alaqah ats-Tsaqafiyah bayna
Iran wa Indonesia, Embassy of Iran, Jakarta, 1960.
31. Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Solo, Jawa Tengah, 1985, p.29.
32. Aboebakar Atjeh, Masuknya Islam, ibid, p.35-37. Lihat
juga S. Baring Gould, A History of Sarawak Under Two White Rajahs,
Singapore. Lihat juga Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah
Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, 1995,
pp.69-115.
No comments :
Post a Comment