INTEGRALISASI PERADABAN
TEKNOLOGI:
sebuah Pandangan Integralisme
Armahedi Mahzar
Pada abad yang lalu Alvin Toffler mengajukan sebuah tesis bahwa dunia sedang memasuki
peradaban gelombang ketiga melanjutkan peradaban industri gelombang kedua dan
peradaban pertanian gelombang pertama. Belakangan orang mendeskripsikan
peradaban gelombang ketiga sebagai peradaban informasi. Deskripsi Toffler ini
jelas bersifat teknologi, karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa dia
menganut sejenis determinisme teknologi di mana teknologi dianggap menentukan
karakter utama teknologi.
Sementara itu pada akhir abad yang
sama, ketika melihat berakhirnya perang dingin antara blok Barat pimpinan
Amerika Serikat dan blok Timur, Samuel Huntington menganggap bahwa sekarang dunia menghadapi perbenturan
peradaban: antara peradaban Barat denga Peradaban Timur yang merupakan gabungan
peradaban Islam dan peradaban Cina. Dalam pandangan Huntington, peradaban bukan
ditentukan oleh teknologi tetapi oleh agama sebagai landasan super-ideologis.
Pada kenyataanya, pada abad ke 21,
Amerika Serikat mencanangkan perang melawan terorisme yang dipicu oleh
hancurnya World Trade Center karena ditabrak pesawat jet komersial. yang
dibajak oleh kelompok teroris yang dipimpin oleh sebuah organisasi terorisme
Al-Qaidah pimpinan Osama Bin Ladden yang jelas beragama Islam dan berdiam di
sebuah Negara Islam Afganistan yang dipimpin oleh organisasi fundamentalis
Taliban. Amerika Serikat dan sekutunya pun menghancurkan Taliban. Dengan
demikian benturan antar peradaban pun disamarkan dengan perang melawan
terorisme yang dikaitkan dengan Islam.
Sementara itu, di abad ini Amerika
Serikat secara ekonomi telah jatuh dari penguasa ekonomi terkuat dan terpaksa
memberikan kekuasaan itu kepada Tiongkok yang sejak akhir abad lalu mengalami
pertumbuahan ekonomi dua digit. Sementara itu terdapat sebuah aliansi ekonomi
baru yang disebut BRICS yang melibatkan Brasilia, Rusia, India, China dan
Afrika Selatan. Jadi kendati secara teknologi militer Amerika serikat masih
merupakan Negara adidaya secara ekonomi kekuatannya meredup
Dan Indonesia sebagai negara dengan
mayoritas Islam terbesar kini telah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh terbesar
di dunia yang sedang bangkit di bidang sains dan teknologi mengingat banyaknya
anak muda Indonesia memenangkan olimpiade sains dan lomba matematika fisika
internasional. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa Indonesia telah
memperoleh kesempatan untuk mewarnai peradaban teknologi dunia dengan
nilai-nilai keislaman yang integral. Itulah sebabnya dalam artikel ini mencoba
menekankan kembali beberapa aspek integralitas Islam yang pada ujungnya adalah
upaya integralisasi peradaban dunia yang sekarang cenderung didominasi oleh
teknologi.
Untuk bisa memahami bagaimana integralisasi itu bisa terjadi,
barang kali kita perlu memahami apa itu peradaban. Kemudian kita akan memeriksa
bagaimana perkembangan teknologi bisa mendorong transformasi revolusioner
peradaban manusia dalam tahap-tahap perkembangan evolusinya.
Kebudayaan dan Peradaban:
sebuah Kerancuan
Kebudayaan dalam
penggunaan bahasa Indonesia modern adalah sepadan dengan culture
dalam bahasa Inggris atau kultur
dalam bahasa Jerman. Sedangkan peradaban adalah terjemahan dari civilization dalam bahasa Inggris. Kedua
pengertian itu kita pinjam dari Barat, sementara di Barat sendiri terdapat
kegalauan makna antara keduanya.
Istilah culture dalam bahasa Inggris dan
"kultur" dalam bahasa Jerman dan Prancis, konon kabarnya semua berasal
dari kata Latin, cultura dan cultus yang pada
mulanya berhubungan dengan kata kerja cultivatio berarti pemuliaan sesuatu
atau penyembahan.
Nyatanya, pada asalnya cultura hanya ada dalam kata majemuk seperti agri cultura yang berarti pengolahan
tanah sehingga menjadi subur, bahkan pada
abad pertengahan sembahyang disebut sebagai agricultura Dei. Tetapi,kemudian dipakai untuk
kegiatan-kegiatan lainnya seperti cultura
animi yaitu proses pencerdasan jiwa.
Akhirnya timbullah istilah kultur dalam
pengertian kata benda abstrak yaitu kondisi atau keadaan yang menunjukkan keterolahan. Kemudian
pengertian pengolahan itu diperluas menjadi semua proses humanisasi atau pemanusiaan, bahkan selanjutnya
semua hasil proses itu pun dimasukkan dalam istilah kultur.
Pada akhirnya istilah itu dipersempit lagi menjadi proses dan hasil
pemanusiaan dalam suatu wilayah tertentu,
oleh sekelompok orang, bangsa atau sukubangsa, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam pengertian terakhir ini kultur
menjadi suatu istilah teknis untuk suatu obyek studi disiplin ilmu tertentu yaitu antropologi budaya.
Jika
kultur telah berubah dari kata sifat menjadi kata kerja dan berakhir dengan kata benda abstrak yang dikongkritkan sebagai obyek
studi suatu disiplin ilmiah tertentu,
sivilisasi mengalami nasib yang sama.
Pada mulanya civilitas
adalah
sinonim dengan urbanitas yaitu kata sifat yang menandakan
seseorang itu adalah penduduk kota, bukan penduduk desa atau padang pasir.
Kata ini diberi konotasi positip yaitu
keunggulan penduduk kota yang lebih
beradab ketimbang penduduk lainnya. Ini adalah manifestasi rasa
supremasi orang
Romawi yang kehidupannya berpusat di kota. Istilah ini segera menjadi kata kerja civilatio yang mengikuti proses ekspansi
imperium Romawi ke jantung benua Eropa.
Setelah imperium Romawi runtuh di Eropa,
bangsa-bangsa bekas jajahannya menjadi pembangun-pembangun
imperium dunia yang berpusat di Eropa seperti Portugis, Spanyol, Prancis dan Inggris. Istilah sivilisasi
digunakan untuk proses pengeropaan
bangsa-bangsa Timur jajahan mereka.
Tetapi, setelah mereka-menyadari bahwa bangsa mereka bukan
satu-satunya bangsa yang beradab, maka
istilah itu berubah menjadi kata benda yaitu proses dan hasil upaya manusia untuk menjadi
beradab. In berarti istilah
peradaban menjadi sinonim dengan istilah kebudayaan.
Misalnya Tylor bapak antropologi Inggris meminjam
istilah kultur dari Jerman dan istilah civilization dari Prancis dan
menggunakannya sebagai sinonim. Dalam perkembangan selanjutnya peradaban sering
digunakan untuk kebudayaan masa lalu yang menjadi obyek studi disiplin ilmu arkaeologi.
Sementara itu di khazanah budaya Islam digunakan kata-kata "tamaddun"
dan "madaniyah" dalam
bahasa Arab yang masing-masing berarti
kebudayaan dan peradaban. Ini kata orang Indonesia, mungkin
karena adanya pengaruh Persia yang menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat untuk peradaban yang dalam
bahasa Turki disebut medentyet.
Begitu
pula kaum Muslimin di anak benua
India-Pakistan-Bangladesh menggunakan
istilah tamaddun untuk pengertian kebudayaan, sedangkan untuk pengertian peradaban mereka gunakan istilah tahdhib
yang berarti perbaikan diri, padahal orang-orang Timur Tengah menggunakan istilah madaniyah untuk peradaban.
Untuk pengertian
kebudayaan
orang-orang Arab modern menggunakan istilah bukan tamaddun tetapi hadharah yang dalam pengertian asalnya adalah berarti kehidupan kota. Sementara itu, beberapa penulis Arab
menggunakan istilah madaniyah sebagai
sinonim dari hadharah yang berarti kebudayaan, sedangkan untuk peradaban mereka gunakan istilah lain yaitu tsaqafah
yang berarti perbaikan,
penyesuaian, perubahan spesifik atau terapi.
Namun
dalam bahasa Arab modern sendiri kata civilization sering diterjemahkan menjadi
kata 'madaniyyah' (Muhammad
Abduh) atau 'tamaddun' (Abdul Jabar Beg) dan 'umran' (Ziauddin
Sardar). Kata madaniyyah digunakan oleh cendekiawan Mesir Farid Wajdi untuk bukunya yang berjudul "Al-Madaniyyah
wa al-Islam" (1899).
Kata ini juga digunakan oleh Muhammad
Abduh dalam bukunya yang
diterbitkan pada tahun 1910 berjudul "Al-Islam wa al-Nashraniyyah ma'al Ilmi wa al- Madaniyyah". Padahal, kata madaniyyah
sendiri pertama kalinya digunakan oleh filsuf Islam Abu Nashr al-Farabi (meninggal 339 H) dalam
bukunya tentang ihnu politik yaitu "al-Siyyasah al-Madaniyyah" dalam pengerian
kehidupan kota atau urban.
Perubahan ma'nawi kata madaniyyah itu juga dialami oleh
kata 'hadharah'. Pada mulanya kata
'hadharah' digunakan
untuk pengertian kehidupan menetap oleh bapak ilmu sosiologi dari Tunisia, Ibn
Khaldun, di abad XIV. Pada abad XX kata ini digunakan untuk penngertian
civilization oleh penulis-penulis Arab seperti Kurd Ali ( "Al-Islam
wa al Hadharah al Arabiyyah"),
dan Prof Jamaluddin Surur ("Tarikh
al Hadharah al-Islamiyyah fi l-Syarq").
Sementara itu
penulis Arab lainnya lebih suka
menggunakan 'tamaddun'
untuk menterjemahkan kata peradaban.
Misalnya Jurji Zaidan menulis buku Ta'rikh
alTamaddun
al-Islami (Sejarah Peradaban Islam). Kata itu
menjadi populer di kawasan Melayu yaitu Malaysia dan Indonesia. Tetapi
di kawasan Indo-Pakistan, para penulis di sana
menggunakannya untuk pengertian kebudayaan atau kultur, bukan untuk peradaban.
Pendapat ini senafas dengan pemikir muslim dari Libanon,
'Effat al-Sharqawi, yang menulis:
"Kebudayaan (hadharah),
menurut kami adalah khazanah
historis yang terefleksikan dalam kredo dan nilai, yang
menggariskan bagi tujuan ideal dan makna rohaniah yang
dalam,
yang jauh dari kontradiksi-kontradiksi ruang dan waktu. Sedang
peradaban (madaniyah) adalah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat
dan meninggikan manusia dari peringatan penyerahan diri terhadap
kondisi-kondisi alam di
sekelilingnya".
Begitu juga pemikir bnlian Ikhwanul Muslimin Sa'id Hawwa
berpendapat sama ketika dia berkata
“Madaniyah (peradaban)
suatu bangsa berarti aspek material
yang ada pada bangsa ini tsaqafah
(kebudayaan suatu bangsa
berarti aspek lain dari kehidupan bangsa itu
sendiri .... hadharah suatu bangsa
berarti gabungan tsaqafah dan madaniahnya."
Penulis-penulis lainnya
menggunakan peristilahan itu secara terbalik. Tsaqafah menurut mereka
berarti kebudayaan sedangkan hadharah berarti peradaban. Ismail
Faruqi mengusulkan istilah 'adab untuk
menggantikan tsaqafah. Ini lebih dekat dengan istilah Indonesia peradaban.
Lalu timbullah kerancuan maknawi yang diwariskan dari Barat ke Timur bersama dengan proses westernisasi
dunia Timur. Peradaban dan kebudayaan itu
sama atau tidak? Kalau tidak apa yang membedakannya?
Ada yang mengatakan peradaban bersifat material,
sedangkan kebudayaan yang bersifat ideal atau spiritual,
tetapi ada pula yang berpendapat sebaliknya.
Yang
lain lagi berpendapat bahwa baik kebudayaan maupun peradaban sama-sama
mempunyai aspek material maupun
spiritual tetapi berbeda dalam lingkup
pcngaruh dan tingkat kemusykilannya: peradaban lebih luas dan lebih kompleks
ketimbang kebudayaan. Tampaknya perbedaan di sini hanyalah perbedaan
dalam perjanjian penggunaan istilah.
Tampaknya di kalangan penulis Arab kontemporer, terdapat kegalauan
semantik penggunaan istilah peradaban dan kebudayaan. Tetapi sumber kekacauan sebenarnya adalah
kenyataan, bahwa kedua pengertian itu tidak terdapat dalam sumber-sumber
asli Islam, ur'an dan hadits
Selanjutnya
marilah kita gunakan perjanjian berikut.
Madaniyah adalah sinonim dengan
peradaban atau civilisasi dan tamaddun sinonim dengan kebudayaan atau kultur. Selanjutnya marilah kita
berjanji untuk menganggap peradaban
mempunyai lingkup yang lebih besar
daripada kebudayaan dan lebih
kompleks.
Dalam suatu peradaban bisa terdapat lebih dari satu
buah kebudayaan. Misalnya dalam peradaban Barat kita melihat
adanya kebudayaan Amerika, kebudayaan Prancis dan lain sebagainya, sedangkan
dalam peradaban Islam kita lihat adanya kebudayaan Arab, Turki, Parsi
dan lain sebagainya.
Perjanjian in kita sebut
perjanjian integralis, karena dengan pejanjian in kita menghindari
kecenderungan berpikir dualis pada peradaban Barat dan
kencenderungan berpikir reduksionisnya. Dengan integralisme kita
menghindari pandangan bahwa realitas hanya mempunyai dua sisi.
Dengan Integralisme kita
juga menghindari
kecenderungan reduksionisme yang mencoba menyelesaikan dualisme itu dengan monisme reduksionis yang menganggap hanya salah satu dari kedua sisi realitas itulah yang merupakan realitas hakiki, sedangkan yang lainnya
hanyalah realitas semu.
“Integralisme
mengajukan sebuah stratifikasi kebudayaan lapis empat sebagai
berikut: Ringkasnya kebudayaan itu dapat dianggap
sebagi suatu sistem integral yang terdiri
dari empat buah subsistem yaitu: 1. Subsistem
teknikal atau tata sarana kebudayaan
bendawi)2. Subsistem inatitusional atau tata lembaga
(pola perilaku yang nampak)3.
Subsistem ideasional atau tata cita (pola
tersirat bagian luar)4. Subsisten valuasional atau tata nilai (pola perilaku tersirat bagian dalam).”
Berikutnya, kita akan memandang peradaban sebagai kebudayaan yang lebih kompleks dan lebih luas
wilayahnya. Dengan susunan terstratifikasi
seperti ini, kita bisa memandang ummat sebagai
tubuh dari peradaban dan teknologi sebagai pakaiannya. Tetapi
kita juga menggabungkan ummat dengan lingkungan hidupnya, yang alami maupun
buatan sebagai tubuh peradaban yang disebut sebagai Madinah.
Perkembangan
Peradaban Teknologi:
Meraih Nilai-nilai
Jadi sebenarnya sistem integral atau integralitas mempunyai prinsip dinamikanya
sendiri yang saya sebut multilektika. Sayangnya, saya tak pernah menuliskannya dalam
buku, namun secara lisan selalu saya sampaikan dalam diskusi antarpribadi atau pun
diskusi-diskusi kelompok. Neo-adaptasionisme biologis mewujud dalam pasar bebas
dalam atau liberalisme ekonomi dan mewujud sebagai demokrasi dalam politik.
Dalam sektor budaya ada pasar bebas gagasan yang kini disebut sebagai
multi-kulturalisme. Neo-adapsionisme, liberalisme, demokrasi dan
multikulturalisme adalah pewujudan dari multilektika integralitas.
Dengan multilektika sebuah sistem integral berinteraksi melalui kompetisi
dan koperasi dengan sistem-sistem lainnya membangun sistem-sistem baru yang
lebih tinggi. Dalam tataran gagasan dan wawasan, setiap tesis harus melawan
atau bergabung banyak altitesis untuk membangun supratesis-supratesis baru.
Sebagai contoh di Eropa strukturalisme dan pos-strukturalisme bergabung menjadi
plastisisme dan bentuk-bentuk dialektisisme lain, seperti misalnya
strukturasionisme Anthony Giddens , dan sintesa
fenomenologi dan strukturalisme oleh Pierre Bourdieu dalam sebuah
praksisisme.
Itu pula yang saya lakukan ketika mengadu strukturalisme dan isme-isme
Barat lainnya dengan islamisme sehingga menghasilkan wawasan integralisme yang
herannya merupakan reformulasi baru dari filsafat tradisional Islam yang
ternyata merupakan esensi struktural dari filsafat-filsafat tradisional lainnya
baik dari Barat maupun dari timur. Perjenjangan
materi-energi-informasi-nilai-sumber bukan hanya ada dalam tasauf, fiqh dan kalam
Islam tetapi juga dalam konsep manusia dan alam filsafat agama-agama
tradisional lainnya.
Multilektika inilah yang menjadi esensi dari proses evolusi/involusi yang
berjalan dari Yang Tunggal Mutlak ke yang aneka nisbi dan dari proses
devolusi/envolusi dam proses yang berjalan sebaliknya. Proses
pertama itu adalah proses konstruksi dan proses kedua adalah proses
dekonstruksi. Proses konstruksi/dekonstruksi itu berjalan terus menerus tanpa
hentinya sehingga akhir zaman. Pada tataran terkecil materi itu adalah proses
kreasi/anihilasi partikel elementer. Pada tataran pribadi proses itu adalah
proses kelahiran/kematian dan pada tataran peradaban, proses itu berjalan
sebagai kebangkitan/kejatuhan.
Sebagai dampak dinamika mutilektik itu dalam
perjalanan sejarah, teknologi dan peradaban berkembang beriringan. Misalnya,
Lewis Mumford pada tahun 1930 melihat sejarah pada Technic and Civilization bahwa
masayarakat berkembang dari masa Eoteknik (kira-kira 1000 sampai dengan 1800) tang
diawali oleh penemuan jam dan berujung pada penemuan mesin uap.
Kemudian berkembang memasuki masa
paleoteknik (1700-1900) di mana kehidupan dibentuk oleh pabrik-pabrik berisikan
mesin-mesin uap berbasis batubara yang dijalankan oleh buruh-buruh tak
berketrampilan. Masa ini lalu diikuti oleh masa neoteknik (1900-1930 dan seterusnya) ketika listrik ditemukan sehingga
pabrik-pabrik terbebaskan dari dari batu-bara sehingga bisa didirikan jauh dari
pegunungan lokasi tambang batu bara.
Belakangan pada tahun 1970 dalam
bukunya The Myth
of the Machine Vol II: The Pentagon of Power, Mumford mengamati bahwa
teknologi mencapai tahap megateknik di mana produksi barang-barang dikendalikan
oleh pasar konsumen yang seleranya dibentuk oleh iklan-iklan di media massa
koran, majalah terutama radio dan televisi.
Saya memperlengkap pentahapan sejarah teknologi oleh Lewis Mumford itu menjadi
8 tahap memundurkan fase eoteknik menjadi masa ketika ditemukannya pesawat pada
saat setelah revolusi perkotaan dan menambahkan satu masa arkeoteknik, setelah
ditemukannya mesin cetak Gutenberg yang
mendorong Renaissance dan revolusi sains, yang mendahului masa paleoteknik, setelah ditemukannya mesin Watt yang
melahirkan revolusi industry, dan mencirikan neotelnik dengan ditemukannya
generator listrik oleh Faraday.
Saya menganggap masa megateknik lahir dengan
ditemukannya telegraf oleh Marconi dan dan diperkokoh ditemukannya telefon, radio, film dan
televisi. Penemuan Marconi inilah yang saya sebut sebagai revolusi komunikasi
yang mendahului revolusi informasi yang berawal dengan ditemukannya komputer
elektronik yang kemudian saling terjaring secara global melalui satelit satu
sama lainnya dan dengan telepon genggam pintar. Masa akhir inilah yang saya sebut
sebagai masa metateknik.
Masyarakat dan
teknologi, keduanya mengalami evolusi bersamaan atau koevolusi. Koevolusi itu
berkembang dengan cara bertahap yang menunjukkan perubahan karakteristik
teknologi yang berkaitan secara umpan balik positip dengan tujuh perubahan
revolusiner peradaban menuju suatu keseimbangan baru. Dari peradaban prateknik
terdapat tujuh revolusi sosial yang didorong oleh diciptakannya jenis-jenis
teknologi dengan karakteristik yang baru. Kedelapan fase perkembangan peradaban
teknologi itu ditampilkan pada tabel berikut ini.
Koevolusi Peradaban Teknologi
KARAKTER
|
TEKNOLOGI
|
PERADABAN
|
Material
|
ORGANIK
(tangan)
|
PRATEKNIK
(perburuan paleolitik)
|
SUBORGANIK
(perkakas)
|
PROTOTEKNIK
(revolusi pertanian)
|
PARAORGANIK
(pesawat)
|
EOTEKNIK
(revolusi perkotaan)
|
Energetik
|
EKSTRAORGANIK
(kincir)
|
PALEOTEKNIK
(revolusi Gutenberg)
|
SEMIORGANIK
(mesin uap)
|
ARKEOTEKNIK
(revolusi Watt)
|
SUPERORGANIK
(motor listrik)
|
NEOTEKNIK
(revolusi Faraday)
|
Informatik
|
MEGAORGANIK
(media elektronik)
|
MEGATEKNIK
(revolusi Marconi)
|
METAORGANIK
(jaringan telematik)
|
METATEKNIK
(revolusi Von Neuman)
|
Kalau kita mengikuti Francois Lyotard, maka era
metateknik sekarang adalah era pos-modern yang dicirikan oleh budaya serba
pecah (fragmentarisme), serba nisbi (relatifisme), serba campur (sinkretisme)
dan serba sementara (temporerisme). Di era posmodern ini perubahan-perubahan
teknologi berlangsung serba cepat yang dipercepat (akseleratif) sesuai dengan
hukum Moore yang berujung pada singularitas teknologi di mana kecerdasan mesin
mengatasi kecerdasan manusia.
Singularitas
teknologi untuk sementara orang dianggap sebagai krisis lahirnya peradaban baru
teknologi di mana manusia akan menjadi abdi-abdi teknologi. Untuk yang lain
peristiwa ini adalah kejang-kejang lahirnya makhluk baru di mana semua manusia
melebur dengan mesin-mesin dalam satu mega-pribadi transhumanis.
Tampaknya,
tumbuh-kembang peradaban manusia menuju kelahiran mega-pribadi ini mengikuti
pola tumbuh-kembang organisme manusia sebagai individu yang mengulangi pola
evolusioner biosfera secara keseluruhan. Pada mulanya manusia hidup sebagai
makhluk satu sel yang terus memperbanyak diri menjadi janin multiseluler dengan
teknologi penyerapan pangan didalam rahim sebagai lingkungannya. Ini adalah
tahap pertama tumbuh kembang yang bersifat materi.
Kemudian dia
lahir sebagai bayi, mulailah tahap kedua tumbuh kembang seorang anak yang
bersifat energetik. Dalam tahap ini si anak yang mengembangkan kemampuan organ
luarnya, yaitu kaki dan tangan, sebagai teknologi penyaluran energi internalnya
menjadi gerak terkoordinasi. Lalu pada tahap ketiga, yaitu tahap informatik,
dia tumbuh sebagai anak-anak yang belajar berbicara dan kemudian bersekolah.
Berbicara adalah teknologi komunikasi natural, yaitu bahasa lisan, dan menulis
adalah teknologi informasi kultural.
Akhirnya, pada
tahap keempat dan terakhir yaitu tahap normatif, manusia menjadi individu
dewasa belajar mengembangkan pola-pola koordinasi kerja-sama dalam bentuk
asimilasi nilai-nilai kelompok-kelompok sosial multi-organismik secara
berjenjang dari keluarga, sekolah, kantor, pasar, negara dan dunia manusia
beradab menyeluruh yang meliputi seluruh muka bumi.
Dengan demikian
tampak jelas bahwa manusia secara individu berkembang dari fase material janin,
melalui fase energetik anak-anak dan fase informatik remaja sesudahnya menuju
fase normatif di masa dewasa. Keempat fase itu menunjukan perkembangan integral
di mana hasil dari fase yang terdahulu menjadi bagian penting bagi perkembangan
fase yang terkemudian.
Dilihat dari sisi ini etika keluarga, peraturan sekolah, kode etik
profesional, hukum dan undang-undang negara serta hukum internasional dan agama
dapat dilihat sebagai bagian dari teknologi normatif kolektif yang dimiliki
manusia melengkapi teknologi informatik kultural yang dikembangkan manusia
sebagai sel-sel peradaban.
Jadi puncak perkembangan teknologi adalah meraih nilai-nilai. Kita umat
Islam harus mengisinya dengan mengembangkan nilai-nilai relatif yang disesuaikan
dengan nilai-nilai absolut dari Yang Maha Pecipta. Jadi peradaban harus kita
jadikan sebuah thariqah untuk kembali
kepadaNya.
Perkembangan Peradaban Islam:
Daur Kebangkitan
Dalam
konteks peradaban Islam kesadaran futurologis bersifat integral, selalu terkait dengan
kesadaran historis. Masa depan religius
dalam Islam, seperti halnya dalam
agama Yahudi dan Kristen, adalah
dalam jangka waktu sangat panjang tan di1ihat sebagai katastrofal yaitu kehancuran dunia dan
kebangkitan sesudahnya di akhirat.
Secara rasional kesadaran futurologis Islam di awal-awal perkembangannya justru bersifat linier pesimistik.
Pandangan linier pesimistik ini dibentuk
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
yang mengatakan
Sebaik-baik
kurun adalah kurunku, kemudian kurun berikutnya dan kemudian kurun sesudahnya.
Hadits
umum ini diinterpretasikan dengan hadits riwayat Ahmad yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda
Telah berlaku ZAMAN
KENABIAN ke atas kamu, maka berlakulah zaman
kenabian itu sebagaimana yang Allah kehendaki.
Kemudian Allah mengangkat zaman itu. Kemudian berlakulah ZAMAN KEKHALIFAHAN yang
berjalan seperti zaman kenabian. Maka berlakulah zaman itu sebagaimana yang
Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya, lalu berlakulah ZAMAN YANG MENGGIGIT (zaman
fitnah). Berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya
pula. Kemudian berlakulah ZAMAN PENINDASAN dan berlakulah zaman itu seperti yang Allah kehendaki.
Kemudian
berlaku pula ZAMAN KEKHALIFAHAN (Imam Mahdi) yang
berjalan di atas cara hidup Zaman Kenabian.
Helalui hadits ini memberikan warna optimisme membersit
pandangan linier pesimistik hadist
sebelumnya tepat pada akhir zaman. Tetapi
itu pada akhir zaman yang tak
tentu bilamananya. Jadi, bagaimanapun,
pesimisme mewarnai perjalanan seiarah ummat Islam menjelang hari akhir zaman.
Tetapi,
warna pesimistis ini diimbangi oleh warna optimisme periodik yang
tertulis dalam hadits berikut
Allah mengutus pada ummat ini di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbarui urusan agamaNya (mujaddid).
Hadits ini
memberikan harapan datangnya
seorang mujaddid di pangkal
setiap abad hijriah. Dengan
demikian setiap satu abad terjadi
pembaruan pemikiran Islam. Dinamika
pembaruan yang periodik
inilah yang memberi warna yang khas pada
kesadaran futurologis Islam.
Sayangnya di kalangan ummat, kedua jenis hadits ini justru menimbulkan
sikap pasip yaitu sikap menunggu. Menunggu muiadid awal abad
dan menunggu imam mahdi akhir zaman. Padahal hikmah kedua jenis hadits itu adalah persiapan. Persiapan untuk menjadikan
diri seorang mujaddid dan persiapan untuk menjadikan ummat Islam suatu ummat yang
bersatu.
Tampaknya pada diri seorang mujaddid,
pemikiran tentang persatuan ummat sebagai prasarana
kebangkitannya telah menjadi
obsesi. Misalnya, pemikiran-pemikiran panislamisme di awal abad 20 diajukan oleh
pembaru Islam besar
Syaikh Jamaluddin al-Afghani. Istilah pan-islamisme
ini sendiri sebenarnya diciptakan oleh pers Barat untuk
menyebutkan semangat kebangkitan
ukhuwah islamiyah di awal abad
20, seperti mereka menciptakan
istilah fundamentalisme Islam di
akhir abad yang sama.
Semangat ukhuwah Islamiyah itulah yang mengikat negara-negara
kaum muslimin menjadi satu dalam Organisasi Konperensi Negara-negara Islam. Sayangnya organisasi
yang bersemangat ukhuwah ini tidak sanggup merealisasikannya, terbukti pada peristiwa
tragis ketika Iraq mencaplok Kuwait yang berakhir perang
antar saudara seiman yang tak adil itu.
Begitu juga OKI tak berdaya
ketika satu-satunya negara kaum
muslimin di Eropa diperkosa oleh negara tetangganya
nonmuslim di dasawarsa
akhir abad 20 ini.
Lepas dari
kegagalan OKI itu,
sebenarnya pemikiran tentang kebangkitan ummat yang diwarnai kesadaran
futurologis Islam moderen
telah menyingsing seiring dengan
munculnya kesadaran futurologis Barat. Misalnya di tahun
60-an, ketika kaum futuris Barat
berpikir linier progresif,
kebanyakan kaum modernis Islam.
Berbicara mengenai abad 20 sebagai masa
renaissance Islam setelah peradaban
Islam mengalami masa kegelapan selama
berabad-abad semenjak jatuhnya
Baghdad dan Qahirah alias Cairo ke tangan penyerbu-penyerbu Mongol dan
jatuhnya Qurtubah alias Cordoba ke
tangan tentara Salib dari Eropa. Masa
sebelum zaman kegelapan itu disebut sebagai zaman keemasan atau perioda klasik.
Berpikir linier progresif ini betul-betul bayangan
cara berpikir Barat moderen sekuler yang
melihat seiarahnya sebagai suatu garis linier terpatah, yaitu dari zaman primitif ke zaman
klasik melalui zaman kegelapan dia
abad pertengahan ke abad modern dengan
masa transisi masa renaissance.
Pola ini tercermin
dalam penyusunan buku sejarah filsafat Islam yang
diedit oleh M.M.Sharif. Dalam buku ini, setelah berbicara
tentang masa praislam, yang setara dengan
masa barbar di Eropa, dia menguraikan bab-bab yang menceritakan sektor-sektor kebudayaan di masa
kejayaan Islam, lalu berbicara satu bab
tentang the dark age (1700-1850) dan mengakhirinya dengan bab yang bejudul modern renaissace.
Walaupun demikian,
pola pikir Sharif lebih maju ketimbang
rekanrekannya yang menganggap masa kegelapan berawal pada tahun 1258 ketika
kota Baghdad jatuh. Sharif melihat
bahwa peradaban Islam tidak
runtuh selamanya pada masa
sesudah kejatuhan Baghdad, tetapi
bangkit lagi setelah mengalami
periode penyerap goneangan selama setengah
abad pemulihan kembali. Dengan
demikian, peradaban Islam mengalami dua kali kebangkitan dan dua kali kejatuhan dan
sekarang sedang bangkit
untuk ketiga kalinya.
Pandangan pemikir Pakistan yang optimistik evolusioner ini ditandingi oleh suatu
periodisasi yang dibuat oleh
mujaddid abad 20 pendiri Jamiat-i Islami,
Abu A'la Maududi almarhum , yang membagi sejarah Islam menjadi empat kurun. Kurun pertama adalah zaman pemerintahan
Rasulullah dan Khalifah Rasyidin.
Kurun kedua adalah
kurun di mana pemerintahan raja-raja
non-arab mendominasi peradaban Islam. Kurun ketiga adalah
kurun perbudakan di mana pihak
luar menjaiah dan menindas ummat Islam. Kurun
keempat adalah kurun di mana terjadi
pembebasan.
negara-negara muslim yaitu di masa
kini. Kalau dibandingkan dengan
hadits Rasulullah yang disebut terdahulu
tampaknya Maududi secara implisit menunjukkan bahwa masa sekarang adalah masa penantian Imam Mahdi di akhir zaman.
Walaupun begitu, konsep penantian mahdi yang pasip itu bertentangan dengan semangat pembaharuan yang diserukannya.
Dia mengajukan konsep mahdi sebagai pimpinan revolusi Islam yang menggunakan sarana-sarana
moderen dalam perjuangannya menegakkan Islam.
Konsep ini berbeda dengan persepsi masyarakat yang menganggap Imam Mahdi sebagai seorang keramat yang menaklukkan musuh-musuhnya dengan kekuatan rohaniah berupa
wirid-wirid. Wawasan ini yang
disampaikan di tahun 60-an ini. Dengan demikian kesadaran
futurologis kaum fundamentalis bersifat
optimisme revolusioner.
Sayangnya semangat
revolusioner ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan bersenjata untuk
menegakkan kebenaran yang pada prakteknya tidak berbeda dengan gerakan
terorisme yang tak segan-segan mengorbankan nyawa banyak orang termasuk kaum
muslimin itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi perjuangan
yang berjalan damai dan bermanfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Untuk bisa memahami
strategi itu barangkali ada baiknya jika kita melihat kebelakang merunut
perkembangan peradaban Islam di dunia dan akhirnya melihat posisi Indonesia
dalam yahap akhir perkembangan peradaban Islam dunia.
Peradaban Islam berawal
penyampaian risalah tawhid oleh
Rasulullah Muhammad saw di abad ke
masehi. Islam berhasil membuat jazirah Arab menjadi kesatuan politik
khilafah Islamiyah dipimpin oleh khulafa Rasyidin yang pada akhirnya bisa
meruntuhkan dua adikuasa di masa itu yaitu kerajaan Bizantium di barat dan
kerajaan Persia di timur.
Penerus dari khulafa al-Rasyidin itu adalah tiga
kerajaan besar yaitu Daulah Umayyah berpusat di Damaskus lalu di Qurtubah atau
Cordoba, daulah Abbasiyah penerusnya berpusat di Baghdad dan Daulah Fathimiyah
berpusat di Qahirah atau Kairo sekaran. Masa ketiga daulah itulah yang sering
disebut orang sebagai masa kejayaan Islam. Masa dini telah berlangsung selama
tujuh abad dipimpin oleh raja-raja keturunan Arab. Oleh karena itu masa
kejayaan mereka dapat disebut sebagai Qurun
‘Arabi atau era Arab.
Ketiga kerajaan ini
hancur karena gempuran dari luar. Daulah Umayyah hancur oleh serbuan tentara
Salib. Daulah Abbasiyah dan Daulah Fathimiyah hancur karena serbuan dari timur
oleh tentara Tartar atau Mongol pimpinan Gengish Khan. Namun secara damai
dakwah Islam pada akhirnya menjadikan raja-raja penguasa Mongol itu memeluk
agama Islam.
Islamisasi raja-raja
Mongol itu kemudian diikuti oleh bangkitnya tiga daulah Islamiyah yang besar
yaitu Daulah Ustmaniyah yang berpusat di Turki, Daulah Mughul yang berpusat di
India dan Daulah Shafawiyah yang berpusat di Iran. Daulah-daulah ini lah yang
merupakan pusat-pusat peradaban Islam kurun kedua yang dipimpin oleh orang-orang
‘ajam. Karena itu qurun mereka dapat disebut sebagai Qurun ‘Ajami atau era non-arab. Qurun
‘Ajami berlangsung sekitar tujuh abad juga.
Kenyataannya,
kerajaan-kerajaan ini jatuh oleh serbuan imperialisme dan kolonialisme Eropa
Barat. Itulah sebabnya para ulama Islam melakukan gerakan reformasi untuk
melawan penjajahan Barat itu. Bermula dengan gerakan tajdid oleh Jamaluddin
al-Afgani di teruskan oleh Syaikh Muhammad Abduh. Gerakan ini berujung pada
gerakan Ikhwanul Muslimin di Turki dan sekitarnya serta organisasi Muhammadiyah
dan Nahdatul Ulama di Indonesia yang bergerak bersama organsasi sekuler
kebangsaan mengusir para penjajah.
Alhamdulillah,
Indonesia yang merupakan negeri jajahan dengan pupulasi muslim terbesar di
dunia akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945
tercatat sebagai Negara muslim yang merdeka untuk pertama kalinya. Setelah itu
barulah negar-negara Islam di Timur Tengah menjadi merdeka
diikuti oleh merdekamya Negara-negara muslim di Afrika pada tahun 70-an abad
lalu dan Negara-negara muslim Eropa dan Asia Tengah pada tahun 90-an.
Negara-negara muslim
yang baru merdeka di pertengahan abad lalu inilah yang mengalami penjajahan
gaya baru peradaban Barat melalui sektor-sektor ekonomi, teknologi dan
kebudayaan. Semua itu berjalan atas nama globalisasi dan globalisasi ini
ternyata lebih efektif ketimbang penjajahan politik dan militer karena bisa
melakukan kolonisasi di dalam jiwa, pikiran dan bawah sadar warga Negara-negara
muslim.
Namun di abad keduapuluh satu ini kaum
muslimin mulai sadar dan bergerak melakukan islamisai berbagai sektor
kebudayaan semisal tata-busana, seni musik, perbankan syari’ah diikuti oleh
lahirnya siswa-siswa muslim berprestasi yang bisa memperoleh medali emas di
berbagai olimpiade fisika dan matematika di dunia. Semua itu adalah tanda-tanda
kebangkitan peradaban Islam qurun ketiga yang bisa kita sebut sebagai qurun
‘alami atau era global.
Konvergensi
Dua Perkembangan:
Integralisasi
Dengan bangkitnya peradaban Islam qurun ‘alami, maka apa yang teriadi sekarang sebenarnya adalah sebuah perang antar peradaban
seperti yang diramalkan Samuel Huntington ketika jatuhnya Blok Timur.. Dalam
peperangan ini, benteng kita adalah
diri kita sendiri. Wilayah terakhir yang diduduki oleh penjaiahan Barat gaya baru ada
di dalam bawah sadar jiwa
kita sendiri. Wilayah itulah
yang harus direbut kembali.
Pada kenyataanya, ada tiga macam
strategi umum yang telah diajukan
orang untuk menangkal serbuan
itu.
Strategi pertama
dapat disebut sebagai strategi isolatif. Dalam strategi isolatif
ini kita memandang Islam sebagai alternatif dasar peradaban dan sebagai konsekuensinya
kita menolak semua yang ada
dari Barat, keouali sains dan teknologinya. Strategi inilah yang biasa dipakai oleh kaum fundamentalis. Salah satu konsekuensi
dari strategi ini kita memutus
kontak kultural sama sekali
dengan Barat. Kita buang TV dan Radio dari rumah-rumah
kita.
Strategi kedua
dapat disebut sebagai strategi
selektif. Dalam hal ini
kita menyeleksi acara-acara TV dan Radio yang dilihat dan didengar oleh keluarga kita dirumah-rumah.
Walaupun kini teknologinya
memungkinkan, tampaknya strategi ini
mengekang kebebasan dan
menimbulkan adanya sensor yang yang mematikan kreativitas si anak. Strategi ini
yang dijalankan oleh kaum tradisionalis.
Strategi ketiga
adalah strategi alternatif. Dalam strategi
alternatif ini kita harus
menguasai sarana penyiaran alternatif yang diisi dengan acara-acara yang Islami dan
berani bersaing dengan jaringan-jaringan
TV sekuler yang ada.
Tentu saja jaringan ini mahal harganya, itu
sehingga untuk menopang strategi alternatif,
yang digandrungi kaum modernis itu, diperlukan strategi-strategi penunjang lainnya yang relevan.
Ketiga strategi itu mempunyai keunggulan dan kelemahannya
masing-masing. Karena itu di sini diajukan
sebuah saran
strategi integratif. Dalam strategi
integratif ini kita membentuk sekolah-sekolah alternatif yang komplementer
dengan sistem yang ada.
Sekolah-sekolah
alternatif ini bisa memanfaatkan sistem video dan internet yang menayangkan berbagai acara yang edukatif islami. Sekolah-sekolah ini dapat berbentuk sekolah sore bagi yang sekolahnya
pagi dan sebaliknya.
Kemudian secara bertahap kita membangun sistem TV terbatas
dalam suatu pemukiman yang Islami
di sekitar sekolah alternatif sehingga membentuk
komunitas video yang Islami dan- berkreasi membuat
acara-acara sendiri.
Ini berarti kita harus memiliki rumah-rumah produksi sendiri di dalam pemukiman
komunitas tersebut. Begitu juga di dalam pemukiman tersebut terdapat harus ada
perpustakaan dan jaringan informasi seperti yang disarankan Sardar.
Dengan demikian
pemukim-pemukim muslim dapat menikmati suatu integral
estate, di mana real estate dan ideal
estate terpadu menjadi satu.
Kumpulan pemukiman-pemukiman ini yang akan dijaring
oleh suatu jaringan
multimedia islami yang diharapkan
dapat menangkal serbuan informasi
global.
Dalam strategi integratif ini kita menangkal serbuan
informasi global bukan dengan memutusnya, tetapi
dengan jalan menyainginya dengan
komunitas-komunitas informasi lokal yang pada
gilirannya terjaring menjadi masyarakat
informasi regional islami yang integratif.
Pada gilirannya, masyarakat-masyarakat informasi islami itu dapat bekerja-sama anatarbangsa membentuk
jaringan telemedia global yang islami di atas prasarana informasi
global yang bernama internet
Dengan strategi integratif melalui integrasi islami integral estates itu, insya Allah kita
dapat membangkitkan suatu peradaban Islam
yang mampu bersaing dengan peradaban-peradaban dunia lainnya ketika peradaban Barat sekuler yang di abad ke 21
ini sedang mengalami kemunduran. Itulah sebanya, sebagai pewaris peradaban
teknologi Barat, kita bertanggung jawab untuk melakukan sebuah transformasi
religio kultural terhadap peradaban teknologi itu yang pada hakekatnya sebuah
proses integralisasi.
Hakekat proses integralisasi ini dapat dipahami kalau kita memperhatikan bahwa
perkembangan peradaban manusia juga mengikuti fase-fase yang sama. Tiga fase
pertama, yaitu fase-fase prateknik, prototeknik dan eoteknik mengembangkan
teknologi material. Tiga fase berikutnya, yaitu fase-fase eoteknik,
arkeoteknik, paleoteknik dan neoteknik mengembangkan teknologi-teknologi
energi. Sedangkan dua fase terakhir megateknik dan meta teknik adalah
pengembangan teknologi informasi.
Tampaknya fase informatik ini harus dilengkapi dengan fase normatif yang
menyangkut nilai-nilai. Fase inilah yang saya sebut sebagai fase integralisasi
Mengingat teknologi itu ibarat nafs dari peradaban sebagai mega-organisme,
maka proses integralisasi peradaban itu bisa diibaratkan sebagai proses
reunifikasi individu manusia terhadap Tuhan penciptanya, maka tahap-tahap
proses itu akan mengulangi tahap-tahap reunifikasi individu berupa transformasi
psiko-spiritual yang biasanya disebut sebagai pencerahan mistis. Mistisisme
dalam Islam disebut tasawuf yang esensinya adalah tazkiyatul nafs. Oleh
karena itu proses integralisasi peradaban itu saya sebut sebagai tazkiyatul
madaniyah.
Karena perkembangan peradaban teknologi itu mengulangi tumbuh-kembang
peribadi manusia, maka sudah selayaknya tahap-tahap tazkiyatul madaniyati
meniru tahap-tahap tazkiyatul nafs dalam thariqah. Salah satu model untuk tazkiyatul
nafs adalah tahap-tahap spiritual yang diajukan oleh Imam al-Ghazali
dalam bukunya: Ihya Ulumuddin alias Revitalisasi
Ilmu-ilmu Agama.
Tahap awal dari thariqah adalah taubat (reorientasi) dan
tahap akhirnya adalah ridha (akseptasi). Tahap pertama
adalah reorientasi tujuan peradaban dari eksploitasi alam menjadi harmonisasi
antara alam dan manusia dalam perdamaian yang tunduk pada Yang Maha Pencipta.
Tahap-tahap lainnya adalah shabr/syukr
(tabah/terima-kasih) yang menyangkut kondisi dan situasi diri, faqr/zuhd
(miskin/prihatin) yang menyikapi lingkungan material, tauhid/tawakkal (pengesaan/pasrah)
yang menyikapi kondisi dan situasi eksternal masa kini, khauf/raja' (takut/harap)
yang menyikapi masa depan dan berujung pada ridha/ikhlas dalam
menyikapi keseluruhan hidup sebagai anugrah Ilahi.
Shabr dalam hal peradaban adalah
reorientasi peradaban dengan menerima keterbatasan sumber daya alam dan syukr
dalam peradaban berarti mempertahankan semangat inovasi dalam rangka
memakmurkan bumi dengan cara mengangkat alam menjadi bermanfaat bagi
kemanusiaan. Faqr peradaban berarti tidak melakukan konsumsi sumber daya
alam secara berlebihan dan zuhd peradaban adalah meningkatkan
efisiensi dan efektivitas teknologi.
Tauhid peradaban berarti memandang semua
sumber-daya alam, manusia dan teknologi sebagai amanat yang diberikan Yang Maha
Pencipta sebagai karunia yang harus dimanfaatkan demi pelaksanaan
perintah-perintahNya dan menghindari larangan-laranganNya. Tawakkal peradaban adalah
semua keadaan mulai dari sukses tenologi hingga bencana alam adalah ujian dan
cobaan dari Yang Maha Pencipta agar kita selalu serasi dengan KehendakNya. Khauf
peradaban berarti bahwa kita harus selalu waspada akan dampak-dampak samping
negatif dari teknologi di masa depan dan Raja' peradaban berarti bahwa kita
harus selalu optimis akan kemampuan manusia untuk mengendalikan dampak-dampak
negatif teknologi.
Tahap terakhir ridha peradaban berarti kita harus
selalu memandang peradaban teknologi sebagai anugerahNya yang senantiasa dan
sebagai sarana untuk melaksanakan perintah-perintahNya dan menghindari
larangan-laranganNya mencari keridhaanNya. Dengan demikian kita meletakkan
peradaban teknologi sebagai perantara antara Yang Maha Pencipta dan alam
CiptaanNya sebagai sarana kita untuk memuji dan mengabdiNya sebagai
satu-satunya Pencipta dan Penguasa sekalian alam.
Landasan Integralisasi Peradaban:
Tauhid Wahdatiyah
Landasan bagi seluruh tahap proses reintegralisasi
peradaban itu adalah Tauhid Wahdatiyah. Tauhid seuruhnya
yang dilandasakan pada semua nama Allah yang tercantum dalam surat Al-Fatihah.
Tauhid Wahdatiyah mempunyai
susunan seperti yang terlukis dalam gambar berikut ini: landasan Din
al-Islam adalah Tauhid Diniyah. Tauhid ini adalah landasan bagi
peradaban Tauhid adalah Tauhid Madaniyah. Kedua Tauhid itu
terintegrasi dengan Tauhid Uluhiah sebagai landasan terdasar dari keseluruhan
Tauhid yang juga meliputi Tauhid Rububiyah sebagai dasar semua
ilmu dan Tauhid Mu’amalah sebagai pengamalan ilmu.
Sebenarnya, kelima aspek Tauhid itu berkaitan dengan
kelima nama dan sifat Tuhan yang tercantum dalam tiga ayat pertama dari surat
pertama Al-Quran Al-Karim: Allah, Al Rabb, Al-Rahman, Al-Rahim dan
Al-Malik.
Keterkaitannya adalah sebagai berikut
1. Asma
ALLAH berkaitan dengan Tauhid
Uluhiyah sebagai kesaksian atau tasyahhud akan keesaan Allah subhana wa
ta’ala yang diwujudkan dalam pengabdian atau ta’abbud yang kita laksanakan
seumur hidup kita secara sepenuhnya dalam perjalanan kembali menuju haribaanNya
2. Asma
Al-RABB berkaitan dengan Tauhid
Rububiyah sebagi kesaksian bahwa Dzat Allah yang transenden sebagai
pencipta seluruh alam-alam nyata dan gaib dalam bentuk pelimpahan
Sifat-sifatNya melalui Perintah-perintahNya berupa hukum-hukum alam yang
ditaati oleh semua perbuatanNya berupa gejala-gejala alam yang menghasilkan
semua ciptaanNya berupa benda-benda alami dari yang terkecil hingga yang
terbesar
3. Asma
AL-RAHMAN berkaitan dengan Tauhid Mu’amalah sebagai kesaksian
bahwa Cinta Allah mewujud dalam kehidupan seluruh makhluk hidup yang bersifat
individual dan sosial yang harus direalisasi manusia melalui tazkiyah
al-nafsi atau pembersihan diri mencapai nafs al-muthma’innah atau
jiwa yang tenang dan melalui tazkiyah al-ijtima’i atau
pembersihan masyarakat mencapai qawm al-marhamah yaitu masyarakat
yang dikasihi Allah
4. Asma
AL-RAHIM berkaitan dengan Tauhid
Madaniyah sebagai kesaksian bahwa Allah menyayangi manusia yang
merealisasikan tugasnya sebagai khalifah Allah atau wakilNya di muka bumi melalui
ta’allum atau pencarian ilmu dalam
bentuk sains dan budaya yang diikuti dengan tasyakkur
atau berterima kasih dalam bentuk pengembangan teknologi dan seni sebagai
komponen-komponen peradaban yang Islami dalam rangka memakmurkan bumi melalui
peradaban.
5. Asma
AL-MALIK berkaitan dengan Tauhid
Diniyah sebagai kesaksian bahwa Allah adalah pemilik al-dunya
dan al-akhirat
yang harus kita jalani sebagai ‘Abd Allah atau abdiNya melalui Din
al-Islam yang terdiri dari ‘Aqidah fondasional, Syari’ah
kolektif dan Thariqah individual. Pewujudan Thariqah ini ini adalah berbagai
ekspresi kreatif kebudayaan yang merupakan kolektivasi cinta manusia pada Maha
Penciptanya yang Maha Indah.
Akhirul Kalam
Integralisasi peradaban adalah
sebuah keharusan di masa kini, karena dia telah sampai pada tahap informatik
global. Oleh karena itu hal itu bisa dilaksanakan jika dilaksanakan secara
global pula. Untuk itu kita harus dapat menguasai kemudian memproduksi
teknologi informasi alternatif mulai
dari piranti lunak protokol internet hingga piranti keras prosesor yang menjadi
jantung komputer-komputer yang menjadi simpul-simpul internet alternatif.
Untuk penguasaan teknologi itu,
untuk pertama kalinya adalah memanfaatkan perkuliahan massal online yang sedang
mulai menjamur dewasa ini, serta memanfaatkan internet untuk pembentukan
jaringan belajar untuk berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi simpul-simpul
peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kesadaran ummat Islam sehingga sanggup
membangkitkan kembali peradaban Islam yang integral untuk yang ketiga kalinya. Semoga Allah
meridhai usaha kita bersama ini. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Catatan: artikel ini adalah perluasan dari artikel yang
merupakan tanggapan terhadap kritik terhadap filsafat integralisme yang
disuarakan oleh para pemikir muda pada acara Tribute Lecture for
Armahedi Mahzar memperingati 70 tahun Armahedi Mahzar di masjid Salman ITB pada tahun
2013.
Armahedi Mahzar, Integralisme:
sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Penerbit Pustaka 1983, hal 86