Monday, September 30, 2013

hilangnya naskah Tuanku Imam Bonjol

Misteri Hilangnya Naskah Tuanku Imam Bonjol




Banyak pihak yang menulis mengenai Perang Paderi namun sumber primer tulisan pada umumnya berasal dari pihak imperialisme atau pihak non muslim yang berbeda sudut pandang dan kepentingannya. Salah satu sumber primer yang berasal dari orang Minang yang langsung mengalaminya adalah sebuah naskah yang berjudul Tuanku Imam Bonjol yang sempat ditemukan namun naskah aslinya hilang kembali sejak tahun 1991.
Berikut ini penelusuran dan penuturan  Suryadi (Dosen dan peneliti pada Dept. of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania Leiden University, Belanda) dan pernah diterbitkan di Singgalang, 3 & 6 Desember 2006 dan Ranah Minang.Net, 4 Oktober 2006; kemudian dimuat pada  http://naskahkuno.blogspot.com/2007/02/siapakah-kini-yang-menyimpan-naskah.html atas izin dari penulisnya.
Berikut penuturannya
Sampai sekarang sudah banyak publikasi ilmiah mengenai Perang Paderi, di antaranya studi Muhammad Radjab (1958), Christine Dobbin (1983), dan Rusli Amran (1981, 1985), belum lagi puluhan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Studi-studi tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang umumnya ditulis oleh pemimpin-pemimpin militer, komandan-komandan lapangan, dan juga pegawai swasta kolonial Belanda yang, langsung atau tidak, pernah terlibat dalam Perang Paderi.
Ini dapat dikesan, misalnya, dalam publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer mengenai perang tersebut, yaitu: “De Luitenant Generaal, Kommissaris Generaal van Nederlandsche-IndiĆ« J. van den Bosch aan den Luitentant Kolonel Adjudant J.H.C. Bauer bij aankomst te Padang, den 13 October 1833, no.354” (hlm.23-25); “Over het attaqueren van versterkte linien en kampongs” (hlm.27-39); “Rapport omtrent den staat van zaken ter Westkust van Sumatra in Januari 1836 ingediend door de 1e Luitenant Adjudant Steinmetz, hem opgedragen bij besluit van den kommandant van het leger, 13 november 1835 no.4” (hlm.41-56), dan; “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hlm.59-183).
Yang kurang diketahui selama ini adalah bahwa ada beberapa sumber primer mengenai Perang Paderi yang ditulis oleh orang Minang sendiri yang terlibat langsung dalam perang tersebut. Walaupun indegenous sources ini agak kurang populer dibanding sumber-sumber Barat, nilai historisnya jelas amat tinggi: sumber-sumber pribumi tersebut dapat dijadikan rujukan bandingan bagi sumber-sumber Barat yang cenderung militaire minded. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat perbedaan persepsi dan sudut pandang antara orang Minang sendiri dan orang Belanda melihat peristiwa Perang Paderi.
Salah satu sumber pribumi yang penting mengenai Perang Paderi adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Sumber lainnya adalah Surat Keterangan Syekh Jalaluddin karangan Fakih Saghir (lihat transliterasinya oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir, DBP, Kuala Lumpur, 2002) dan Memorie van Toeankoe Imam (De Stuers 1850, Vol. II:221-40,243-51).
Naskah Tuanku Imam Bonjol (TIB) ini telah hilang sejak tahun 1991 (lihat Kompas, 22 November 2005). Dalam artikel ini saya ingin menguraikan sejarah naskah TIB, dan proses “penghilangannya” oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di Sumatra Barat, sekaligus memohon kepedulian masyarakat pencinta naskah Nusantara untuk menemukan kembali naskah yang memilki nilai sejarah yang amat tinggi itu.
Keberadaan naskah TIB pertama kalinya dilaporkan oleh Ph. S. van Ronkel dalam artikelnya “Inlandsche getuigenissen aangaande de Padri-oorlog” [Kesaksian Primbumi mengenai Perang Paderi] dalam jurnal De Indische Gids 37 (II) (1915): 1099-1119, 1243-59. Van Ronkel menyebutkan bahwa ia telah menyalin satu naskah yang berjudul Tambo Anak Tuanku Imam [Bonjol] yang tebalnya 318 halaman; naskah aslinya dipegang oleh Khatib Nagari di Bonjol. Sayang sekali salinan naskah TIB yang diusahakan Van Ronkel itu tidak ketahuan pula dimana sekarang. Naskah itu tidak tercantum dalam katalog-katalog naskah Melayu/Minangkabau di Belanda.
Tahun 2004 Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) di Padang menerbitkan transliterasi naskah TIB yang dikerjakan oleh Sjafnir Aboe Nain. Judulnya: Naskah Tuanku Imam Bonjol. Penerbitan buku itu patut disambut gembira, tetapi sekaligus juga memunculkan kembali pertanyaan tentang “hilangnya” naskah asli TIB.
Dalam “kata Pengantar” bukunya itu, Sjafnir menyebutkan bahwa naskah TIB ditulis dengan huruf Arab Melayu oleh anak Tuaku Imam Bonjol, Naali Sutan Caniago (yang pernah menjadi tuanku laras tahun 1872-1876) dan saudaranya, Haji Muhammad Amin—keduanya ikut terlibat dalam Perang Paderi. Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pertama naskah ini (sampai hlm.191) berisi catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol sendiri. Catatan-catatan itu dikumpulkan oleh Naali dan Muhammad Amin yang ikut dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Ambon dan kemudian ke Menado, lalu mereka menambahkannya dengan tulisan mereka sendiri (bagian kedua), sehingga menjadi naskah asli TIB. Bagian kedua itu berisi pengalaman Naali sendiri setelah tunduk kepada Belanda sampai ia diangkat menjadi laras alahan Panjang. Bagian ketiga (terakhir) berisi keputusan rapat tentang peralihan dari hukum adat kepada hukum sipil di Sumatra Barat (Sjafnir, 2004: xi-x). Jadi, logis kalau ada dua versi nama naskah ini: Naskah Tuanku Imam Bonjol dan Tambo Anak Tuanku Imam seperti disebut Van Ronkel, karena catatan-catatan dari Tuanku Imam Bonjol sendiri kemudian ditambahkan oleh anaknya Naali Sutan Caniago.
Sjafnir tidak menyebutkan apakah transliterasi naskah TIB dalam bukunya itu didasarkan atas naskah aslinya atau fotokopinya. Juga tidak ada penjelasan apapun dari Sjafnir bagaimana dan dari mana ia mempeoleh naskah itu. Ini agak menyalahi kaedah penelitian filologi. Juga tidak ada penjelasan apakah Sjafnir mentransliterasikan naskah TIB berdasarkan yang aslinya atau salinan/fotokopinya. Pun tidak disebutkan darimana ia memperolehnya.
Penelusuran yang saya lakukan bersama Jeffrey Hadler (asisten Professor University of California, Berkeley), Yasrul Huda (Dosen IAIN Imam Bonjol Padang), dan Yusmarni Djalius (Dosen Universitas Andalas) mengenai raibnya naskah asli TIB menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
Pada 28 April 1983 surat kabar Haluan di Padang menurunkan satu berita berjudul: “Pemda Sumbar bentuk tim khusus untuk teliti masalah keabsahan sejarah Imam Bonjol”. Waktu itu terjadi polemik mengenai sejarah Tuanku Imam Bonjol yang dipicu seorang penulis bernama Yusuf Abdullah Puar. Orang ini berpendapat bahwa yang dimakamkan di Menado bukanlah Tuanku Imam Bonjol yang sebenarnya. Gubernur Sumbar Azwar Anas membentuk tim khusus untuk meneliti keabsahan sejarah Tuanku Imam Bonjol. Tim itu terdiri dari unsur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Depsos, Hankam, dll.
Dalam rangka mencari kebenaran tentang sejarah Tuanku Imam Bonjol, utusan keluarga Tuanku Imam Bonjol, Ilyas St. Caniago, beserta seorang anggota keluarga lainnya, datang menghadap Gubernur Sumbar, Azwar Anas, untuk menyerahkan naskah asli TIB. (Menurut Ali Usman Datuak Buruak, kemenakan M. Ilyas St. Caniago yang diwawancarai oleh Jeffrey Hadler dan Yusmarni Djalius di Bonjol [8-7-2006], M. Ilyas St. Caniago ketika menghadap Gubernur Azwar Anas didampingi oleh seorang familinya yang menjadi guru SD di Indarung). M. Ilyas St. Caniago didampingi oleh Safnir Aboe Nain yang waktu itu menjadi staf Permuseuman, Sejarah dan Kepurbakalaan (PSK), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sumatra Barat (Sumbar). Gubernur Azwar Anas, yang didampingi oleh Asisten II Sekwilda Akniam(?) Syarif, Kabiro Bina Mental Spiritual Drs. H. Thamrin, dan Kabiro Humas Zainal Bakar, SH. menerima M. Ilyas St. Caniago di ruang kerjanya tanggal 27 April 1983. Ia menyerahkan satu bukti otentik mengenai kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol kepada Azwar Anas, yaitu naskah asli TIB. M. Ilyas St. Caniago (yang waktu itu sudah berumur 72 tahun) adalah seorang pensiunan ABRI yang tinggal di Medan (di Jalan Sukaria no. 109, Kelurahan Sidorejo). Rupanya ia pulang kampung dan mengambil naskah TIB yang disimpan keluarganya di Bonjol dan menyerahkannya kepada Pemda Sumbar.
Haluan (28-4-1983) menulis: “M. Ilyas, mengatakan naskah Tuanku Imam Bonjol ini sedianya akan diserahkan [kepada Pemda Sumbar] sejak beberapa waktu lalu, tetapi karena kesulitan hubungan dan berbagai halangan lainnya, baru kini dapat diserahkan untuk dapat disimpan oleh Pemda bagi kepentingan sejarah” . Selanjutnya dikatakan: “ Sejak 26 Mei 1966, naskah [asli TIB] dipinjam oleh salah seorang kenalan [Ilyas], TZ. Anwar dan dijemput 14 Juni 1976 ke Jakarta oleh menantu M. Ilyas, Usman St. Pangeran. M. Ilyas sendiri adalah turunan kelima dari Tuanku Imam Bonjol dengan istrinya Balun Ameh”.
Bagian terakhir berita Haluan itu menyebutkan: “Naskah Tuanku Imam Bonjol ini, sekarang sudah ada yang dialihtuliskan kepada tulisan latin oleh Drs. Sjafnir AN [Aboe Nain] dari bidang PSK Kanwil Dep. P & K Sumbar dan diperbanyak dalam bentuk stensilan serta kulit luarnya dicetak”.
Gubernur menerima naskah [asli TIB] itu melalui Kabiro Bina Mental Spiritual drs. H. Thamrin dan untuk sementara disimpan pada Bank Indonesia [Cabang Padang] menjelang diserahkan kepada Museum Negeri [Adityawarman] di Padang”. (kursif oleh Suryadi).
Dengan demikian, jelas bahwa baru pada bulan April 1983 naskah asli TIB berpindah ke Pemda Sumatra Barat. Namun, rupanya sebelum itu Sjafnir Aboe Naim, staf PSK Kanwil Dep. P& K Sumbar waktu itu, rupanya telah mentrasliterasikan naskah TIB. Menurut Jeffrey Hadler (email, 24-7-2006) transliterasi Sjafnir Aboe Nain itu diterbitkan Komite Pembangunan Museum Imam Bonjol pada tahun 1979. Kurang jelas apakah transliterasi itu dikerjakan Sjafnir di Bonjol (artinya naskah asli TIB tidak dibawanya keluar Bonjol) atau ia memfotokopinya (kemungkinan terakhir ini kecil mengingat tahun 1979 mesin fotokopi mungkin masih sulit ditemukan di Bonjol). Saya sependapat dengan Jeffrey Hadler bahwa transliterasi naskah TIB yang muncul di buku Sjafnir terbitan PPIM (2004) berasal dari transliterasi yang sudah dikerjakannya sejak tahun 1979 itu (ada banyak kesalahan yang tampaknya tidak dikoreksi).
Fotokopi transliterasi Latin naskah TIB oleh Sjafnir Aboe Nain itu antara lain dimiliki oleh budayawan Wisran Hadi, Museum Adityawarman, Museum Imam Bonjol di Bonjol, Perpustakaan Pemda Sumbar, sejarawan Jeffrey Hadler, dan seorang Malaysia bernama Abdur-Razzaq Lubis di Penang.
Naskah asli TIB terakhir kalinya muncul pada pameran naskah-naskah di Festival Istiqlal I, Jakarta, 15 Oktober-15 November 1991. Rupanya naskah itu dipinjamkan oleh Pemda Sumbar untuk dipamerkan dalam acara tersebut. Naskah dibawa ke Jakarta oleh dosen IAIN Imam Bonjol Padang, Rusydi Ramli, yang menjadi ketua Panitia Daerah Festival Istiqlal untuk Propinsi Sumatra Barat. Rusydi Ramli sempat memfotokopi naskah TIB atas izin Panitia Festival Istiqlal I (Rusydi Ramli, sms, 23-7-2006).
Dalam kesempatan ceramah di IAIN Imam Bonjol tgl. 10 Juli 2006, Jeffrey Hadler memfotokopi lagi fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli itu sebanyak 4 rangkap: untuk Jeffrey Hadler, untuk Perpustakaan Berkeley, untuk Datuak Buruak di Bonjol (yang sudah kehilangan naskah asli TIB), dan untuk Yasrul Huda, dosen IAIN Imam Bonjol (Jeffrey Hadler, email, 22-7-2006). Mungkin ada lagi beberapa orang kolega Rusydi Ramli yang memfotokopinya. Saya sendiri kemudian memperoleh fotokopi naskah TIB itu atas jasa baik Jeffrey Hadler. Dengan memperbanyak fotokopi itu, setidaknya naskah TIB tentu makin aman dari kepunahan.
Menurut Rusydi Ramli, selesai dipamerkan di Festival Istiqlal I, naskah TIB dibawa kembali ke Padang dan diserahkannya kepada Bagian Pembinaan Sosial (Binsos) Pemda Sumbar. Ia mengatakan bahwa orang yang bertanggungjawab menerima naskah TIB darinya ketika itu adalah bendahara Gubernur Sumbar, Drs. Armyn An (sms, 24-7-2006). Drs. Armyn An bersama Drs. H. Karseno, MS, H. Rajuddin Noeh, SH, Drs. Sjafnir Aboe Nain, dan Djurip, SH. telah menulis satu buku yang berjudul Naskah Tuanku Imam Bonjol yang diterbitkan Pemerintah Daerah Tingkat, Sumatera Barat pada tahun 1992 (lihat tulisan Abdur-Razzaq Lubis kepemimpinan tradisional suku Mandahiling dalam http://www.mandailing.org/ mandailinge/columns/autonomy.htm). Ini setidaknya mengindikasikan bahwa dua orang yang sejak semula telah “mengurus” naskah TIB, yaitu Sjafnir Aboe Nain dan Drs. Armyn An, mengetahui keberadaan naskah itu seusai dipamerkan dalam Festival Istiqlal 1 di Jakarta tahun 19991.
Dari fotokopi naskah TIB milik Rusydi Ramli terlihat bahwa kolofon naskah ini begitu rumit karena banyak tambahan catatan oleh para pembaca. Namun hal itu dapat dijadikan pedoman untuk melihat riwayat resepsi aktif terhadap naskah TIB. Tanpa sadar telah ‘mencemari’ keontentikan naskah, masing-masing pembaca telah menambahkan sendiri catatan-catatan pada kolofon naskah TIB: ada nama Ahmad Marzoeki, “de president vereeniging Bondjol”. Orang ini telah membawa naskah asli TIB ke Medan, seperti dapat dikesan dari catatan pada kolofonnya: “didjilid dan dibaharoei koelitnja boekoe Tjeritera (Riwajat) Toeankoe Imam ini di Medan pada November 1925”.
Juga ada nama Dawis [Dt. Madjolelo]: orang ini menerima naskah catatan-catatan Tuanku Imam Bonjol dari Tuanku Bandro Sati, Kepala Laras Bonjol, pada awal 1915. Dawis kemudian menjadi Camat Lubuk Sikaping (Jeffrey Hadler, email 24-7-2006). Dawis dan Ahmad Marzoeki kemudian menulis buku, Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan ke Kemerdekaan, Tjermin Kehidupan (Djakarta: Djambatan, 1951) yang sangat mungkin berdasarkan pembacaannya terhadap naskah asli TIB.
Sangat mungkin pula seorang yang bernama L. Dt. Radjo Dihoeloe telah membaca naskah asli TIB, seperti dapat dikesan dari judul bukunya, Riwajat dan Perdjoeangan Toeankoe Imam Bondjol sebagai Pahlawan Islam: Disoesoen dari Tjatatan2 Poetra Beliau St. Tjaniago alm. (Medan: Boekhandel Islamijah, 1939; cet ke-2, 1950).
Ada pula kolofon yang tampaknya berasal dari masa yang lebih awal lagi, tulisan tiga atau empat orang yang agak sulit dibaca karena berasal dari tahun 1870-an (mungkin catatan dari tahun 1882 oleh seorang pembaca; Haluan, 28-4-1983). Kemudian ada lagi catatan dari pembaca tahun 1910-an, dan dari sejarawan/arkeolog Drs. Buchari tahun 1978 (kurang jelas dimana Buchari membacanya). Catatan terbaru di kolofon itu menyebutkan bahwa naskah aslinya diserahkan oleh ahli waris Sutan Caniago yang berdiam di Medan (jelaslah bahwa yang dimaksud penyerahan naskah TIB oleh M. Ilyas St. Caniago, yang memang tinggal di Medan, kepada Pemda Sumbar pada 27 April 1983).
Selanjutnya, ada keterangan bahwa naskah itu pernah difotokopi oleh “Pucuk Pimpinan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat (Ketua I)” atas nama Dato’ Haji Djafri, DPTJ, DSN dan Datuk Bandaharo Lubuk Sati pada tahun 1989 (Sepertinya Dato’ Haji Djafri, DPTJ, DSN nama yang berbau Malaysia; kurang jelas apa hubungannya dengan LKAAM). Kolofon terakhir ini mengindikasikan bahwa petinggi LKAAM (dalam hal Datuk Bandaharo Lubuk Sati) pernah pula “menyentuh” naskah asli TIB setelah naskah itu berada di tangan Pemda Sumbar.
Jelaslah bahwa naskah TIB yang dipamerkan di Festival Istiqlal I 1991 (dan kemudian difotokopi oleh Rusydi Ramli) memang asli.
Kesimpulannya: sejak April 1983 sampai awal Oktober 1991 naskah asli TIB berada dalam otoritas Pemda Sumbar. Sejak akhir November 1991 naskah itu kembali masuk ke kantor Gubernur Sumbar (kalau naskah itu sampai keluar dari otoritas Pemda Sumbar, dan berpindah ke tangan orang lain, pastilah atas sepengetahuan Pemda Sumbar, kecuali jika ada oknum dalam tubuh Pemda Sumbar atau orang luar yang bekerjasama dengan oknum tersebut yang berusaha memiliki sendiri naskah ini untuk kepentingan yang tidak kita ketahui). Naskah itu rupanya tidak pernah diserahkan kepada Museum Negeri Adityawarman (seperti diberitakan Haluan 28-4-1983), sebab Rusydi Ramli menyerahkannya kepada Pemda Sumbar selesai dipamerkan di Festival Istiqlal 1 di Jakarta. Filolog Zuriati sudah mendata sekitar 60 naskah yang tersimpan di Museum Adityawarnan dan ia tidak menemukan naskah TIB di sana (sms, 11-8-2006). Jika tempat penyimpanan naskah itu tetap di Bank Indonesia Cabang Padang (Haluan, Ibid.), terutama setelah Festival Istiqlal I (1991), maka sudah semestinya naskah itu diserahkan kepada Museum Adityawarman atau Museum Imam Bonjol di Bonjol atau kepada ahli warisnya Ali Usman Dt. Buruak di Bonjol.
Dengan demikian, selama dalam otoritas Pemda Sumbar (1983-1991) paling tidak ada empat orang yang tampaknya telah ‘mengurus’ naskah asli TIB: Drs. H. Tahmrin, Sjafnir Aboe Nain (sebelum 1991), Rusydi Ramli dan Drs. Armyn An (sesuai dengan keterangan Rusydi Ramli) (sejak 1991). Untuk menelusuri keberadaan naskah asli TIB yang “hilang” itu, keempat orang itu dapat dimintai keterangannya. Selain itu dapat juga diminta keterangan dari Drs. Akniam(?) Syarif (mantan Asisten II Sekwilda Sumbar), Zainal Bakar, SH. (mantan Kabiro Humas Pemda Sumbar, mantan Gubernur Sumbar), dan mantan Gubernur Sumatra Barat, Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman. Juga dapat dimintai keterangan Datuk Bandaharo Lubuk Sati (dan Dato’ Haji Djafri) dari LKAAM, dan guru SD Indarung yang telah menemani M. Ilyas St. Caniago ketika menyerahkan naskah TIB kepada Gubernur Sumbar, Azwar Anas. M. Ilyas St. Caniago sendiri tidak mungkin dimintai lagi keterangannya karena sudah meninggal.
Penelusuran selanjutnya adalah ke Bank Indonesia Cabang Padang: kapan naskah asli TIB mulai disimpan di sana dan kapan diambil? Siapa yang mengambilnya dan dari instansi mana orang itu? (Apakah benar naskah asli TIB memang pernah disimpan disana?; apakah dari 1983-1991 naskah itu disimpan di sana?). Apakah setelah dipamerkan di Festival Istiqlal 1 Jakarta (1991), naskah TIB disimpan (lagi) di Bank Indonesia. Kalau tidak, dimana Drs. Armyn An menyimpannya? Atau kepada siapa ia menyerahkan naskah itu? Keterangan yang lebih lengkap dan jelas tentang siapa persisnya yang memegang naskah asli TIB sebelum dan sesudah dipamerkan di Festival Istoqlal Jakarta (1991) dapat ditanyakan pula kepada Rusydi Ramli.
Adalah tugas pemerintah, pihak universitas, museum, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menyelamatkan naskah asli TIB. Penyelamatan naskah ini masih mungkin diusahakan mengingat sebagian besar tokoh-tokoh kunci yang mengetahui keberadaan naskah itu di Padang selama periode 1982-1991 masih hidup, dan oleh karenanya masih mungkin untuk diminta keterangannya. Mudah-mudahan naskah asli TIB yang amat punya nilai sejarah itu belum berpindah ke negara lain.
Penghilangan naskah kuno, apalagi disengaja (misalnya menjualnya kepada pihak asing), adalah tindak kejahatan. Pelakunya dapat dijatuhi hukuman. Namun, yang kita inginkan adalah agar naskah asli TIB dapat diselamatkan, untuk kemudian dikembalikan kepada ahli warisnya. Atau dengan persetujuan ahli warisnya, disimpan dengan baik di Museum Tuanku Imam Bonjol di Bonjol atau di Museum Adityawarman di Padang.
Gubernur Sumatra Barat, Gamawan Fauzi, sepatutnya mengkoordinasikan upaya pencarian naskah asli TIB yang hilang itu. Dan upaya itu sudah selayaknya didukung oleh pihak-pihak yang peduli terhadap pelestarian naskah-naskah kuno di Sumatra Barat, seperti Museum Adityawarman, Museum Tuanku Imam Bonjol, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Universitas Bung Hatta, dan UNP, serta Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) Cabang Sumatra -Barat, dll. Mereka dapat saling bekerjasama, kalau perlu dengan polisi, untuk menemukan kembali naskah asli TIB yang hilang itu.

sumber http://mutiarazuhud.wordpress.com/tag/tuanku-imam-bonjol/

Saturday, September 07, 2013

Wiraswastawan Minangkabau 1910-1950-an

Bisnis dan Dimensi Sosial: Catatan Awal Tentang Kiprah Wiraswastawan Minangkabau di Ranah dan Rantau 1910-1950-an

oleh Irvan Sjafari

13666084701953528252
suasana sebuah pasar di kota Padang tempo dulu (kredit foto: rockylesmana.blogspot.com)
Tulisan ini adalah lanjutan pengamatan saya tentang sejarah dunia wiraswasta di Indonesia setelah tulisan ini dan juga tulisan lain . Kalau waktu memungkinkan saya mencoba mengungkapkan kasus lain di beberapa kota di Indonesia terutama kurun waktu 1910-1950-an.
Bagi saya mempelajari para wiraswastawan ini menarik karena memberikan inspirasi bagi masa depan bangsa ini. Pengembangan UKM dan juga UMKM bisa bercermin pada sejarah sambil tentunya juga melihat perkembangan global. Minangkabau dalam dunia wirausaha punya mitos sebagai pedagang yang ulet di luar para pedagang etnis Tionghoa. Lalu bagaimana realitasnya? Ternyata mereka punya sejarah yang cukup panjang di bidang perdagangan.
Seorang peneliti Indonesia asal Jepang, Tskuyoshi Kato dalam artikelnya “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX” dalam buku Akira Nagazumi (editor) Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan sosial-Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986 mengakui bahwa orang Minang termasuk di antara sedikit etnis Indonesia yang tidak kalah dalam keahlian berdagang dengan etnis Tionghoa.
Artikel ini menyebutkan tentang kisah sukses Muhammad Saleh, seorang pengusaha Minang asal Pariaman yang sukses pada abad ke 19. Kelahiran 1841 desa Pasir Baru, Pariaman dari pasangan Peto Rajo asal Pariaman dan ibu bernama Tarus asal Guguk Empat Kota dekat Bukit Tinggi. Darah saudagar mengalir dalam tubuh Saleh. Darah saudagar memang mengalir dalam tubuhnya karena Pato Rajo menjadi pengusaha berawal dari modal hanya dua ringgit meriam (satu ringgit meriam sama dengan terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, seperti ayam, telur dan beras).
Dengan modal itu Pato Raja berdagang kebutuhan bahan pokok dengan pasar orang-orang Belanda yang tinggal di Pariaman. Karena kejujurannya, Pato raja mendapat kepercayaan dari orang-orang Belanda hingga dia dilibatkan dalam perdagangan garam (yang maasa itu dimonopoli orang Belanda). Selain itu Pato Raja juga berdagang kulit kerbau dan kayu manis. Pergaulan dengan orang Belanda membuatnya bisa membaca dan menulis.
Pada puncak kejayaannya Pato Raja mempunyai kekayaan hingga 100.000 Rial (Satu rial waktu itu sama dengan 2 florin Spanyol). Florin dalam berapa literatur juga bisa berarti gulden. Pada waktu itu jumlah kekayaan sebesar itu sudah tergolong orang kaya. Sayangnya Sang Ayah suka berfoya-foya,
sehingga akhirnya kekayaannya merosot.
Putranya, Muhamad Saleh mengikuti jejaknya pada usia belia. Dia mencari uang menyeret pukat mendapatkan upah 25 sen per hari. Dari jumlah itu ia punya tabungan 2F yang dipakainya sebagai modal menjajakan ikan kering. Dia juga belajar dari seorang saudagar kaya. Berkat keuletannya dia berhasil menabung F10 per bulan dan akhirnya mempunyai tabungan F500. Pada usia 14 tahun Saleh magang dengan seorang nahkoda dengan tujuan Sibolga.
Dari pekerjaan itu Saleh membeli rumah sederhana seharga F200 dan seekor kerbau dengan pedati. Dia kemudian beralih usaha menjadi kontraktor garam dari Madura dan mempunyai izin untuk itu. Kemudian Saleh bisa membeli banyak perahu berikut galangan di Pariaman dan Padang Panjang. Pada 1914 pada usia 73 tahun ketika Saleh menerbitkan biografinya kepada anak dan cucunya, Saleh sudah memiliki sebuah rumah bertaman di Pariaman seharga F1400 dan sebuah toko di Padang Panjang senilai F6000.
Sebuah buku menarik yang ditulis oleh Azizah Etek,Mursjid A.M dan Arfan B.R berjudul Koto Gadang Masa Kolonial yang diterbitkan LKis, Yogyakarta pada 2007 pada halaman 142-145 memberikan informasi tentang seorang saudagar Minang lainnya pada abad ke 19. Haji AbdulGani Rajo Mangkuto adik seorang jaksa kepala di Fort de Kock (diperkirakan lahir 1817 tetapi di makamnya ditulis angka 1830) ini disebutkan pernah membantu Asisten Residen Steinmetz mendirikan sekolah guru pada 1856.
Namun pada 1857 ia mengundurkan diri dan memilih menjadi pakus kopi (berasal dari pakhuis =gudang). Ceritanya pada 1857-1858 pemerintah meminta tanah kepada panghulu nagari yang mengusai pasar Bukittinggi untuk mendirikan sebuah gudang kopi. Gudang ini dikepalai oleh Abdul Gani. Dia menjadi orang kepercayaan Steimetz dan dengan cepat mengumpulkan kekayaan. Kemudian Abdul Gani merupakan pribumi pertama yang berhasil menang tender menjadi pemegang monopoli pengangkutan kopi dan produk lain-lain milik negara untuk trayek tertentu. Dia mempunyai kekuatan yang membuatnya mampu bersaing dengan pengusaha bangsa Cina maupun Indo.
Kira-kira 1875-an Abdul Gani tidak tergoyahkan melalui usaha pengakutannya. Melalui usaha pengangkutannya dia meluaskan sayap sampai ke Padang dan kemudian merambat ke usaha pengakutan calon Haji ke Mekah. Menjelang akhir abad ke 19 dia menjadi entrepreneurship pribumi yang sudah meluaskan sayapnya ke bidang pertanian pangan dan sekaligus menjadi orang terkaya di ranah Minang.
Elizabeth E. Graves dalam bukunya Asal-usul Elite Minangkabau: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX Jakarta: Yayasan Obor, 2007 menyebutkan bahwa sekolah-sekolah sudah muncul di kota-kota daerag pertanian di dataran tinggi Sumatera Barat sejak 1840-an, yaitu di Batusangkar, Bukittinggi, Payakumbuh dan Solok. Banyak orang Minangkabau dari nagari sekitarnya merantau ke sini sebagai suadagar, pengrajin, tukang catut, pelayan industri dan jasa lainnya. Khususnya Bukittinggi adalah pusat perantauan lewat para pelajar di mana 15 % di antaranya datang dari kalangan saudagar dan 13% dari kalangan pengrajin (halaman 182). Dari penuturan Graves bahwa pada abad ke 19 sudah muncul golongan pengusaha pribumi.
Munculnya saudagar-saudagar pada abad ke 19 sekalipun tidak secara spesifik juga disinggung dalam buku Sedjarah Minangkabau yang ditulis oleh Drs. M.D.Mansyoer dan kawan-kawannya, diterbitkan Bhratara di Jakarta pada 1970 halaman 173. Sejak permulaan abad ke 20 hingga Zaman Pendudukan Jepang terjadi perubahan sosial politik di Minangkabau. Masyarakat yang tadinya hidup dalam suasana splendid isolation dan zelfvoldaan (terkurung dan puas), mengalami gempuran modernisasi teru-menerus dalam hampir segala bidang hidup dan penghidupan.
Petani-petani yang menghasilkan cash crops untuk pasaran bebas guna memperoleh uang kontan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mengakibatkan timbul golongan saudagar-saudagar kecil dan menengah. Mereka berperan sebagai penghubung dan distributor antara produsen dan konsumen. Kota-kota besar dan kecil muncul sebagai pusat perniagaan, kerajinan dan pendidikan Barat.
Kiprah Pengusaha Tenun dan Kerajinan Perempuan
Ada referensi lain, yaitu sebuah artikel yang berkaitan dengan dunia wirausaha di Minangkabau zaman Hindia Belanda yang diungkap dalam buku tersebut di atas ditulis oleh Akira Oki “Catatan Mengenai Industri Tekstil di Sumatera Barat” juga dalam buku Akira Nagazumi . Menurut Akira Oki sekalipun dampak dari Perang Padri (1821-1837) melenyapkan industri tekstil termasuk pemintalan dan penenunan di Sumatera Barat sebagai bagian dari ekonomi swasembada pada 1830-an, namun ada dua daerah yang mencoba survival pada abad ke 20.
Keduanya adalah kawasan Kubang yang hanya tinggal membatasi diri pada produk-produk tradisional saja seperti kain sarung yang mendapat saingan keras dari produk sejenis dari Jawa. Kedua adalah Silungkang yang mampu membuat diversifikasi produk seperti kain tirai, taplak meja, serbet dan sebagainya. Hasilnya para wirausaha dari kawasan Silungkang mampu bertahan. Pembuatan renda juga menguntungkan pengerajin tenun Silungkang. Para isteri pejabat Belanda memperkenalkan pembuatan renda pada perempuan Minangkabau.
Mereka meminta residen agar membuka sekolah kursus membuat renda. Pada 1910 sebanyak 539 gadis Minangkabau mendaftarkan diri pada 18 sekolah. Berkat pendidikan ini kemampuan gadis-gadis Minangkabau maju pesat. Beberapa potong renda dikirim ke sebuah pameran di Brusel. Salah satu di antaranya mendapat medali. Sayangnya Perang Dunia I membuat produksi renda Sumatera Barat merosot, karena sulit mendapatkan benang bermutu tinggi dari Eropa.
Sayangnya menurut Akira Oki kerajinan renda di Sumatera Barat pada 1910-an terhalang oleh budaya matrineal. Pada 1910-an gadis yang sudah berusia 12 tahun (akil balik) tidak diperkenankan lagi mengunjungi sekolah renda. Akibatnya hanya gadis di bawah 12 tahun yang terlalu muda untuk mempelajari keterampilan itu. Perempuan Minang sesudah menikah sibuk bekerja di sawah dan tidak banyak yang mempunyai waktu untuk membuat renda.
Lanjut Akira Oki pada 1934 industri tenun Sumatera Barat bangkit kembali ketika Pemerintah Hindia Belanda membatasi pabrik tenun yang mempunyai 14 alat tenun di Jawa. Pada 1930-an ada 3 jenis alat tenun yang dipakai. Pertama, alat tenun tradisional kampung. Kedua, alat tenun kampung yang sudah ditingkatkan kemampuannya. Ketiga, alat tenun TIB (Textual Inrichting Bandung). Alat tenun TIB ini 5 hingga 6 kali lebih efesien dibandingkan alat tenun kampung.
Pada 1930-an Kubang mampu memproduksi sebanyak 10.000 kain sarung per bulan dengan nilai F16.000. dan mengusai pasar di Lima Puluh kota. Produksi kain sarung ini dikirim sampai ke Indragiri, Pantai Timur Sumatera, Jambi dan juga Aceh. Namun produk dari Subang ini mendapat tantangan dari sarung-sarung Jawa yang dijual dengan harga lebih murah.
Sementara industri tenun Silungkang secara tradisional menghasilkan pakaian-pakaian mewah untuk upacara. Mereka juga diuntungkan dengan penemuan batu bara di Sawahlunto, diikuti pembuatan jalan kereta api dan jalan raya melalui Silungkang sejak 1890-an. Produk Silungkang mendapatkan tempat di kalangan orang-orang Eropa yang bekerja di pertambangan batu bara dan para istri mereka. Selain itu produk Silungkang juga ekspansi pasar ke Pulau Jawa.
13666086081059382649
seorang perempuan menenun di Silungkang (kredit foto: munirthaer.wordpress.com)

Ahli Indonesia dari Amerika Audrey Kahin dalam bukunya Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Jakarta, Yayasan Obor, 2009 agaknya senada dengan Akira Oki soal kekuatan saudagar dari Silungkang ini. Sekitar 1912 beberapa saudagar dari Silungkang bermukim di dekat pertambangan Ombilin di Sawahlunto. Mereka melayani para pejabat pemerintah mendirikan usaha baru dan membuka toko yang menjual tekstil dan barang-barang kelotong lainnya. Para perempuan dari Silungkang ini menenun kain sarung, pakaian adat dan pakaian sulaman yang terkenal ke seluruh Hindia Belanda. Para petenun ini mendirikan koperasi menyalurkan hasil produksi mereka di Pameran Dagang Brussel pada 1918.
Penelusuran saya pada beberapa harian yang terbit di Jawa menunjukkan hal itu. Harian Tjahaja Timoer edisi 1 November 1920 membuat berbagai advertensi sejumlah pengusaha. Di antara terdapat nama Siti Asnah, yang berpartner dengan Mohamad Saleh yang menyebutkan mereka punya toko di Sawah Lunto, Lorong Dorijan sejak 1912. Sarung Corak Samarinda dijual F8,5 hingga F25. Sarung Corak Palembang dijual F6 hingga F15. Sarung perempuan memakai kembang dijual F6,50 hingga F15.
Lainnya adalah Datuk S. Chatib yang mengaku mempunyai Siloengkang N.W.F.Handel and Tenoen Fabriek di Silungkang. Pengusaha ini membandroll sarung corak Samarinda dengan harga F8,50 hingga F15, sarung corak Bugis hitam dibandrol F7,75 hingga hingga F15, serta corak palekat dijual F5 hingga F10. Tjahaja Timoer edisi 8 November 1920 juga menyebutkan nama M.H.D Saliman dan Siti Zainab juga pengusaha dari Silungkang menjual sejumblah produk seperti sarung Samarinda F8,50 hingga F20,50 dan selendang sutera lenen F4,35 hingga F10,75. Pengusaha lain yang disebutkan namanya adalah Soetan nan Kajo Radjo Mangkoeto di Sawahlunto. Produk dijual juga kain sarung corak Samarinda F8,50 dan F10, sarung corak Palembang seharga sama dan kain baju untuk perempuan F3,50 hinga F4.
Saya juga menelusuri surat kabar yang terbit di Sumatera Barat pada era yang sama untuk mencari siapa saja pengusaha tenun Silungkang ini. Yang saya telusuri adalah surat kabar Oetoesan Melajoe. Pada edisi 3 Januari 1922 pengusaha bernama Chatib.S. Moedjo memasang iklan menyebutkan lokasi usahanya di Kampung Jawa Padang Huis No.31. Berpartner dengan Mohammad Salim, Chatib menjual berbagai produk seperti taplak meja (masa itu disebut tutup meja) segi empat memakai benang mas dijual F12,50 hingga F15. Produk lainnya sarung bantal memakai pinggiran dijual F2,50 hingga F3,50 dan syal untuk perempuan dijual F9,50 hingga F11,50.
Nama lain adalah Aboel Asawat menjual sarung corak Samarinda dengan harga F10 hingga F16, sarung corak Palembang dengan harga F9,50 hingga F16. Pengusaha perempuan juga bermunculan, misalnya Siti Halimah dengan partnernya Soelaiman menjual sarung corak Samarinda F7 hingga F12,50, sarung corak Palembang F4,75 hingga F12. Dia juga melakukan diversifikasi produk seperti tutup teko dibandroll F2 hingga F4, kain penggendong anak dari F1,60 hingga F3, serbet dari benang lenen F3,75 hingga F5,25 per lusinnya, hingga sorban buat orang Haji F4 hingga F7.
Oetoesan Melajoe edisi 10 Januari 1922 juga memuat iklan dari pengusaha perempuan lainnya Siti Saijah yang bermitra dengan Boejoeng. Dia menjual produk Sarung Samarinda F7.50 hingga F18,50 per potong, sarung berintik kembang F2,50 hingga F5,50, kain mandi dari benang F0,75 hingga F1, tasch sutera buat perempuan F1,50 hingga F3,75. Dia juga menjual serbet dari benang lenen F3,75 hingga F5,25 per lusin dan dompet dari kulit kambung F2 hingga F2,50 per buah.
Surat kabar Ooetoesan Melajoe ini dikelola juga oleh seorang Saudagar bernama Sutan Maharadja. Dia mempunyai toko dan percetakan di Pasar Gedang, Padang. Surat kabar ini terbit setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Terbit sejak 1911 hingga 1920-an. Dari pemberitaannya yang saya pernah baca ada penulis cenderung jalan lebih kooperatif seperti Hassan Noel Arifin yang menentang kemerdekaan Hindia Belanda (edisi 17 Januari 1922), tetapi di sisi lain ia mengkritisi perbedaan gaji antara orang belanda dan Bumi Putera yang bekerja dalam kantor yang sama (edisi 26 Januari 192).
Penulis lain Mohamad Arif gelar Bandaharo Kajo dalam Oetoesan Melajoe edisi 7 Februari 1922 mengeluhkan jatuhnya harga barang perniagaan di Hindia Belanda hingga sejumlah usaha pailit, tutupnya sejumlah onderneming mengakibatkan banyak pengangguran. Selain itu kondisi ini diikuri naiknya biaya sekolah untuk anak-anak buruh. Cukup menarik dalam edisi yang sama, surat kabar itu memuat berita tentang pembukaan Kweekschool di Bandung. Rupanya sekolah guru itu membuka jalan bagi perempuan di Ranah Minang untuk bersekolah dan memajukan kaum perempuan.
Sejak awal memang Oetoesan Melajoe menunjukkan perhatiannya. Seorang bernama Dati Telaloe dengan tulisan berjudul “Anak Perempoean” dalam Oetoesan Melajoe edisi 6 Januari 1915 mengkritisi bahwa masih orang yang memandang anak perempuan inlander (pribumi) yang dipelihara seperti memelihara binatang. Dia menyorot perempuan hanya boleh tahu bekerja seperti kuda buta, tetapi tidak melihat jalan yang dilalulinya.
Begitu juga headline surat kabar tersebut pada edisi 5 Januari 1915 ada artikel “Bilakah Anak Negeri Hindia ini akan Madjoe?” yang ditulis aktifis Jong Sumatran menyerukan bahwa perempuan ahrus terpelajar agar kelak melahirkan orang-orang terpelajar. Pandangan-pandangan ini tampaknya diakomodir oleh Sutan Maharaja yang terkesan bersikap progresif terhadap kemajuan perempuan. Tak mengherankan jasa dia dan Oetoesan Melajoe yang paling besar ialah melahirkan seorang jurnalis perempuan pertama di Indonesia kelak.
Jurnalis itu adalah seorang perempuan di Koto Gadang bernama Rohana Koedoes juga memberikan konstribusi yang membuat dunia tekstil di ranah Minang survival. Pada 11 Februari 1911 Rohana dibantu Ratna Puti, isteri seorang jaksa mengadakan pertemuan di kota ini yang dihadiri sekitar 60 perempuan yang terdiri dari atas isteri pemuka adat, pejabat lokal yang kerap disebut sebagai Bundo Kandung. Pertemuan itu membahas perlunya sebuah sekolah kepandaian perempuan yang juga mengajarkan pengetahuan umum. Hasil pertemuan itu berdirinya Perkumpulan Kerajinan Amal Setia (KAS).
Menurut buku yang ditulis Fitri Yanti, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Koedoes, Jakarta, 2005 Sekolah ini mengajarkan bagaimana memperhalus hasil kerajinan tangan, menggali motif lama yang sudah terlupakan agar tidak punah. Hasilnya anyaman khas Kota Gadang seperti Ajung Surek, Siamang Bagayut (siamang itu monyet hitam), kijang bakaya, urat baringin, bunga kundur (bunga labu), gunting radin, cukit ulat, mangis hadir kembali. Begitu juga dengan kain tenun motif sarung bagademek, selendang balik, selendang barantai,kain semburan, yang tadinya kasar diperhalus dengan bebang halus oleh Rohana. Hasilnya produk dari KAS ini diminati orang-orang Belanda.
Salah satu orang yang tertarik pada produk KAS Muniek, Asisten Residen Sawahlunto sengaja datang ke Kota Gadang membeli hasil karya murid KAS. Rohana akhirnya-atas anjuran Muniek-membeli bebang dalam jumlah besar ke Toko Au Bon Marche, Maison Artiside di Paris pada 17 Juni 1912. Benang-benang itu akhirnya bisa dibeli dengan mencicil dengan dukungan sebuah bank. Sayangnya Rohana Koedoes hanya memimpin KAS hingga 1916 karena salah seorang mantan muridnya menjatuhkannya sebagai Direktris sekolah itu. Rohana tak pernah berhenti berjuang untuk kaummnya di bidang pendidikan, ia kemudian mendirikan sekolah kepandaian perempuan lainnya di Bukittinggi. Yang menarik sekolah itu untuk pertama kalinya memperkenalkan penggunaan mesin jahit Singer pada perempuan Minang.
KAS sendiri juga mengalami perkembangan setidaknya dilaporkan bulletin Berita Koto Gadang edisi Agustus dan November 1935. Menurut bulletin itu, KAS yang dahulunya hanya rumah tiga bilik , termasuk tiga untuk ruang tamu. Sementara bilik di kanan dan kirinya tempat murid bekerja hanya dilapisi lapak. Pada 1930-an ruangan-ruangan itu sudah mempunyai bangku,meja dan kursi untuk tempat belajar. Ada juga ruangan untuk mencuci, dapur untuk memasak. Namun KAS mengalami kesulitan keuangan hingga meminta derma pada orang-orang Koto Gadang di tanah rantau.
Karena taraf pendidikannya cukup tinggi dan cukup banyak yang suskes baik di ranah sendiri maupun rantau, sebagai pandai emas maupun pegawai, orang Kota Gadang mempunyai perhatian menyisihkan sebagian rejekinya untuk pembangunan infrastruktur air ledeng, hingga studie found (beasiswa) bagi anak-anak Kota Gadang. Begitu juga derma untuk meneruskan KAS juga beredar di Jakarta, Bandung,Bogor tempat rantau orang-orang Koto Gadang.
Dalam dimensi sosial ini bukan hanya orang Koto Gadang. Buku Republik Indonesia: Sumatera Tengah yang diterbitkan Departemen Penerangan, 1953 memberikan dana menarik tentang dunia saudagar di Sumatera Barat. Pada 1916 berdiri apa yang disebut sebagai Saudagar Vereeniging yang dipelopori oleh Injik Basa Bandaro dengan ketua pertama Nurdin Saleh. Dalam 1929 namanya menjadi Himpunan Saudagar Indonesia dengan ketuanya Taher Marah Sutan.
Selama 1916-1930 para saudagar ini mempelopori apa yang disebut Studie Fonds Minangkabau di antaranya memberikan beasiswa bagi pelajar yang melanjutkan pelajaran ke sekolah tinggi dan mendirikan serikat usaha menampung ana-anak yang tidak bisa diterima di HIS dengan mendirikan Sekolah Rakyat yang disebut Abadiah. Dari pemaparan buku itu jelaslah bahwa para pedagang memang memainkan peran sosial yang cukup besar.
Nama Taher Marah Sutan ini juga disebutkan Audrey Kahin. Disebutkan pengusaha pelayaran (shipping) ini sudah merintis liga pengusaha (Syarikat Usaha) pada 1914. Tujuannya mirip dengan Sarekat Islam di Jawa untuk melindungi saudagar pribumi dari dominasi pedagang Belanda dan Cina. Taher Marah ini merupakan sahabat dekat dari Mohammad Hatta dan banyak berperan dalam pergerakan nasional di daerahnya.
Anwar Abbas dalam bukunya Bung Hatta dan Ekonomi Islam yang diterbitkan Buku Kompas, 20120 pada halaman 40 menyebutkan bahwa Hatta ketika di Padang kerap datang ke kantor Taher Marah Sutan, ketika dia masih bersekolah di MULO (sekitar 1918). Di sana ia mendapatkan informasi soal seluk beluk perdagangan bumi putera yang berhadapan dengan Belanda dan Cina. Hatta menjadi tahu permasalahan masyarakat jajahan. Hatta juga membaca surat kabar Oetoesan Hindia yang dipimpin Cokroaminoto.
Selain Taher Marah Sutan, dalam buku karya Audrey Kahin yang saya sebutkan di atas nama Sulaiman Labai juga menonjol. Di dunia niaga berekspansi lewat Sulaiman Labai & Zoon dia melakukan kampanye iklan secara agresif dari kantor mereka di Silungkang, mengirim katalog-katalog ke seluruh Hindia Belanda, bahkan pengirimannya sampai ke negara-negara Asia dan Eropa. Surat kabar Oetoesan Melajoe yang saya baca juga pernah memasang iklan di Oetoesan Melajoe edisi 24 Januari 1922 sebagai saudagar (handelaar) kain tenunan Silungkang. Dia juga berdagang (agen dari pabrik) dompet kulit yang dijualnya per kodi mulai F30 hingga F45.
Dalam buku Kahin disebutkan kiprah Sulaiman Labai bukan hanya di dunia perdagangan tetapi juga di politik. Dia mendirikan Sarekat Islam lokal di Silungkang pada 1915. Saudagar ini mempunyai kepekaan sosial terhadap warganya. Misalnya saja pada 1918 ketika warga Silungkang menderita kelaparan, Sulaiman Labai dan sejumlah pengikutnya menghentikan kereta api yang mengangkut beras dan memaksa Kepala stasiunnya dipaksa menyerahkan dua gerbong beras dan membagikannya kepada warga yang lapar. Suatu tindakan heroik, namun dia bertindak tidak serampangan.
Sulaiman Labai mempelajari dahulu Undang-undang Darurat sebelum melakukan aksinya. Pemerintah kolonial hanya bisa menahannya beberapa hari dan melepaskannya setelah diberi peringatan. Pasalnya Sulaiman Labai sebelum mengambil beras dari gerbong kereta api itu, dia juga membuat tanda terima dan berjanji membayar beras yang dibagikan kemudian hari. Tindakan ini membuatnya populer dan kemudian membuat gerakan Sarekat Islam di Silungkang mendapat banyak pengikut.
Pada 1924 Sarekat Islam Silungkang bergerak ke kiri dan Sulaiman Labai mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat. Banyak anggota Sarekat Islam Silungkang mengikuti jejaknya. Aktifitasnya membuatnya ditangkap Belanda pada 13 Desember 1926 di Silungkang sebelum meletusnya sebuah pemberontakan pada Januari tahun berikutnya. Nasib Sulaiman Labai sendiri sudah tidak jelas saat itu.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Anwar Sirin, Perang Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1927 yang dilansir oleh Timur Subangun dalam Berdikari Online, 2 April 2012 menceritakan bahwa pada Maret 1928 Sulaiman Labai dan sejumlah pejuang rakyat Silungkang di pindahkan ke penjara di Pulau Jawa. Dia merupakan orang yang keras terhadap penjajahan, ketika Jepang datang ia tetap bersikukuh berada dalam penjara karena menganggap Jepang sama saja. Dia meninggal 15 Agustus 1945, dua hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan.
Ekspansi hingga Luar Negeri
Masih menurut catatan buku Republik Indonesia: Sumatera Tengah, Departemen Penerangan, 1953 sepanjang 1935-1943 persatuan saudagar ini berhasil mengusahakan surat izin import buat pemasukan dari Singapura via Pekanbaru bagi pedagang Indonesia atas pertolongan Muhammad Yamin, Handel Mij Boemipoetera. Organisasi juga berhasil membatasi pengusaha asing masuk ke Pasar Gedang dan dasar mempertahankan Pasar Gedang buat pedagang nasional.
Pengusaha lain yang disebutkan dalam buku itu adalah Rahman Tamin promotor dari organisasi Gabungan Importir Indonesia (GINDU). Pada 1951 Rahman mendirikan Gabungan Pembelian Importir Indonesia. Bisnisnya antara lain dipayungi perusahaan yang disebut Firman Rahman Tamin. Pengusaha lainnya ialah Abdul Aziz Latif, pada 1950 dia adalah Presiden Direktur Banking & Trading Coorporation yang bergerak di bidang pembuatan kapal laut. Dia juga pengusaha tekstil dan mempunyai brain-trust NV Hadji Abdul Latif.
Peneliti Indonesia asal Australia, Richard Robinson dalam bukunya Indonesia: The Rise of Capital, North Sidney: Allen & Unwin, 1986) memberikan perhatian terhadap Rahman Tamin. Sejarah Ekspansi Tamin group dimulai di Bukitinggi pada 1914 ketika Haji Tamin, ayahnya membuka kantor kecil di Bukittinggi. Bisnisnya distributor produksi petani kecil antara Bukittinggi dan Padang. Hal ini diikuti oleh kantor di Padang sendiri pada tahun 1928 dan pada tahun 1929 bisnis yang sedang dijalankan oleh Agoes dan Rahman Tamin yang telah menjalin hubungan perdagangan dengan perusahaan-perusahaan Cina di Singapura (hal 53).
Tamin kemudian bergerak di ke luar daerahnya di Sumatera Barat dan mereka terlibat dalam jaringan yang didominasi oleh pedagang Cina. Kelompok Tamin mampu mendirikan kantor mereka di Pintu Kecil, Pusat kegiatan komersial Cina di Jakarta. Adanya akses ke jaringan ini Cina dan kredit Cina adalah yang sangat penting untuk pedagang Sumatera. Menurut Robinson beberapa di antara para pedagang dari daerah itu ternyata mampu memperluas luar sektor perdagangan kecil menjadi impor dan ekspor di tingkat nasional dan internasional (hall 22).
Dari perdagangan komoditas pertanian, mereka menembus jaringan impor Cina, terutama dalam impor kapas dan kain tenun untuk Jawa dan industri percetakan. Pada 1950-an mereka sudah ambil bagian dalam distribusi barang-barang produk luar negeri. Selain Rahman Tamin, terdapat nama Djohan Soetan Soelaman dan Djohor Soetan Perpatih, Agoes Dasaad yang merupakan dua bersaudara. Mereka juga memulai bisnis pada 1920-an dan 1930-an. Agoes Dasaad ini mendirikan Dasaad Concern. Cabang perusahaan nya tersebar di Surabaya, Semarang, Cirebon dan Bandung. Dia satu-satunya pengusaha nasional pribumi sebelum kemerdekaan yang bergerak di sektor industri.
P. Swantoro dalam bukunya Sambung Menyambung Menjadi Satu yang diterbitkan kepustakaan Gramedia, 2002 (hal.53) menyebutkan dua bersaudara ini sudah mempunyai toko di Pasar Senen pada 1930-an. Mereka pernah membantu Mohammad Hatta ketika pulang dari Rotterdam pada 1932 membawa 16 peti buku dengan meminjamkan truk mereka. Di masa itu Djohan Djohor dan Toko Padang banyak disebut orang karena aksinya menurunkan harga barang. Tak sedikit toko-toko kepunyaan orang Cina di Pasar Senen, Pasar Baru dan Kramat akhirnya menurunkan harga barangnya juga. Semboyan dua bersaudara ini ialah “Untung Sedikit, Penjualan Banyak, Rakyat Tertolong”.
Majalah Merdeka 25 Oktober 1952 memuat satu artikel tentang pendirian apotik oleh seorang pengusaha perempuan bernama Roekmini Zainal Abidin. Pada waktu itu perempuan kelahiran Padang itu berusia 28 tahun belum lama membuka Apotik Tunggal di Salemba, Jakarta. Disebutkan pada 1950-an hanya ada 70 apotik seluruh Indonesia, hanya 7 buah kepunyaan orang Indonesia. Roekmini adalah putri seorang saudagar batik yang berasal dari Bukittinggi.
Roekmini beruntung memiliki orangtua yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada anak-anaknya menempuh pendidikan. Roekmini menamatkan HIS dan MULO di Pekalongan. Dia meneruskan pelajaran ke AMS di Jakarta, namun penyerbuan Jepang membuat pelajarannya tidak bisa diteruskan. Sesudah menamatkan SMT, dia meneruskan pelajaran ke Ika Dai Gakko Jaku Bu bagian farmasi yang menarik perhatiannya.
Pecahnya revolusi menjadikan sekolahnya terhenti. Dia kemudian melanjutkan pelajaran ke Klaten yang kemudian dipindahkan ke Solo. Aksi militer kedua menutup seluruh sekolah. Namun akhirnya Roekmini berhasil mendapat C2 dan ijazah asisten apoteker. Dia pernah bekerja di rumah sakit CBZ sebelum direbut Belanda. Selama bekerja di CBZ ia bertemu dengan suaminya Zainal Abidin yang bekerja di laboratorium.
Atas batuan suaminya, Roekmini mendirikan perusahaan kecil di bidang pemasukan obat-obatan. Dia bersaing dengan importir-importir besar yang telah berurat-berakar. Dia juga mencari jaringan untuk mendapatkan obat-obatan. Setelah bekerja keras selama dua tahun baru ia bisa mendirikan Apotik Tunggal. Menurut Roekmini niatnya terjun ke bidang ini karena masa itu Indonesia memiliki banyak dokter tetapi lapangan obat-obatan masih kosong.
Richard Robinson dalam Indonesia: Rise of Capital dan Yahya A.Muhaimin dalam bukunya Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1990 menyebutkan seorang pengusaha asal Minang lain yang muncul pada 1950-an. Namanya Masagoes Nor Mohammad Hasyim Ning lahir pada 1916 dari keluarga pedagang kecil yang bergerak di bidang karet, teh dan lada. Sebelum perang ia bekerja di perusahaan keluarganya dan beberapa perusahaan Belanda.
Di antara perusahaan Belanda tempatnya bekerja adalah NV Velodrome Motors yang bergerak di bidang importir mobil. Hasyim Ning kemudian memilih menjadi tentara pada masa revolusi, di antaranya menjadi asisten pribadi bidang keamanan dari Wakil Presiden Mohammad Hatta dan dia juga perwira penghubung dari Perdana Menetri Syahrir. Pengalamana bekerja di militer menjadi bekal bagi Hasyim menjalin relasi dan jaringan kelak.
Dia kemudian pensiun dari dinas militer pada September 1951 dan pada tahun beriktunya Hasyim Ning diangkat menjadi Presiden Direktur Indonesia Service Company (ISC), sebuah perusahaan milik Bank Indonesia dan CV Putera. Perusahaan ini mengimport dan merakit truk mereka Dodge dan Jip Willys untuk keperluan militer. Dia juga mengambil alih NV Veledrome Motors tempatnya bekerja dulu dan mengubah namanya menjadi Djakarta Motors Company.
Hasyim Ning bersama-sama Agoes Muchsin Dasaad kemudian mendirikan PT Daha Motors (singkatan Dasaad-Hasyim). Perusahaan ini kemudian menjadi agen tunggaluntuk mengimport dan merakit mobil Fiat. Menyimak buku Robinson dan Yahya Muhaimin tampaknya kemunculan Hasyim Ning merupakan era baru sejarah kewirswastawan Indonesia umumnya di mana patronase politik memainkan perannya. Saya akan membahasnya dalam tulisan lain.
Yang kerap jadi pertanyaan saya, mengapa tidak banyak wiraswastawan Minang yang usahanya berlanjut sampai beberapa generasi seperti halnya perusahaan milik orang Tionghoa. Hal ini juga terjadi pada businessman muslim di Malang, yang pernah saya tulis. Sekalipun untuk kasus Minang, wiraswastwan punya kharakteristik yang berbeda, seperti diungkapkan beberapa peniliti yang ulasannya pernah saya baca.
Seorang peneliti asal Minang, Mohctar Naim dalam tulisannya “Perantau Masyarakat Minang dan Kaitannya dengan Masalah Kewiraswastawanan” dalam Prisma No9, 1978 mengakui kuatnya peran para pengusaha Minangkabau bila dilihat dari dimensi sosial. Desa-desa di Sumatera Barat yang mempunyai banyak perantau yang menjadi pedagang berbeda dengan para perantau yang menjadi pegawai seperti Kota Gadang memberikan kontribusi berbeda. Para pedagang membangun rumah-rumah bagus di kampung halamannya, sementara para pegawai lebih suka membangun rumah di kota tempat mereka merantau karena ingin menetap di sana. Sementara para pedagang tampaknya ingin melewatkan hari tuanya di kampung halaman.
Menurut Mochtar Naim perbedaan orientasi kewirausahaan orang Hoa Kiau dengan orang Minang adalah kalau orang Hoa Kiau orientasinya hanya ekonomi, sementara orang Minang selain ekonomi dibebani kewajiban-kewajiban sosial (seperti yang saya urai berdasarkan sejumlah literatur di atas). Orang Minang kehidupannya terbelah antara kewajiban terhadap keponakan (karena budaya ninik-mamak) dan kepentingan isteri dan anak di sisi lain. Konflik built- in berdampak pada usahanya.
Selain itu orang Tionghoa menurunkan kepandaian berusahanya kepadanya melalui latihan-latihan sejak kecil, misalnya menolong di kedai. Sementara (kebanyakan) pedagang Minang tak memperlihatkan kewajibaan itu. Mereka lebih suka anak-anak mereka masuk sekolah dan hidup bagai priyayi. Mereka tak ingin anak-anak mereka bersakit-sakit dahulu, seperti orangtuanya ketika merintis usaha.
Hal senada juga diungkapkan penulis lainnya Alfian Arbie dalam artikelnya “Bisnis Keluarga Suku Batak dan Minang dalam Polarisasi Konvensional” yang dimuat dalam Persepsi Minangkabau Minangrantau, diterbitkan di Medan oleh penerbit Maju pada 1984 (halaman 163). Pengusaha Minang cenderung untuk berorientasi ke kampung halaman mereka dengan cara mengirim dana yang tidak sedikit. Hanya saja Alfian menyebutkan bahwa pengusaha Minang menggunakan sistem bagi hasil dalam dunia usaha atau sistem anak semang dan induk semang dalam pola bisnis mereka.

sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/22/bisnis-dan-dimensi-sosial-catatan-awal-tentang-kiprah-wiraswastawan-minangkabau-di-ranah-dan-rantau-1910-1950-an-549158.html

Saudagar di pesisir Minangkabau

KEHIDUPAN SAUDAGAR
DI RANTAU PESISIR MINANGKABAU


Oleh
Ari Febrianto,
mahasiswa Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas

Wilayah Minangkabau secara umum dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu Luhak dan Rantau. Luhak merupakan wilayah inti Minangkabau dan merupakan pusat kebudayaan Minangkabau. Daerah Luhak dikenal juga dengan sebutan daerah Darek (Darat) karena terletak di dataran tinggi. Wilayahnya meliputi Luhak Nan Tigo yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.
Daerah Rantau adalah tempat orang Minangkabau merantau yang berada di luar wilayah Luhak. Rantau adalah wilayah pemukiman yang dibangun oleh orang-orang yang berasal dari Darek. Oleh karena pada umumnya merupakan pemukim pantai, daerah-daerah pemukiman ini adakalanya dibangun oleh orang-orang dari luar Minangkabau. Jika Darek homogen dan asli dari segi budaya maupun etnis, maka Rantau heterogen dan “campuran” (Kato, 1986; Naim, 1984).
Sepanjang sejarahnya, masyarakat Minangkabau telah menyaksikan saling pengaruh- mempengaruhi yang tiada hentinya antara Darek dan Rantau. Rantau adalah saluran ke luar dari sejumlah akibat kelebihan tenaga di Darek, kelebihan penduduk, kekecewaan, keingintahuan, atau ambisi dan tenaga yang lebih bagi perluasan Rantau. Darek turut menikmati kekayaan dan pembaharuan-pembaharuan yang berasal dari Rantau; Darek memberikan identitas sebagai bagian dari Alam Minangkabau, di samping menyediakan sumberdaya manusia yang perlu bagi perluasannya. Dalam tata hubungan yang saling tergantung ini, Rantau bukanlah sekedar embel-embel bagi Alam Minangkabau (Kato, 1986).
Dalam usaha menggambarkan masyarakat Minangkabau, baik tradisional maupun modern, ada kecendrungan yang kuat untuk memusatkan perhatian pada Darek, Sebab Darek dipandang sebagai perwujudan adat Minangkabau yang lebih asli; namun Rantau sendiri pun  perlu mendapat perhatian. Kehidupan saudagar di Pesisir memberi pemahaman bagaimana Rantau yang sebenarnya dan bagaimana keadaan penduduknya. Jika yang menjadi tokoh di Darek yang umumnya hidup dari sawah dan sifatnya lebih menetap, adalah Penghulu, maka yang menjadi tokoh di Rantau yang sifatnya lebih komersial itu adalah saudagar.
Kehidupan saudagar di daerah Pesisir selama ini digambarkan dengan kehidupan pantai dan laut, tapi hal itu ternyata tidak mutlak adanya, karena sebagian saudagar Pesisir ada yang tidak berkecimpung dalam dunia maritim, dalam perkembangannya sekarang mereka lebih cendrung beraktivitas di Darek dan lebih banyak memanfaatkan daratan, karena darat memiliki akses jalur transportasi ke daerah Darek lain yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan jalur Pesisir/laut.
Saudagar di Pesisir Minangkabau, adalah suatu bentuk kehidupan yang sangat menarik, karena apabila dilihat dari pola perdagangan di daerah Pesisir Minangkabau yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah Darek. Dinamika kehidupan yang dijalani oleh saudagar Pesisir yang unik, strategi yang dilakukan dalam mempertahankan eksistensi perdagangan, dan pola hubungan yang  dibangun dengan saudagar-saudagar yang lain, baik yang berasal dari daerah yang sama maupun daerah yang berbeda.
Perdagangan di Rantau Pesisir
            Berdagang menjadi salah satu ciri khas bagi orang Minang pada umumnya, karena sebagian yang merantau ke daerah-daerah lain termasuk daerah Pesisir, mereka mayoritas melakukan usaha/bekerja sebagai pedagang.
            Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minangkabau yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah suatu pilihan yang tepat. Prinsip “lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar” (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minangkabau.
            Menjadi seorang pedagang  merupakan salah satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minangkabau bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan obral, daripada harus kerja kantoran yang acapkali disuruh dan dimarah-marahi.
            Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minangkabau disebabkan dengan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual  hasil-hasilnya ke pasaran.  
Perkembangan dunia pedagang Minangkabau sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari sistem budaya masyarakatnya. Seperti sudah diungkapkan oleh banyak ahli, sistem budaya Minangkabau merupakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya minat dagang dalam masyarakatnya. Akan tetapi pada sisi lain sistem budaya Minangkabau itu juga menjadi bagian perkembangan dunia pedagang Minangkabau. Dengan demikian nampaknya sistem budaya Minangkabau itu bersifat ambivalen terhadap perkembangan dunia pedagang Minangkabau.
Saudagar lebih banyak memanfaatkan dan memperdagangkan hasil-hasil pertanian dan peternakan yang di hasilkan dari daerahnya sendiri, seperti misalnya ikan kering, padi, karet, kayu manis, sapi, kerbau dan beberapa produk lainnya yang menjadi komuniti di daerah Pesisir.
Kehidupan Saudagar di Rantau Pesisir
            Kehidupan saudagar di daerah Pesisir di identikkan dengan materi yang melimpah, kesuksesan, ketenaran, dan yang paling mendukung adalah kepercayaan dari masyarakat, karena setiap saudagar tidak selalu mengandalkan materi dalam berdagang, masyarakat lebih menghargai kepercayaan dan kejujuran.
            Dengan kehidupan yang serba berkecukupan, masyarakat memandang seorang saudagar sebagai orang yang disegani dan sukses, sehingga tidak dapat di pungkiri saudagar-saudagar di Rantau Pesisir selalu memiliki hubungan baik dengan masyarakat dan sangat umum dikenal sebagai orang yang memiliki banyak istri, karena di semua tempat yang pernah disinggahi untuk berdagang pasti ditempat itu akan ada saja wanita yang mau di jadikan istri, sebagai tempat bermalam.
            Kehidupan saudagar di Rantau Pesisir memang berbeda dan memiliki keunikan, saudagar memiliki ruang dan tempat tersendiri di hati keluarga, masyarakat, bahkan memiliki hubungan baik dengan saudagar-saudagar lain. Walaupun dalam berdagang mereka bersaing, tapi dibelakang itu mereka memiliki kedekatan dan hubungan yang harmonis.
Kamar, yang merupakan salah satu pedagang yang berasal dari daerah Pesisir, merupakan salah satu profil saudagar tradisional yang menjadi kaya dengan usahanya tersebut. Kamar yang pernah menikah sebanyak dua belas kali ini, memilih melakukan perdagangan ke Kota Padang karena Padang memiliki akses jalur transportasi ke daerah Darek yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan daerah Pesisir lainnya. Jenis barang dagangan yang dibawa Kamar ke Padang adalah barang-barang hasil pertanian dan hasil ternak seperti Padi, sapi, dan kerbau yang dihasilkan dari Nagari Surantih dan nagari-nagari sekitarnya.
Sebagai saudagar, Kamar dalam menjalankan usaha dagang tidak semata-mata mengandalkan materi dan uang yang berlimpah, tapi lebih mengutamakan kejujuran dan kepercayaan. Dengan modal dasar ini, Kamar merintis usaha dagangnya dan inilah yang membedakan dan membuat Kamar menjadi salah satu saudagar yang berhasil dengan usaha yang dirintisnya.
sebagai langkah awal dalam menekuni dunia persaudagaran, Kamar mendirikan “gudang roti gulo” yang menjadi semakin laris dan mendapatkan keuntungan yang berlimpah, kemudian menambah usaha lain dengan memperdagangkan sapi dan kerbau yang mulai di kirim ke Padang dengan menggunakan jalur darat, walaupun memerlukan waktu yang cukup lama (enam hari dengan berjalan kaki), memperkerjakan banyak orang yaitu satu ekor sapi akan dikawal oleh 2 (dua) orang (kalau untuk kerbau 3 orang). Sebagai pedagang yang memiliki naluri yang tajam dalam berdagang tidak terkecuali  hasil pertanian juga diperdagangkan seperti padi yang juga di kirim ke Padang mengunakan “biduak” sebagai transportasinya.
Dengan kata petuah yang sering diucapkan dan diterapkannya “di dunia ini tidak ada yang paling berharga kecuali kejujuran”. Kamar berhasil menjadi saudagar yang disegani dan dihormati baik dikalangan sesama saudagar ataupun masyarakat.
          
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1983. ”Sebuah Pengantar”, dalam Taufik Abdullah, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S.
Abdullah, Taufik. 1984. “Studi tentang Minangkabau”, dalam Ahmad Ibrahim (ed.). Minangkabau Minangrantau. Medan: Penerbit Madju.
Adli, Adrial. 1994. “Perdagangan Hasil Bumi Sumatera Barat di Kota Padang Pada Masa Kolonial (1900-1930)”. Tesis. Yogyakarta: PPS Universitas Gadjah Mada.
Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784 – 1847. Depok: Komunitas Bambu.
Dobbin. Christine. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah. Jakarta: INIS.
Kato, Tsuyoshi. 1986. “Rantau Pariaman: Dunia Saudagar Pesisir Minangkabau Abad XIX” dalam Akira Nagzumi. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Manan, Imran. 1989. “Enterpreneurship dan Corak Ekonomi Minangkabau dalam Dunia Usaha”. Makalah. Bandung: Unit Pencinta Budaya Minangkabau Universitas Padjadjaran.
Mansur, M.D. 1972. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara
Naim, Mochtar. 1987. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Navis, A.A. 1984. “Pola Usaha Tradisional Minangkabau dan Bisnis Modern” dalam Majalah Interaksi No. 4 Th. I.
Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press. 1986.
Yusuf, Mohammad. 1998. “Haji Mohammad Said (1930-1990) Kisah Seorang Pedagang Minangkabau”. Skripsi. Padang: Fak. Sastra Universitas Andalas

sumber: http://yasminakbar11.blogspot.com/2012/09/kehidupan-saudagar-di-rantau-pesisir.html

Saudagar Minang dan Dakwah

SAUDAGAR MINANG DAN DAKWAH
Oleh : Buya H. Mas’oed Abidin

Menjadi saudagar, bagi orang Minang, dalam adaik basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah, adalah suatu pekerjaan mulia.
Saudagar Minang, yang umumnya beragama Islam, mengambil contoh kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang diutus menjadi Rasul, sejak usia muda sudah berkecimpung di bidang perdagangan, berjualan, dan merantau jauh melintas batas negerinya.
Adat budaya Minang, menyebutkan, ka ratau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau buyuang dahulu, di rumah paguno balun. Badagang bagi orang Minang sudah dikenal sejak lama.
Bagi orang Minang, badagang adalah suatu kebaikan dan idaman. Dalam kaedah hidup di Ranah Minang mengadatkan, ”Handak kayo badikik-dikik, Handak tuah batabua urai, Handak mulia tapek-i janji, Handak luruih rantangkan tali, Handak buliah kuek mancari, Handak namo tinggakan jaso, Handak pandai rajin balaja.”

 
Nilai utama yang dituntut berpendir­ian teguh dengan sifat‑sifat mulia,lembut hati, penyabar, penyayang sesama, dan teguh iman melaksanakan suruhan Allah.
Di Minangkabau kata‑kata “dagang” menyimpan banyak makna. Terkandung fasafah hidup yang luas.
Dalam suasana badagang itu, “iyu beli, belanak beli, ikan panjang beli dahulu. Ibu dicari, dunsanak dicari, induk semang cari dahulu”. Ada nilai yang wajib dijaga, yakni kekerabatan dan jiwa wiraswasta. Artinya pandai menghormati orang‑tua di mana saja.
SENTENG BABILAI, SINGKEK BA‑ULEH, BATUKA BA‑ANJAK, BARUBAH BASAPO. Sama‑sama bekerja mencapai tujuan, bekerja sama mengangkat beban, saling mau perbaikan jika terlihat satu kesilapan.
Lebih dari itu, induk semang yang erat kaitan­ dengan badagang jo manggaleh, perlu dicari lebih dahulu. ANGGANG JO KEKEK CARI MAKAN, TABANG KA‑PANTAI KADUO‑NYO, PANJANG JO SINGKEK PA‑ULEH‑KAN, MAKO‑NYO SAMPAI NAN DI CITO.
Semua potensi yang ada, digali dan dipertemukan, untuk mencapai sukses, dengan menjaga persaudaraan, dan menghargai existensi bermasyarakat dalam kaedah‑kaedah pergaulan yang nyaman, seperti ADAIK HIDUIK TOLONG MANOLONG, ADAIK MATI JANGUAK MANJANGUAK, ADAIK LAI BARI MAMBARI, ADAIK TIDAK SALING MANYALANG (BA‑SELANG‑TENGGANG).
Di ranah Minang, anak dagang tidak dianggap orang buangan. Penilaian orang Minang terhadap anak dagang, tergantung kepada baik perilaku di ranah, serta hasil karyanya, dan kemudian didudukkan sama rendah tegak sama tinggi dalam ikatan andan pasumandan, dan dipercaya memikul tugas‑tugas di dalam “negeri”.
Dari ungkapan ini, tergambar betapa eratnya hubungan antara saudagar dengan dakwah.
Orang Minang suka badagang, di antara pekerjaan itu adalah berniaga, dagang babelok, berkedai, berjual beli, tukar‑menukar, bertoko, dan manggaleh yang terkait dengan seluruh transaksi yang mencakup “rugi‑laba”, dan selalu bermodal kehati-hatian.
INGEK SABALUN KANAI, KALIMEK SABALUN ABIH, INGEK‑INGEK NAN KA‑PAI, AGAK‑AGAK NAN KATINGGA.
Jeli dan jelimet dengan perhitungan matang tentang manfaat dan mudharat, dengan sebuah kompas yang jarumnya diarahkan “DIMA BUMI DIPIJAK, DI SINAN LANGIK DIJUNJUNG”, artinya penyesuaian, situasional dan kondi­sional. Karena ini, mereka maju dan berkiprah di segala bidang.
Sebuah mental‑climate yang benar‑benar indah, sesuai dengan “agama” dan adatnya. Syara’ mamutuih, adat mangato.
Badagang jo Manggaleh, bagi putra-putri Minangkabau sejak dahulu, dimulai dengan apa yang ada. Yang ada itu, ialah alam takambang jadi guru, dan potensi‑manusiawi.
Sejak awal ditanamkan percaya diri, dengan modal sederhana, tulang delapan karat dan moralitas dengan panduan agama dan adat, membentuk watak produktif, menolong diri sendiri, kemudian berkiprah saling membantu orang keliling, sebagai kekuatan dakwah di manapun mereka berada.
Telah dibuktikan, di manapun saudagar Minang itu berada, maka surau, mushalla dan masjid akan berdiri dan ramai dikunjungi.
Kerjasama di antaranya terjalin rapi, dengan memungsikan semua potensi yang riil.
TUKANG NAN TIDAK MAMBUANG KAYU, NAN BUNGKUAK KA‑SINGKA BAJAK, NAN LURUIH KA TANGKAI SAPU, SATAMPOK KAPAPAN TUAI, NAN KETEK PA PASAK SUNTIANG”.
 
Tidak jarang, saudagar Minang sejak masa lalu itu, adalah orang-orang yang piawai di bidangnya, seperti Muhammad Latif yang berdagang ke Aceh sambil belajar agama, atau Syekh Gapuak saudagar sarung bugis, yang mendirikan Masjid Gantiang Padang dan pamannya Syekh DR.Abdullah Ahmad, Rahman Tamin yang mewakafkan rumah dan tanahnya di Kramat Raya Jakarta untuk markas Dakwah Islam sampai sekarang, dan banyak lagi yang lainnya, seperti Djohan Djohor, Dasaat, Abdul Latif, Hasyim Ning, Rusli Wat dan kawan-kawan lima serangkai saudagar Pasar Raya Padang yang memelopori pembuatan Masjid Taqwa Padang, Haji Syamsuddin Pasar Mudiek, Haji Lamid saudagar rempah di Pasar Hilir, Buya Muhammad Yatim dan Anwar Sutan Saidi yang mendirikan abuan saudagar dan akhirnya menjadi Bank Nasional dan Inkorba di Bukittinggi.
Dan ratusan nama lainnya, yang tak cukup kertas untuk mencatatnya. Mereka adalah saudagar piawai, yang berdagang dan berdakwah dalam satu tarikan nafas.
Jelaslah sudah, bahwa badagang jo manggaleh bagi orang Minang, punya falsafah mendalam, dan berurat berakar dalam memilih secara teliti penerapan kiat manaje­men yang tengah berkembang.
Akhir dari keberhasilan seorang saudagar yang badagang atau manggaleh adalah kesediaannya membantu orang lain (kampung halaman dan karib kerabat) dengan cara ikhlas (ihsan) tanpa memerlukan balasan apa‑apa, sesuai dengan Firman Allah, “Berbuat baiklah kamu (kepada sesama makhluk) sebagaimana Allah (yang menciptakan manusia) telah memberikan segala bentuk kebaikan kepada kamu, (yakni berbuat selfless‑help, membantu tanpa mengharapkan balasan). Dan Ingatlah, jangan sekali‑kali kamu menjadi penabur bencana dipermukaan bumi; (Q.S. XXVIII Al‑Qashash, ayat 77).
Alhamdulillah, orang Minang sampai kini, masih memi­liki “piala” yang belum berpindah ke tangan orang lain, yaitu orang Minang masih “pandai hidup”, “ALAH BAKARIH SAMPORONO, BINGKISAN RAJO MAJO‑PAIK, TUAH BASARAB BAKARA­NO, DEK PANDAI BATENGGANG DI NAN RUMIK”.
Kuncinya, pertajam observasi, tingkat­kan daya‑fikir, dinamiskan daya‑gerak, perhalus raso pareso, perkembang daya‑cipta, dan bangkitlah kembali kemauan. “MAMUTIAH CANDO RIAK DANAU, TAMPAK NAN DARI MUKO‑MUKO, BATAHUN‑TAHUN DI DALAM LUNAO, NAMUN NAN INTAN BACAYO JUO”.
Insya Allah, “Innallaha ma’ana”, Allah akan selalu menyertai kita.
Amin.

sumber: http://dewandakwah.wordpress.com/category/saudagar-minangkabau/

Kesaudagaran Minangkabau

Beberapa Catatan tentang Dunia Saudagar dan ‘Kesaudagaran’ Minangkabau



Oleh: Mestika Zed
Profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” mungkin terdapat dalam hampir setiap kelompok etnik mana pun di dunia, bahkan sejak dahulu kala. Namun dalam konteks Indonesia, gejala ini tampaknya lebih menonjol di kalangan etnik Minangkabau. Para penulis ontologi ekonomi dan kemasyarakatan cenderung mengakui bahwa salah satu identitas kultural orang Minangkabau ialah keahlian dalam dunia niaga. Profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran”, tak syak lagi, berkait-kulindan dengan kehidupan sosio-kultural setempat. Dalam memperingati seratus tahun kebangsaan (nasionalsime) ke-Indonesiaan tahun 2008 ini sepatutnya kita memberikan perhatian pada tradisi “kesaudagaran” dan peran saudagar Minang dalam membangun identitas kebangsaan di masa lalu.

Tulisan ini ingin melacak tradisi ‘kesaudagaran’ Minang itu dengan membatasi uraian pada tiga pokok persoalan berikut ini; (i) bagaimana menjelaskan bahwa profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” bertalian erat dengan dunia kehidupan (lebenwelt) sosial-kultural budaya masyarakat Minangkabau; (ii) apa dan bagaimana kontribusinya dalam pergerakan kebangsaan di masa lalu; dan (iii) ada apa dengan profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” Minang dewasa ini dan apa yang mungkin dapat dilakukan untuk merevitalisasi budaya ‘kesaudagaran’ Minang tersebut ke depan, sehingga ia perlu dipertahankan sebagai warisan khazanah budaya lokal masih relevan untuk menjawab tantangan zaman, khususnya dalam kerangka menyejahterakan masyarakat bangsa di tingkat lokal mau pun nasional?
Akar Budaya ‘Kesaudagaran’ Orang Minang.
Budaya dagang orang Minang dapat dilihat dari profesi saudagar (marchant) yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lokalnya ialah ’menggalas’.[1] Artinya melakukan kegiatan jual-beli atau tukar menukar dalam sistem pasar lokal atau regional. Berkat keuletan dan kegigihan mereka dalam di arena menggalas ini, membuat mereka mampu menyaingi pedagang Cina, yang pada umumnya mendominasi kegiatan perdagangan di nusantara di zaman kolonial (Furnivall 1939).  Barangkali karena alasan-alasan inilah maka istilah Minangkabau sering diplesetkan dengan ungkapan ”Minangkiau”. Malahan ada juga solorohan sarkastik, yang mengatakan, ’begitu terjadi migrasi penduduk ke bulan, saat itu sudah berdiri pula ’rumah makan padang’ di sana. Memang dewasa ini ’rumah makan padang’ dan pelbagai jenis jualan kaki lima di mana-mana di nusantara diidentikkan dengan keahlian orang Minang. Sebaliknya, kalau kita pergi menjelajahi pelosok Sumatera Barat, kampung asal orang Minangkabau, maka dapat dilihat bahwa daerah ini termasuk salah satu dari sedikit daerah di mana ekonomi rakyat dan perdagangan sampai ke pelosok pedalaman tetap dipegang oleh penduduk setempat.[2]  
 "Manggaleh", Menggalas (bhs.Minang) berasal dari kata galeh/galah, yaitu bambu yang dipakai untuk pikulan barang dagangan. sumber gambar:www.kaskus.us/showthread.php?t=2300077
Tradisi ’menggalas’ pertama-tama berkaitan erat dengan institusi pasar dan orang Minang sudah lama mengenal sistem pasarnya sendiri, bahkan sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Istilah lokalnya ”pakan” [pekan]. Maka bagi para saudagar atau ”penggalas” Minang, tiada hari tanpa pasar. Pepatah adat mengatakan, adat badagang, duduak dagang, tagak dagang, bakato dagang sakali. Indak baban batu digaleh. Bukan kebetulan kalau rotasi pasar tradisonal berjalan tiap hari dalam sepekan (seminggu) menurut nama hari (dari bahasa Arab) seperti Pekan Ahad, Senayan, Selasa dan seterusnya. Pada hari pekan itu banyak petani yang membawa hasil pertaniannya ke pasar dan sebaliknya mereka membeli barang-barang keperluan sehari-hari atau alat rumah tangga lainnya; sebagian untuk dijual kembali di pasar-pasar yang lebih kecil atau di lepau-lepau di nagari-nagari. Sebaliknya pedagang-pedagang yang lebih besar menjual galasnya di pasar-pasar mingguan yang lebih besar lewat galeh babelok dan bahkan menjadi bagian yang penting dalam jaringan pedagang keliling (peddlers) nusantara seperti yang pernah dideintifikasi oleh Van Leur  di masa lalu (1955: 53, 60ff).[3] 
Pada dasarnya makin teratur kehidupan masyarakat makin banyak pula ditemukan perdagangan dan pasar. Pasar petani yang dihidupkan oleh para saudagar lokal itu berkembang pesat, terutama sejak masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Islam dalam hubungan ini tidak hanya memperkenalkan pemahaman konsep teologis (Tauhid) terhadap penganutnya, tetapi pengalaman sejarah Islamisasi itu sendiri, yang berlangsung lewat perdagangan justru memperkuat tradisi dagang orang Minangkabau. Di Minangkabau perkawinan antara adat dan Islam melahirkan doktrin sosial (atau filsafat) berbunyi adat besandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK). Meskipun doktrin itu kini hanya tinggal wacana, orang Minangkabau tetap sadar akan identitas khas mereka yang berdasarkan adatnya itu dan menganggap kelompok mereka sebagai puak etnik yang unggul.
Penerobosan pengaruh dunia modern ke lingkingan kehidupan sehari-hari mereka, tidak perlu menggoyahkan tradisi berfikir mereka yang menjujung tinggi rasa percaya diri mereka (self-confidence) dan juga tidak pula mesti mengubah penghargaan mereka terhadap kemerdekaan [berfikir] individu. Ungkapan adat seperti ”alam takambang jadi guru”; mengambil contoh ke nan sudah; mengambil tuah ke nan menang, tidak hanya bermakna mengandalkan kekuatan akal, tetapi juga fleksibilitas budayanya. Ia juga berkaitan erat dengan watak orang Minangkabau yang berorientasi outward looking. Watak kemerdekaan (independensi) dan outward looking orang Minang menemukan habitatnya dalam tradisi merantau dan profesi dagang. Salah satu wujud paling nyata dari gejala ini terlihat dari pilihan profesi berdagang kaki lima. Konsep kaki lima itu sendiri memiliki makna simbolik, di mana si pedagang adalah orang yang merdeka, ’independen’ dari atasan dan bawahan karena ia sendiri adalah ‘manajer’ atas ’galas’ yang diurusnya. Sebaliknya ini sekaligus menjelaskan mengapa profesi tentara (militer) kurang diminati orang Minang.
Visi adat dan falsafah Minangkabau tentang kemerdekaan berfikir  selanjutnya menuntut warganya, untuk senantiasa mengontraskan atau membandingkan antara dunia di sekitarnya dan daerah rantau. Sebab hanya dengan jalan begitulah anak nagari akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu menuntut orang untuk berfikir kritis, melakukan otokritik karena ada referensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam tempat asal adalah referensi itu awal. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya cara berfikir dialektis (tesis-antitesis dan sintesis itu) dilahirkan, sehingga kontradiksi atau konflik dianggap sebagai hal yang wajar manakala ia dapat disintesasiskan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis. Keberhasilan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk terutama bergantung pada akal, yaitu kemampuan ber­fikir secara rasionil. Kalau begitu, visi itu mendorong juga orang Minang untuk berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatisme atau parokhialisme, sebab keduanya menghalangi kemerdekaan berfikir.
Atas dasar pandangan ini, maka pengertian rantau bukan lagi semata-mata mencari uang dan harta kekayaan, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Jika ditarik lebih jauh, maka merantau tidak melulu sekedar hijrah atau berpindah secara fisik, tetapi juga secara men­tal (pemikiran). Yang pertama memperkuat tradisi ‘menggalas’, yang kedua memperkuat tradisi intelektual. Bukti-bukti tentang ini telah ditunjukkan dalam sumbangan parantau, baik untuk kampung halamannya maupun untuk tanah dalam arti luas. Tentu saja masih bisa dijelaskan kaitan struktural antara tradisi merantau – dan dengan demikian juga budaya ”kesaudagaran” orang Minang – dengan sistem sosialnya yang matrilineal.  Karena sistem sosial matrilineal Minangkabau pada dasarnya mengandung pengertian genealogis dan kepemilikan, maka ada konsekuensinya yang tak terelakkan.  Pertama sistem matrilineal menjamin eksisensi dan perlindungan terhadap perempuan, baik secara sosial mau material dan kedua sebaliknya kurang memberi tempat pada anak laki-laki atau pemuda. Karena itu oleh adat mereka dianjurkan pergi merantau.
Masih ada satu lagi faktor budaya lokal yang perlu disebutkan dalam mendukung budaya menggalas, yaitu keahlian orang Minang dalam berwacana lisan. Keahlian ini dipupuk lewat tradisi pepatah-petitih, pidato adat atau mamangan. Kepandaian bersilat lidah, mengolah kata memerlukan latihan dan tradisi adat menyediakannya. Keahlian berwacana ini juga sangat diperlukan dalam interaksi pasar, terutama untuk merebut hati pelanggan di mana kegiatan tawar-menawar yang panjang adalah inheren dalam pasar tardsional. Lebih-lebih lagi ketika alat komunikasi masih terbatas secara lisan, maka kepandaian berbicara tidak hanya menunjukkan kehalusan, melainkan juga sebuah manisfestasi kuasa via kata.[4]

  Suasana pasar tradisional di kota Padang.Sumber gambar Nasbahry Couto (2004)/ eksperimen fotografi digital.Pedagang sayur-mayur, dan jualan kebutuhan sehari-hari umumnya adalah masyarakat sekitar kota Padang.

Kendatipun kehidupan di nagari-nagari di Minangkabau sejak dulu dan bahkan sampai sekarang, masih bersifat agraris, tetapi ada yang membedakan petani Minangkabau dengan kebanyakan petani di tempat lain. Salah satu ciri khas petani Minangkabau dapat diibaratkan dengan ungkapan, ”orang yang hidup dari bercocok tanam, di mana sebelah kakinya terbenam di sawah atau di ladang dan sebelah yang lain berada di pasar.” Dengan kata lain, petani murni dalam pengertian Wolf (1963), yaitu orang yang semata-mata hidup bergantung pada bercocok tanam (tanah), dan tidak mengerti pasar, jarang ditemukan di Minangkabau karena sistem pasar itu sendiri hampir sama tuanya dengan tradisi pertanian mereka. Meskipun demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan begitu saja antara sistem pasar tradisional di mana terdapat interaksi perdagangan, jual beli pada zaman kuno dengan yang ada dalam masyarakat modern.
Pada kebanyakan masyarakat petani, yang sudah mengenal sistem pasar sekali pun, dorongan untuk berproduksi, pembagian kerja maupun distribusi hasil produksi pada pada umumnya tidak ada hubungannya dengan proses pasar atau perdagangan. Akan tetapi dalam masyarakat Minangkabau, ekonomi, khususnya ekonomi pasar dalam pengertian tradisional, adalah bagian integral dari sistem sosio-kulturalnya.[5] 5) Beberapa simpul sosio-kultural Minangkabau sebagaimana disinggung di atas telah memungkinkan tumbuh-nya tradisi ”kesaudagaran” orang Minang tersebut.
Kontinuitas dan Perubahan Budaya ”Kesaudagaran” Orang Minang
Kapitalisme dan negara-bangsa adalah dua kekuatan utama yang mengubah dan menentukan struktur dunia modern. Keduanya merupakan kekuatan yang telah membentuk semua masyarakat di dunia, tetapi tidak sepenuhnya mampu menembus sektor-sektor tertentu dalam masyarakat. Masih ada ranah yang lebih luas yang menghindari pengaruh langsung negara dan/atau pasar kapitalis, terutama kegiatan ekonomi lokal di Dunia Ketiga dan di Minangkabau sejak masa kolonial khususnya, tidak seberapa berpengaruh dan bahkan sebaliknya memberi peluang berkembangnya pedagang-pedagang lokal. Sampai setakat ini mustahil bagi kami untuk mengidentifikasi tipologi saudagar Minang yang asli. Namun berdasarkan pengamatan sementara, di mana sisa-sisa tipe saudagar lama masih dapat dilihat contour-nya sebagai berikut.
Pertama, para saudagar – sejalan dengan semangat indivudalisme dalam dunia ’kesaudagaran’ Minangkabau – cenderung bekerja sendiri-sendiri. Gambaran saudagar Minang di masa lalu agaknya dapat diungkapkan dengan meminjam pepatah Belanda berikut: Eenden zwemmen in groepen, de adelaar vliegt alleen (Itik berenang bergerombolan, garuda terbang sendiri-sendiri”). Para ’penggalas’ itu, bagaimanapun juga, adalah anggota dari masyarakatnya dan memilik tanggung jawab sosial sekaligus, namun dalam urusan galasnya mereka cenderung mandiri dan berjalan sendiri-sendiri. 
Kedua, jaringan saudagar tradisional umumnya bergerak dalam skala menengah ke bawah, sebagain besar dalam usaha kecil-kecilan, baik modal maupun jaringannya. Erat kaitannya dengan ini, jaringan hubungan-hubungan ’kesaudagaran’ umumnya bertumpu pada hubungan-hubungan keluarga. Sifat tanpa pandang pribadi (impersonal) dalam pasar merupakan unsur penting dalam teori ekonomi modern dan secara sosiologis-antropologis sulit diterapkan ke dalam tradisi ’kesdaudagaran’ Minang. Memang di sini ada kesimpangsiuran, sikap impersonal dalam dunia dagang sering cenderung disamakan dengan rasionalitas serta mencari keuntungan maksimal. Bila orang ingin bertindak secara rasional (dalam arti ekonomi) dan mencari laba, maka seharusnya dia secara ideal mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan perasaan yang menimbulkan ikatan-ikatan dalam hubungan sosial yang dapat bertentangan dengan motif mencari laba. Namun studi antropologis tentang pasar sebaliknya menukas bahwa justru ikatan-ikatan pribadilah yang membuat sistem pasar itu dapat berfungsi. Clifford Geertz (1989), menunjukkan bahwa hubungan-hubungan di pasar Indonesia umumnya secara konsekuen sesuai dengan keinginan mencari laba dan rasionalitas. Dan oleh karena itu dia menganggap hubungan-hubungan tersebut universal bahkan dalam masyarakat Barat, bila orang mempergunakan dikotomi personalisme/universalisme dari Talcot Parson. Meskipun demikian, dalam konteks saudagar Minang, banyak pengamat berpendapat bahwa salah satu kelemahan dari usahawan Minang, sejauh ini, justru karena mengandalkan hubungan-hubungan keluarga itu; kompetisi menjadi lemah dan kurang inovatif, sehingga riwayat keluarga kelas pedagang besar yang berketerusan dari satu generasi ke generasi  berikutnya jarang terjadi.
Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas, dorongan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal tetap merupakan asumsi psikologis yang pokok dan ini juga berlaku dalam lingkaran pasar pasar petani Minangkabau. Petani berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin bagi hasil bumi mereka, dan sebaliknya tengkulak menjual dengan harga yang paling tinggi pula. Contoh-contoh ini dapat dijumpai dalam pasar petani kopi abad ke-19 dan awal abad ke-20. Studi saya dalam jaringan niaga kopi di abad ke-19 menunjukkan,[6]6) bahwa petani kopi Minangkabau cenderung enggan menyetor komoditi kopi mereka ke gudang-gudang kopi pemerintah yang ditetapkan harganya menurut harga pasar pemerintah. Sebaliknya mereka membangun jaringan perniagaan sendiri ke pantai timur dan selanjutnya ke Singapura dan Malaka. Tentu saja dengan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan dari perdagangan kopi memberi kesempatana bagi mereka untuk naik haji dan belajar di Timur Tengah. Mereka ini kemudian pulang membawa gerakan pemabaharu di bidang pendidikan Islam -- lebih dikenal dengan gerakan Kaum Muda yang bertalian erat dengan gerakan nasionalis awal abad ke-20 (Deliar Nor, 1982)..
Akhirnya beberapa ciri lain dari ’kesaudagaran’ orang Minang tentu masih mungkin untuk diidentifikasi, baik permodalan, mekanisme kerja ’kesaudagaran’, gaya-hidup dan jaringan-jariangan perdagangan antar pasar yang sambung menyambung dari pedalaman ke kota-kota dan seterusnya ke dunia luar dan sebaliknya. Jaringan informasi dan alat pengangkutan sangat vital dalam pasar modern. Sebelum berkenalan dengan alat transportasi modern, para petani pedagang di masa lalu biasanya hanya mampu melakukan perdagangan jarak jauh dengan volume galas dalam skala terbatas. Mereka hanya mampu mempergunakan alat pengangkutan seadanya seperti pedati, atau kapal bermuatan kecil untuk perdagangan di kawasan pantai dan antar-pulau. Kondisi ini kemudian mengalami perubahan drastis dengan setelah masuknya kekuatan kolonial Belanda dan kaum imigran Cina ke daerah nusantara. Sebelumnya kebijaksanaan kolonial yang besar pengaruhnya dan diteruskan setelah Indonesia merdeka terhadap modernisasi ekonomi ialah menciptakan pasar yang belum ada sebelumnya atau mengatur pasar yang telah ada. Di sini persaingan pasar pada mulanya menyediakan tumbuhnya sentimen kelompok berdasarkan etnik, kemudian agama dan lalu berdasarkan kebangsaan. Sejarah Indonesia memberikan ilustrasi yang sangat jelas mengenai fenomena ini. Marilah kita lihat dalam pembahasan berikut ini.
 Saudagar dan Pergerakan Nasional di Masa Lalu
Percobaan para sarjana untuk menganalogikan tesis Weber tentang ”etika Protestan dan munculnya kapitalisme” di Eropa”, dengan kasus Islam di Indonesia juga pernah dilakukan. Dikatakan bahwa tumbuhnya ’emporium’ (dunia niaga) yang didominasi pedagang-pedagang muslim di kota-kota pantai sebelum kedatangan Eropa, dan kebangkitan dunia usaha kelompok Islam awal abad ke-20, boleh jadi, berkaitan erat dengan nilai-nilai etika (ajaran) Islam itu sendiri, terutama ajaran mengenai ketaraturan, kedisiplinan, ’kebersihan’ dan keterbukaan dalam menyerap tanda-tanda kebesaran Tuhan di muka bumi.[7]  Sejarawan Australia M.C. Ricklefs (2005) memberikan perspektif baru kepada kita tentang era modern Indonesia, menurutnya, harus mulai dari proses Islamisasi abad ke 12 dan bukan sejak abad kedatangan bangsa Barat abad ke-17/18 sebagaimana yang lazim dipahami selama ini. Islamisasi sejak awal abad ke-12 tidak hanya mampu membangun jembatan antar-pulau lewat jaringan-jaringan niaga  mereka di nusantara, melainkan juga menyemaikan sentimen anti-Barat berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Maka tidak heran jika sebagian besar pahlawan Islam sebelum abad ke-20 berasal dari para pemimpin umat yang berperang melawan kolonialisme Belanda.
Nasionalisme modern abad ke-20 juga berasal dari kelompok saudagar yang tergabung dalam perkumpulan Sarikat Islam (1912), partai pertama yang anggotanya mencakup seluruh Hindia-Belanda (Indonesia). Di Minangkabau peran kelompok dagang tidak hanya terbatas pada upaya membangun sekolah-sekolah suasta di luar sistem pendidikan kolonial, melainkan juga pendukung gerakan Kaum Muda yang menjadi basis pergerakan kelompok nasionalis. Umumnya berpusat di padangpanjang. Pada tahun 1914, misalnya, sekelompok saudagar pribumi mendirikan organisasi usaha bernama Sarikat Usaha di bawah pimpinan Muhammad Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran di pelabuhan Padang. Ia adalah ‘seorang pekerja keras yang idealis’, yang menjadikan Sarikat Usaha sebagai ‘tempat berkumpul bagi sejumlah pemimpin dan intelektual di Padang’.[8]  .Anggota pengurus yang lain, Sutan Said Ali, adalah seorang guru Sekolah Adabiah dan anggota Sarikat Islam. Said Ali kelak meninggalkan Sarikat Usaha dan menjadi penggerak utama Partai Komunis.[9]
Organisasi ini bergerak di berbagai bidang sosial — pendidikan, perniagaan, penyelenggaraan pemakaman, kontraktor konstruksi, penerbit majalah keagamaan dan buku, dan pengelolaan bioskop.[10]  Organisasi ini juga memiliki tabloid empat halaman, Sjarikat Oesaha, yang terbit dua kali seminggu. Sarikat Usaha mendirikan cabangnya di kota-kota lain di Sumatra Barat, dan para pengusaha, baik yang menjadi anggota maupun yang bukan anggota. Mereka tidak hanya mendanai kegiatan-kegiatan perniagaan, tetapi juga kegiatan partai-partai politik, organisasi-organisasi keagamaan, segala bentuk penerbitan, sekolah-sekolah swasta, dan organisasi-organisasi pemuda. Salah seorang saudagar Padang yang paling aktif adalah Abdullah Basa Bandaro. Ia adalah orang yang ‘membina hubungan baik dengan pejabat-pejabat Belanda di Padang’ dan bekerjasama erat dengan Abdullah Ahmad pendiri Sekolah Adabiah di kota itu.[11] 11). Adalah Basa Bandaro pula yang membawa Sarikat Islam ke Sumatra Barat, dan di awal tahun 1920-an dia menjadi penyandang dana utama koran Djago-djago, Pemandangan Islam, dan koran-koran lain yang diterbitkan Sarikat Rakyat di Padangpanjang.
H. Abdullah Ahmad, pendiri Sekolah Adabiah di Padang adalah juga salah seorang pendiri Sarikat Usaha. Bersama dua temannya yang lain, yakni Haji Rasul di Padang Panjang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi – ia dikenal sebagai tokoh Kaum Muda. Ketiganya sangat menentang komunisme di daerah ini dan oleh pejabat Belanda ia dianggap bersikap moderat terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hatta sangat menghormati Abdullah Ahmad dan Marah Sutan, dengan mengungkapkan ‘bila Haji Abdullah Ahmad terkenal dalam gerakan keagamaan, Taher Marah Sutan termasyhur dalam urusan sosial’. Paman Hatta sendiri, yaitu Gaek Rais juga pedagang besar yang banyak mempengaruhi sikap nasionalisme Hatta kecil.[12]
Dalam tahun 1930 didirikan Himpunan Saudagar Indonesia (HSI) di Padang dan di Bukittinggi. Pendirian cabang HSI di Bukittinggi melambungkan nama seorang saudagar Minangkabau lain yang kelak membawa dampak besar terhadap aspek ekonomi dan politik pergerakan nasionalis di Sumatera Barat sampai periode kemerdekaan. Dia adalah Anwar St. Saidi (lahir 1910) – ayah dari Rustan Anwar yang mewarisi tradisi pedagang dan kepejuangan dari ayahnya, berasal dari Sungai Puar, sebuah kampung perajin besi di lereng gunung Merapi. Meski berpendidikan rendah, Anwar adalah seorang anak muda yang memiliki pandangan luas dan energi luar biasa. Kesadaran politiknya tentulah terbentuk oleh kakaknya, Djamaluddin Ibrahim, mantan guru perguruan Thawalib yang pada 1930 menjadi anggota terkemuka partai PARI. Perhatiannya terfokus pada upaya-upaya pengembangan potensi dagang di daerah dataran tinggi Sumatera Barat demi ‘kemajuan’ rakyat Minangkabau. Menyadari banyaknya barang-barang yang dibuat di berbagai nagari di Agam yang lahan pertaniannya terbatas -seperti, kerajinan besi dan ukiran di Sungai Puar, pakaian di Ampat Angkat, perabot di Kamang, dan kerajinan perak di Koto Gadang dan Guguk- Anwar mengusulkan pembentukan asosiasi yang mampu mengkoordinasikan pemasaran produk-produk ini di dalam dan ke luar Sumatera Barat. Ketika gagasan ini dia sampaikan kepada Taher Marah Sutan, orang tua ini tidak menyetujuinya dan mengatakan bahwa jaringan dagang di masing-masing nagari, yang berakar pada hubungan sosial dan kultural setempat, tidak dapat dan tidak mungkin tergantikan oleh asosiasi. Oleh karena itu, dia menyarakan agar Anwar berkonsentrasi saja pada para saudagar di kota dan segala kebutuhannya, yang paling mendesak di antaranya bagaimana meningkatkan permodalan mereka.
Begitulah, dinamika yang mewarnai pergerakan nasionalis di Minangkabau tidak terutama bertumpu pada naluri modernisasi sempit dari kelompok elite birokrasi yang berpendidikan Barat, melainkan lebih bersandar pada jalinan kepentingan-kepentingan kalangan agama, pendidikan, dan pengusaha di kawasan ini. Merekalah kelompok yang menjunjung tinggi idealisme masyarakat saudagar Islam. Kepentingan-kepentingan ini disalurkan lewat rangkaian hubungan yang tidak melalui jaringan kolonial Batavia, Sumatera Barat, dan Negeri Belanda melainkan melalui jaringan hubungan alternatif antara Sumatera dengan Malaya/ Singapura dan Kairo/Mekah, sering via Bangkok dan India. [13]
Keandalan hubungan timbal balik di bidang keagamaan, perniagaan, dan pendidikan dengan kawasan-kawasan di luar koloni  tercermin dalam cerita-cerita sastra populer yang ditulis pada tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda, terutama novel-novel yang diterbitkan di Medan dan Bukittinggi (Fort de Kock), yang berkisah tentang kehebatan-kehebatan Pacar Merah Indonesia, Tan Malaka. Tidak kurang dari lima novel yang terbit antara tahun 1938 dan 1940. bercerita tentang petualangan fantastis sang Pacar Merah dan kemerad-kemeradnya (antara lain Yamin, Djamulin [Djamaluddin Tamin], Alminsky [Alimin] dan Semaunov [Semaun], ketika mereka berjuang melawan kelihaian dinas rahasia Belanda dan Inggris di kawasan dunia yang membentang mulai dari Sumatera Barat hingga ke Selat Malaka dan Semenanjung Malaya, dan dari sana terus ke Kairo dan Teheran serta kota-kota lain di Timur Tengah.
Seperti yang dilakukan sebelum tahun 1930-an komunitas perdagang tahun 1930-an dan sebelum kejatuhan Belanda dan Jepang membantu berbagai organisasi pergerakan nasionalis dengan dukungan dana dan sarana komunikasi antara Sumatera Barat dan Jawa serta Semenanjung Malaya. Seperti tampak pada kasus saudagar Abdullah Basa Bandaro, meskipun dia bendahara partai Permi yang juga memiliki hubungan khusus dengan partai Sukarno (PNI) di Jawa. Demikian juga teman-teman seperjuangannya yang lain. Kendati ada rintangan dari pihak Belanda, saudagar Minangkabau tetap memelihara hubungan yang kuat dengan dunia usaha di Semenanjung Malaya, dan memiliki hubungan keluarga dengan para pemimpin dan anggota partai radikal, seperti PARI  yang bermarkas di sana. Kelompok ini jugalah yang berjasa dalam membiayai perjuangan pada masa revolusi 1945-1949.
Penutup
Dunia  ’kesaudagaran’ Minang adalah suatu jenis kewirausahaan khas Minang lebih dekat padanan dengan konsep pedagang daripada sebagai pengusaha dalam artian industri kapitalistik. Dengan kata lain, galas mereka sebagian besar bergerak di tingkat menengah ke bawah, bukan menengah ke atas. Orientasi mereka tidak  terutama pada orientasi pemupukan modal dan keuntungan maksimal, melainkan lebih pada orientasi cari makan dan memenuhi tuntutan sosial yang berbagai macam itu. Dan yang lebih penting kesadaran akan ide-ide ”kemajuan” yang paralel dengan nasionalisme ke-Indonesiaan yang modern menempatkan diri mereka sekaligus sebagai the agent of change dalam menjawab tantangna zamannya Barangkali  citra ”small is beautiful” masih lebih kuat dicirikan kepada mereka nyaman daripada berpacu menjadi besar tetapi tergopoh-gopoh ketika diterpa angin global. Dalam krisis finansial global dewasa ini agaknya penguatan terhadap kelompok ini memerlukan dukungan dari pemerintah karena di tangan merekalah denyut sektor riil berputar setiap hari. 
Erat kaitannya dengan ini, tema-tema diskusi mengenai ekonomi dan masyarakat dewasa ini jarang sekali sampai mengundang reaksi dan kebingungan yang melebihi reaksi dan kebingungan yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah terhadap masalah pedagang kaki lima. Padahal mereka adalah soko-guru ekonomi rakyat yang penting di daerah ini dan mestinya dilindungi dan difasilitasi usaha mereka oleh negara. Kapitalisme dan negara bangsa cenderung memarginalkan mereka, sehingga mereka sering dipostulatkan sebagai kekuatan ”ekonomi bayangan” atau ”sektor informal, yang tidak tercatat dalam statistik resmi, dan oleh sebab itu tidak tersentuh oleh ketentuan pemerintah dan kewajiban pajak. “Sektor informal” khususnya yang meliputi unit-unit kecil dalam ekonomi bayangan yang menghasilkan barang-barang dan jasa untuk dipasarkan sebenarnya masih tetap relevan untuk kondisi lokal Sumatera Barat. Yang besar biarlah untuk mereka yang bergerak pada tataran mancanegara.
Kepustakaan
Anas Navis. Pribahasa  Minangkabau. Jakarta: Intermassa, 1996.
Chadir Nir Latief, Etnis dan Adat Minankabau. Permasalahan dan Masa Depannya. Bandung: Angkasa, 2002.
Evers, Hans-Dieter dan Heiko Schrader (ed.) The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Markets. London: Routledge, 1994.
Furnivall, J. S. Plural Societies, dalam: H. - D. Evers (ed.), Sociology of Southeast Asia: Readings on Social Change and Development, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1980.
_________  Netherland Indie, A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1939.
Geertz, Clifford, Penjaja dan Raja. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor, 1989.
Marsden, Wlliam, The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1996 [cetakan pertaam 1830].
’Mestika Zed, Melayu Kopidaun. Suatu Studi tentang Negara dan Petani di Masa Kolonial. Jakarta, 1983.
_________  Menggagas Zona Ekonomi Dunia Melayu. Beberapa Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”, Makalah untuk Diskusi Panel Praseminar Internasional tentang “Telaah Kritis tentang Kondisi Objektif Kebudayaan Melayu Hari ini dan Esok”,  diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Kebudayaan Melayu (GMPKM), Padang, 27 Januari 2002.
Mohammad Hatta, Memoar. Jakarta: Tintamas, 1982.
Nurssyirwan Efendi, Pasar dan Fungsi Kebudayaan“. Dalam: Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, diedit oleh E.K.M. Masinambow. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor, 1997.
_________ “Minangkabau Rural Markets: Their System, Roles and Functions in the Market Community of West Sumatra, Indonesia’. Disertasi pada Faculty of Sociology, University of Bielefeld, Germany, 1999.
Ricklef, M.C. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Terjemahan. Jakarta: Serambi, 2005.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies. Selected Writings. Part One. The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Lt., 1955.
Taufik Abdullah. (ed.) Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974.
 
Catatan Akhir

[1] Kata dasar  ‘menggaleh” ialah “galeh” [galas], harfiah artinya tongkat atau galah bambu untuk memikul beban, biasanya untuk membawa barang jualan ke pasar. Galeh pada gilirannya berarti barang jualan, (atau merchandise). Anas Navis (1996: 130).
[2] Lihat temuan penelitian Chaidir Nir Latief (2002: 53).
[3] Catatan-catatan dari pelacong Barat seperti direkam William Marsden (1980, cetakan pertama 1811), menginformasikan kepada kita bahwa Odandus Barbosa (1519), penulis Portugis tentang Minangkabau, mencatat bahwa emas Minangkabau dibawa oleh pedagang-pedagang Minang ke Malaka. De Baros (1553) juga menyebut hal yang sama. Diego de Cauto (1600), mengisahkan sebuah kapal yang terdampar di pantai Sumatera dekat ”Monancabo” pada tahun 1565. Enam ratus orang turun ke pantai dan beberapa di antaranya adalah perempuan. Salah seorang dari perempuan itu, Dona Francisca Sardinha, sangat cantik sehingga penduduk setempat memutuskan untuk membawanya kepada raja mereka. Mereka berhasil setelah bertempur yang mengakibatkan enam puluh orang Eropa tewas. Pada masa ini hubungan antara Minangkabau dan Malaka ramai sekali. Banyak kapal mundar-mandir ke sana tiap tahun. Kapal-kapal tersebut membawa emas dan membeli bahan pakaian dari katun India dan barang-barang dagangan lain. Di zaman purba kerajaan itu diberiakan kaya akan emas yang diekspor dalam satu musim. Linschotten Jilid VSH. hal. ITS. 1601. Argeola, (1609) mencatat “sebuah kapal bermuatan keris yang dibuat di Minangkabau. Sejumlah besar artileri semacam mesin perang dikenal dan dibuat di Sumatra bertahun-tahun sebelum diperkenalkan oleh orang-orang Eropa." Best (1613) sejumlah pedagang yang sampai di Tlcod [Tiku?] dari Minangkabau, dan membawa berita dari Jambee." Beaulieu, 1622, "Di tepi samudera dekat Padang terletak Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Andripura [Indrapura]. Di Jambi terdapat perdagangan emas yang berlangsung dengan Minangkabau. Lihat juga Schrieke (1955: 53, 55 ff).
[4] Lihat misalnya tulisan Janne Drakkar tentang Minangkabau di bawah judul “The Kingdom of the Words. Minangabau Sovereignty in Sumatra (1993).
[5] Nursyirwan Efendi (1997).
[6] Mestika Zed (1983).
[7] Lihat misalnya esei terjemahan kumpulan karangan tentang islam Indoensia, Taufik Abdullah (ed., 1974).
[8] Marah Sutan menempuh pendidikannya hanya sampai kelas 5 sekolah rakyat, tetapi dalam pandangan Hatta, ‘minatnya sangat besar untuk memajukan pendidikan generasi muda, dan meyakini bahwa hanya ilmu pengetahuan yang ilmiah dan rasional yang akan dapat menciptakan warga negara yang bertanggung jawab’. Lihat biografinya oleh Mardanas Safwan, ‘Taher Marah Sutan: Tokoh yang Dilupakan’, Majalah Bulanan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta), 1, 1 (Januari 1974), hlm. 52-55. Taher Marah Sutan memimpin organisasi ini sampai 1940. 
[9] Hatta melukiskannya sebagai seorang ‘guru yang lemah lembut’. Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), hlm. 36; sumber lain melukiskan sebagai ‘orang yang dulunya tenang, t etapi setelah pensiun dari jabatan Sekretaris Sarikat Usaha berubah menjadi komunis yang radikal. Lihat juga Audrey Kahin (2005), hal. 42-43, catatan kaki, no. 79-80.
[10]  Audrey Kahin (2005), hal. 42-43.
[11] Taufik Abdullah, Schools and Politics, hlm. 25.
[12] Hatta,  Memoir, hlm. 41-42.
[13]  Ibid.
 
sumber: http://nasbahrygallery1.blogspot.com/2011/03/beberapa-catatan-tentang-dunia-saudagar.html