PERDEBATAN ANTARA AL-GHAZALI DENGAN IBNU RUSYD
METODE, ARGUMENTASI DAN IMPLIKASI PERDEBATAN TERSEBUT TERHADAP PEMIKIRAN DUNIA ISLAM, FILSAFAT ISLAM PASCA IBNU RUSYD.
A. RIWAYAT HIDUP
AL-GHAZALI (1058-1111 M).
Nama lengkapnya
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ghazali Ath-Thusi, biasa dipanggil
Abu Hamid. Gelarnya Hujjatul Islam dan
Zaenuddin.
Dilahirkan di
Thabrani, sebuah desa di Thusi Khurasan pada tahun 450 H.
Dia seorang yang
cerdas, teliti, sempurna jasadnya, istimewa pendapatnya, kuat hafalannya dan
mengasai makna-makana yang mendalam.
Pergi ke
Naisabur untuk belajar kepada Imam Haramain Juaeni, lalu berpindah ke Baghdad
mengajar di Madrasah Nidzamiyah,
kemudian pergi ke Hijaz, Syam, Mesir dan akhirnya kembali ke tempat
asalnya.
Dia seorang yang
ahli dalam bidang fikih Syafi’I, teologi, tafsir, tasauf, filsafat dan
sya’ir-sya’ir Arab. Disamping itu juga mendalami berbagai ilmu pengetahuan
sampai mengauasai dengan sempurna.
Di akhir-akhir
hayatnya sering menyendiri untuk mengarang kitab. Karyanya yang diberi judul Al-Basith
merupakan kitab fikih madzhab Syafi’i, kitab ini kemudian diringkas lagi menjadi Al-Wasith, yang diringkas lagi menjadi Al-Wajiz, dan diringkas lagi menjadi Al-Khulashah. Disebutkan
dalam syairnya :
Mazhab diikat dalamkhabar yang mana Allah
telah menamatkannya dan Basith, Wasith, Wajiz dan Khulashah
Kitab karangannya mencapai dua ratusan,
diantaranya : Ihaya Ulumuddin, Yqut
at-Ta’wil fi Tafsiri at-Tanzil, Tahafutu al-Falasifah, Al-Muqidz min al-Dhalal,
Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaihu
al-Batiniyyah.
Dia wafat di Thabrani pada tahun 505 H[i]
B. RIWAYAT HIDUP IBNU
RUSYD (1126-1198 M)
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah
salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu
al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd,
lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah
wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam
yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan
hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd
sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan
politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah
al-Manshur.
Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu
pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin
sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia
dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai
disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga
ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati
Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan
ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi
orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru
dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah
segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan
kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup
pengasingan di Yasyanah.
Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan
politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif
dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd
yang tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu
Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan
inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca,
menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan
membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi
maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi
hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus
dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut
Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena
sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata
Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan
dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian,
nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan
dan penambahan sisipan sehingga khirnya menjadi Averroi [ii]
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang
filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang
membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang
filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling
tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru
kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki
pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan
pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat
dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap
filsafat Aristoteles.
Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari
terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun)
dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya
direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada
1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75
tahun menurut perhitungan Hijrah.
[iii]
Sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih
dapat kita temukan adalah sebagai berikut :
1.
Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah
min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsaft
2.
Al-Kasyf ‘an Manahij-al_Adillah fi “Aqa’id
al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli
ilmu kalam dan sufi.
3.
Tahafut al-Tahafut, berisikan
kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahaful al-Falasifah
C. KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Jaringan Islam Liberal dalam sebuah Pengajian
Ramadhan, membedah kitab-kitab Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Dalam bedah kitab
tersebut disebutkan :
“ Kitab setebal seribuan halaman itu menurut
Guntur Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang metafisika dan ketuhanan
yang dibahas Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di
antaranya, menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang mempelajarinya menjadi
zindik. Sementara tiga masalah yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga
masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam, keterbatasan ilmu Tuhan pada hal
yang universal, dan kebangkitan jasmani pada hari kiamat.”
Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut
aktivis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak fair. Pasalnya pendapat
para filosof tentang masalah metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada
logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami dengan logika teologis.
“Perdebatan para filosof itu adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali
memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman
terhadap filsafat”, tegasnya.
Sebagaimana
penjelasan di atas, disebutkan juga
bahwa dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis
buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang
terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah. Buku tersebut memang
ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan
kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi (257-337
H.) dan Ibnu Sina (362-429 H / .). [v]
Al-Farabi (850-950 M); lahir di Wasij suatu
desa di Farab (Transoxiana) pada tahun 870 M (Nasution, 1973:26), meninggal
pada tahun 961 M dalam usia 8o tahun (Hoesin, 1981:32). Al-Ahwani justru
menyatakan bahwa al-Farabi lahir pada tahun 850 M dan meninggal pada tahun 950
M. Dikenal di Eropa dengan nama Alpharabius. [vi]Al-Farabi,
nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu
Auzalagh, yang biasa disingkat saja menjadi Al-Farabi. Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.[vii]
Sedangkan Ibnu
Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia
pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.[viii]
Ia dikenal dengan gelar-gelar besar, seperti Amir al-Aththiba, Syaikhal-Rais,
dan Hujjah al-Haq (Nasr, 1986:17, Hoesin, 1981 :35). Di Barat, ia terkenal
dengan nama Avicenna. Ayahnya
seorang pegawai tinggi di Dinasti Samaniah. [ix]
Tentang
penciptaan alam, Ibnu Sina berpendapat sbb :
Adapun cara
penciptaan Tuhan terhadap makhluk-Nya, ibnu Sina mengikuti pendahulunya,
al-Farabi, bahwa ala mini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari
Tuhan). Dengan teorinya ini, Ibnu Sina tidak menerima teori yangmengatakan
bahwa ala mini diciptakan dari tiada menjadi ada atau creation ex nihilo. (Ensi,
1993,II:167). [x]
Pemikiran
filsafat Ibnu Sina seperti ini, belakangan dikonter oleh Al-Ghazali dengan
tulisannya Tahafut al Falasifah (kekacauan para Filosof). [xi]
Ringkasnya,
al-Ghazâlî sebagai seorang `Asyâ’irah dan sufi berpendapat bahwa ada tiga
(3) perkara yang membuat para filosof menjadi kafir, yaitu
1) kepercayaan mereka
bahwa alam itu qadîm;
2) bahwa Allah tidak
mengetahui perkara-perkara yang juz`îyyât;
Pendapat Al-Ghazali mengenai hal-hal di atas sbb :
Pertama , tentang alam :
a.
Tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan
iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakannya. Sementara itu ketiadaan wujud
alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut Al-Ghazali,
adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi memilih sesuatu dari yang lainnya
yang sama. Oleh karena itulah, jika Allah menetapkan ciptaan-Nya dalam satu
waktu dan tidak dalam waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya yang baru
dari zat yang qadim. Alasannya, iradah Allah bersifat mutlak dan tidak
dihalangi oleh waktu atau tempat. Hal ini sesuai dengan ta’alluq (hubungan) –nya yakni pada yang mungkin.
b.
Memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu diciptakan.
Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada
alam karena diciptatakan Allah. Zaman adanya setelah adanya alam sebab zaman
adalah ukuran waktu yang terjadi di alam.
c.
Menurutnya alam senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saan dapat
digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa ala mini selamanya (kadim) tentu
ia tidak baharu. Kenyataan ini jelas bertentangan dan tidak cocok dengan teori
kemungkinan. [xii]
Kedua , tentang Tuhan tidak mengetahui yang Juz’iyyaat
(Parsial)
Menurutnya Allah mengetahui segala sesuatu
dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak zaman azali dan tidak berubah meskipun
alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan. [xiii]
Untuk memperkuat argumennya, Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur’an,
diantaranya :
وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي
الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء وَلاَ أَصْغَرَ مِن ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلاَّ فِي
كِتَابٍ مُّبِينٍ
(
يونس : 61 )
Artinya :
Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu
biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih
kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat)
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz) (QS. Yunus [10] :
61)
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(الحجرات : 16)
Artinya :
...... padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujarat [49] : 16)
Ketiga, tentang É kebangkitan
jasmani di akhirat :
Menurut Al-Ghazali tidak ada alas an untuk
menolak terjadinya kebangkitan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan. Allah berfirman :
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ
أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
( السجدة : 17 )
Artinya :
Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang
menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan. (QS.
As-Sajdah [32] :17)
Kebangkitan
jasmani secara eksplisit telah ditegaskan syara’ (agama) dengan arti jiwa
dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru
dijadikan.
D. ARGUMENTASI IBNU
RUYSD DALAM MENYANGGAH KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILSAFAT
Tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang
di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian
para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan
argumen para filsuf. Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh
keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik
dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali
tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam tiga persoalan itu, Ibnu Ruysd memberikan bantahan-bantahannya
terhadap pendapat al-Ghazali sebagai
berikut :
1. Qodimnya Alam
Bagi masalah yang pertama, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof
tentang kepercayaan mereka akan alam itu qadîm. Salah satu hujjah
yang dikemukakan al-Ghazâlî adalah mustahil wujudnya alam itu qadîm yang
bersamaan wujudnya Allah yang juga qadîm. Ini dikarenakan Allah
menjadikan alam. Berarti alam itu hudûts, yang asal mulanya dari tidak
ada menjadi ada (الإيجاد
من العدم).
Jawaban Ibn Rusyd dalam masalah ini, bahwa
al-Ghazâlî salah faham akan qadîmnya alam menurut filosof. Menurut
filosof, alam itu qadîm di dalam makna qadîm yang berbeda dengan qadîmnya
Allah, yaitu yang ada (alam) menjadi sesuatu yang ada dalam bentuk yang lain
(alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada sebelumnya). Ini dikarenakan,
penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof muslim adalah suatu
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong)
tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu,
materi asal alam ini mesti qadim.[xiv]
Jadi, menurut pemikiran filosof muslim,
dikala Allah menciptakan alam sudah
ada seuatu selain Allah. Dari sesuatu
yang ada itulah alam diciptakan Allah.
Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rusyd
mengemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an : QS. Al-Anbiya [21]:30; Hud [11]:7 ;
Fushshilat [41]:11; dan Al-Mu’minun [23]:12-14. [xv]
1) . Alquran, Surah al-Anbiyâ`, ayat 30:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ
الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُون
( الأنبياء : 30)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman? (QS. Al-Anbiya [21]:30)
2) . Alquran, Surah Hûd, ayat 7:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ.....
( هود : 7 )
. Dan Dia-lah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah `Arsy-Nya di atas air (Hud [11]:7)
;
3) . Alquran, Surah Fushilat, ayat 11:
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ ... ( فصلت : 11 )
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu
masih merupakan asap, …(Fushshilat
[41]:11)
4) Al-Mu’minun [23]:12-14)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ
﴿١٢﴾ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ ﴿١٣﴾ ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَاماً فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْماً ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقاً آخَرَ
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ﴿١٤﴾
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minun [23]:12-14)
2. Allah tidak mengetahui Perincian
yang Terjadi di Alam
Bagi masalah yang kedua, al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof tentang
pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui perkara yang juz`îyyât
(partikel).
Dalam menjawab masalah ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa al-Ghazâlî salah
faham sebab tidak ada filosof muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan
filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak
sama dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan Allah SWT bersifat qadîm (Allah mengetahuinya sejak azali).
Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan
pengetahuan manusia bersifat hâdits. Begitu juga pengetahuan Allah
berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.
Begitu juga menurut Ibn Rusyd. Pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz`î
dan kullî. Juz`î adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk
materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindra. Kullî mencakup
berbagai jenis. Kullî bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui
melalui akal.
Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat
pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, tidak ada para
filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz`î dan kullî. [xvi]
3.
Kebangkitan
jasmani di akhirat .
Menurut
Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi
mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang
akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani.
Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi
para filsuf tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf
hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani. [xvii]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd,
tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam
tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara
al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap
ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan
ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan
mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini didasari hadis “إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا أخطأ فله أجر واحد” Jika tuduhan dilontarkan
kepada para filosof muslim karena melanggar ijmak, maka dalam pemikiran tidak
terjadi ijmak ulama secara pasti.
E. IMPLIKASI PERDEBATAN
TERHADAP PEMIKIRAN DUNIA ISLAM
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia, sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat
F. FILSAFAT ISLAM PASCA
IBNU RUSYD.
Filosof muslim pasca Ibnu Rusyd, antara
lain adalah Al-Suhrawardi( wafat tahun 1191 M ), , Ibnu “Arabi (1165-1240 M) ,
Shadr al-Din Al-Syirazi (1572-1641 M),
Muh. Iqbal (1873-1938 M). Muthahhari(1919-1979M), dan Mohammad Arkoun
(1928-.
1. Al-Suhrawardi ( w.
1191 M)
Al-Suhrawardi
nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya al-Suhrawardi. Tahun kelahirannya
belum dapat diketahui secara pasti, namun tahun wafatnya adalah 1191 M. Filofof
yang berasal dari Alepo ini dijuluki al-Maqtul (yang terbunuh) atau al-Syahid
(sang Syuhada), karena kematiannya dihukum bunuh. Ia merupakan filosof pasca
Ibn-Rusyd yang inti pemikirannya terletak pada usahanya untuk mempertahankan
kesatuan kebenaran keagamaan dan metafisika, serta kewajiban para pencari kebenaran yang
sungguh-sungguh untuk mencari kebanaran
dari manapun sumbernya; baik dalam filsafat Yunani , pemikiran Persia Kuno, Neo
Platonisme Muslim maupun sufismne [xviii]
Karya-karyanya dalam bidang filsafat
antara lain :
Ø Al-Masy’ari
Ø Hikma al-Isyarat
Ø Al-Muqawamat
Ø At-Tahwihat
Ø Hikmat al-Isyraq
2. Ibnu
“Arabi (1165-1240 M)
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ibn. Ali Ibn. Ahmad Ibn. ‘Abdullah al-Tha’l
al-Hatimi. Ia lahir di Mursia, Andalusia Tenggara, dari seorang keluarga
pejabat, hartawan, dan Ilmuwan.[xix]
Bagi Ibn.
‘Arabi, manusia adalah cermin (tajalli) yang sempurna bagi diri-Nya, karena
manusia dapat memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat yang ada pada
Diri-Nya, sedangkan makhluk lain, hanya mampu memantulkan sebagian nama-nama
dan sifat-sifat-Nya. Ada manusia yang kualitasnya sangat sempurna sebagai
cermin Tuhan, mareka ini adalah para nabi. Puncak paling kesempurnaan cermin
adalah Nabi Muhammad saw. [xx]
3. Shadr al-Din
Al-Syirazi (1572-1641 M)
Shadr al-Din
al-Syirazi lahir di Syiraz pada tahun 1572 dan dikenal dengan nama Mulla
Shadra. . Ia kemudian pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang
penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abu’lQasim
Fendereski (w.1640). Tetapi pada ahirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada
sebuah sekolah agama (madrasah) yang didirikan oleh gubernur Provinsi Fars.
Dikatakan bahwa ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki
dan meninggal di Bashrah pada tengah perjalanan sepulang naik haji yang ke
tujuh kalinya pada tahun 1641.
Karya-karyanya
antara lain :
Ø Komentar kitab
Hikmat Al-Isyraq nya Al-Suhrawardi
Ø Komentar kitab
al-Hidayah fil al-Hikmah Atsir al-Abhari
Ø Huduts ( tentang penciptaan dalam waktu)
Ø Al-Hasyr
Ø Kasr al-Hikmah
al-Muta’aliyah
Ø Al-Masya’ir
Ø Kasr ashnam
al-Jahiliyah
Ø Al-Asfar
al-Arba’ah
4. Muh. Iqbal (1873-1938
M)
Namanya Muhammad Iqbal. Ia
lahir di Sialkot Punyab, Pakistan, pada tanggal 9 Nopember 1877 M. Ia seorang
keturunan Brahmana dari Kasmir. Ayahnya
bernama Nur Muhammad. Ibunya bernama Imam Bibi. Kakeknya bernama Sheikh
Muhammad Rafiq. Iqbal meningal dunia pada 20 April 1938 M.
[xxi]
Ia mempelajari filsafat dari seorang
orientalis Inggris bernama Thomas W. Arnold. Iqbal memperoleh gelar doctor
dengan desertasi berjudul The Development of Metaphysics in Persia.
Terkenal sebagai penyair, praktisi dan pemikir.
Karya-karyanya
antara lain :
Ø Arrar-l Khudi (Rahasia Pribadi), Buku puisi karya
pertamanya dalam bahasa Persia. Terbit tahun 1915 .Berisi tentang Konsep Insan Kamil
Ø The Development of
Metaphysics in Persia.
Karya desertasi yang terbit pada tahun 1908 M. Berisi sejarah perkembangan
keagamaan di Persia sejak zaman Zoroaster hingga Mulla Hadi dan Sabzawar.
Ø Rumuz-l Bikhudi. Terbit tahun 1918 M. Kealnjutan tentang
Insan Kamil
Ø Teh Reconstruction
of Religious Though in Islam.Berisi tentang pembuktian secara filosofis pengalaman keagamaan, terutaman
tentang Tuhan, makna sholat, ego manusia, kemerdekaan dan keabadian.
Ø Dll.
5. Muthahhari(1919-1979M)
Ia adalah seorang pakar pemikir abad ini. Karya-karyanya mengenai tasawuf, filsafat, teologi, logika, fikih, ushul fikih, etika, agama, social, sejarah, dan lain-lain.Poko-pokok tulisannya bertujuan untuk kemuliaan Islam meski sebagian besar karyanya sangat mementingkan filsafat. Bahkan ia sering mengatakan bahwa pemikiran Syiah itu bersifat filosofis.Bagi Muthahhari, filsafat bukan hanya sekedar sarana polemic atau disiplin intelektual saja, melainkan suatu model dan metode dalam memahami dan memformulasikan Islam.
Bagi Muthahhari, secara telogis Allah pasti memelihara semua amal baik ia
seorang muslim maupun non muslim tanpa diskriminasi. Lihat surat Al-Zalzalah :
7-8; Al-Taubah :20, dan al-Kahfi:30.
[xxii]
6. Mohammad Arkoun
(1928-
Lahir
di Taourirt-Mimoun, Kabilia Al-Jazair, pada tanggal 1 Pebruari 1928 M.
Menguasai beberapa bahasa, antara lain, bahasa Kabilia (bahasa zaman pra Islam
Afrika utara), bahasa Arab dan bahasa Perancis.
Secara kronologis riwayat hidupnya antara
lain :
·
Bersekolah di sekolah menengah di Oran. Kota agak
jauh dari Kabilia
·
Tahun 1950-1954, Kuliah bahasa dan sastra Arab di
Universitas Al-Jir.
·
Tahun 1954-1962, Kuliah di Universitas Sarbobonne,
Perancis dengan studi dan penelitiannya berkenaan dengan bahasa dan sastra
Arab.
·
Tahun 1961, diangkat sebagai dosen di Al-mamater
tsb.
·
Tahun 1969, memperoleh gelar doctor pada bidang
sastraArab
·
Tahun 1970-1972, mengajar di Universitas Lyon,
lalu kemabli ke Paris sebagai guru Sejarah Pemikiran Islam.
·
Tahun 1993 ia menjadi guru besar tamu di
Universitas Amsterdam dan beberapa universitas Al-Jazair.
Sebagai
orang yang belajar dari Barat,
ppemikiran Arkoun dianggap sangat liberal. Oleh sebab itu, pemikirannya kurang
banyak diperhatikan atau memperoleh sambutan negative. Di dunia Islam sendiri,
Arkoun cenderung dikafirkan. Diantara ilmuwan muslim yang mengkafirkannya,
yaitu Muhammad Barisy dari Maroko dan Nu'man Abd. Al-Razzaq al-Samarra'l dari
Saudi Arabia. [xxiii]
Diantara karya Arkoun , yaitu :
Ø Rethinking Islam:
Commo Questions, Uncommon Answers.
Ø Arab Thought
Ø L'Islam, Hier,
Demain, Ditulis bersama dengan Louis Gardet.
Ketiga buku tersebut telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
Ø Traite d'ethique
Ø Pour Une Critique
de la Raison Islamique
Dinamis
dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di Andalusia
dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen
untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas
seluruh karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas
dengan meminta rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan
tersebut. Setelah penerjemahan tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak
melakukan kesalahan dalam intisari filsafat.
Oleh kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang
pemberi penjelasan atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine
Comedy, mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap
filsafat Aristoteles dimasanya.
Catatan Kaki
[i] Muh.Said Mursi, alih bahasa Khairul Amru
Harahap Lc.MHI, Ahmad Fauzan Lc .,M.Ag: Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah,, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 361-362.
[ii] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.221-222
[iii] http://3kh4.wordpress.com/2008/05/06/ibnu-rusyd-kritik-terhadap-al-ghazali-averroisme-dan pengaruhnya-di-eropa/Diakses
5 Nopember 2009
[iv] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.221-225
[v] http://3kh4.wordpress.com/2008/05/06/ibnu-rusyd-kritik-terhadap-al-ghazali-averroisme-dan-pengaruhnya-di-eropa/
diakses 5 Nopember 2009 ; Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.111.Ibid halaman
103-104 : Sejalan dengan filsafat emanasi, alam inikadim karena diciptakan oleh
Allah sejak kidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja ibnu Sina mambedakan
antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab
membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam
kadin dari segi zaman (taqaddumuz zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai
hasil ciptaan Allah secara pancaran, alam ini baharu (hudus zaty). Sementara
itu Allah taqaddumuz Zaty, Ia sebab semua yang ada dan Ia Pencipta alam..
[vi] Abdul Razak, M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin
M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama:Bandung, 2002, hal. 137
[vii] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa:
Jakarta, 2004, h.65.
[viii] Ibid,
hal. 91
[ix] Abdul Razak, M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin
M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama:Bandung, 2002, hal. 142.
[x] Ibid, hal. 144
[xi] Ibid, hal. 145
[xii] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h. 165-166.
[xiii] Ibid, hal. 169-170,
Sirajuddin mengutip dari kitab Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah , hal:
206-207
[xiv] http://aktiano.blogspot.com/2009/02/filsafat-ibn-rusyd-paradigma.html
[xv] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof
dan Filsafatnya, Rajagrafindo Perkasa: Jakarta, 2004, h.227
[xviii]
Abuddin Nata, Drs. M.A., Ilmu Kalam ,
Filsafat, dan Tasawuf, Rajagrafindo Persada Jakarta, Cet. IV, 2004, hal 143
[xix] Abdul Razak,
M.A. dan H. Isep Zaenal Arifin M.A., Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama,
Bandung, Cet. I, 2002, hal. 153
[xxii] Ibid. hal. 184
[xxiii]
Ibid, hal. 186
1 comment :
Post a Comment