Uang Sekolah: Negeri dan Swasta
Renungan seorang pensiunanArmahedi Mahzar (c) 2012
Saya adalah seorang anak pegawai negeri, karena itu hanya mampu sekolah di universitas negeri seperti ITB. Lulus ujian sarjana saya bekerja mengajar di kampus almamater dan mendapat gaji sebagi pegawai negeri. Karena itu saya pun hanya menguliahkan anak saya keduanya di universitas negeri yang kebetulan tempat saya mengajar.
Ketika anak saya jadi sarjana, kedua-duanya, karena sadar akan kondisi sosial ekonomis orang tuanya, bekerja di perusahaan swasta multinasional perusahaan para kapitalis yang dulu saya benci ketika jadi mahasiswa. Gaji mereka punberlipat dari pensiun saya pada masa yang sama.
Anak saya yang pertama berhenti bekerja karena menikah dan ikut suaminya yang bekerja di Inggris dan kini sibuk mengurus ketiga anaknya lahir di sana. Ketiga anaknya mendapat tunjangan negara yang besarnya lebih besar dari pensiun saya dan kedua anaknya yang besar sekolah di public school yang gratis karena dibiayai negara.
Anak saya yang kedua di Jakarta menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah swasta. Masuk TK saja sudah harus bayar uang masuk sekolah sebesar dua puluh juta. Sekarang anaknya masuk sekolah SD swasta yang dimiliki oleh yayasan pemilik TK tempat dia belajar dulu. Dia harus bayar uang sebesar tigaratus ribu per bulan. Masih untung karena ada juga sekolah, yang dimiliki mantan aktivis masjid Salman di zaman dulu, kini memungut uang sekolah sebesar satu koma dua juta per bulan.
Itu membenarkan persepsi saya sampai beberapa minggu yang lalu: anak pegawai negeri harus masuk sekolah negeri berkualitas dan hanya anak pegawai swasta yang bisa masuk sekolah swasta berkualitas. Persepsi ini ternyata salah ketika saya membaca keluhan pembimbing S1 anak saya di Facebook karena harus membayar uang masuk limapuluh lima juta di universitas negeri tempat dia bekerja.
Saya jadi ingat RT saya, kebetulan seorang pengusaha swasta, yang bergembira karena anaknya diterima di ITB melalui jalur Undangan. Tadi pagi beliau datang ke rumah saya untuk memungut uang keamanan dan kebersihan. Saya tanyakan bagaimana sekolah anaknya di ITB. Ternyata anaknya sekarang tidak sekolah di ITB tapi kuliah Teknik Sipil di Universitas Parahyangan yang swasta.
Tentu saja saya heran, lalu saya tanyakan: kenapa anaknya pindah sekolah? Jawabnya mengejutkan. Katanya: universitas swasta lebih kecil uang sekolahnya daripada universitas negri dalam hal ini ITB. Uang masuk universitas hanya delapan belas juta dan uang kuliahnya hanya seratus tujuhpuluh ribu lima ratus rupiah per SKS per semester
Sebenarnya dia juga heran. Mengapa begitu? Maka saya jawab: karena mereka mengejar ranking pendidikan dunia ingin menjadi World Class University. Ia pun manggut-manggut saja. Namun sesudah itu pun saya termangu-mangu. Mengapa begitu ya? Mengapa mereka mengejar kelas dunia, bukannya mengejar tujuan mencerdaskan anak-anak rakyat bangsa negerinya yang tercinta?
Rupanya zaman telah berubah. Anak saya hidup di zaman yang lain dari zaman saya sekolah dan bekerja dulu. Dulu zaman perjuangan dan pembangunan bangsa, kini zaman persaingan dan pembangunan citra bangsa. Kini era transnasional di mana telah terjadi proses globalisasi segalanya termasuk globalisasi eknonomi. Pasar bebas telah masuk negeri komunis dan kini memasuki negeri kita. Tak ada yang bisa merubah itu.
Di era globalisasi liberalisme ini ITB harus berjuang membangun sarana dan prasarana pendidikan agar pendidikannya menghasilkan lulusan-lulusan yang sukses bersaing di pasar global. Karena dana pemerintah tak mencukupi untuk itu, pengelolanya harus mencari dana dari orang tua mahasiswa. Karena pemerintahnya juga bersifat liberal kebijakan menarik uang banyak dari 30 persen yang terkaya untuk mensubsidi 30% yang termiskin dianggap tidak adil.
Itulah sebabnya, saya kira, ITB mengambil kebijakan menarik uang sama rata dari yang 80% yang berpunya untuk mensubsidi 20 % yang tak berpunya. Itulah yang di anggap adil menurut versi liberalisme sekarang. Saya bersyukur karena tidak hidup dalam era liberal yang sekarang ini. Dunia memang sudah terbalik dan saya hanya bisa mensyukuri hidup saya. Hilang sudah cita-cita sosialisme yang ditanamkan Bung Karno dalam bukunya Sarinah milik ibu saya yang aktivis sosial.
Saya tak tahu apakah kisah hidup saya ini sebuah tragedi atau sebuah komedi. Namun saya menganggap kehidupan saya dan istri untuk bisa menghidupi dan menyekolahkan anak-anak kami adalah sebuah epos perjuangan yang kami lihat kembali dengan mengucapkan banyak puji pada Yang Maha Penguasa.
Kini giliran generasi anak saya untuk berjuang di zaman berbeda. Saya hanya bisa berdoa agar mereka sanggup beramal saleh dan berbakti padaNya sehingga mereka sanggup menembus masa perjuangan hidup mereka, dengan bantuanNya, menulis epos mereka sendiri. Amin, ya Rabbal 'alamin.
No comments:
Post a Comment