BAGIAN DUA:
INTEGRALISME TENTANG MATEMATIKA
Saya mau cerita tentang sebuah krisis: krisis intelektual diri saya
hari-hari belakangan ini. Ceritanya begini. Ketika saya pensiun dari
staf pengajar fisika, maka saya bisa menggeluti hobi saya : matematika.
Karena saya orang suka filsafat, maka saya bertanya di mana kah adanya
obyek-obyek matematik seperti misalnya bilangan dan segala perluasannya
seperti misalnya fungsi dan persamaan-persamaan matematika. Di mana
pula letak ruang geometris dan segala bentuk-bentuk geometris di
dalamnya. Ujung-ujungnya saya bertanya apakah dan dimanakah matematika
itu. Karena saya adalah seorang fisikawan teori, maka saya pun tahu
bahwa matematika di alam hanyalah sebagian kecil saja dari matematika
selengkapnya. Itulah sebabnya saya punya pikiran bahwa obyek-obyek
matematika berada di sebuah dunia yang lebih besar yaitu ruang idenya
Plato, yang dalam filsafat Islam kemudian diidentikkan dengan ilmu Tuhan
atau pikiran Tuhan. Nah pikiran Tuhan yang terealisir itulah yang
matematikanya alam. Lebihnya ada dalam pikiran Tuhan, akan tetapi
manusia bisa mencoba menyelami pikiran Tuhan semampunya. Wah, kok matematika jadi teologis. Sorry, tapi kita bisa buang Tuhannya dan tinggalkan pikiranNya sebagai dunia matematika yang ideal, lalu konsentrasikan pada dunia ideal yang baru bisa dijelajahi manusia. Lalu apakah berpikir itu? Saya punya jawaban dari seorang intelektual muslim yang kini telah tiada Endang Saifuddin Anshori. Menurut kang Endang, berpikir adalah berdebat dengan diri sendiri. Biasanya berdebat itu dengan orang lain dengan menggunakan bahasa. Intinya adalah penggunaan bahasa, jadi intinya berpikir adalah bercakap-cakap dengan diri sendiri.
Jadi, berpikir adalah internalisasi wacana sosial. Dengan perkataan lain proposisi Witgenstein bahwa matematika sebagai permainan bahasa jadi masuk akal. Sebagai permainan tentunya ada aturan dasar dan penamaan-penamaan melalui perjanjian. Aturan dasar itu tak lain dari logika. Penamaan itu tak lain dari terminologi yang disepakati bersama. Penamaan dan peraturan itu tak lain dari kesepakatan alias konsensus sosial. Dengan demikian matematika riil adalah konstruksi sosial. Artinya kaum posmodernis ada benarnya.
Tapi, posmodernisme tak mengakui adanya matematika ideal seperti yang diasumsikan Plato. Bagi mereka matematika sebagai konstruksi sosial itu lah keseluruhan matematika yang terus terbuka dan berkembang entah ke mana. Tapi bagi saya perkembangan matematika konstruktif itu adalah perkembangan terarah menuju satu tujuan yaitu matematika idealnya Plato.
Inilah integralisme yang menggabungkan relativisme posmodernis dengan absolutisme realitas matematika kaum pemikir modernis. Gerak perkembangan itu bukanlah suatu perintah dari suatu yang transenden tapi sebuah gerak swa-organisasi yang imanen. Nah, itulah filsafat integralisme tentang matematika. Namun itu bukanlah keseluruhan filsafat matematika integral.
Pergerakan dari yang sosial ke yang ideal adalah kelanjutan dari gerakan yang individual personal ke yang sosial. Jadi menurut integralisme, matematika mengikuti satu gerak dari yang personal lewat yang sosial ke yang universal ideal. Sementara yang personal itu sendiri adalah terminal dari yang universal (kosmologis) lewat yang kolektif (biologis) menuju yang personal (psikologis).
Jadi, gerak keseluruhan matematika, menurut pandangan saya, adalah dari yang universal ke yang individual personal, lewat yang kolektif biologis, kembali ke yang universal (ontologis) lewat yang kolektif kultural (sosiologis). Gerak bolak-balik universal personal lewat yang kolektif itu adalah proses diferensiasi/integrasi yang terus menerus yang kita kenal sebagai proses emanasi/kreasi Sang Maha Pencipta dalam filsafat integralisme.
No comments:
Post a Comment